Chapter 14
Roda gedebeg menggelinding di atas jalan berbatu. Suara ladam kuda menggema di kesunyian malam. Angin bertiup semakin kencang, ketika gedebeg melaju. Beruntung jalanan yang kami lewati datar dan lebar. Tidak sesempit jalan di hutan.
"Berhenti di depan saja," ujarku. Badra mengurangi laju gedebeg. Kulihat bagunan megah di atas puncak Penulisan sudah nampak. Aku turun setelah gedebeg itu berhenti terguncang.
"Kau yakin akan turun di sini?" tanya Badra, seraya berjalan memutari kuda.
"Iya, aku tidak mau suara tapal kuda mengusik para penjaga," jelasku.
"Baiklah. Hati-hati jaga kesehatanmu, jika terjadi sesuatu kau bisa pergi ke Desa Jong Les. Aku tinggal di sana," ujar Badra.
"Terima kasih," ucapku.
Aku berlari ke arah bangunan megah itu. Suara kuda bisa kudengar dari belakang. Aku menoleh, gedebeg itu sudah menghilang membawa Badra pergi. Para penjaga gerbang kembali kulewati, kuhentikan lariku saat mendekati para penjaga dan berjaga seperti biasa. Mereka menatapku dengan obor di tangan.
"Nona, Anda dari mana saja?" Seorang prajurit berbadan tinggi menghampiriku, tergesa.
"Aku pergi ke desa, aku baru kembali," sahutku. Mereka hanya menggeleng.Beruntunglah mereka mengizinkan aku masuk tanpa harus melapor pada senapati.
Aku berlari melewati taman istana. Kuatur napas sejenak untuk menormalkan detak jantung. Para pelayan dan penjaga hilir mudik menjalankan tugas mereka. Aku berjalan pelan menuju kamarku, berjalank seperti biasa, seakan tidak pernah keluar istana.
Kubuka pintu kamar yang beberapa hari sudah kutempati. Gelap. Tentu saja karena yang empunya baru kembali. Kuhidupkan damar sentir sebagai penerangan. Cahaya menerangi ruang gelap itu. Suara langkah kaki terdengar di ruang sunyi ini. Aku berbalik. Sosok pria datang mendekat dari sudut gelap.
"Siapa kau?" tanyaku.
"Apa berjalan-jalan seharian membuatmu lupa denganku?" Suara berat itu terdengar di kegelapan. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya.
"Pangeran, apa yang sedang Anda lakukan di kamar saya?"
Langsung saja kututup bibir rapat-rapat. Mungkin kurang sopan jika aku bertanya hal itu. Siapa yang berani membatasi keinginan calon raja? Kehendak raja adalah keinginan dewa, yang tak terbantahkan. Pangeran berjalan mendekat, aku bisa tahu dari suara langkah kakinya. Pria berbadan tinggi itu menatapku tajam dengan mata elangnya.
"Kau, dari mana?" tanya pangeran dengan memicingkan matanya.
"Saya hanya jalan-jalan sebentar di luar, Pangeran," ujarku dengan kedua tangan yang saling meremas, kebiasaanku saat berbohong.
"Dengan siapa?"
"Sendiri, " cicitku.
Pangeran mengusap wajahnya kasar, aku bisa membaca raut kecewa di wajah rupawan itu, meski hanya di terangi sinar sentir yang tak mampu menerangi setiap sudut ruangan.
Aku menunduk tidak pantas rasanya aku membela diri. Melawan calon penguasa sama saja dengan hukuman mati. Pangeran mendekat, langkahnya sangat pelan, sampai aku tidak menyadari lelaki itu berada tepat di depanku. Sangat dekat.
"Aku sudah mengingat semuanya," bisiknya di telingaku. "Mengingat semua kejadian semalam."
Aku menggit bibir bawahku. Tidak pantas lagi aku menunjukkan wajah di hadapan pangeran. Aku semakin menunduk layaknya padi yang menguning, tapi bedanya wajahku memanas, mungkin sudah merona merah. Pangeran memegang daguku membuat mata kami bertemu.
"Aku tidak perduli jika dirimu pengikut Budha. Aku tidak perduli jika dirimu bukan orang berkasta. Perasaanku tidak berubah sejak awal, Sang Wei," ucap pangeran. "Tetap untuk dirimu."
Kristal bening menganak sungai di wajahku. Aku tidak pernah bermimpi dicintai setulus ini. Aku berusaha menghindar dari pandangan pangeran. Kata-kataku terganjal di hulu hati, membuatnya sesak. Sangat sesak. Mungkinkah aku mendapatkan serangan jantung? Itu pemikiran konyol.
"Sang Wei," ujar pangeran lembut, nyaris seperti bisikan semut.
Aku menoleh.
Cuuupp
Aku terdian mematung. Dinding pertahanan yang kubangun roboh begitu saja, hancur berkeping-keping. Kupejamkan mata merasakan ciuman itu. Cukup lama pangeran mencium jidat lebarku, sampai aku merasa tenang. Sakit di dada yang kurasakan mengikis perlahan. Begitu lembutnya pangeran mengusap air mataku. Dipeluknya tubuh mungilku dengan hangat, aku membalasnya.
