세 (Three)
Sudah seminggu semenjak percakapan di toilet dengan Yerin. Aku masih belum bisa mencerna maksud dari kata-kata gadis pirang itu. Soal dia akan terus ada di hidup Taehyung, aku juga tidak mengerti. Kata-katanya begitu rancu, sehingga aku kesulitan mengartikan dan menyimpulkan maknanya.
Hari Jumat, seperti biasa aku ke ruang ganti putri untuk mengganti kemeja dan celana seragamku dengan pakaian olahraga sekolah. Hanya kaus pendek warna putih dan celana panjang warna hitam dengan garis merah vertikal dari pinggul sampai mata kaki. Ujung celana itu dibuat belahan sedikit. Sedangkan untuk musim gugur, memakai hoodie panjang berbahan menyerap keringat berwarna abu-abu dan celananya tetap sama.
Aku tidak banyak mengobrol dengan Seulgi maupun Nayeon. Pikiranku tersita oleh perkataan Yerin seminggu yang lalu. Aku seperti orang bodoh saja. Melamun di manapun dan kapanpun aku mendapat waktu kosong, yang sebenarnya sia-sia karena tak ada jawaban yang kutemukan. Ah, sudahlah.
"Kau kenapa Sowon? Belakangan ini kau sering melamun?" Seulgi bertanya kepadaku. Nayeon ikut memperhatikanku.
"Iya, juga. Kulihat kau sering sekali melamun. Bahkan waktu makan siang makananmu tidak habis," kata Nayeon, setuju dengan Seulgi.
Aku menghela napas. "Sudahlah. Ayo ke lapangan. Pasti Mr. Choi sudah menunggu."
Mereka berdua mengangguk mantap, kemudian berjalan mendahuluiku. Kalau sudah menyangkut soal Mr. Choi Siwon, mereka akan bersemangat sekali.
Wajar saja. Mr. Choi sudah berumur 30-an, tapi masih tampak muda. Wajahnya masih seperti 20-an. Badannya tegap dan atletis. Sebagian besar anak perempuan di sekolah ini menyebut 'seksi'. Yah, itu memang seksi, dan aku mengakui itu.
Peluit dibunyikan, pertanda anak-anak harus segera berbaris. Aku berbaris menyesuaikan. Mr. Choi menjelaskan beberapa hal yang akan menjadi materi di hari ini. Materi hari ini adalah lari sprint. Setelah penjelasan biasanya langsung praktek.
Aku jago dalam berlari. Tapi sayangnya kondisi paru-paruku sering tidak mendukung. Aku terkena penyakit asma. Itu keturunan Nenekku yang dari Ayah. Asmaku sering sekali kambuh. Walaupun akhir-akhir ini tidak terlalu menyerang. Tapi aku harus tetap berhati-hati. Aku sudah membawa inhaler di saku celanaku.
Mr. Choi memulai praktek lima belas menit kemudian. Aku mendapat urutan 10, sesuai nomor presensi. Mr. Choi akan menghitung catatan waktu dari start sampai finish, dan yang paling cepat akan diikutkan dalam lomba lari antar sekolah. Aku tidak tertarik sama sekali dengan yang namanya kompetisi.
Sembilan anak sebelumku berlari dengan lumayan bagus. Sejauh ini tercepat adalah 9 detik. Cukup cepat untuk lari 100 meter.
"Kim Sowon!"
Kali ini giliranku. Aku memutuskan untuk menggunakan start jongkok. Ketika Mr. Choi meniup peluit panjang, aku langsung berlari. Namun ada yang aneh.
Baru sampai tiga detik berlari, napasku sudah pendek dan terasa tercekat. Aku berusaha mengatur napas. Tidak bisa. Paru-paruku seolah menolak udara yang masuk, sehingga dadaku sesak. Asmaku kambuh.
Aku tetap berusaha berlari, meskipun rasanya tidak mungkin. Langkahku semakin melambat, diikuti napas yang kian pendek. Aku mendengar Mr. Choi berteriak kepadaku agar lebih cepat. Aku berusaha lebih cepat, tapi tidak bisa. Kakiku terasa berat seiring napasku yang semakin memendek. Hingga akhirnya aku tidak tahan lagi.
