Chapter 6

Malam telah larut saat aku sampai di istana. Disinlah aku sekarang, di sebuah kamar yang menjadi tempatku melepas penat. Lampu sentir masih setia menerangi sudut gelap ruangan. 

Mataku terpejam saat kurebahkan diri di atas dipan. Perjalanan yang cukup jauh dan menguras tenaga. Kupejamkan mataku untuk menyambut kembang tidur.

***

Matahari memancarkan sinarnya saat aku selesai mematut diri di depan cermin. Wajahku terlihat lebih segar setelah tidur nyenyak semalam. Lingkaran hitam di mataku sudah menghilang.

Rambut panjang sepinggang kujalin rapi. Kuperbaiki lagi penampilanku agar sempurna. Suara deritan pintu mengalihkan perhatianku. Seorang gadis berusia 12 tahun menyembulkan kepala dari balik pintu. Dia tersenyum melihatku, ditutupnya pintu kayu itu dengan pelan, kemudian mendekat.

"Asih... ketuk pintu dulu sebelum masuk!" kataku.

Gadis yang bernama Sumariasih itu hanya tersenyum , ia berjalan ke arah ranjang. Tubuh kecil itu terlentang di atas dipan.

 "Mbok sering melamun sih. Aku sudah ketuk pintu―” Asih terdiam sejenak. “―kemarin" lirihnya.

Aku menggeleng. Mungkin gadis berambut pendek itu menyangka aku tidak mendengar kata terakhirnya. Asih satu-satunya temanku di istana.

Gadis bermata bulat itu adalah anak dari seorang pelayan dapur. Dia anak yang periang membuatku terhibur dengan tingkah polosnya.

"Apa mbok sudah selesai?" Asih duduk di atas ranjangku dengan kaki bersila. Aku menoleh. Kuanggukkan kepala, dan menghampirinya.

"Apa aku sudah cantik? Bagaimana penampilanku?" tanyaku pada Asih. Kuputar badanku berkali-kali di hadapannya. 

"Mbok selalu cantik, tapi sekarang lebih cantik dengan pipi merona merah," balasnya menunjuk pipiku.

Kutangkup kedua pipiku dengan tangan. Pipi merona merah? Kulihat di cermin besar yang berada di sisi kiriku ternyata... dia berbohong. Lihatlah dia terbahak di atas dipan, bertambah satu lagi fakta yang kuketahui tentang Asih. Ternyata dia suka berkelakar. Kami baru berkenalan kemarin malam, tapi dalam waktu singkat kami sudah akrab. Tingkah lakunya lucu dan terkadang menyebalkan untuk anak seusianya. Satu kebiasaan buruk Asih yang baru aku ketahui yaitu suka—

BRUUUUUTTT

―kentut sembarangan. 

"Ahh lega rasanya," ujarnya usai melepaskan gas beracun.

Kututup hidung kecilku, udara di sekitarku tercemar. Aku hanya mengernyit saat dia menatapku.

"Maaf ya,Mbok. Aku kelepasan, gasnya susah ditahan." Cengirnya dengan wajah tanpa dosa. 

"Tidak apa, berarti kamu sehat," ujarku seraya mengibaskan tangan menghalau bau terkutuk itu.

"Kalau tidak aku keluarkan, perutku akan sakit," ucapnya dengan tangan mengusap perut. Aku mengangguk. Kubelai rambut pendek sebahunya sebelum kami beranjak menuju ruang pangeran.

"Tidak apa, tapi kau juga harus minta izin. Belum tentu orang di dekatmu bisa mengerti," nasihatku.

Burung-burung berkicau riang, terbang berhamburan ke udara ketika kami melintasi halaman istana.

"Tenang saja. Mbok adalah orang pertama yang mencium bau kentutku. Aku tidak pernah kentut sembarangan, selain bersama, mbok," terangnya dengan senyum polos.

Aku hanya melonggo mendengar kejujurannya. Jadi aku orang pertama yang 'dikentuti?' Dosa apa aku pagi-pagi menghirup bau busuk itu. Ternyata menjadi yang pertama tidak selamanya menyenangkan.

"Jangan makan makanan yang mengandung gas, biar Asih tidak sering kentut," nasihatku lagi. Asih mengangguk dengan semangat. Senyum polos terukir di wajahnya yang manis.

"Kemarin Asih hanya makan daging kodok dengan sayur kol," ujarnya dengan mata berbinar.

Aku hanya mengangguk mendengar pernyataannya, meski ada rasa jijik saat membayangkan daging kodok. Tidak ada yang memulai pembicaraan lagi, sesekali kudengar bibir mungilnya bersenandung. Meskipun suara Asih sumbang aku tetap menikmatinya. Anggap saja mendengar suara bebek dan ayam yang bertengkar di pasar. 

