열세 (Thirtheen)
Kepalaku sakit. Aku pusing sekali. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya berat. Namun satu hal yang kusadari saat ini; aku masih hidup, dan itu melegakan. Tapi kurasakan napasku pendek-pendek. Asmaku kambuh sedikit. Aku mencoba mengingat kejadian sebelum aku pingsan.
Aku terjebak di dalam ruang olahraga basket di gedung olahraga dalam keadaan lapar. Lampu yang tiba-tiba dimatikan, dan AC yang (anehnya) menyala. Beberapa saat kemudian, seember air es mengguyur badanku. Seluruh tubuhku seketika mati rasa dan kebas. Setelahnya aku bisa membuka pintu sialan yang terkunci itu, kemudian aku justru tidak bisa berjalan.
Saat kejadian itu, aku mengetahui dua hal. Pertama, seseorang menolongku. Kedua, aku jadi mengetahui alasan Yerin masuk ke instalasi listrik dan meminjam ember penjaga sekolah. Jika sekarang aku di rumah, aku akan langsung melakukan ritual santet untuk mengutuk bule gadungan itu.
Namun kurasakan kasur ini tidak seperti kasur rumahku. Aku berada di pembaringan lain. Aku juga merasakan pakaianku telah diganti menjadi pakaian yang lebih pendek dari seragamku. Mendadak saja keinginanku untuk membuka mata muncul. Melupakan pusing yang melanda, aku membuka mata lebar-lebar.
Hal yang pertama kali kulihat adalah langit-langit plafon yang putih. Bukannya langit-langit kamarku berwarna pink coral? Aku menatap pembaringan yang sekarang kutiduri. Berwarna putih polos, sedangkan pembaringanku berwarna putih polkadot hitam.
Aku mencoba duduk, menahan rasa sakit di seluruh badanku. Aku menatap berkeliling. Kamar ini luas, dan tidak terdapat banyak barang seperti kamarku. Meja riasku yang penuh make up pun tidak ada. Hanya ada lemari jati besar, meja belajar, komputer, nakas, dan lampu meja. Di lantai terdapat karpet abu-abu. Sangat berbeda dengan kamarku. Seperti kamar laki-laki.
Tunggu. Apa? Kamar laki-laki?
Saat itulah aku baru menyadari kamar ini tidak asing. Aku mencoba mengingat-ingat. Aku pernah masuk ke kamar ini. Wajah Taehyung langsung terlintas di pikiranku. Tidak salah lagi. Ini adalah kamar Taehyung.
Bulu kudukku merinding. Sempat terlintas di pikiranku Taehyung melakukan hal-hal aneh lagi tanpa sepengetahuanku. Aku beranjak duduk, kulihat baju yang kukenakan. Hanya kaus putih bertulisan I Love U dan itu kebesaran, sehingga terlihat agak kedodoran ketika kupakai.
Kuusap rambutku, seketika sesuatu yang kasar mengenai buku-buku jariku. Kutarik sesuatu yang kasar itu, kemudian kulihat. Rupanya itu jepit rambut. Bukan jepit rambut yang bagus.
Aku terlonjak ketika mendengar suara pintu terbuka. Refleks aku menarik selimut menuju atas dadaku, waspada kepada siapapun yang masuk. Taehyung berdiri di ambang pintu dengan membawa nampan berisi piring yang kelihatannya ada makanannya, segelas air putih, dan sebutir obat. Kami saling tatap beberapa saat, sebelum Taehyung menghela napas dan berjalan menghampiri pembaringan.
"Mau apa kau?" kataku sinis. "Berani macam-macam kubunuh kau."
Taehyung menggeleng. "Aku takkan melakukan apapun." katanya santai. "Lagi pula, tidak ada untungnya macam-macam denganmu."
