Chapter 5

Cahaya bulan menyinari sebuah gedung berlantai empat yang gelap. Bayang-bayang tinggi seorang manusia terlihat dari atas atap gedung itu. Ia berlari ke ujung atap dari balik sebuah pintu dan melongok ke bawah. Ia ragu-ragu sejenak. Namun, saat mendengar suara berisik dari balik pintu, ia menarik napas panjang dan melompat ke bawah. Tangan dan kakinya direntangkan lebar-lebar untuk menjaga keseimbangan. Ia terjatuh tepat di atas sebuah jaring lebar yang terentang di bagian belakang gedung.

Ia langsung melompat turun dari jaring lalu berlari melewati gedung-gedung tinggi. Empat orang pria, yang tadinya memegang jaring, berlari mengikutinya sambil sesekali mereka melihat ke belakang. Mereka terus berlari dalam diam dengan langkah ringan. Di ujung jalan, mereka berbelok menuju arah taman yang sepi dan remang-remang akibat dari lampu jalan yang rusak.

Mereka berlima berhenti di depan sebuah air mancur. Sesosok pria berjaket hitam berdiri di sana dengan tatapan tajam. Badannya gempal, rambut hitam pendek, dan rahangnya tegas. Lelaki yang berada di barisan pertama mendekatinya sambil terengah-engah. Ia mengeluarkan satu bungkusan kecil dari balik jaket yang dipakainya.

"Semua aman?" tanya si pria berjaket hitam.

Laki-laki, yang membawa bungkusan, menyerahkan bungkusan itu sambil berkata, "hampir, Neil. Tapi, tidak ada yang mengikuti sampai saat ini."

Empat pria di belakangnya mengangkat ibu jari sebagai isyarat aman.

"Lumayan," kata Neil, "untuk tugas pertama, kau cukup berhasil. Aku ingatkan padamu Dexter, lain kali, kau tidak akan mendapat bantuan seperti ini lagi. Kau harus berusaha melarikan diri sendiri."

Dexter nyengir. "Yah, aku kan masih butuh pengalaman."

Neil membuka bungkusan yang diberikan Dexter padanya. Ia mengangguk puas. "Kau bisa pulang sekarang."

"Baiklah, tidak ada tip?" tanyanya, "aduh, aku hanya bercanda," tambahnya cepat-cepat saat kepalanya dijitak oleh Neil.

"Tiap akhir bulan baru gajimu akan turun. Semua sudah dijelaskan di kontrak awal."

"Aku ingat, aku ingat," kata Dexter sambil mengusap kepalanya yang nyeri. Dijitak oleh pria yang tangannya berotot rasanya tidak main-main. Ia berbalik untuk bersalaman dengan empat pria berotot lainnya yang tadi berlari bersamanya. 'Terima kasih telah menangkap nyawaku."

Empat pria yang disalami Dexter bergumam mengejek dan tertawa. Dexter membalasnya dengan ejekan lain lalu mengucapkan selamat tinggal. Ia berjalan meninggalkan taman menuju ke sebuah supermarket di seberang jalan untuk mengambil sepeda motor yang ia parkir di sana. Supermarket itu buka dua puluh empat jam, tapi keadaannya sepi karena waktu sudah melewati tengah malam.

Dexter memutar gas motornya dan mengendarainya melewati jalanan yang remang. Tugas pertamanya telah selesai. Hatinya bagai melonjak kegirangan. Tidak pernah sekali pun ia membayangkan bisa masuk ke dalam situasi seperti ini. Semenjak kejadian tak terduga sore itu.

*****

Dexter berjalan menyusuri jalan besar yang ramai. Lalu-lalang manusia berpadu dengan kencangnya puluhan kendaraan yang bergantian melaju. Dexter bersiul pelan sambil mengamati kesibukan di sekitarnya. Jalanan ramai dilewati mahasiswa, yang pulang dari kampus, atau menuju kampus. Sore baru saja datang, namun trotoar sudah penuh dengan tenda-tenda yang disiapkan penjualnya untuk mencari nafkah. Dexter dan para pejalan kaki yang lain terpaksa harus turun dari trotoar ke pinggir jalan.

