Chapter 10
"Sebenarnya saya...."
"Sang Wei aku juga ingin mengatakan sesuatu," ujar pangeran memotong perkataanku.
"Bolehkah saya terlebih dahulu mengutarakannya? Saya tidak bisa menahannya lagi," ujarku.
"Aku yang akan mengatakannya terlebih dahulu," sahut pangeran tidak mau kalah.
"Pangeran, sepertinya beban saya lebih berat. Saya tidak kuat lagi." Keringat dingin tiba-tiba mengucur dari dahiku. Ini sungguh menyiksa.
"Baiklah, katakan apa itu?"
"Sebenarnya, tangan kiri saya sakit terjepit sedari tadi," ringisku.
Pangeran segera menggeser duduknya, aku segera menarik tanganku. Kukibaskan tanganku menghilangkan rasa sakitnya.
"Maaf, aku tidak sengaja," ujar pangeran. Ditariknya tanganku. Diusapnya pelan.
"Tidak apa, lagi pula sakitnya sudah hilang," ujarku seraya menarik tangan. "Apa yang ingin pangeran katakan tadi?"
"Ohh... itu aku hanya ingin memberikan ini padamu." Pangeran mengeluarkan sebuah gelang hitam polos.
"Ini hadiah lomba tadi. Aku harap kau suka."
Aku menerima gelang itu sangat cantik.
"Saya menyukainya, ini sangat indah," ujarku. Aku tidak bisa menutupi rasa senangku.
"Syukurlah jika kau suka." Tidak ada yang berbicara, suasana seketika menjadi hening. Hujan semakin deras, hawa semakin dingin membuat aku mengantuk.
"Sang Wei," ujar pangeran lembut.
Aku menoleh, menatap pangeran penuh tanya.
"Maukah kau bersamaku selamanya? Aku sudah tertarik saat melihatmu pertama kali. Orang yang selalu ibunuhi pikiranku setiap saat. Sang Wei, jadilah wanitaku," ucap pangeran.
Aku merasa sangat bahagia mendengarnya, cintaku terbalaskan.
"Maafkan saya pangeran, kita masih terlalu muda untuk hal itu. Aku tidak bisa menjawabnya," balasku.
Aku menunduk, hati dan pikiranku seperti bertolak belakang. Aku ingin bersamanya tapi aku tahu itu mustahil, masih banyak hal yang harus aku kejar demi mimpiku. Aku tidak ingin perasaan ikut campur di dalamnya.
"Hahahaha iya jangan terlalu serius. Aku tahu kita masih muda, banyak hal yang harus dipikirkan dengan matang. Kau akan menjadi gadis teristimewa dalam hidupku," ujar pangeran.
Aku lega mendengarnya. Aku pikir sekarang bukan saat yang tepat mengutarakan isi hatiku. Aku akan menunggu waktu yang pas.
Hujan sudah reda, kami memutuskan kembali ke istana dan batal menginap. Beruntung tidak ada yang melihat kami saat menyusup dari pintu belakang istana.
"Apa yang kalian lakukan malam-malam di sini?" Aku memberi isyarat agar Asih diam. Asih mendekati kami, gadis kecil itu terheran-heran.
"Asih jangan bicara keras-keras, nanti ada yang mendengar," ujarku.
Pangeran berjongkok di depan Asih.
"Kamu mau membantu kami memasuk ke dalam istana tanpa diketahui pengawal?" Asih mengangguk menyanggupi permintaan pangeran.
"Tenang saja aku akan membantu Pangeran," kata Asih dengan nyaring.
"Siapa di sana?"
Kami bersembunyi di balik tumbuhan liar yang tumbuh tinggi saat seorang penjaga berjalan mendekat. Lampu sentir yang kubawa segera kumatikan. Keadaan benar-benar gelap, penjaga itu semakin mendekat ke arah kami.
"Meeeoonngg," ujar Asih meniru suara kucing. Asih berusaha mengelabui penjaga, tapi orang itu terus berjalan mendekat ke tempat kami bersembunyi.
