Chapter 4

Seorang wanita menatap Alair dengan pandangan kosong. Manik matanya yang hitam memandang lurus ke arah mata lelaki di depannya.

"Jangan pergi!" seru Alair tercekat.

Wanita itu menggeleng pelan. "Aku harus."

Angin berhembus kencang, meniup daun-daun di pepohonan hingga berjatuhan. Cahaya matahari menyinari sudut lapangan olahraga sekolah dimana terdapat seorang laki-laki dan perempuan berdiri saling berhadapan sejauh lima meter. Langit yang berwarna oranye seakan menghiasi pertemuan kedua remaja berseragam putih abu-abu itu. Tiba-tiba, muncul lima, enam, tujuh orang tentara yang berjalan mendekati mereka.

Wanita yang berada di depan Alair, menyibakkan rambut hitam sebahunya ke belakang. Setetes air mata bergulir turun ke pipinya.

"Ayahku terluka," katanya.

Para tentara di belakang si wanita terus berderap maju sambil membawa senjata laras panjang. Wanita itu bergeming menatap Alair.

"Kita harus pergi dari sini!" teriak Alair. Ia ingin menarik tangan wanita itu untuk pergi. Tetapi, kedua kakinya menolak untuk bergerak, seakan terpaku kuat ke tanah.

Suara kokangan senjata terdengar dari barisan tentara yang sudah menodongkan senjata ke arah si wanita. Alair membelalakkan mata saat melihatnya.

"Ayahku terluka," kata wanita itu dengan nada sendu. "Terluka fisik."

DOR!

Satu tembakan dilepaskan, mengenai punggung kiri wanita itu hingga menembus ke dada. Warna merah pekat merembes ke seragam putih yang dipakainya. Wanita itu tetap bergeming, menatap Alair yang terkejut ketika melihatnya tertembak.

"Ayahku terluka," katanya, "terluka mental."

DOR!

Satu tembakan kembali meletus, menembus bagian belakang kepala si wanita sampai ke dahi.

"Tidak!" teriak Alair.

Darah mengalir dari dahi wanita itu, turun ke hidung hingga membasahi bibirnya yang merah. Wanita itu tetap berdiri, seakan tidak terjadi apa-apa pada tubuhnya.

"Sial," umpat Alair kesal. Ia berusaha menggerakkan kakinya namun sia-sia. Kedua tungkainya tetap menolak untuk mematuhi keinginannya.

"Kenapa kau tidak menolongku?" tanya si wanita. Rembesan merah di bajunya semakin membesar.

"Aku ingin menolongmu," seru Alair, "tapi aku ... tidak bisa." Ia terus mencoba melangkahkan kakinya yang kaku dan berat. Ia melihat sorot mata wanita itu, terasa kosong namun menusuk pada saat yang bersamaan, seakan menyimpan penderitaan yang teramat dalam.

DOR!

Alair merasa nyeri menjalar turun dari kepalanya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa saat tubuhnya roboh ke belakang. Seluruh bagian tubuhnya terasa lumpuh dan tidak bisa lagi merasakan apa pun di sekitarnya. Kedua kelopak matanya masih terbuka sehingga ia bisa melihat si wanita mendekatkan wajah ke arahnya. Darah dari dahi wanita itu menetes ke wajahnya yang juga berlubang di tempat yang sama.

"Seharusnya kau menolongku, Alair."

Ia sempat menangkap seringai yang muncul di wajah si wanita sebelum semuanya menjadi gelap.

Gelap.

Menyesakkan.

Alair membuka mata lebar-lebar, mengerjapkannya sekali lalu terdiam. Perlahan tapi pasti, saraf di matanya mampu beradaptasi di dalam kegelapan. Ia mengerjapkan mata sekali lagi, berusaha meyakinkan keberadaan dirinya sekarang. Alair menghela napas lega saat menyadari ia masih berada di atas kasur di kamarnya.

"Kenapa aku bisa bermimpi seperti tadi," gumamnya.

Entah sudah berapa banyak ia bermimpi tentang kematiannya sendiri. Tapi mimpi yang ini terasa berbeda. Wanita yang ada di dalam mimpinya, mungkin adalah wanita yang tidak dapat ia lupakan sampai sekarang. Dua tahun tidak bertemu, cukup membuatnya frustasi menahan perasaan rindu. Ia tidak tahu keadaan si wanita namun ia berharap temannya itu baik-baik saja setelah sebuah tragedi yang terjadi saat sekolah dulu.