Di sepanjang kiri jalan berjajar bangunan-bangunan toko yang sudah mulai tutup, sedangkan di sebelah kanan adalah bagian belakang bangunan universitas tempat Dexter berkuliah. Dexter berjalan santai sambil mengamati toko-toko di sebelah kirinya. Bangunan tua maupun modern bersatu menghiasi sisi jalan itu. Dexter suka dengan model bangunan tua peninggalan nenek moyangnya yang terkesan mistis dan penuh misteri.

Bayang-bayang pepohonan mulai memanjang. Langit telah merubah warnanya dari biru menjadi oranye. Dexter tersenyum melihat bayangannya yang memanjang di depan langkahnya. Dulu sewaktu kecil, ia berambisi untuk mendahului bayangannya, namun tak pernah bisa.

"Percuma berusaha untuk menangkap, yang nyatanya hanya bayangan," gumam Dexter lirih.

Kelebatan bayangan mendadak muncul di depan matanya. Keramaian jalanan menghilang, digantikan oleh kesunyian. Suasana sore dengan langit berwarna oranye, laki-laki dan perempuan berseragam putih abu-abu tiba-tiba muncul di depannya. Belum sempat Dexter mencerna bayangan yang terjadi itu, ia mendengar suara tembakan. Bukan hanya satu atau dua, tapi berkali-kali. Manusia-manusia berseragam itu tumbang satu per satu, darah merembes dari seragam putih mereka dan mengalir di aspal. Dexter mengeryit lalu mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan matanya hanya berusaha untuk menipu. Namun, darah di aspal muncul lebih banyak entah dari mana. Ia mulai diserang rasa panik ketika genangan darah muncul di dekat sepatunya dan mengalir perlahan membasahi kedua kakinya. Ia menutup mata sambil berusaha mengatur napas.

"Ini tidak nyata," gumamnya sambil menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, "aku mengendalikan pikiranku, bukan pikiran yang mengendalikanku."

Hiruk-pikuk jalanan memasuki telinganya, awalnya pelan namun dengan cepat mengeras. Dexter membuka mata dan menghembuskan napas lega. Bayangan-bayangan tadi telah menghilang. Ia bisa melihat suasana jalanan yang normal sekarang. Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan kalau ada orang yang memandangnya dengan aneh, tapi ia tidak menemukannya. Dengan lega, ia melanjutkan perjalanannya.

Dexter berjalan sambil menunduk, melihat sepatunya yang bersol putih. Tidak ada bekas darah di sana. "Tentu saja, itu semua hanya khayalanku saja," gumamnya riang, "tidak akan ada lagi darah di aspal, oke kepalaku, kau harus menurut padaku seka---."

Kalimat Dexter terputus ketika ia melihat genangan merah yang hampir saja ia injak. Genangan merah itu tidak besar, seperti menetes dari atas namun dengan jumlah yang cukup banyak. Dexter mengalihkan pandangannya ke aspal sebelah kiri. Ia terkesiap ketika melihat genangan itu lagi. Ia mengikuti tetesan merah itu sampai menuju ke sebuah bangunan terlantar berpagar kayu lapuk dan jajaran seng. Ia mengernyit heran. Awalnya ia pikir itu hanya darah unggas yang disembelih untuk dijual di warung-warung yang baru saja buka. Tetapi, Dexter yakin tidak ada yang mau membawa unggas mati berceceran darah ke bangunan terlantar di depannya.

Bangunan itu sederhana, berbentuk persegi panjang, beratap segitiga. Semennya dibiarkan tanpa cat dan tumbuhan rambat sudah mulai menjejakkan akar-akarnya di kanan kiri bangunan itu. Atapnya berlubang di berbagai tempat. Entah untuk apa gedung itu dibangun, setahu Dexter, gedung itu tidak pernah berfungsi. Suasana di depan gedung itu suram walaupun bangunan di kanan dan kirinya ramai.

Dexter merasa ragu, ia penasaran dengan jejak darah yang dilihatnya, namun sebagian dari hatinya mencegah ia untuk masuk ke sana. Segala sesuatu yang berhubungan dengan darah biasanya berakhir pada keburukan. Tangan kanan Dexter sudah mendorong pagar kayu lapuk yang menjadi pintu masuk. Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada yang melihatnya masuk. Setiap orang yang ia lihat sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Sudah lama ia tidak melakukan hal seperti ini, menerobos masuk bangunan terlantar. Ia sering melakukannya ketika kecil bersama Alair dan Ares, hanya untuk bersenang-senang dan membuktikan siapa yang paling berani di antara mereka. Rasa takut dan semangat yang bercampur menjadi satu adalah hal yang paling disukainya dari permainan ini. Sekarang, ia merasakan hal itu lagi, yang membuat adrenalinnya semakin terpacu.

