Chapter 8
Hari ini terasa begitu hangat, sinar matahari masih terasa lembut. Kubuka halaman selanjutnya dari buku yang kubaca. Pangeran sudah pergi berburu beberapa saat lalu.Sedangkan aku hanya berdiam diri di perpustakaan istana.
Aku membaca buku untuk mengusir kejenuhan, tapi seharian berada di perpustakaan lama-lama membuat aku bosan. Kutopang dagu dengan sebelah tangan, aku tidak tertarik lagi dengan bacaanku. Aku rindu mendengar pangeran bercerita seperti kemarin siang.
Hari ini pangeran pergi pagi-pagi sekali. Aku merasa kesepian Asih,si iblis kecil itu tidak terlihat dari kemarin. Kemana perginya bocah itu? Apa dia banyak pekerjaan? Semua pelayan seperti sedang mempersiapkan upacara besar. Aku ingin bertanya pada Bi Koncreng, tapi urung kulakukan saat melihatnya sibuk.
Suara deritan pintu menyita perhatianku, sosok bertubuh mungil perlahan muncul dari balik pintu. Aku terdiam memperhatikan orang itu. Siapa lagi kalau bukan Asih. Tapi tunggu... apa yang dia bawa?
Kupandangi Asih yang berjalan mengendap-endap. Kain hitam yang ia bawa terlihat penuh dengan sesuatu yang... entahlah aku sendiri penasaran dengan isinya. Aku berdeham. Seketika tubuhnya menegang. Aku berjalan ke arah Asih dan berdiri tepat di belakangnya. Asih berbalik, wajahnya pucat pasi.
"Ahh... Mbok bikin kaget saja," ujar Asih dengan kaki yang terhentak. Aku bisa melihat wajah kesalnya. Pipi tembam itu mengembung.
"Asih sedang apa?" tanyaku penasaran.
"Aku? Sedang main petak umpet sama Bi Gusti," sahutnya. Bi Gusti? Kepala dapur yang galak dan saklek itu? Tidak mungkin Bi Gusti mau bermain dengan Asih si pembuat onar.
"Bi Gusti mau bermain dengan Asih?" tanyaku.
"Betul... aku sedang bermain, Bi Gusti mungkin sedang mencariku sekarang. Mbok bantu aku ya, jangan beritahu Bi Gusti jika aku ada di sini," ujarnya dengan wajah ibulas.
Aku mengangguk menyanggupi permintaannya. Senyum merekah muncul dari bibir cerewet Asih.
"Itu apa yang Asih bawa?" Tunjukku pada buntalan kain hitam di tangannya. Aku semakin penasaran dengan isi buntalan itu. Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan 'main petak umpet' yang Asih ceritakan?
"Ini?" Asih mengangkat buntalan yang ia bawa. Aku bergumam sebagai jawaban.
"Ini adalah makanan, pagi tadi aku ambil dari dapur. Tapi Bi Gusti datang lebih awal, jadi kuajak saja bermain petak umpet," terangnya dengan polos.
Aku mengerti sekarang, main petak umpet yang Asih maksud adalah dikejar Bi Gusti, karena mengambil makanan tanpa izin. Dasar bocah, selalu bisa mengelabui orang tua.
"Asih tidak bilang mau minta makan?" tanyaku. Asih berjalan ke arah meja yang sempat kududuki beberapa saat lalu. Di letakkannya buntalan kain itu di atas meja. Terpampanglah berbagai macam buah dan kue ketika kain itu dibuka.
"Aku sudah pernah minta izin, tapi malah dibentak dan diusir dari dapur. Perutku terkadang sakit jika terlambat makan. Aku tidak mau melihat ibu sedih karena Aku sakit. Jadi Aku ambil saja buah yang ada di dapur dan menyimpannya di sini," ujar Asih.
Aku mendekati Asih. Entah kenapa hatiku bisa merasakan kesedihannya. Meski dia anak yang bandel, tapi Asih memiliki hati yang baik dan tulus.
"Jika aku menyimpan makanan di sini. Aku bisa makan kapanpun ketika perut lapar. Kebetulan kemarin makanan yang Aku simpan sudah habis, jadi aku ambil lagi di dapur," lanjutnya.
Kepalanya menunduk, kuusap pelan rambut halusnya.
"Apa Asih sakit perut setiap kali terlamabat makan?" Asih mengangguk membenarkan perkataanku.