Aku memutar bola mata. Taehyung meletakkan nampan itu di nakas. Bau harum daging dan iga sapi pun menyeruak ke indera penciumanku. Kulirik piring itu. Ternyata Taehyung membawakan galbi. Tidak hanya galbi saja, Taehyung juga membawakanku sekotak macaroon. Ya, sama seperti yang dilakukannya ketika aku sakit waktu itu.
"Kau belum makan," kata Taehyung pendek.
"Sejak kapan aku disini?" tanyaku.
"Sejak kemarin malam. Kutemukan kau dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan. Sekarang kau sakit demam," kata Taehyung sambil menghela napas. "Lagi pula apa sih, yang merasukimu sehingga berani masuk ke ruang basket?"
"Aku dipanggil oleh seseorang disana," jawabku.
"Siapa?"
"Kau."
"Aku? Apa maksudmu?"
"Ah bukan apa-apa. Kurasa aku melantur," kataku sambil mengibaskan tangan santai.
"Kau ini kenapa? Makan sana. Kau belum makan sejak kemarin sore," kata Taehyung, menyuruhku makan.
"Memangnya sekarang jam berapa?" tanyaku.
"Jam dua siang."
Aku terkesiap. "Berarti sekarang harusnya kita di sekolah? Kenapa kau di sini? Apakah Tante Yoona sudah tahu? Seulgi dan Nayeon?"
Taehyung menghela napas kasar. "Hei, berhenti bertanya, dasar cerewet. Aku sudah menghubungi semuanya termasuk Tantemu dan kedua temanmu itu. Aku bilang kau menginap di rumah teman kepada Tantemu, sedangkan kubilang kepada kedua temanmu itu keadaan yang sesungguhnya, maksudku kau sedang ada di rumahku."
"Apa?" Mataku melotot. "Kenapa kau menceritakannya kepada Seulgi dan Nayeon? Mereka bisa saja menanyaiku bermacam-macam hal ketika di sekolah besok! Kau sudah gila?"
"Tidak. Aku tidak mengatakan semuanya. Aku hanya berkata tugas lukis kita belum selesai dan harus diselesaikan. Dengar dulu sampai selesai," ucap Taehyung, membuatku lega. Kukira ia akan menceritakan yang sebenarnya terjadi padaku.
"Makan sana," ucap Taehyung.
Aku mengangguk. Aku memang sudah lapar. Aku mengambil galbi itu dan menyuapkannya ke mulutku. Rasanya aneh dan hambar. Kami mulai mengobrol.
"Lalu, kenapa kau disini? Bukannya kau harusnya sekolah?" tanyaku.
"Aku bolos. Lagi pula kalau kau disini sendiri seharian, aku yakin kalau aku kembali kau sudah seperti tulang dibalut kulit," jawabnya.
"Hei! Kau pikir aku separah itu? Aku juga bisa mencari letak kulkas dan kompormu sendiri! Bahkan aku bisa memasak sendiri. Memangnya aku wanita macam apa?" kataku tidak terima.
"Aku hanya bercanda."
Aku diam sambil meneruskan makanku. Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah menghabiskan sepiring galbi dan nasi. Kulihat Taehyung sedang memainkan ponselnya, menchat seseorang.
"Dengan siapa?" tanyaku. "Jung Yerin?"
"Aku sudah memblokir kontak Yerin." Taehyung menggeleng. "Lagi pula jika aku tetap membuka blokir Yerin pasti aku akan merasa diteror oleh psikopat. Dia mengirimiku pesan spam yang menyebalkan."
Entah kenapa aku lega mendengarnya. "Memangnya separah itu?"
"Ya, dia bahkan meneleponku lima puluh kali sehari. Itu menyebalkan," katanya sambil mematikan ponselnya.
"Lalu siapa itu?" tanyaku lagi.
"Ibuku. Dia di Jepang dan selalu menanyakan keadaanku. Setidaknya lima kali sehari. Padahal aku baik-baik saja," jawab Taehyung.