Jika dilihat dari dekat, bangunan itu tampak lebih menyeramkan. Temboknya sudah sangat kotor dan kusam. Kaca-kaca jendela pecah di sana-sini. Suasananya sunyi dan suram. Terdapat pohon besar di samping bangunan yang menjulang lebih tinggi dari atap. Dexter berjalan menuju pintu depan gedung melewati undakan kayu lapuk. Tanaman rambat tumbuh melingkupi tembok semen dan pintu kayu. Pintu itu digembok dengan rantai besar yang sudah berkarat, menandakan bangunan itu sudah lama dikunci. Tetapi, ia merasa heran dengan tanaman rambat yang terputus dan jatuh di sekeliling pintu, seakan ada yang mencabutnya untuk bisa membuka pintu.

Dexter mencari tetesan darah yang membawanya ke sana. Ia menemukan tetesan darah terakhir di lantai kayu sebelum pintu. Dexter merasa yakin, apa pun itu yang berdarah, pasti ada di dalam gedung. Ia melihat jam tangannya, masih ada waktu sebelum hari menjadi malam. Ia tidak ingin terjebak sendirian di dalam gedung terlantar tanpa penerangan. Ia tidak takut gelap, tetapi membayangkan apa yang ada di dalam gelap cukup membuat nyalinya ciut.

Dexter mengitari gedung itu untuk mencari jalan masuk lain. Ilalang tumbuh tinggi di sekitar tanah yang ia injak. Dexter berjalan sampai ke bagian belakang gedung. Tembok tinggi dari batu bata mengakhiri pencariannya. Bagian belakang gedung menempel langsung ke tembok itu tanpa celah.

"Baiklah, aku menyerah," kata Dexter sambil menggelengkan kepala.

Ia berbalik untuk pulang ketika menyadari ada sepasang mata tajam sedang menatapnya. Dexter terdiam, balik menatap dua bola mata kuning yang memperhatikannya. Pemilik mata kuning itu mengeong sekali lalu melengos pergi. Dexter tertawa kecil. Ia sedikit terkejut ketika berbalik dan mendapati seekor kucing berbulu hitam sedang duduk melihat dirinya.

Kucing itu mengeong sekali lagi lalu berbelok ke kiri menembus gedung tembok. Jantung Dexter mencelos. Pikirannya sudah melayang tak tentu arah memikirkan kucing tadi adalah kucing hantu. Ia melangkah perlahan sambil melihat tembok tempat kucing tadi menghilang. Ia menyingkirkan ilalang setinggi lutut yang menghalangi pandangan. Dexter melihat papan kayu dengan engsel dibaliknya. Ia menyengir lebar, kucing tadi telah menunjukkan jalan masuk rahasia.

Dexter mendorong pintu tingkap itu lalu merangkak masuk. Ia terbatuk sedikit, tidak siap menerima keadaan pengap di dalam gedung. Ia berdiri sambil membersihkan tangan dan celananya yang terkena debu di lantai. Setelah merasa cukup bersih, ia mengedarkan pandangan. Ia berada di suatu ruangan lebar berbentuk persegi panjang. Di dalam gedung tidak segelap yang ia bayangkan. Sinar senja masih bisa masuk ke gedung melewati jendela-jendela tinggi dengan kaca yang pecah. Cahaya matahari yang tersisa menyorot sampai ke lantai. Debu-debu yang beterbangan terlihat menari-nari di dalam cahaya itu.

Dexter menyusuri ruangan. Palang-palang semen menjulang sampai ke atap, tersusun rapi dengan jarak sekitar tiga meter satu sama lain. Atapnya tinggi tanpa plafon penutup sehingga terlihat rangka kayu yang menyangganya. Ruangan itu lebih mirip seperti gudang barang. Kumpulan drum terletak di pojok terjauh ruangan. Dexter berjalan ke arah drum namun terhenti ketika melihat tetesan hitam yang tersorot cahaya matahari. Ia menyalakan lampu dari smartphone-nya lalu mengikuti jejak darah itu sampai berhenti di depan sebuah peti kayu.