Cahaya perlahan hilang dari mataku. Tubuhku kehilangan keseimbangan, jatuh ke tanah. Aku berusaha mencari-cari inhaler yang kubawa di sakuku. Tidak ada. Sakuku kosong. Napasku habis.
Aku pingsan.
*****
Yang pertama kali kulihat adalah langit-langit dengan lampu lima belas watt. Aku merasa berbaring di sebuah kasur. Pasti aku ada di UKS.
Aku berusaha bangun. Bertanya-tanya siapa yang membawaku kesini. Tadi adalah asma terburuk yang pernah terjadi di diriku. Aku bahkan tidak sempat mengambil inhaler ketika aku sesak napas. Selama aku menderita penyakit itu, tidak pernah kambuh separah ini di sekolah. Pernah dua kali di rumah.
Aku melirik jam yang ada di dinding UKS. Pukul 10.25 KST. Ah, aku pingsan cukup lama. Aku memutuskan untuk kembali berbaring. Namun sesuatu yang berada di nakas sebelah ranjang menarik perhatianku.
Sebuah inhaler. Itu persis seperti inhaler milikku. Maka aku refleks meraba-raba saku. Inhalerku memang tidak ada. Berarti ini punyaku. Aku mengambilnya, membolak-balik inhaler itu. Kutemukan sebuah tulisan di salah satu sisinya.
Jangan dipaksa kalau kambuh
Semoga cepat sembuh
Aku melihat dua kalimat yang seperti isi dalam pantun. Tapi aku yakin yang menulis ini tidak berniat membuat pantun sama sekali. Siapa yang menulis ini? Apakah Seulgi? Atau Nayeon? Atau...
Tiba-tiba tirai yang menutup ranjangku terbuka. Tampak Nayeon disana. Ia berlari ke arahku, kemudian memelukku. Aku hanya bisa diam sambil menatapnya terkejut.
"Sowon! Kau tidak apa-apa? Sudah baikan? Ada yang sakit? Apakah kamu terluka?" tanya Nayeon bertubi-tubi.
Aku menggeleng. "Aku baik," kataku.
Nayeon menghela napasnya. Kemudian tiba-tiba sorot matanya berubah seperti ibu-ibu yang mencemaskan anaknya.
"Hei! Kalau tidak kuat tidak usah dipaksa! Kau ini bodoh ya? Apa kau mau mengalami seperti tadi?" omel Nayeon.
"Aku belum selesai sampai finish..."
"Masa bodoh. Sakit ya sakit. Kalau sakit bilang ke Mr. Choi. Atau setidaknya angkat tanganmu!" kata Nayeon sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku tertawa. Bibirnya lucu sekali. "Iya, iya. Lain kali aku akan begitu," kataku. "Omong-omong, kau yang memberiku ini?"
Aku menunjukkan inhaler yang ada di tanganku. Nayeon menatap inhaler itu, kemudian tersenyum.
"Bukan," jawabnya.
"Lalu siapa?" tanyaku.
"Kim Taehyung."
Aku sedikit terhenyak. Kim Taehyung? Apakah Nayeon tidak salah?
"Kau yakin itu Taehyung?" tanyaku lagi.
"Hei! Dia bahkan menggendongmu sampai ke sini, Sowon. Awalnya aku yang ingin mengantarmu bersama Seulgi. Tapi cowok itu bersikeras mengantarmu," jelas Nayeon.
Aku masih terpaku, tidak bisa berkata apapun.
*****
Aku masuk ke dalam kelas bersama Nayeon. Sudah sejak satu setengah jam yang lalu aku pingsan. Aku barusan kembali dari UKS untuk pelajaran berikutnya. Aku menjatuhkan bokongku di bangku.
Mr. Wu, guru seni masuk ke kelas. Ia tampak terburu-buru masuk ke kelas. Mr. Wu tidak membawa apapun. Entah itu buku, spidol, atau bahkan daftar absensi pun tidak dibawa. Mr. Wu berdeham, mengisyaratkan seluruh murid untuk diam.
"Selamat siang, Anak-anak," sapanya. Suara baritonnya menggema di kelas.
Semuanya menjawab salam Mr. Wu. Guru berkebangsaan Tiongkok itu berdeham lagi.