"Berarti kau sendiri di rumah?"
"Iya, tentu saja."
Kuhabiskan galbi itu kurang dari sepuluh menit. Aku meletakkan kembali piringnya, kemudian memulai pembicaraan. Sebetulnya bukan aku, tapi Taehyung.
"Bagaimana kalau sekarang kita belajar?" tanya Taehyung.
"Boleh juga," jawabku. "Omong-omong, dimana ponselku?"
Taehyung menunjuk meja komputernya. "Itu, tadi malam aku mengisi dayanya. Aku akan ke bawah, ambil buku pelajaran," kata Taehyung.
"Kau belajar?"
"Tentu saja. Aku masih ingin masuk universitas."
Aku berjalan menuju meja komputer, mencabut kabel yang menancap di ponselku. Baterainya sudah penuh. Mungkin kemarin ponselku seharian mati karena dayanya habis waktu terbawa ke ruang basket. Aku lihat beberapa notifikasi pesan yang sudah berjam-jam yang lalu. Salah tiganya dari Tante Yoona, Seulgi, dan Nayeon.
Tante Yoona : Kalau sudah mau pulang kirimi pesan ya. Aku harus ke kantor sampai jam sembilan malam. Kunci ada di tempat biasa.
Nayeon Kelinci : Hei, kau sudah selesai mengerjakan tugas lukis? Kenapa tidak berangkat sekolah?
Seulgi Cerewet : Kenapa tidak berangkat sekolah? Bilang malas awas saja besok kupastikan kau ditemukan tercincang di pinggir sungai.
Aku membalas pesan itu satu per satu, kemudian meletakkan ponselku. Kulirik nakas, masih ada sekotak besar macaroon dan obat yang belum kuminum. Sengaja tidak kuminum karena aku curiga alien itu mencampur racun di obat itu.
Taehyung masuk dengan membawa beberapa buku cetak. Ia menjatuhkannya begitu saja di karpet dan mengisyaratkan agar aku turun dan duduk di karpet. Aku menurut sambil membawa sekotak macaroon itu. Begitu aku duduk, aku membuka kotak itu lalu meletakkannya di antara aku dan Taehyung.
"Kenapa kau membawa itu?" tanyanya. "Itu kan, untukmu."
"Bagi dua saja," jawabku. "Kau kira perutku kuat memakan dua puluh empat macaroon sekaligus, kan?"
Taehyung hanya menggedikka bahu. Kami mulai belajar bersama. Taehyung si alien ini rupanya pintar juga. Ia hafal lima puluh rumus Fisika. Aku hanya hafal dua puluh. Dia bisa menyelesaikan soal Mr. Lee yang rumit dalam waktu lima menit.
Dua jam belajar, ponselku berbunyi, membunyikan lagu Power. Ada video call. Aku melihat siapa yang menelepon. Ternyata Seulgi. Aku langsung mengangkatnya.
"Halo, Sowon!" Seulgi melambaikan tangannya dari ponsel.
"Halo, Seulgi!" balasku riang.
"Kau sudah baikan?" tanyanya.
"Yah, lumayan. Memangnya sekolah sudah selesai?"
"Mr. Gabo tidak datang. Jadi sekarang jam kosong."
"Oh, begitu."
"Kau sedang dimana? Sepertinya bukan kamarmu?" tanya Seulgi. Matanya menyipit memerhatikan ruangan di belakangku.
"Aku sedang ada di tempat Taehyung," jawabku jujur.
Mata Seulgi terbelalak. "Kau menginap?"
Aku mengangguk membenarkan. Seulgi mulai menatapku dengan tatapan menggoda.
"Awas, loh, Sowon. Dia laki-laki dan bisa saja melakukan hal yang an----"
"Sudah cukup. Aku tahu itu," kataku sambil memutar bola mata.
Seulgi tertawa. "Ya sudah ya. Aku cuma ingin menanyakan keadaanmu saja. Dah~,"
"Dah." Kumatikan panggilan.