Peti kayu di depan Dexter berwarna cokelat muda dan berukuran tidak terlalu besar. Tingginya hanya selutut pria dewasa, sedangkan panjangnya sekitar satu setengah meter. Dexter menyorotkan sinar lampunya ke sekeliling peti. Jantungnya kembali berdetak cepat. Apa pun yang ada di dalam peti itu, pasti bukan barang bagus, karena ia telah melihat genangan darah di lantai yang ia duga berasal dari bagian bawah peti. Dexter menelan ludah. Perasaannya bimbang, dicekal keinginan untuk membuka peti itu atau segera keluar dari gedung dan melupakan temuannya ini.

Dexter berlutut di depan peti. Tangan kanannya mengarahkan lampu untuk mencari bukaan peti. Ia menarik napas. Sebagian dari pikirannya berusaha untuk menghentikan perbuatannya, namun sebagian yang lain mendorong untuk segera melakukannya. Ia terkekeh pelan dengan cemas, dorongan rasa ingin tahunya menang. Ia menemukan garis panjang bukaan dan meletakkan kedua tangannya di sana.

"Angkat tangan, jangan bergerak!"

Dexter terpaku mendengar suara pria yang berasal dari belakangnya. Tangannya terhenti di pinggir peti. Rasa takut dan cemas mulai mengaliri tubuhnya.

"Berbaliklah perlahan! Angkat tangan!"

Dexter tidak berani menoleh. Ia berdiri perlahan sambil mematikan lampu dari smartphone-nya lalu dengan cepat, ia membuka aplikasi perekam suara, menekan tombol standby, dan memasukkannya ke saku dalam kaosnya yang ditutupi kemeja di luar. Ia berbalik sambil mengangkat kedua tangan, bersiap menghadapi pria yang memerintahnya.

Sesosok pria tegap berdiri di hadapan Dexter. Ia menodongkan pistol tepat ke arahnya. Pria itu memakai jaket kulit hitam dan celana dengan warna yang sama. Matanya yang sipit menatap tajam pria muda di depannya.

Dexter menelan ludah. Ia ingin segera berlari namun tahu itu tindakan bodoh. Ia bisa dengan mudah tertembak sebelum berhasil mencapai pintu keluar.

"Siapa kau?" tanya pria itu dingin.

Dexter berpikir keras. Ia harus selamat dari situ, ia tidak ingin mati di gudang kotor karena tembakan dari seorang pria yang tidak dikenalnya.

"Emm, kau sendiri siapa?" Dexter balik bertanya dengan suara, yang mati-matian ia pertahankan, tenang. Ia sudah lupa kapan terakhir kali merasa seperti ini, bahkan rasa gugupnya di ujian skill kedokteran tiap semester tidak bisa mengalahkan perasaannya saat ini.

"Tidak usah banyak bertanya!" bentak pria itu sambil melangkah maju mendekati Dexter.

Dexter mundur selangkah namun terbentur peti di belakangnya. "Woah, tunggu dulu jangan buru-buru ingin menembakku," ujarnya, "aku hanya penasaran dengan gudang ini, lalu aku masuk, dan sekarang aku ingin keluar. Sesederhana itu." Dexter berusaha menampilkan wajah percaya diri. Ia tersenyum tapi justru terlihat seperti meringis kebingungan.

Pria berpistol itu mengedikkan kepala ke arah peti. "Apakah kau melihat isinya?"

"Tentu saja tidak," jawab Dexter cepat. "Apakah itu milikmu? Aku tidak melihatnya, nah berarti aku bisa pulang sekarang, permisi."

Dexter sudah melangkahkan satu kaki sebelum pria itu menempelkan pistol ke pelipisnya. Ia seketika berhenti menarik napas, terkejut karena gerakan cepat dari pria misterius itu. Dinginnya logam terasa menjalar dari pelipis ke seluruh kepalanya. Ia mencoba untuk mengeluarkan suara namun tenggorokkannya tercekat. Saat ini jarak mereka sangat dekat. Dexter bisa melihat bola mata hitam pria itu tajam menusuk. Menurut perkiraannya, pria itu berumur sekitar tiga puluh tahunan.

"Aku tanya sekali lagi, kau hanya punya satu kesempatan," ujar pria itu dingin, "siapa kau?"

"Mahasiswa biasa," jawab Dexter.