"Sebelumnya saya minta maaf karena tidak bisa mengajar kalian hari ini," mulai Mr. Wu. Beberapa tampak berbisik-bisik senang. "Tetapi tetap ada tugas untuk kalian."
Semuanya tampak kecewa. Beberapa bersungut-sungut sebal karena tidak jadi bebas. Aku tidak menanggapi apapun.
"Buatlah lukisan di kanvas ukuran minimal 50×50 dengan tema 'Cinta'. Ini bukan tugas individu. Ini tugas kelompok. Kalian tidak berkelompok dengan teman sekelas. Kalian akan berkelompok dengan anak-anak kelas C. Satu kelompok terdiri dari dua orang, laki-laki dan perempuan. Tidak boleh ada yang bekerja sendiri. Semuanya harus menanggung beban masing-masing anggota kelompok. Paham?" jelas Mr. Wu tegas.
Aku terhenyak. Kelas C? Bukannya itu kelas Kim Taehyung?
"Paham."
"Baik. Kalau begitu saya tinggal dulu," kata Mr. Wu sambil berjalan menuju pintu. "Selamat siang, Anak-anak."
"Selamat siang."
Tepat ketika Mr. Wu menutup pintu, semuanya kembali gaduh. Kebanyakan pergi ke kelas C. Aku memutuskan untuk pergi ke kelas C sepulang sekolah. Seulgi berdiri.
"Ayo ke kelas C, Sowon," ajak Seulgi.
"Aku nanti saja. Pergilah dulu," balasku sambil tetap membaca novel.
"Nanti kapan?" tanya Seulgi.
"Sepulang sekolah."
Seulgi menepuk jidatnya, kemudian menatapku. "Sowon, sudah pasti anak C akan lebih cepat pulang karena jam pelajaran mereka selesai pukul 4.55. Sedangkan kita pulang pukul 05.15," kata Seulgi.
Aku hampir melupakan itu. Benar apa yang dikatakan gadis bermarga Kang itu. Akhirnya aku berdiri dengan berat hati. Aku memutuskan untuk tetap membawa novel. Seulgi tersenyum, kemudian menggamit lenganku. Kami menuju kelas C.
Di kelas sebelah sudah penuh dengan anak-anak kelas C dan kelas B, kelasku. Hampir semuanya sudah berpasangan dan sedang berdiskusi tentang uang iuran. Aku dan Seulgi masih berdiri di depan pintu. Mencari seorang laki-laki yang masih sendiri.
Tidak. Tidak. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Mr. Wu menyuruh berpasangan laki-laki dan perempuan.
Park Jimin, anak kelas C menghampiri kami. Lebih tepatnya menghampiri Seulgi. Ia tersenyum kepada Seulgi.
"Siang, Seulgi," sapanya.
"Oh, hai, Jimin. Siang," balas Seulgi.
Aku tidak ingin jadi lalat diantara Seulgi dan Jimin. Jadi aku memutuskan untuk mencari pasangan kelompok. Aku menghampiri beberapa lelaki, menanyakan apakah mereka sudah berpasangan. Semuanya menjawab sudah.
Aku menatap sekeliling lagi. Hanya ada satu lelaki. Yaitu Kim Taehyung.
Aku menghela napas berat. Memutuskan untuk tidak mengerjakan tugas kelompok nantinya. Masa bodoh Mr. Wu akan menghukumku membersihkan toilet dan gudang. Aku masih punya gengsi.
Tapi tidak kusangka-sangka, Taehyung menghampiriku dulu. Ia menyapaku biasa, seperti orang lain pada umumnya.
"Hei, Sowon."
"Hm?" aku membalas tanpa mengalihkan pandangan dari buku novelku.
"Kau sudah dapat teman kelompok?" tanya Taehyung.
"Sudah," jawabku berbohong. Sebenarnya belum.
"Benarkah?" Ia menatapku tidak percaya.
Sudah kuduga lelaki ini tidak mudah percaya. Aku menjawab lagi. "Kubilang aku sudah mendapat teman sekelompok."
"Tapi kulihat tadi kau hanya berkeliling disini saja. Rombongan geng Wonwoo tadi sudah dapat kelompoknya masing-masing," kata Taehyung.
Aku melotot. "Kau melihatku?" tanyaku.