Aku rasa meniru suara hewan bukan ide yang baik, cepat atau lambat penjaga itu akan tahu persembunyian kami.
"Meeoongg, aku kucing, meeoong," ujar Asih polos.
Aku dan pangeran saling pandang, mungkin sekarang waktunya kami akan tertangkap. Harusnya aku sudah menduga Asih tidak akan membantu banyak.
"Ohh kucing? Aku kira apa," ujar penjaga itu kemudian pergi melanjutkan berkeliling menjaga keamanan.
Aku melongo sekaligus lega, saat penjaga itu pergi.
"Sepertinya aku perlu memberikan pelatihan tentang suara hewan," celetuk pangeran.
Kami mengendap-endap ke dalam istana. Para penjaga berkeliaran kesana kemari, penjagaan hari ini lebih ketat dari kemarin. Apa ada hubungannya dengan diadakan pesta?
Kami berpisah menuju kamar masing-masing. Aku dan Asih jalan bersama karena kamar kami searah. Aku membuka pintu kamarku, Asih masih mengikutiku di belakang.
"Terima kasih, Asih," ujarku. Asih tidak menjawab, tangannya menengadah seperti minta upah.
"Aku tidak punya uang, Asih," ujarku.
"Aku minta itu." Asih menunjuk gelang yang pangeran berikan padaku.
"Ini gelang berharga, jangan yang ini." Asih menggeleng.
"Aku meminjamnya sebentar saja, besok aku kembalikan," ujarnya.
Dengan setengah hati aku lepaskan gelang itu, kuberikan pada Asih.
"Jangan dihilangkan, itu sangat berharga."
Aku cemberut, tidak rela gelang itu dimiliki orang lain. Asih ibuluk gelang itu dengan senang. Matanya berbinar seakan mendapat tumpukan uang.
"Aku pergi dulu, Mbok. Sampai bertemu besok." Asih berlari sambil bersenandung riang. Begitu bahagianya dia mendapat gelang itu.
****
"Aku sudah mendengar semua hal tentang dirimu, Sang Wei," ujar pria berjenggot panjang di depanku.
Aku hanya menunduk bukan karena hormat atau takut tapi mataku masih mengantuk. Pagi tadi seorang pelayan memberitahukan jika tabib kepala ingin bertemu denganku. Seperti perjanjian sebelumnya, saat tabib kepala kembali maka posisiku sebagai tabib pangeran akan tergantikan.
"Untuk sementara kau akan di pindahkan ke bagian dapur istana," ujarnya lagi.
Rasa kantukku terbang menghilang, aku menatap pria tua di depanku dengan mata melotot.
"Apa Tuan yakin memindahkan saya ke bagian dapur? Apa Tuan masih meragukan kemampuan saya?" tanyaku.
"Aku tidak meragukan kemampuanmu, Nona, tapi ini tahap awal yang harus kau lakukan."
"Aku mohon Tuan, aku tidak bisa memasak aku sangat payah dalam hal dapur," ucapku mencari alasan.
Bukannya aku tidak bisa memasak, tapi karena Bi Gusti yang terkenal garang yang menjadi kepala dapur.
"Aku mau melakukan apa saja selain memasak!" tawarku.
Pria itu menatapku datar, tangannya memilin jenggot panjangnya.
"Benar kau mau melakukan apa saja?" Aku mengangguk senang.
"Baiklah aku tugaskan dirimu untuk membersihkan taman belakang!"
Aku bernapas lega, ini terdengar lebih menyenangkan. Tanpa banyak bantahan aku menyetujuinya. Di sinilah aku berada sekarang, berjongkok di bawah pohon jepun, mencabuti rumput liar yang tumbuh. Senandung merdu tidak pernah putus kulantunkan, setidaknya suaraku lebih merdu dari Asih.
"Suara Aku lebih merdu, Mbok." Aku terlonjak kaget melihat bocah ingusan itu sudah berada di sampingku. Bocah ingusan, benar-benar ingusan.
"Lap dulu ingusmu Asih! Jorok," ujarku. Asih menggeleng, tidak mau menuruti perintahku.