"Apa yang dilakukan mahasiswa biasa di tempat tidak biasa seperti ini?"

Dexter mengangkat bahu. "Hanya penasaran. Aku melihat tetesan darah di luar dan itu menuju ke sini."

Pria itu menggelengkan kepala. "Rasa ingin tahumu berada di saat dan tempat yang salah."

"Apa maksud--." Kalimat Dexter terpotong oleh suara dentangan besi yang beradu. Kedua lelaki ini menoleh ke arah pintu depan yang menjadi sumber suara.

"Sial," umpat pria di sebelah Dexter, "ikuti aku, jangan berbicara." Pria itu berbisik. Ia berlari ke belakang sebuah pilar di ujung paling gelap yang tidak terkena cahaya matahari.

Dexter mengikuti gerakan pria itu dengan bingung. Ia berdiri di samping pria yang sedang menoleh ke balik pilar. Suara dentangan besi sudah tidak terdengar lagi digantikan oleh deritan kayu dan pintu yang berdebam tertutup. Karena penasaran, Dexter ikut mengintip dari balik pilar.

Dua pria berkepala botak masuk ke gedung dan langsung berjalan menuju ke peti. Mereka membuka peti itu lalu mengangguk puas. Salah satu dari mereka mengeluarkan smartphone-nya lalu mengetik sesuatu. Sedangkan pria botak yang lain berjalan mengelilingi peti sambil menunduk.

Cahaya matahari telah berubah posisi. Sinar, yang masuk melalui jendela, saat ini menerangi bagian lantai yang dekat dengan peti. Pria botak yang tadi berjalan tiba-tiba berhenti lalu berlutut. Dexter menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas yang dilakukan pria itu.

Mendadak bahu Dexter dicengkeram keras dan dipaksa untuk berbalik.

"Lepaskan sepatumu," bisik pria sipit yang mencengkeram bahunya.

"Kenapa?"

"Cepat lepaskan kalau kau ingin selamat," desak pria di depannya.

Dexter segera membuka kedua sepatunya. Ia merasakan perubahan nada bicara pria itu, seperti ada sesuatu yang dicemaskan. Ketika Dexter melepas sepatu kanannya, ia melihat bagian belakang sol sepatunya menghitam. Ia buru-buru membaliknya dan melihat darah di bagian belakang alas kakinya. Pemahaman merasuk ke pikirannya. Ia menoleh ke balik pilar dan melihat jejak sepatunya yang terkena darah menuju ke arah pilar tempat ia bersembunyi. Ia melihat si pria botak sudah berdiri dan berbisik kepada pria satunya.

"Cepat sembunyi," bisik pria sipit pada Dexter. Ia mengambil sepatu Dexter lalu memakainya. "Pakai sepatuku, sembunyi di balik tumpukan drum itu, jangan mengintip sama sekali kalau tidak ingin ketahuan."

Dexter mengangguk. Ia segera berlari ke arah tumpukan drum di pojok ruangan tepat sebelum dua pria botak menoleh ke arah pilar tempatnya bersembunyi tadi. Di balik tumpukkan drum terdapat cukup ruang untuk bersembunyi tapi ia tetap merasa tidak aman. Adrenalin memacunya untuk berpikir cepat. Ia melihat salah satu drum terbuka. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengangkat tubuh masuk ke dalam drum itu.

Suara napas Dexter terdengar keras di dalam drum. Ia menangkupkan tangan ke depan hidung dan mulutnya untuk mencegah suara napasnya terdengar. Drum tempatnya bersembunyi sudah berkarat dan ada bagian-bagian yang sedikit berlubang tapi ia yakin dirinya tidak akan terlihat dari luar karena drumnya tersembunyi di kegelapan.

"Polisi bodoh." Terdengar suara pria serak dan kasar diikuti dengan suara tertawa. "Kau tidak bisa lolos kali ini."

Dexter menelan ludah. Polisi? Pria yang tadi bersamanya adalah polisi. Ia berusaha mengintip dari lubang-lubang drum. Samar-samar ia melihat bayangan dua pria besar berhadapan dengan si pria sipit.

"Jangan terlalu yakin," sahut pria sipit, "kulihat kalian tidak dalam perlindungan ibu saat ini."

"Kurang ajar!"