"Iya," jawabnya tanpa dosa.
Aku mendengus. Memutuskan untuk tidak menghiraukan lelaki itu lagi, kembali membaca novel.
"Bagaimana kalau kau berpasangan denganku?"
Aku menoleh dengan cepat. Aku menatapnya tajam. Taehyung balas menatapku. Tatapannya serius. Aku mencoba untuk tidak mengetahui arti tatapannya.
"Kau tidak berpasangan dengan Jung Yerin?" tanyaku.
Taehyung mengernyit. "Apa yang kau bicarakan, Kim Sowon?" tanyanya balik.
"Kubilang, apakah kau tidak berpasangan dengan anak baru, Jung Yerin?" ulangku.
"Jung Yerin kelas D dan tidak mendapatkan tugas melukis dari Mr. Wu. Lagi pula kenapa kau menanyakan itu?" Taehyung bertanya balik.
Sial. Aku terdiam. Akhirnya aku hanya mendengus, kembali membaca novel.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," katanya lagi.
"Pertanyaan yang mana?" tanyaku.
"Soal mau berkelompok denganku," jawab Taehyung.
"Tidak," kataku langsung.
"Kenapa?"
"Kenapa kau bertanya?"
"Kenapa kau bertanya balik, bukannya menjawab?"
Sudahlah! Aku tahu jika berdebat dengan lelaki ini akan tidak ada ujungnya.
"Iya, iya! Oke!"
Taehyung tersenyum puas. Aku memasang wajah masam. Kenapa pula dia memilihku untuk mengerjakan tugas itu? Aku kembali membaca novel.
"Kau membeli cat dan kuas. Biar aku yang beli kanvasnya."
*****
Aku turun dari bus tepat ketika bus itu berhenti di halte depan rumahku. Aku memasukkan ongkos ke kotak kaca yang ada di sebelah pintu bus, kemudian turun.
Aku berjalan membuka gerbang rumahku yang tinggi tapi tidak dikunci. Aku menutupnya kembali setelah aku masuk, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
"Aku pulang," aku membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa.
Aku melepas sepatu, kemudian meletakkannya asal di rak sepatu. Aku kemudian melangkah ke lantai atas. Di lantai atas ada dua kamar. Kamarku, kamar Ayah-Ibuku (dulu), dan kamar Tante Yoona. Kalau mau ke kamarku, aku harus melewati kamar Tante Yoona. Aku mendengar keributan di dalam.
"Tante Yoona?" aku mengetuk pintu perlahan. Tidak ada jawaban. Sementara Tante Yoona terus mengeluarkan perkataan-perkataan dari dalam kamar.
Belum sempat aku membuka pintu, aku mendengar teriakan Tante Yoona.
"Setidaknya kunjungilah anakmu!!"
Teriakannya keras sekali. Aku sampai terperanjat. Penasaran, aku tetap berdiri di depan pintu dengan posisi tangan memegang kenop.
"Kau ini ayah macam apa?! Anakmu menderita disini!"
Aku tahu siapa yang sedang diajak bicara oleh Tante Yoona. Ayahku. Dia menelepon Ayahku.
"Asmanya sering kambuh! Baru tadi aku mendapat telepon dari sekolah, ia pingsan di lintasan saat sedang melakukan sprint!"
Sekolah menelepon Tante Yoona? Aku sama sekali tidak tahu tentang itu.
"Kau malah bersenang-senang disana! Urusi anakmu! Jenguk istrimu!! Dia sakit sekarang! Cuma aku yang membayar semua tagihannya! Kau punya pikiran tidak?! Kau punya hati tidak?!! Apakah kau..."
Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Aku menyingkir dari depan pintu kamar Tante Yoona, berlari ke kamarku, memasukinya, lalu menutup pintu dengan keras. Aku duduk menyender di pintu, menangis. Sepertinya Tante Yoona mendengar suara pintuku. Ia mengetuk-ngetuk pintu.
"Sowon? Sowon? Kenapa, Nak? Ada apa?"
Sepertinya Tante Yoona tidak tahu aku sudah menguping pembicaraannya dengan Ayah. Aku tidak menjawab. Hanya menangis dalam diam.
Halo! Balik lagi. Spoiler dikit. Chapter berikutnya bakal ada Seokjin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top