"Itu berarti lambung Asih mengalami masalah," ujarku. Asih mengangkat kepalanya, mata bulat itu terbuka lebar.
"Apa penyakit aku parah, Mbok?" tanya Asih.
"Tidak, tapi jika Asih tidak obati nanti bisa bertambah parah," jawabku. Asih mentapku dengan raut sedihnya.
"Aku tidak mau sakit, ibu akan sedih melihatnya," ujar Asih.
"Kalau Asih tidak mau sakit, Asih harus minum obat yang mbok buat, ya."
"Tidak mau!!" Asih melipat kedua tanganya di depan dada. Dia memalingkan muka, tidak mau menatapku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Rasanya pahit, Aku tidak suka. Akukan anak manis, kalau mbok kasi obat pahit nanti kadar kemanisan aku berkurang. Nanti tidak ada yang menyukaiku lagi," sahutnya dengan percaya diri.
Aku menggeleng kepala, anak kecil ini kembali menyebalkan. Aku menyesal sempat iba padanya.
"Asih tenang saja, nanti mbok buatkan obat yang tidak pahit. Asih percayakan pada mbok?" Aku merayunya dengan senyum merekah.
"Mbok janji," kata Asih seraya mengacungkan jari kelingkingnya. Aku mengaitkan kedua kelingking kami, sebagai tanda perjanjian.
"Asih harus berjanji minum obat dengan rajin, ya!" Asih mengangguk patuh.
Asih memilah buah-buahan yang dia bawa. Aku membantunya membawa buah itu ke sudut ruangan. Di sana ada sebuah kotak kayu berukuran dua jengkal.
Diambilnya kotak berbentuk kubus yang ada di belakang rak buku. Asih berjongkok di depan kotak itu, aku mengikutinya.
Dengan cekatan Asih memasukkan buah-buahan yang ia bawa. Ditatanya dengan rapi buah itu sampai kotaknya penuh. Aku membantu Asih meletakkan kotak itu kembali ke tempatnya.
"Selesai," celetuk Asih dengan riang. Kami kembali ke meja tempat Asih meletakkan kue. Asih membagi kue klepon itu padaku. Derap langkah kaki terdengar mendekat, kami saling berpandangan.
Asih segera menarik tanganku, kami bersembunyi di balik rak buku dan berjongkok di pojok ruangan. Terdengar suara beberapa orang memasuki ruangan setelah pintu terbuka.
Aku mengintip dari celah buku. Ternyata itu Mpu Lim dan Mpu Siwagandhu. Sepertinya mereka membicarakan hal penting.
"Bagaimana Mpu Lim, persiapan pesta ulang tahun pangeran?" tanya Mpu Siwagandhu.
"Persiapan sebentar lagi rampung, Tuan. Kami hanya perlu mempersiapkan jamuan makan saja," sahut Mpu Lim.
Pendengaranku sedikit terusik dengan suara aneh di belakangku. Aku menoleh, ternyata Asih sedang menjilati tangannya yang berlumuran gula merah bekas kue klepon yang dia makan. Aku menggeleng ketika melihat bibir Asih yang belepotan. Aku kembali mencuri dengar percakapan Mpu Lim.
"Saat pesta itu berlangsung, pastikan keamanan istana diperketat. Banyak putri bangsawan yang akan hadir, kita berikan kesempatan pada pangeran untuk memilih," ujar Mpu Siwagandhu.
Dadaku seperti diremas saat mendengarnya. Jadi pangeran akan segera menemukan pendampingnya? Kenapa aku merasa sedih?
Aku tidak sadar jika Mpu Lim dan Mpu Siwagandhu telah pergi. Sampai suara aneh menyadarkanku dari pikiranku.
Preeeeeeett
Bau busuk merasuk ke dalam hidungku. Dengan segera kusubat kedua hidungku dengan kapas yang kubawa. Aku mendelik saat Asih kentut.
"Maaf ya, Mbok, aku kekenyangan," ujarnya tersenyum polos. Kukibaskan tanganku mengusir bau kentut Asih.
"Mbok, sudah aman. Ayo kita pergi," ujarnya lagi.
Aku mengiyakan ajakan Asih. Kami keluar dari perpustakaan. Kulepas kapas yang ada di hidungku untuk menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Ujaran Mpu Siwagandhu dan Mpu Lim kembali terngiang di kepalaku, perasaanku semakin kacau.