Alair bangun dari pembaringannya kemudian duduk diam untuk mengatur pikiran. Perlahan, kesadarannya mulai terkumpul kembali. Wanita. Tentara. Jumlah yang banyak. Militer. Ia tersentak saat kumpulan ingatan menghantam dirinya lalu terkekeh pelan. Semalam, ia bergabung dengan organisasi 'dalam' militer. Mungkin gabungan kejadian yang mendadak serta rasa rindu, memicu pikirannya membuat mimpi seperti tadi.

Alair mengusap dahinya, memastikan tidak ada lubang terpatri di sana. Dasar, bunga tidur yang sama sekali tidak terlihat seperti bunga, batinnya.

Ia berjalan gontai ke luar kamar sambil menyampirkan handuk di pundak. Ia menyalakan lampu di ruang tengah lalu terdiam. Sesosok pria yang sangat ia kenal, berdiri diam di depan pintu rumah. Dari gelagatnya, pria itu baru saja melepas sepatu kanannya.

"Kau baru pulang?" seru Alair.

Dexter menoleh pada lelaki yang baru saja berseru padanya sambil nyengir. Rambut cokelatnya terlihat berantakan. "Hebat, kan. Ini rekor," katanya sambil melepas sepatu yang satu lagi.

Alair mengernyit heran. Selama ini, Dexter tidak pernah pulang sampai sepagi ini. Biasanya, hanya dirinya dan Ares yang sering pulang larut malam bahkan sampai pagi setelah selesai mengerjakan tugas kelompok. Saat ia pulang semalam, Dexter memang sudah tidak berada di rumah. Sekarang, ia melihat wajah Dexter yang pucat dan lelah.

"Wajahmu kusut. Ke mana saja kau semalam?"

Dexter mendekati Alair sambil tetap nyengir. "Mencari kerja sambilan. Kau tahu, aku diterima menjadi pelayan kafe."

"Di malam hari?"

"Tentu saja. Jangan heran. Banyak kafe buka dua puluh empat jam di wilayah sebelah. Yah, walaupun agak jauh dari sini, tapi tak apa."

Alair mengangguk ketika mendengar penjelasan temannya.

"Lalu, bagaimana denganmu?" tanya Dexter sesaat sebelum masuk ke kamarnya. "Sudah menemukan pekerjaan sambilan?"

Alair hampir saja mengatakan 'belum' tapi segera menutup mulut tepat sebelum kata itu keluar. Ia berpikir cepat, bergabung dengan organisasi sudah pasti akan menyita cukup banyak waktu kosongnya, entah untuk berlatih atau pun bertugas. Artinya, ia akan sering keluar rumah tanpa alasan. Ia harus mencari penjelasan yang kuat untuk menutupi rutinitas baru yang akan dijalaninya.

"Aku juga sudah mendapatkannya." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Ia sedikit meringis ketika mendengar pernyataannya sendiri. "Di salah satu swalayan pinggir kota. Yang di tengah kota sudah penuh semua. Aku kurang beruntung."

"Bisa mendapatkan pekerjaan saja sudah termasuk beruntung," kata Dexter sambil membuka pintu kamarnya. "Selamat datang, selamat berbelanja."

Dexter tertawa setelah mengucapkan kalimat yang biasanya diucapkan oleh pegawai-pegawai salah satu swalayan. Alair ikut terbahak mendengarnya lalu masuk ke kamar mandi bersamaan dengan Dexter yang masuk ke kamarnya.

"Kalian ribut sekali," seru Ares sambil membuka pintu kamarnya. Ia mendapati ruang tengah telah kosong ditinggalkan oleh Alair dan Dexter. "Bagus. Sekarang aku tidak bisa marah pada siapa pun."

Sambil bersungut-sungut kesal, Ares mendekati jendela dan membukanya. Langit masih cukup gelap walaupun semburat warna kuning mulai terlihat. Ia berkeliling ruangan membuka tirai dan jendela serta mematikan lampu yang tidak diperlukan lagi.