Aku kemudian meletakkan ponsel asal dan mulai kembali mengerjakan soal-soal latihan di kertas. Aku meminta selembar kertas agar aku bisa belajar sambil menulis juga.
"Aduh, salah rumus..." keluhku.
Aku menjulurkan tangan ke kanan, bermaksud mengambil penghapus hitam yang tergeletak disana. Namun yang kusentuh bukannya sesuatu yang berbentuk kotak dan kecil, tapi sesuatu yang besar dan berkulit.
Aku menoleh. Ternyata aku memegangi tangan Taehyung yang sedang memegang penghapus. Penghapus itu masih di lantai, terhimpit tangan Taehyung. Perlu beberapa saat untukku menyadari hal itu.
Aku terkejut begitu menyadarinya dan aku bermaksud menarik tanganku darinya. Tapi dengan cepat tangan Taehyung menahan tanganku agar tidak berpindah. Aku menatapnya heran. Begitu aku menatap wajahnya, yang kulihat adalah mata cokelat nya yang jernih dan dalam. Aku tidak membantah jika ada orang yang mengatakan matanya indah. Aku mengakui itu, dan aku berkali-kali terkunci dalam mata itu.
Genggaman tangannya semakin erat, dan aku tidak bisa lagi melepaskannya dengan kekuatan normal.
"Taehyung, lepaskan."
Ia bergeming, tetap diam sambil menatapku. Aku berusaha menghindari tatapannya.
"Taehyung..."
"Apa kau mau mendengarkan ceritaku, Sowon?" tanyanya.
Suaranya melembut ketika menyebut namaku. Aku mengangguk pelan. Kulihat ia menghela napas, kemudian memulai ceritanya.
"Aku akan bercerita tentang Mina," katanya.
Hatiku mencelos. Aku merasa tidak perlu mendengarkan cerita tentang gadis ular itu lagi. Sudah cukup ia membuatku terluka karena berada di sisi Taehyung setahun lalu. Karena itu aku berusaha melepaskan genggaman Taehyung.
"Lepaskan, Taehyung. Aku tak mau," kataku.
Namun semakin kuat aku berusaha, semakin kuat pula genggaman tangan itu. Akhirnya aku tidak bisa melawan lagi. Aku kembali diam dengan kepala tertunduk.
"Izinkan aku menjelaskan semuanya," kata Taehyung.
Aku bergeming, tidak bergerak.
"Setahun yang lalu ketika aku kehilangan kendali atas diriku sendiri, itu sebenarnya bukanlah dari diriku."
Aku mendengarkannya, berusaha mencerna kalimatnya. Bertanya-tanya dalam hati.
"Aku terlalu frustasi dan linglung untuk menjelaskan apa yang terjadi waktu itu, sehingga tanpa sengaja aku melukaimu."
Aku masih mendengarkannya, berusaha memahami maksud dari kata-kata itu.
"Sebelum aku melukaimu, aku disuguhi pilihan yang sulit. Dibunuh atau bunuh diri. Itu sulit sekali. Saat itu aku berbohong kepadamu, bahwa Myoui Mina itu adalah sepupuku yang blasteran Jepang. Aku mengubah fakta bahwa sebenarnya Mina adalah calon istriku yang sudah dipersiapkan ayahku bahkan saat aku masih berumur tiga tahun."
Aku mulai mengerti apa maksudnya.
"Aku awalnya tidak menolak, karena aku memang belum mengetahui rasanya jatuh cinta. Aku pertama kali bertemu Mina setelah sekian lama adalah ketika aku berumur enam belas tahun, saat aku mulai mengenal seorang Kim Sowon di toko buku."
Aku diam.
