Chapter 4
Malam semakin larut, aku duduk di depan kamar ditemani sinar bulan. Miliaran bintang menghiasi langit gelap. Angin bertiup kencang, membelai rambut panjangku. Kudekap erat tubuhku untuk menghalau dinginnya malam.
Kulihat seseorang dengan damar sentirnya berjalan tergopoh-gopoh dari kegelapan. Tidak sembarang orang memiliki lampu sentir. Aku yakin dia seorang pesuruh di pemerintahan desa.
"SANG WEI," pekikinya ketika melihatku. Aku mengenalnya. Pria itu seorang samgat desa, untuk apa dia bertamu malam-malam? Suara kerasnya membuat ayah dan ibu keluar dari bilik.
"Ada apa, Pak Gede? Sepertinya ada hal darurat," tanya ibu.
"Tolong warga di balai pengobatan. Mereka terkena demam dan muncul bintik merah ditubuhnya," sahutnya panik. Aku tatap ayah dan ibu agar memberi izin untuk pergi. Setelah mendapat persetujuan mereka aku segera masuk ke kamar.
Kuambil keranjang rotan berukuran sedang. Kumasukkan beberapa loloh dan rempah kedalamnya. Semoga obat yang kubawa bisa menyembuhkan warga. Balai pengobatan cukup jauh dari rumahku. Kami berlari kecil agar segera sampai.
Keadaan di balai pengobatan sangat gaduh. Orang-orang berlari kesana-kemari, membopong sanak saudara mereka yang sakit. Beberapa orang tidur dilantai sambil menuggu giliran diperiksa. Anak kecil dipangku oleh ibu mereka. Dua orang tabib yang menangani tampak kewalahan.
Kuhampiri tabib itu, mereka menghela napas lega saat mendapat bantuan. Aku hanya tersenyum kecil sebagai sapaan. Kuberikan racikan loloh yang kubawa. Aku tahu tidak akan cukup untuk semua orang, besok pagi mungki bisa kucarikan obat lain di hutan.
Kami larut dalam kesibukan sampai suara tangis seorang ibu pecah. Wanita itu harus merelakan kepergian anak gadisnya. Kukepalkan kedua tanganku. Perasaan sedih tidak boleh mengganggu konsentrasiku. Aku berusaha untuk fokus. Aku yakin malam pilu ini akan segera berakhir.
Matahari mulai naik di ufuk timur. Aku terjaga sepanjang malam. Kulebarkan mataku meski terasa berat. Kutuangkan segelas air untuk gadis kecil di depanku. Gadis itu kembali tertidur setelah menegak habis air yang kuberikan.
Kemarin malam gadis ini tidak henti menangis karena suhu tubuhnya meningkat. Tapi pagi ini panas tubuhnya sudah mulai menurun. Semoga saja dia cepat sembuh. Warga terus berdatangan.
Lima orang gadis remaja datang mendekatiku. Mereka menawarkan bantuan kepada kami, dengan senang hati kami menerima bantuan mereka.
Matahari bersinar terik, kuputuskan untuk pulang. Kucari buku pengobatan yang pernah ayah berikan saat tiba di rumah. Kubaca tiap halaman dengan teliti. Tidak ada satu buku pun yang menjelaskan tentang penyakit aneh itu.
Aku mulai putus asa, bayangan akan kematian anak gadis tadi malam membuatku cemas. Aku tidak ingin hal serupa terjadi dengan warga lainnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu jenis penyakitnya. Bagaimana bisa aku memberikan obat yang tepat? Obat dari tabib saja masih kurang. Beberapa warga belum mendapat penanganan dan obat yan memadai.
Kupijitt kepalaku, rasa pening datang menyerang. Siapa yang bisa membantuku sekarang? Badra? Ahh... iya Badra. Hanya orang itu yang bisa kuandalkan. Mungkin saja dia pernah mengobati penyakit serupa. Tidak ada salahnya aku bertanya pada Badra. Aku beranjak dari duduk dan berlari menuju hutan, hanya di sana aku bisa bertemu dengannya.
Aku berhenti tepat di batu besar yang pernah dia duduki. Aku agak cemas, apa bisa bertemu dengannya kali ini?
"BADRAAAA..." teriakku
Tidak ada jawaban. Hanya suara burung yang terdengar di kesunyian. Jangkrik pun tidak bersuara. Tidak ada yang menyahuti teriakanku. Aku menghela napas.
Bodohnya aku tidak pernah menanyakan rumahnya.Meski Badra orang yang menyebalkan, tetapi dia sering membantuku. Sekarang aku benar-benar membutuhkan bantuan lelaki itu. Bagaimana aku bisa menemukannya?
"Badra kau dimana? Aku membutuhkan bantuanmu," lirihku. Aku menengadah menghalau air mata yang siap tumpah. Ehhh... tunggu...apa aku tidak salah lihat? Di atas sana ... ada....
"Yak! turun ke bawah. Cepat!" perintahku.
"Sepertinya aku mendengar suara kerinduan."