"Kenapa tidak mau?" tanyaku lagi.
"Karena ingus itu bagian dari seni," kata Asih.
"Seni? Seni apa? Mana ada ingus bagian dari seni?" sahutku seraya menggeleng.
"Ini namanya seni kelendiran, seni tingkat tinggi," jawab Asih.
"Terserah Asih saja," ucapku.
Aku kembali mengerjakan tugasku, kusabit semua tumbuhan liar itu. Semakin cepat pekerjaanku selesai, semakin cepat pula aku bergabung dengan anggota tabib lainnya.
Aku melirik Asih yang masih setia di sampingku, anak itu hanya diam tanpa kata. Dia seolah jenuh padaku.
"Asih tidak mau membantu?"
"Tidak," ujarnya datar. Aku hanya mendengus, anak ingusan ini sangat menyebalkan.
"Mbok mau minta bantuanku?"
"Kalau kamu ikhlas," sahutku.
Kusapu semua daun-daun yang berserakan, dalam sekejap taman ini bersih tanpa tumbuhan liar.
"Aku tulus ingin membantu,Mbok, tapi izinkan aku memakai gelang itu beberapa hari saja, bagaimana?" Sudah aku duga, jika ada maksud tersembunyi. Mana ada orang tulus mengajukan syarat.
"Tidak mau!" tegasku. Asih merengek memaksaku meminjami gelang itu lebih lama.
"Asih mau pakai untuk apa gelang itu? Bukankah kebesaran di tangan Asih?" tanyaku penasaran.
"Mbok jangan marah, ya!" bisiknya. Aku mengangguk.
"Sebenarnya aku punya kucing kecil, namanya Anu. Kemarin aku kalungkan gelang itu pada Anu tapi tadi pagi Anu menghilang, gelang itu juga hilang," ujar Asih.
Aku mengepalkan tangan saat mendengar pengakuan Asih. Jika sudah hilang mau bagaimana lagi? Marah pun percuma, gelang itu tidak akan kembali. Hanya membuat pusing dan menguras tenaga saja.
"Kucing kecil ini maksudmu?" Aku menoleh ke asal suara. Sejak kapan pangeran duduk di atas tembok itu?
"Itu Anu!" ujar Asih menunjuk kucing hitam kurus yang pangeran bawa.
Pangeran turun dari tembok, sebelah tangannya ibugang Anu. Pangeran menyerahkan Anu pada Asih.
"Tapi dimana gelangnya?" tanyaku saat melihat Anu tidak memakai gelang di lehernya.
"Ini." Pangeran memberikan benda yang kucari. Pangeran memasangkannya di tanganku. Hatiku berdesir dengan tingkah lembut pangeran.
"Bagaimana bisa Anu bersama pangeran?" ujar Asih sesekali mengelus si bulu hitam itu.
"Kemarin malam Anu nyasar ke kamarku, aku melihat gelang yang dipakainya. Aku kira dia mencuri," jelas pangeran.
"Sudahlah gelangnya sudah ketemu. Apa kalian mau membantuku menata taman ini?" tanyaku dengan sedikit rayuan.
"Aku akan membantumu, Sang Wei, tapi setelah kau selesai." Pangeran duduk di bawah pohon yang rindang, Asih juga menyusul dengan Anu.
“Karena Anu sudah ditemukan jadi aku tidak jadi membantumu, Mbok,” ujar Asih.
Mereka asik tertawa di bawah pohon, sedangkan aku harus bsrpanas-panasan menanan pohon obat yang jumlahnya tak terhingga.
Kugemburkan tanah, kemudian kubuatkan lubang di tengahnya. Kutanam satu persatu pohon obat itu. Keringat bercucuran membasahi wajahku. Bukan berarti aku menyerah hanya karena teriknya matahari. Demi mimpi besarku, aku akan terus berusaha sampai akhir.