Dexter membelalak saat kedua pria botak mengacungkan pistol. Tanpa suara tembakan, hanya terdengar suara angin, si pria sipit jatuh terduduk. Kedua pria botak itu tertawa lalu meninggalkan sasaran tembak mereka begitu saja.

"Rasakan itu, polisi sialan!"

Dexter tidak dapat melihat siapa yang berbicara. Kedua pria botak itu sudah menghilang dari jarak pandangnya. Perlahan, ia mengangkat kepala keluar dari drum dan menoleh ke kanan. Kedua pria botak sedang tertawa puas di dekat peti. Keduanya membelakangi si polisi. Dengan gerakan tangkas, Dexter mengeluarkan tubuhnya dari drum dan berlari menuju pria yang terduduk lemas sambil memegangi dada kanannya. Pria itu beringsut maju ke belakang pilar tempatnya tadi bersembunyi. Dexter segera membantunya tanpa suara.

Darah merembes dari kaos putih si pria. Peluru jelas telah mengenai targetnya. Dexter menaikkan kaos pria itu lalu meringis ngeri. Terdapat lubang merah dengan pinggiran menghitam bekas jalan masuk si timah hitam. Darah mengucur dari lubang itu.

"Ambil ini," kata pria itu susah payah dengan suara lirih. Napasnya tersengal-sengal. Ia menjejalkan sebuah benda ke tangan Dexter. "Perekam suara. Rekam pembicaraan mereka."

Pria itu batuk hebat. Darah segar keluar dari mulutnya. Dexter membuka kemeja lalu menggulungnya. Ia menekankan kemeja itu ke bagian dada si pria agar tidak terus mengeluarkan darah.

"Tekan terus, tutupi dengan jaketmu," bisik Dexter, "aku akan merekam pembicaraan mereka."

Si pria yang terluka melakukan perkataan Dexter, sedangkan yang disebut terakhir sedang memikirkan cara untuk melakukan perkataannya.

Dexter melihat kaleng-kaleng bekas di pojok ruangan. Ia tersenyum bersemangat. Ia mengintip dari balik pilar sebentar untuk memastikan keadaan aman. Lalu, ia segera mengambil satu kaleng dari pojok ruangan. Ia bersembunyi di pilar terdekat kemudian melemparkan kaleng itu ke arah kanannya.

Bunyi kaleng berdentang membuat dua pria botak itu menoleh ke arah suara.

"Siapa di sana?" seru salah satu pria botak. Ia menghampiri arah suara yang diyakininya dengan cepat.

Dexter berpindah ke pilar di sebelahnya yang berlawanan arah dengan tempat kaleng yang dilemparnya. Ia harus bersembunyi di dekat peti agar bisa menyadap kedua pria itu. Ia bergegas menuju bagian dinding gelap di ujung. Aman. Pria botak di seberangnya sedang mencari sumber suara, ia masih belum sadar. Sedangkan pria satunya masih berada di dekat peti sambil mengawasi temannya.

Dexter mencari benda yang bisa dilempar lagi di sekitarnya. Ia gembira ketika melihat kaleng berserakan di belakangnya. Mungkin ini hari keberuntunganku, batinnya. Ia mengambil satu kaleng, lalu menggelindingkannya ke ujung terjauh dari peti.

"Apa itu?" seru pria botak di dekat peti. Ia mengambil pistol dari sabuknya lalu mengikuti benda yang menggelinding itu. Dexter mengendap-endap mendekati tumpukan kayu yang berada di dekat peti. Tumpukan itu pendek namun cukup tersembunyi. Dexter berbaring di baliknya, hanya ini satu-satunya cara agar tidak terlihat. Ia mendekatkan alat perekam suara ke bagian atas kayu.

"Rey, sepertinya ada yang bersembunyi di dalam sini," kata pria botak bersuara serak.

Jantung Dexter mencelos. Tentu saja mereka akan tahu kalau ada orang lain di ruangan itu, tidak mungkin kaleng bisa terlempar sendiri. Dexter merasa bodoh sekarang. Hal yang baru saja ia lakukan bisa saja mengungkap keberadaan dirinya.

"Mungkin polisi itu yang melemparnya, Court?"

"Dasar otak udang. Orang itu bernapas saja susah, bagaimana bisa ia melempar kaleng? Kita harus susuri ruangan ini. Cepat, waktu kita sedikit. Kapal berangkat jam 7 tepat."