Ares sudah selesai membuka jendela terakhir dan membuka pintu depan ketika Alair keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada.

"Kau sudah bangun rupanya," sapa Alair.

"Gara-gara suara keras kalian mengganggu telinga," sahut Ares.

"Memang sengaja."

Ares mendengus kesal diikuti tawa dari Alair.

"Ponselmu berbunyi tadi," kata Ares, "mungkin dari pacar barumu?"

Alair melesat masuk ke dalam kamar tanpa memedulikan Ares yang berteriak di belakangnya.

"Yeah, tidak usah pedulikan aku."

Alair terkekeh mendengar teriakan kesal dari temannya itu. Ia bergegas menyambar ponsel dari atas meja. Satu pesan masuk tertera di layarnya. Ia membuka dan membacanya dengan cepat.

From: Unknown

Text: Saat pusat galaksi tepat berada di atas pusat pengendali tubuh, pergilah ke tempat cairan hitam kental, yang dicari oleh para XY, menggenang di dekat di tempatmu menuju mimpi.

Code Name: N3XY95

Alair tersenyum setelah selesai membaca pesan itu. Walaupun ia tidak menyangka akan mendapat pesan berbentuk kode, tapi ia bisa memecahkannya dengan cukup cepat. Namun, ia heran. Bagaimana bisa, siapa pun di organisasi yang mengiriminya pesan, tahu nomor ponselnya. Seingat Alair, ia tidak pernah memberitahu Chester, Nigel, bahkan Drew. Alair merenung sejenak sembari menatap layar ponselnya. Apakah ini jebakan? Jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Ia harus pergi ke tempat yang disebutkan dalam kode.

-------------****------------

"Kau berhasil memecahkan kode dari kami, eh?"

Alair nyengir lebar mendengar pertanyaan dari Chester yang berjalan di samping kanannya, sedangkan Nigel di kiri. "Tentu saja. Kode kalian mudah."

"Kami sempat menyangka kau tidak akan bisa memecahkannya," kekeh Nigel. "Tapi kami terbukti salah."

Alair membusungkan dada, sedikit bangga dengan dirinya sendiri. Ia sudah berada di markas organisasi 'dalam' militer setelah bertemu dengan kedua tentara itu di tempat yang ada di kode. Ia senang saat bisa melihat semuanya dengan mata terbuka dan saat keadaan terang. Namun, di bawah tanah ternyata suasanaya memang terkesan remang-remang di siang hari.

Mereka bertiga terus berjalan menyusuri lorong-lorong yang lebih lebar dibandingkan dengan lorong yang menuju ruangan pimpinan. Alair diberitahu bahwa dirinya akan menjalani latihan hari itu. Untung saja jadwal kuliahnya sedang kosong, jadi ia tidak perlu khawatir memikirkan kegiatan akademik hari itu. Alair merasa bersemangat untuk mendapatkan latihan apa pun yang akan diberikan padanya.

"Ah, ya, aku penasaran," kata Alair, "dari mana kalian tahu nomor ponselku? Dan siapa yang mengirim pesan kepadaku?"

"Aku yang mengirimnya," kata Chester. Ia melangkahkan kaki ke lorong di sebelah kanan. "Bagaimana kami tahu nomormu? Tentu saja dari ponselmu. Sebagian orang menyimpan nomor mereka sendiri di dalam daftar kontak."

Alair mengerutkan dahi. "Tunggu dulu, ponselku kan dilindungi kata kunci."

"Kau kira itu masalah untuk kami?" tanya Nigel sambil terkekeh.

"Ah, kalian berhasil menebaknya," sahut Alair tak percaya, "Sepertinya setelah ini aku harus mengganti kata kuncinya."

"Kata kunci biasanya adalah hal yang paling familiar bagi pemiliknya. Kami tinggal mencari data tentang dirimu," lanjut Nigel, "dompetmu sudah kembali ke tempatnya kan?"

"Sial, kalian juga membuka dompetku rupanya," desis Alair, "aku harus berhati-hati bila dekat dengan kalian."

"Kau harus berhati-hati bila dekat dengan siapa pun. Musuh tidak akan selunak ini kepadamu," kata Chester mendadak tegas, "kita sudah sampai."