Sebuah benda hinggap di kepalaku. Topi bambu yang kemarin kupakai membantu menghalau sinar matahari. Kutengok ke samping, pangeran tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Pakai saja topi itu, lihatlah wajahmu iburah terpapar sinar matahari," ujar pangeran. Pangeran mencubit kedua pipiku.
"Nah, jika tersenyum seperti ini, kau terlihat lebih cantik." Pangeran melepaskan cubitannya.
"Tapi Anu lebih cantik," celetuk Asih.
Aku menatap Asih tajam. Bagaimana bisa Anu yang kurus dengan bulu kusut seperti itu terlihat lebih cantik?
"Anu, ya, Anu jangan samakan dengan diriku," protesku.
Aku melanjutkan pekerjaanku. Pangeran membantuku begitu pula dengan Asih. Sedangkan Anu? Kucing kurang beruntung itu asik menjilati bulu hitamnya.
"Akhirnya selesai."
Aku menyenderkan tubuh ke batang pohon, tempat kami beristirahat. Pangeran ibujamkan matanya, kepalanya berada di pangkuanku. Kentara sekali wajah kelelahanya.
Kulihat Asih sedang merayu Anu untuk makan. Aku menggeleng saat Asih menggombal pada Anu.
"Anu cantik, makan ya! Anu, ‘kan baik tidak nakal, tidak sombong, harus makan yang banyak, ya!"
Telingaku rasanya geli mendengar rayuan Asih. Anak itu terlalu polos, mana ada kucing makan buah. Dikira kucing itu vegetarian?
"Asih, lebih baik Anu dikasi daging. Anu sepertinya tidak suka buah," usulku dengan suara pelan.
"Tidak, pokoknya Anu harus makan buah biar sehat, titik!"
Aku sedikit kesal dengan sifat keras kepalanya Asih. Rasa ibaku muncul saat Anu mengeong. Anu terlepas dari pegangan Asih, kucing itu berlari sekuat tenaga. Asih berdiri kemudian mengejar kucing itu.
Matahari sudah terbenam, pangeran masih tertidur pulas, dengkuran halus terdengar walau samar.
"Pangeran, ayo bangun. Sudah sore," ujarku lembut. Kuguncang pelan tubuh kekarnya, perlahan mata hitam itu terbuka.
"Maafkan aku, Sang Wei. Aku ketiduran." Pangeran duduk dan merenggangkan otot tangannya.
"Ayo kita pergi," kata pangeran seraya berdiri. Pangeran mengulurkan tangannya padaku, dengan senang hati aku menyambutnya.
"Aww...," rintihku saat berdiri. Kakiku kesemutan sama sekali tidak bisa digerakkan.
"Ada apa?"
"Kaki saya kesemutan," jawabku
Pangeran berjongkok di hadapanku.
"Naiklah ke punggungku, cepatlah!" titah pangeran.
"Jangan salahkan saya jika pinggang Anda sakit."
"Tidak akan."
Pangeran menggendongku dengan enteng. Digendongnya aku sampai di depan kamar.
"Terima kasih pangeran atas tumpangannya," ujarku.
"Tapi kau harus membayarnya." Pangeran menepuk pipinya pelan. Aku tidak mengerti apa yang pangeran maksudkan, apa mungkin....
"Saya tidak berani, Pangeran," ujarku ragu.
"Lakukan saja, jangan ragu. Aku sudah siap," kata pangeran dengan senyum merekah.
PLLLAAAKK
Tanganku sedikit kebas setelah menampar pangeran. Ringisan kesakitan bisa kudengar darinya.
"Kenapa menamparku?" tanya pangeran ibugangi pipinya yang iburah.
"Bukankah tadi pangeran menyuruhku menampar?" Aku mempraktikkan isyarat pangeran.
"Bukan itu maksudku tapi... sudahlah kau istirahat saja. Aku akan kembali ke kamarku." Pangeran berlalu dengan pipi merahnya, ringisan kesakitan masih bisa kudengar dari mulutnya.
Siapa suruh pangeran memberi isyarat aneh seperti itu. Dia kira aku tuli apa? Kupandangi tubuh tegap itu sampai menghilang di kejauhan.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top