Tanpa sadar kami sudah tiba di depan ruangan pangeran. Aku melirik Asih yang berada di sampingku. Asih tersenyum manis menyemangatiku. Aku masuk ke kamar pangeran setelah Asih pergi.

Kucium pakaianku sekali lagi memastikan bau kentut Asih tidak melekat. Aku mendesah lega, pakaianku tetap harum. Kuedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan. Di atas tempat tidur pangeran masih  terbuai alam mimpi. 

Suara serak terdengar oleh telingaku, pangeran mengeliat merubah posisi tidurnya. Inilah saat yang tepat untuk membangunkan pangeran. 

"Selamat pagi, Pangeran. Apa tidur Anda nyenyak semalam?" ujarku basa-basi. Pangeran membuka mata, kemudian ibugang kepalanya. Perlahan tubuh jangkung itu duduk di tempat tidur .

Aku mendekat ke sebuah meja. Aku tuang cairan bening dari caratan ke dalam cawan . Kuberikan pada pangeran. Dia menerimanya dan meneguk habis cairan tawar itu. Kuambil kembali cawan itu setelah isinya tandas.

"Nama saya Sang Wei. Untuk sementara saya akan merawat pengeran selama tabib kepala belum kembali," ujarku memperkenalkan diri. Aku menunduk saat pangeran menatapku.

Sesekali aku menilik ke arah pangeran, dia menatapku dengan wajah pucatnya, sesekali ia ibujamkan mata.

 "Apa pangeran iburlukan sesuatu?" tanyaku.

"Kepalaku masih pusing," ujarnya seraya memijit kepala.

"Sebentar saya akan buatkan loloh," sahutku dengan khawatir. Kubantu pangeran berbaring kembali. Aku tersenyum ketika pandanganku tertuju pada kalung jade  yag melingkar di tangannya.

Aku percaya kalung itu akan membantu pemulihan pangeran. Aku pergi setelah pangeran kembali berbaring. 

Kulangkahkan kaki ke halaman istana, hamparan kuning dan ungu menghiasi taman itu. Bunga gumitir dan kembang sepatu ungu berebut memamerkan keelokannya.

Matahari hari ini tidak bersahabat panas yang menerpa kulitku sangat menyengat. Di arah utara langit hitam menghantui., sepertinya akan turun hujan. 

Kucari daun yang kubutuhkan di taman obat istana. Kupetik beberapa helai daun itu untuk loloh. Bau khas daun sembung memasuki pernapasanku.

Aku bergegas ke dapur, keadaan dapur cukup sesak dengan pekerjaan para pelayan untuk mempersiapkan makan malam nanti. Kubersihkan daun sembung yang kupetik tadi, kutambahkan air dan sejumput garam kemudian meremas daun itu sampai airnya berubah warna. Kusaring ampasnya sebelum direbus di atas tungku.

       Seorang pelayan dapur datang menghampiriku. Cukup lama kami berbincang, ternyata wanita itu adalah ibunya Asih, Bi Koncreng namanya. Dia sangat baik memberikanku kue-kue lezat sambil menunggu obat untuk pangeran siap.

Loloh yang kubuat telah mendidih. Kutuangkan cairan hijau pekat itu ke dalam cawan . Segera kubawa loloh itu untuk pangeran. Langit begitu gelap saat aku kelur dari dapur. Rintik hujan mulai turun, aku segera kembali ke ruang pangeran sebelum hujan semakin deras.

Aku menghentikan langkahku sebelum memasuki ruang pangeran. Aku merasa ada orang yang mengikuti. Kusapukan pandangan keseluruh penjuru arah. Nihil. Tidak ada orang yang mencurigakan di sekitarku. Mungkin hanya halusinasiku saja.

Suara deritan terdengar saat kubuka pintu kamar pangeran . Kututup rapat pintu itu agar hawa di dalam ruangan tetap hangat. Hujan semakin deras di luar sana, suaranya membuat keadaan bising.

"JANGAN...." Aku tersentak saat mendengar teriakan pangeran. Kuletakkan begitu saja nampan yang kubawa di atas meja. Aku menghampiri pangeran dengan cemas.

"Pangeran... Anda baik-baik saja?" tanyaku panik.

Keringat membasahi wajahnya,raut gelisah terukir begitu jelas. Kuguncang tubuh pangeran agar tersadar. Pangeran membuka matanya, kami saling menatap dalam diam. Aku tersentak saat pangeran membawaku ke dalam pelukannya. Dia mendekapku erat, tubuh dan suaranya bergetar ketakutan.

"Biarkan seperti ini, sebentar saja," ujar pangeran lirih saat aku ingin mengurai pelukannya.

Suara petir dan guntur saling bersahutan di luar sana. Kilat di langit menerangi sudut kamar yang gelap. Hanya pendaran cahaya langit menjadi satu-satunya penerangan. 