Badra berpura-pura tidak melihatku. Dia justru asik bersandar di pohon sembari mengorek hidungnya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari Badra pun mengendusnya. 'Dasar jorok' rutukku saat melihat Badra mengupil.
"Aku tidak mau turun!" tandasnya saat aku memintanya kembali turun. Aku berbalik memunggunginya. Aku jadi kesal dengan sifat keras kepala Badra.
Tidak tahukah dia jika aku sedang kesusahan. Suara benda terjatuh terdengar tepat di belakangku diikuti erangan yang cukup nyaring. Aku tahu dia akan turun jika aku mulai merajuk.
"Aku sudah turun, kenapa tidak bicara?" ujarnya dengan merintih. Aku berbalik. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat wajah kesakitannya. Namun Aku berusaha menahannya. Kupukul badanyan membabi buta, dia hanya mengerang sesekali menghalau pukulanku. Badra berhasil menangkap kedua tanganku. Kami terdiam mengatur napas yang kembang kempis.
" Jadi kau ingin aku turun hanya untuk memukulku?" ujar Badra.
"Siapa suruh kau membuatku kesal," kataku tidak kalah sengit. Badra melepas tanganku—dia berkacak pinggang. Badra menatapku intens. Aku merasa risih ditatapnya.
"Kau harus minta maaf padaku, pertama teriakanmu membuat binatang burunanku kabur. Kedua kau telah memukulku tanpa sebab, dan ketiga acara mengupilku terganggu," kata Badra. Aku memandangnya dengan rasa bersalah. Aku hanya menunduk.
"Aku minta maaf," ujarku lembut. Dia tersenyum kemudian duduk di bawah pohon kelapa dengan santai.
"Ada apa kau mencariku?" ujar Badra. Aku duduk di depannya.
Kuceritakan semuanya pada Badra, tentang penyakit yang menyerang warga sampai seorang gadis meninggal kemarin malam. Badra mendengarkan dengan anteng. Dia hanya mengangguk setelah aku selesai berbicara.
"Jadi apa hubungannya denganku?" tanyanya heran.
"Mungkin saja kau tahu obatnya?" Kutatap dirinya dengan mata berbinar.
"Hahahaha... sepertinya kau salah orang. Aku bukan tabib, lebih baik kau tanyakan pada ahlinya," ujar Badra. "Bukankah sudah ada tabib yang menangani?" Badra bersandar di batang pohon kelapa, matanya perlahan tertutup.
"Jangan tidur! Aku tahu kau bisa membantuku!" Kuguncang tangannya agar dia tetap terjaga.
"Jangan ganggu aku! Aku mau tidur." Badra kembali menutup matanya, satu tangannya berada di atas kening untuk menghalau sinar matahari. Aku tidak menyerah, begitu saja.
"Apa kau tega melihat mereka merenggang nyawa?" tanyaku. "Setidaknya aku mendapatkan obat untuk mencegah penyebaran virusnya. Ayolah...." rengekku.
Badra perlahan membuka mata. Dia bangkit dari tempat duduknya.
"Ikut denganku," titahnya. Aku hanya mengekori Badra dari belakang. Kita memasuki hutan lebih dalam. Badra menghentikan jalannya di depan pohon gedang. Aku perhatikan Badra mengikat tali pada batang pohon itu.
"Bantu aku menariknya, Sang Wei!!"
Aku hanya menurut. Kami menariknya bersama hingga pohon itu roboh.
"Untuk apa pohon ini?" tanyaku penasaran.
"Kita bisa menggunakan perasan daunnya untuk obat," jawab Badra. "Dulu nenek pernah demam tinggi, karena dia suka gedang, aku buatkan saja loloh daun gedang. Tidak ada salahnya kita mencoba untuk warga," imbuhnya. Aku mengangguk patuh.
Kami kemudian mengumpulkan daun gedang dalam jumlah banyak. Hari itu Badra membantuku membuat obat untuk warga. Dia juga membantuku di balai pengobatan. Dengan cekatan kami bagikan ramuan itu untuk orang yang sakit. Aku menghela napas lega saat semua orang mendapatkan pengobatan. Aku harap semua akan baik-baik saja.
Selama dua hari ini Badra membantuku di balai pengobatan. Situasi mulai membaik setelah warga minum loloh itu. Sebagian dari mereka sudah berangsur pulih. Aku bersyukur tidak ada lagi orang yang meninggal.
Kulihat Badra terlelap di bawah pohon rindang. Aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa tidur nyenyak disembarang tempat. Dasar 'orang hutan' desisiku.
Aku menghentikan pekerjaan saat seorang memanggil. Pria paruh baya yang kutahui seorang bendesa datang menghampiriku.
"Ada apa Anda memanggil saya?" tanyaku.
"Penasihat kerajaan ingin bertemu denganmu."
"Untuk apa beliau mencariku?" tanyaku lagi.
Pria itu menjelaskan semuanya padaku. Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Semua seperti mimpi. Kulihat dari kejauhan, pria tua berjenggot datang menghampiriku. Aku tidak mengenalnya. Aku rasa dialah orang yang dimaksud.