Alair terlalu berkonsentrasi pada penjelasan Nigel sehingga tidak menyadari dirinya telah berada di depan sebuah ruangan besar berbentuk persegi panjang yang penuh berisi alat-alat olahraga. Ia berdecak kagum. Ruangan itu seperti gelanggang olahraga. Di satu sisi terdapat alat-alat gym, sedangkan di sisi yang lain ada beberapa ring persegi untuk latihan berbagai macam teknik bela diri. Bangunan berbagai bentuk dan ukuran berdiri di ujung ruangan yang digunakan sebagai latihan bersembunyi dan melarikan diri. Beberapa orang, pria dan wanita, terlihat menggunakan berbagai fasilitas di tempat itu.

Tepukan di punggung Alair, menyadarkan ia dari kekagumannya. Ia berlari kecil mengikuti langkah Chester dan Nigel yang sudah melepas jaket hitam yang mereka kenakan. Ia terperangah melihat lengan mereka berdua yang padat berotot. Kaos yang mereka kenakan sampai terlihat sangat ketat di lengan.

"Ayo, kita mulai latihanmu," kata Chester. "Tidak ada kata lelah sebelum waktu latihan berakhir."

"Berapa lama?" Alair bertanya sambil melepas jaket dan meletakkannya di gantungan baju.

"Tergantung daya tahan tubuhmu. Kita harus melihat dulu. Sekitar empat jam kalau kau beruntung."

"Empat jam? Itu penyiksaan," seru Alair.

"Dibandingkan kau mati konyol, ini anugerah. Peregangan dimulai, ikuti aku."

Alair mengerang sambil mengikuti gerakan Chester dan Nigel. Walaupun ia suka olahraga, tapi empat jam adalah waktu yang cukup lama. Ia berusaha mengikuti gerakan kedua tentara di depannya. Sesekali Nigel membenarkan gerakannya yang ternyata selama ini salah. Alair merasa otot-ototnya benar-benar teregang.

Empat jam setelahnya adalah waktu terlama yang pernah Alair rasakan. Keringat sudah membasahi seluruh bajunya. Napasnya berat, terengah di sepanjang waktu latihan. Tangan dan kakinya gemetar setelah menuruti perintah untuk melakukan push-up, sit-up, jumping jack, dan gerakan-gerakan lainnya yang serupa sebanyak ratusan kali. Ia sempat protes untuk mendapatkan waktu istirahat tapi dimentahkan oleh bentakan dari Chester.

"Tiga ratus empat puluh enam ... tiga ratus empat puluh tujuh. Teruskan! Jangan malas!"

Alair berbaring telentang sambil menggelengkan kepala lemas. Anggota tubuhnya sudah menolak untuk bergerak. Ia menghirup napas banyak-banyak seakan oksigen di ruangan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Keringat menetes deras dari dahi dan lehernya.

"Hai, Chester, Nigel! Pasti sulit ya mengajari anak baru. Kelihatannya ia tidak punya semangat."

Alair sedikit mengangkat kepala untuk melihat pemilik dari suara itu. Ia tidak suka dengan nada bicara pemiliknya yang terdengar meremehkan. Seorang laki-laki, yang terlihat sebaya dengan Alair, tersenyum menyebalkan memandang Alair yang terbaring. Rambutnya cokelat dengan potongan agak memanjang seperti orang jepang, tulang pipi tinggi, bibir tipis, dan rahang runcing.

"Siapa kau?" tanya Alair ketus. Ia berusaha untuk duduk walaupun badannya memrotes keras.

Laki-laki itu menyeringai. "Kau tidak punya sopan santun ya. Tapi tak apa, aku maafkan karena kau anak baru." Ia berjalan mendekati Alair sambil mengulurkan tangan. "Lucian, agen tingkat satu. Siapa kau?"

"Alair," katanya pendek sambil menjabat tangan lelaki yang mengaku bernama Lucian. Ia sedikit meringis saat tangannya dicengkeram keras. Belum sempat Alair membalas, Lucian melepaskan jabatan tangannya.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Nigel, "jadwal latihanmu besok, kan?"

Lucian mengangguk. "Aku ingin menyampaikan sesuatu pada kalian," ujarnya. Ia mengajak Chester dan Nigel menjauh dari Alair.