"Saya juga mencintai, Anda," bisikku.
"Apa?" Pangeran mengurai pelukan kami.
"Bukan, apa-apa. Lupakan saja pangeran," kuremas kembali kedua tanganku. Jantungku berdenyut tidak normal, mungkin detak jantungku bisa didengar pangeran.
"Jangan berbohong, aku sudah hafal dengan tingkah lakumu saat berbohong."
Aku semakin gugup ketika pangeran memegang kedua pundakku.
"Kau tidak mau mengatakannya?" Pangeran memicingkan matanya.
"Itu aku...."
"Katakan atau aku gelitik," ancamnya.
Aku memalingkan wajah, mungkin saat ini wajahku sudah merah.Ini bukan musim panas, kenapa rasanya begitu gerah?
"Ayo, katakan!" Pangeran menatapku lebih serius. Kuatur nafasku seblum bicara.
"Saya, juga mencintai, Anda," bisikku.
"Aku tidak mendengarnya," ujatnya seraya mendekati telinganya kearahku.
"Saya mencintai, Anda," ujarku lebih keras.
Senyum merekah di wajahnya, kupalingkan wajahku ke arah lain. Sebuah bayangan terpantul dari di dinding. Cahaya bulan purnama membuat bayangan itu nampak sempurna.Tidak salah lagi kalau ada seseorang yang menguping pembicaraan kami. Kenapa perasaanku tiba-tiba memburuk?
Pangeran meloncat-loncat ke setiap sudut ruangan. Tak peduli beberapa kali terdengar suara barang jatuh dan pecah. Diciumnya berkali-kali patung bojog (monyet) yang terpahat di setiap pilar kamarku.
"Jangan cemburu dengan patung ini, Sang Wei. Aku tahu kamu belum siap," ujarnya dengan senyum lima jari.
Kubiarkan pangeran melakukan ritual unik itu. Aku hanya memandanginya ambil duduk di tepi ranjang.
***
Kuusap rambut pangeran dengan lembut, sejak pengakuan memalukan beberapa saat lalu sedikit merubah sifat pangeran. Dia terlihat lebih manja, dan tidak mau berjauhan walau sedetik pun dariku.
Ketika kami berjalan menuju kamarnya, pangeran tidak melepaskan genggaman pada tanganku, dan sekarang, pangeran tidur dipangkuanku serta memeluk perutku erat.
"Pangeran, bagaimana jika hubungan kita ditentang?" ujarku pelan.
Aku tahu menanyakan hal sensitif seperti itu akan memperburuk keadaan. Tapi aku tidak bisa menahan pertanyaan itu lebih lama lagi.
"Kau akan pergi?" Pangeran menatapku lekat.
"Jangan lakukan itu," ujarnya.
"Jika seandainya, rakyat menentang. Bagaimana?"
Pangeran bangkit dari duduknya. Pria yang berusia 40 oton (20 tahun) itu menatapku.
"Jangan mengatakan hal seburuk itu. Jikalau banyak pihak yang menentangku, aku akan memperjuangkanmu. Aku yakin rakyat akan mengizinkannya. Jangan memikirkan hal yang tidak perlu, Sang Wei,” jawabnya.
"Tetap bersamaku. Tetap di sisiku, kita akan berjuang bersama." lanjutnya.
Aku terdiam, rasanya mustahil jika itu terjadi. Apa kita akan bersama, seperti yang kita harapkan?
"Dengar Sang Wei, aku berjanji akan menikahi seorang wanita yang kucintai, aku tidak perduli jika dia pengikut Siwa atau Budha. Jangan risaukan hal seperti itu."
Kubalas ujaran itu dengam senyuman. Meski aku bahagia, tapi jujur ada rasa takut yang lebih besar di relung hati. Aku takut mengecewakan pangeran. Pangeran menatapku lekat dan tajam. Ruangan ini lebih terang dari kamarku, bisaku lihat wajah pangeran merona. Walau tersamarkan dengan kulit kecoklatannya. Pengeran semakin mendekat, membuat aku harus bersandar di kepala ranjang.
"Sang Wei... bolehkah, aku—"
"Pangeran... aku" ujarku memotong pembicaraannya. Udara semakin panas menyelimuti kami.
"Sssttt... jangan katakan apapun!" titah pangeran. Jari telunjuknya mengangkat daguku. Kami berpandangan sejenak.
"Sang Wei... apa boleh?" ujar pangeran gugup. Suara seraknya semakin berat, jakunnya yang mulai nampak bergerak naik-turun.
Aku menelan ludah. Semilir angin berhembus memasuki ruangan, seakan menggoda untuk saling menghangatkan tubuh masing-masing. Aku menatap mata pangeran, tidak ada keraguan seupil pun. Bahkan matanya menyiratkan kobaran api yang membara.
Pangeran semakin mendekat, mengikis jarak yang ada.
"Sang Wei...," ujarnya parau.
"Pangeran...," bisikku tepat di depannya.
"Bolehkah aku...."
TBC
1 Otonan = 6 bulan kalender
Komentar/kritik/saran kalian sangat membantu saya untuk menyempurnakan cerita ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top