"Pangeran sedang sakit, anggota tabib sudah mencoba menyembuhkan pangeran tapi belum ada hasil. Tabib kepala sedang pergi," ujarnya setelah menyapaku.
"Bagaimana dengan warga desa? Aku tidak mungkin meninggalkan mereka,Tuan," ujarku lirih.
"Jangan khawatir, aku akan merawat mereka. Pergilah!" Aku berbalik. Badra tepat berada di belakangku.
Pemuda itu tersenyum kepadaku. Apa sejak tadi dia mendengarkan pembicaraan kami? Aku merasa bersalah padanya. Perasaanku tidak menentu. Satu sisi aku ingin pergi ke istana tapi di sisi lain aku tidak boleh egois, warga desa masih membutuhkan tenagaku.
"Tapi...."
"Pangeran membutuhkanmu Sang Wei. Menyelamatkan pangeran sama dengan menyelamatkan seluruh rakyat Panarajon," ujar Badra. "Pergilah! Percaya padaku, aku berjanji akan membantu warga sampai sembuh."
Aku mengangguk patuh. Kutatap matanya sejanak. Sedikit pun tidak ada keraguan.
"Baiklah, saya bersedia," ujarku pada penasihat kerajaan. Pria itu tersenyum dan mengangguk
"Panggil saja aku Mpu Lim. Kita akan pergi, di depan sana sudah kusiapkan gedebeg. Kau bisa menggunakannya," ujar Mpu Lim
Kupandangi semua orang yang ada di balai pengobatan, sampai pandanganku bertemu lagi dengan Badra. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya. Apa dia akan sedih jika aku pergi?
"Apa kau mau menjadi temanku? Kita belum sah menjadi teman," ujarku mengulurkan tangan.
"Aku tidak mau berteman dengan gadis bodoh sepertimu," ujar Badra. "Aku akan menjadi temanmu, jika kau kembali dalam keadaan baik-baik saja. Pergilah! Wujudkan keinginanmu."
Kupeluk tubuh jangkung itu dengan erat. Aku menangis dalam diam. Aku sudah menganggapnya sebagai kakak yang selalu melindungiku. Berpisah dengannya tidak pernah terlintas dalam pikiranku.
"Aku pergi." Kulepaskan pelukan kami dan berjalan kearah gedebeg yang disiapkan.
Pandanganku tidak lepas dari Badra, sampai gedebeg yang kunaiki berbelok menuju istana. Aku tidak akan mengecewakannya. Aku harus berhasil menyembuhkan pangeran. Tekadku.
Gedebeg yang kunaiki memasuki halaman istana. Mpu Lim dan prajuritnya berada di depan menunggangi kuda. Aku terkagum melihat patung dan ukiran dinding yang begitu indah. Gedebeg yang kunaiki akhirnya berhenti. Ini terasa seperti mimpi, aku tidak pernah menduga jika keinginanku segera terwujud.
Seorang gadis kecil menghampiriku dengan tergesa. Dia menunduk saat berada dihadapanku.
"Mari ikut saya,Nona," ujarnya dengan suara cempreng.
Aku mengikuti gadis itu tanpa banyak bicara. Aku takjub dengan kemewahan istana ini. Khayalanku buyar saat gadis itu membuka pintu besar di depan kami. Aku mengikutinya masuk ke ruangan itu. Ada sekitar lima orang berdiri di depanku. Mereka menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Siapa gadis ini,Mpu Lim," ujar seorang pria yang berjarak beberapa langkah di depanku.
"Dialah orang yang sering dibicarakan itu, Tuanku. Dia yang akan mengobati pangeran," ujar Mpu Lim.
"Seorang wanita?" tanyanya heran dengan kening mengkerut. "Nona...apa Anda yakin ingin menyembuhkan pangeran? Kau tahu apa akibatnya jika kau gagal?" ucap pria itu.
"Aku akan berusaha semampuku. Berikan aku kesempatan, Tuan."
Aku merasa gugup sekarang. Aku tidak menduga akan mengalami situasi yang menegangkan seperti ini.
"Baik... kami berikan waktu selama tiga hari. Jika pangeran belum sadarkan diri, kau harus menerima hukumannya." Pria itu keluar dari ruangan disusul oleh kedua pengawalnya.
"Kau bisa melihat keadaan pangeran," titah Mpu Lim menunjukkan seorang yang berbaring di atas ranjang. Mpu Lim dan pengawalnya keluar, tinggal aku sendiri yang berada di ruangan itu.
Aku mendekati ranjang tempat pangeran berbaring. Mataku terbelalak saat melihatnya. Kuucek mataku beberapa kali, mungkin saja aku salah lihat. Dia adalah pria yang selama ini kucari. Yang menyelamatkanku di pasar beberapa waktu lalu. Jadi dia adalah seorang... PANGERAN??
Gedang = Papaya
Bendesa = Orang yang mengurus desa di bidang keagamaan
Gedebeg = alat transportasi yang terbuat dari kayu yang berbentuk rumah dan ditarik oleh kerbau atau kuda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top