"Saat itu aku menyukaimu, dan aku bahkan berharap lebih. Namun pada saat yang bersamaan Mina kembali, dan hatiku pun menjadi bimbang. Akhirnya aku memanipulasi fakta dan kuberitahu kalau Mina adalah sepupu jauhku. Saat itu hatiku terasa berat karena berbohong kepada orang yang kusukai saat itu."
Aku menggigit bibir, menahan bulir air mata yang berkumpul di ujung mataku.
"Dan inilah yang tidak kuberitahu kepadamu." Taehyung mengeratkan genggamannya lagi. "Ayahku mengancam, jika aku tidak menikahi Mina, kau akan dibunuh."
Aku tercekat, mengetahui fakta itu. Hatiku seperti dihantam sebuah batu dan dilempar cakram hingga terbelah. Air mata berkumpul semakin banyak.
"Akhirnya aku kehilangan kendali karena stres. Aku kemudian memutuskan untuk tidak menghubungimu dan menghilang dari hidupmu. Lalu aku mengirimimu pesan. Aku terkejut melihat kau masih menyimpan nomorku. Tapi aku terpaksa harus mengajak Mina karena kalau tidak Ayah akan curiga."
Aku menggigit bibir semakin kuat. Air mata semakin banyak.
"Aku memutuskan untuk menemuimu bersama Mina dan menyuruh Mina untuk menghinamu. Mina mengira kau itu memang mantanku, hingga ia berani menyebutmu seperti itu. Namun melihat ekspresimu saat itu, Mina langsung tahu, kau bukan gadis seperti itu. Ia depresi, karena perasaan bersalah telah merusak hubunganku denganmu. Berkali-kali ia meminum obat penenang."
Aku sedikit kaget mendengar fakta itu dan hatiku semakin sakit karena sebelum ini aku masih membenci Mina setengah mati.
"Hingga puncaknya, terakhir kali ia meminum obat penenang lima puluh butir dalam satu kali. Kemudian karena dipenuhi perasaan bersalah, ia sampai merasa tidak berguna lagi. Mina mengiris nadinya sendiri."
Sebutir air mata mulai menetes.
"Setelah itu Ayah marah, dan ditemukan tewas dalam kecelakaan mobil dua jam kemudian karena menyetir dalam keadaan mabuk. Setelah itu, aku memutuskan untuk membencimu."
Dan aku juga melakukan hal yang sama.
"Tapi meski ini tidak bisa diterima, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."
Aku masih menunduk, tidak kuat.
"Jangan pernah benci Mina dan Ayahku, karena ini semua salahku." Taehyung melepaskan genggamannya, tangannya mulai merambati punggungku.
"Jangan pernah membenci mereka. Aku minta maaf, meski ini tidak bisa dimaafkan. Aku tidak memaksamu untuk memaafkanku. Karena aku memang bukan laki-laki yang baik."
Tangisku benar-benar pecah sekarang. Aku terisak dengan air mata yang mengalir bagaikan air terjun. Aku merasa tidak punya tenaga lagi. Kepalaku jatuh di dada Taehyung, dengan tangannya merengkuh bahuku. Aku memang tidak melihat wajahnya, namun aku tahu dia menangis.
"Maafkan aku, Sowon."
Aku semakin menangis. Aku mencengkeram kuat baju Taehyung, berusaha melampiaskan perasaan sedih yang meluap ini. Setelah satu tahun, aku baru mengetahui kenyataan ini. Dan sekarang aku mengetahui ada lagi orang yang meninggal karena aku. Meski Taehyung bilang ini kesalahannya, aku juga ikut terlibat dalam peristiwa itu.
Kurasakan Taehyung menangis, air matanya jatuh ke punggung tanganku.
"Aku benar-benar minta maaf, Sowon." katanya. "Maafkan aku."
"Jangan bapereu"- KTH
Jangan baper loh ya. Hehe... Yang part fragment of past kemarin masih ada lanjutannya loh. Penasaran? Besok aja deh... /kabur
See you next chapter! Poi poi~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top