"Mbok kenapa?" Asih menatapku heran. Kami sedang berjalan-jalan mengelilingi taman. Aku semakin sedih ketika melihat kursi kayu yang berada di ujung sana. Tempat kami menghabiskan waktu sampai sore.
"Mbok sakit?" Aku menggeleng lemas. Asih menarik tanganku. Aku hanya mengekorinya tanpa perlawanan. Sekarang kami berada di belakang istana, tembok batu menjulang tinggi di depan kami.
"Kita mau ke mana, Asih?" tanyaku saat Asih berjalan ke arah tembok itu.
Asih tidak menjawab pertanyaanku, dengan tangkas gadis itu mulai memanjat tembok yang menjulang tinggi..
"Ayo, Mbok. Cepat naik!" teriak Asih dari atas. Aku panjat tembok itu dengan hati-hati. Kakiku bertumpu pada batu yang menonjol. Aku berhasil duduk di samping Asih.
"Lihat di sana!" Aku menoleh ke arah yang ditunjuk
Asih. Pemandangan istana terlihat begitu indah. Hamparan bunga di taman istana terlihat menakjubkan. Cukup lama kami menikmati keindahan istana dari atas tembok. Udaranya begitu sejuk,kaki kami terayun-ayun dengan nyaman.
"Sudah sore, ayo kita turun, Mbok," kata Asih.
Asih menuruni tembok dengan lincah. Aku mengikuti jejak Asih. Aku bernapas lega ketika kakiku menyentuh tanah.
"Eehhmm."
Suara bariton terdengar dari belakang kami. Aku berbalik, pangeran berada beberapa langkah dari tempat kami berdiri.
"Pangeran, Anda sudah kembali?" sapaku.
"Kalian sedang apa di sini?" tanya pangeran penuh selidik.
"Kami hanya mencari udara segar," ujarku dengan senyum manis.
"Benarkah? Oh ya... aku dengar kepala pelayan kehilangan makanan lagi, apa benar Sang Wei?" tanya pangeran.
"Itu—"
"Aku sudah mengerahkan prajurit untuk menyelidikinya. Aku akan menghukum pencurinya," lanjut pangeran.
"Saya mau mengatakan sesuatu pangeran," ucap Asih. Aku menatap Asih khawatir. Apa bocah ini akan mengakui kesalahannya.
"Katakan Asih apa yang ingin kau katakan."
"Sebenarnya saya... saya...saya sakit perut, HUUAAAA SAYA TIDAK TAHAN," teriak Asih berlariterbirit-birit ibugangi perut dan pantatnya.
Pangeran terbahak, untuk pertama kalinya aku melihat pangeran tertawa lepas.
"Sang Wei, mau menemaniku membaca?" tanya pangeran. Aku mengangguk sebagai jawaban. Pangeran sibuk dengan buku bacaannya saat kami sampai di perputakaan istana. Sesekali aku melirik ke arah pangeran, ingin rasanya kukatakan yang sebenarnya pada pangeran. Tapi lidahku kelu untuk mengeluarkan suara.
"Kau ingin menanyakan sesuatu, Sang Wei?" ujar pangeran. Pangeran menatapku yang berdiri di depan tumpukan buku. Aku mendekati pangeran.
"Sebenarnya yang mencuri itu...."
"Asih,’kan?" ujar pangeran. Aku terkejut jika pangeran tahu Asihlah yang mencuri buah di dapur istana.
"Bagaimana pangeran tahu?" tanyaku penasaran.
"Aku sudah mengetahui dari dulu, tapi aku diamkan saja. Aku yakin Asih memiliki alasan kuat melakukan itu." ujar pangeran. "Aku ingin Asih berkata jujur."
"Bagaimana jika prajurit menemukan bukti Asih yang mencuri? Saya tidak ingin Asih dihukum," kataku.
"Hahahaha, aku tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku tidak akan menghukum bocah tengil itu. Prajurit katamu? Aku bahkan tidak mengizinkan prajurit melakukan penyelidikan," ucap pangeran.
Aku lega mendengar penjelasan pangeran, beruntunglah nasib bocah nakal itu.
"Sang Wie—"
Pangeran berjalan mendekatiku. Aku berjalan mundur mencoba menghindar, tapi pangeran terus melangkah mengikis jarak di antara kami. Sampai badanku menabrak rak buku yang berada di belakangku. Pangeran terus mendekat dan....
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top