Udara dingin mulai menyusup ke dalam ruangan. Kurasakan pelukan pangeran Jayapangus semakin erat. Wajahnya terbenam di leherku. Hembusan napasnya membelai hangat kulit putihku.

Suara gemuruh di luar semakin menjadi. Aku berlindung dalam dekapan hangat itu. Hening, tidak ada suara selain guntur dan petir yang menggelegar. Suasana gelap tanpa matahari menjadi latar siang itu. Cukup lama kami dalam posisi mendekap. Sampai suara gemuruh di luar berangsur senyap.

Perlahan kulepaskan pelukan pangeran, dengkuran halus terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Kutatap wajahnya, ia terlihat lebih tenang sekarang. Udara basah tercium saat aku keluar, hujan sudah reda,dan hari sudah sore. Masih ada waktu sebelum makan malam untuk beristirahat sebentar di kamar.

Suara langkah kaki terdengar di belakangku. aku berbalik. kemudian menunduk hormat saat Mpu Siwagandhu berdiri di hadapanku. 

"Bagaimana keadaan pangeran?" tanya Mpu Siwagandhu tegas.

"Pangeran masih lemas dan membutuhkan istirahat yang cukup," jelasku. Mpu siwagandu mengangguk.

"Rawat pangeran dengan baik, setelah tabib kepala kembali tugasmu akan selesai," ucapnya kemudian berlalu dari hadapanku.

Aku tertegun mendengarnya. Setelah pangeran sembuh aku akan pergi. Rasa tidak nyaman merasuki hatiku, entah mengapa merasa enggan menerima kenyataan itu. 

Aku tidak bisa beristirahat dengan tenang, sudah kucoba pejamkan mata tapi kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Aku bangkit dari tidurku. Berjalan ke dapur istana, kulihat para pelayan masih sibuk menata makan malam. "Sang Wei, kebetulan kau datang," ujar Bi Koncreng mendekatiku. 

"Ada apa,Bi?" tanyaku

"Ini adalah makan malam untuk pangeran, kau bisa mengantarkannya nanti," sahutnya.

"Aku antarkan sekarang saja,Bi."

Kuambil nampan yang Bi Koncreng berikan. Rintik hujan kembali menemani malam saat aku memasuki kamar pangeran. Kuletakkan nampan yang kubawa kemudian menyalakan lampu sentir di setiap sudut kamar. Ruangan yang gelap perlahan menjadi terang.

"Pangeran, makan malam sudah siap," ujarku. Pangeran menggeliat dari tidurnya. Mata hitam itu terbuka perlahan, ia duduk di tepi ranjang. Kuambil nampan makanan itu dan duduk di sampingnya. Pangeran menerima suapan bubur dariku.

Tidak ada yang berbicara, suasana menjadi hening disekitar kami. Pangeran makan dengan lahap. Perutnya pasti lapar karena sejak siang tadi perutnya belum menyapa makanan sedikit pun.

Aku merasa kurang nyaman saat pangeran menatapku lekat-lekat. Kualihkan pandanga setiap kali kami bertatapan. Bubur dalam mangkuk itu sudah habis, kuberikan loloh sembung yang kubuat tadi.

Dia meminumnya dalam sekali teguk. Muncul kerutan di dahinya setelah minum loloh itu . Aku yakin rasanya pasti pahit.

"Beristirahatlah pangeran, besok saya akan iburiksa keadaan pangeran," ujarku. Kubersihkan semua peralatan makan dan meletakkannya di atas nampan.

"Baiklah, tapi bisakah kita berteman? aku tidak suka kau bersikap terlalu formal. Bukankah kita sebaya?" pintanya. Aku terdiam sejenak memikirkan perkataan pangeran.

"Aku tidak memiliki teman di sini,aku sangat senang bisa memiliki teman seumuran," ujarnya lagi. Aku mengangguk sebagai jawaban. Senyuman terukir jelas di wajah rupawannya. Pangeran kembali beristirahat.

Kupandangi langit malam yang gelap ketika keluar dari ruangan itu. Tidak ada bintang dan bulan di atas sana, benar-benar kosong. Hujan sudah reda, angin bertiup lebih dingin. Aku kembali ke kamar setelah membawa piring kotor ke dapur.

Tanpa menyalakan sentir kurebahkan tubuh lelahku di atas dipan. Mataku terpejam meski aku belum mengantuk. Semua kejadian dari pagi hingga saat ini terus terbayang dalam pikiranku. Tiba-tiba aku merindukan ayah dan ibu, begitu pula Bi Dayu. Aku merindukan mereka semua.

“Aku akan segera pulang, Ayah, Ibu.”

Note:

Mbok = Kakak perempuan

Sembung = Sembung merupakan perdu yang tumbuh tegak dengan tinggi pencapai 4 m dan berambut halus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top