Alair berdecak kesal. Kesan pertamanya pada Lucian yaitu tukang pamer dan sok penting. Ia tidak suka dengan manusia-manusia macam itu. Agen tingkat satu, apalagi itu, huh, batinnya.

Ia tetap duduk sambil menunggu mereka bertiga selesai berbicara. Lucian keluar dari ruangan dengan lambaian tangan padanya, yang hanya dibalas Alair dengan asal-asalan, sedangkan Chester dan Nigel berjalan kembali mendekatinya.

"Siapa sih Lucian itu?" tanya Alair.

Nigel tertawa. "Seperti apa yang ia katakan padamu. Agen tingkat satu. Informasi lain tentu saja menjadi rahasia miliknya."

"Gayanya mengesalkan."

"Memang, tapi dia hebat dalam pengintaian. Jangan buru-buru mengambil kesimpulan tentang seseorang di pertemuan pertama," kata Chester bijak.

"Huh, tetap saja menyebalkan," dengus Alair, "dan apa itu agen tingkat satu?"

"Ah, kami belum menjelaskan rupanya," jawab Nigel, "agen di sini dibagi menjadi beberapa tingkat yang sesuai dengan tugasnya. Semakin tinggi tingkatan, maka akan semakin sulit tugas yang diberikan. Dari atas ke bawah adalah agen utama, agen tingkat satu, dua, lalu tiga."

"Pengamat seperti kalian ada di tingkatan mana?"

"Pengamat tidak masuk tingkatan. Semua agen di tingkatan mana pun memiliki pengamat. Fungsi kami adalah menyokong agen dari belakang, menyiapkan segala hal yang dibutuhkan oleh si agen. Sedangkan agen adalah pelaksana akhir. Pengamat dan agen saling membutuhkan."

Alair mengangguk mendengar penjelasan mereka. "Apakah itu artinya, kalian berdua adalah pengamatku?"

"Tentu saja," jawab Chester.

"Sebelumnya kalian bekerja sebagai pengamat untuk siapa?"

Chester dan Nigel saling berpandangan. Alair mengernyit memandangnya. Mereka berdua seperti menyembunyikan sesuatu.

"Seorang laki-laki," kata Nigel, lebih pelan dari biasanya. "yang kau gantikan tempatnya."

Alair tertohok. Kilasan ingatan, tentang dirinya yang menguping pembicaraan mereka berdua, tiba-tiba datang. "Lelaki yang ... baru menikah? Dan ... sekarat?

Chester mengangguk. "Yah, anak itu kurang beruntung. Tapi memang tidak ada yang menyangka bahwa hasilnya akan menjadi seperti malam itu," katanya menerawang.

"Apa yang terjadi padanya?"

"Suatu saat kau akan tahu, tidak sekarang," kata Nigel sambil tersenyum, walaupun Alair tahu itu adalah senyum yang dipaksakan. "Cukup bersedihnya. Ada kabar bagus untukmu, Nak."

"Apa itu?" tanya Alair bersemangat.

"Tugas pertamamu dimulai besok."

Alair berjengit. "Tunggu dulu. Secepat ini? Aku bahkan baru saja latihan."

Chester menyeringai. "Tidak ada masalah, kau tidak bekerja sendiri. Kau akan memiliki rekan."

"Rekan?" Alair semakin khawatir mendengarnya. Ia tidak menyangka tugasnya akan datang secepat ini bahkan ide untuk memiliki rekan sepertinya tidak bagus. Ia merasa akan direndahkan dengan kemampuannya yang masih sangat minim. Selain itu, ia masih belum begitu paham tentang apa yang harus dilakukannya selama bertugas. Menjadi beban orang lain adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan, dan ia hampir yakin akan menjadi beban bagi rekannya.

"Tak usah khawatir. Tugasmu sebenarnya cukup mudah," kata Nigel.

Alair menghela napas. Berharap tugasnya memang semudah yang dikatakan oleh Nigel. "Lalu, apa tugasku?"

Chester menepuk punggung Alair. "Lihat saja nanti."






A/N : Apa ada yang tahu di mana tempat yang dimaksud kode di atas? XD
Maaf kodenya aneh ya, hiks, author baru pertama kali nyoba bikin kode >.<
Terimakasiih banyak utk vote dan comment-nya yaa readers \^o^/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top