"Dari mana?"

"Pelabuhan seperti biasa, bodoh. Bos ingin kita cepat mengantar paket berdarah ini. Cepat cari!"

Dexter terbujur kaku. Ia yakin sebentar lagi akan ketahuan bersembunyi. Apa yang akan terjadi padanya? Polisi saja berani mereka tembak. Dexter tersenyum miris. Mungkin tubuhku akan dimutilasi, batinnya. Ia berjengit ketika mendengar suara langkah kaki mendekatinya. Ia memejamkan mata, cukup yakin ketika membuka mata nanti, ia akan berada di alam lain.

Klang!

Suara kaleng terlempar kembali terdengar. Dexter membuka mata.

"Siapa di sana? Tunjukkan dirimu!" ujar pria bersuara serak.

Kedua pria botak itu menuju arah kaleng yang baru terlempar dengan senjata siap di tangan. Sosok bermata kuning berjalan mendekati mereka dengan percaya diri. Ia mengeong sekali lalu berjalan melewati mereka. Kucing itu menyundul kaleng dengan kepalanya sampai menggelinding ke dekat peti.

"Sialan, cuma kucing."

Kedua pria botak itu mendekati peti dan langsung mengangkatnya. "Kita terlalu banyak membuang waktu di sini. Biarkan saja polisi itu mati kehabisan napas di tempat persembunyiannya," ujar pria bersuara serak. Mereka berdua tertawa diikuti si kucing yang mengeong berkali-kali.

Dexter masih tetap berada di posisinya. Telentang dengan tangan kiri mengangkat alat penyadap. Ia tidak berani bergerak. Suara dentingan rantai terdengar keras beradu dengan degup jantungnya sendiri. Sesaat kemudian sunyi. Dexter menunggu sedikit lama untuk memastikan dua pria itu telah pergi. Setelah dirasa aman, Dexter berguling ke kanan dan mengumpat lirih. Kucing hitam bermata kuning berdiri di depannya, lagi-lagi menatap tajam. Dexter menggelengkan kepala sambil mengelus kepala si kucing.

"Kucing pintar," ujarnya, "terima kasih."

Seakan tahu tugasnya telah selesai, kucing itu menjilat tangan Dexter sekali lalu melenggang pergi dengan anggun.

"Aku baru sadar kalau kau kucing betina," kata Dexter terkekeh.

Kucing itu terus berjalan menuju pintu tingkap kayu tanpa menoleh lagi padanya.

Dexter bergegas menghampiri polisi yang sedang sekarat di balik pilar. Pria itu memejamkan mata, mulutnya merah penuh darah, dadanya naik turun berusaha mengambil udara. Dexter memeriksa perdarahan pria itu, yang ternyata tidak berhenti dan terus mengalir. Ia memeriksa nadi di tangan si pria dan menghitung napasnya.

"Nadimu lemah, napasmu cepat, bagaimana aku harus mencari bantuan?" tanya Dexter khawatir. Pria itu telah jatuh dalam kondisi syok. Nadi di pergelangan tangannya tidak teraba. Dexter hanya bisa meraba nadi yang lemah di lipatan lengan. Ia berusaha terus menekan lubang di dada dengan kemejanya. Walaupun darah yang keluar tidak terlalu banyak, tetapi Dexter tidak yakin dengan perdarahan di dalam, terutama paru-parunya. Terbukti dengan pria itu terus menerus batuk mengeluarkan darah.

"Telepon," kata pria itu pelan.

Dexter bergegas mencari telepon milik si pria. Ia menemukannya di saku celana lalu ia berikan. Si pria berusaha menekan layar dengan tangan gemetar.

"Halo, bisa kau ke sini? Penyamaran. Kondisi parah tapi berhasil. Ada sedikit masalah tapi bisa kuatasi," ujar si pria sambil melirik ke arah Dexter ketika mengucapkan kalimat terakhir, "lima menit atau aku mati." Ia mematikan teleponnya lalu mencengkeram lengan Dexter.

Dexter terkejut dan refleks ingin melepaskan tangannya namun cengkeraman lelaki itu terlalu kuat untuk ukuran pria yang syok.

"Kau tidak bisa lari," ujar pria itu.

Dexter mengernyit bingung. "Lari dari mana maksudmu?"

"Lari dari takdirmu."








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top