Partner War
[Haizaki Shougo X Narahashi Akemi]
.
Disclaimer: Tadatoshi Fujimaki and Narahashi Akemi
Plot is mine.
And happy reading!
.
.
.
Gadis itu meluruskan kaki setelah lari mengelilingi lapangan tiga kali ia lakukan. Seraya mengelap peluh yang mengucur, ia pun mencari botol air yang sempat ia bawa di tasnya.
Tapi tidak ada.
Eksistensi benda itu lenyap. Segera gadis itu bangkit lalu memeriksa sekitar bangku panjang yang duduki. Namun tetap saja tak ia temukan.
"Huh... Mungkin tertinggal di kelas," keluhnya.
Ia kemudian tak sengaja melirik ke arah kerumunan anak lelaki kelasnya. Berbanding terbalik, justru para adam itu berpesta dengan air kemasan yang entah darimana mereka dapat.
Entah karena memang ia sudah sangat kehausan atau apa, ia pun memaksa diri untuk menuju kerumunan itu. Dicoleknya salah satu bahu lebar itu. Tak peduli bahwa jarinya sedikit lengket karena keringat yang menempel.
"Hei, Haizaki-kun, tolong bagi sedikit padaku," ucapnya sedikit serak.
Lelaki yang bernama Haizaki itu menoleh. Kemudian mengernyit heran atas perilaku gadis itu.
"Narahashi? Kau ingin ini?" Botol di genggaman ia ancungkan.
Narahashi mengangguk. Tak peduli dengan tatapan aneh dari teman-teman sejenisnya karena ia yang berkumpul dengan para lelaki. Dan baginya itu sudah biasa. Dari kecil ia memang perempuan tomboy.
"Maaf. Sudah habis."
Seraya berkata seperti itu, Haizaki segera menghabiskan air yang tersisa itu dalam sekali tenggak. Membuat Narahashi ternganga, sebelum akhirnya berganti amarah karena tengah dipermalukan oleh lelaki yang memang terkenal sebagai partner war-nya itu.
"Kau ..." Telunjuk Narahashi mengarah telak pada muka Haizaki. Yang dibalas dengan senyuman miring dari korban.
"Hm? Apa?" tanyanya enteng.
Tak menjawab, justru Narahashi segera melancarkan tinjunya. Tepat mengarah kepada pelipis kiri Haizaki. Dan itu tepat sasaran.
Bugh.
Haizaki terjerembab. Membuat anak lelaki di sekitar mereka terkaget karena sosok perempuan tangguh itu.
"Bila kau tidak mau memberiku, cukup bilang saja. Jangan bertingkah sombong seperti itu, Baka!" bentak Narahashi sebelum akhirnya ia meninggalkan tempat.
*****
Di dalam kelas, sepertinya Haizaki tidak jera untuk mengganggu perempuan bermarga Narahashi itu untuk ke sekian kalinya. Mengabaikan bekas luka yang sudah terobati, ia segera menuju meja gadis itu.
"Kau mau apalagi, Aho?"
Narahashi bahkan merasa tak perlu menolehkan kepalanya dari manga yang tengah ia baca hanya kehadiran sosok yang menyebalkan baginya itu.
"Hei, kalau berbicara dengan orang lihat matanya!"
Haizaki meninju meja Narahashi. Menyebabkan gadis itu terlonjak kaget. Juga beberapa teman sekelas mereka.
"Baka! Bagaimana jika aku terkena serangan jantung?!" ucap Narahashi setelah mengempaskan manga yang ia baca.
"Wah, aku menantikan hal itu." Seringai yang terbit di wajah lelaki itu membuat Narahashi ingin meninjunya lagi. Namun ia sadar, ini di dalam kelas.
"Maka aku akan menghantuimu seumur hidup! Camkan itu!" desis Narahashi.
Dilesakkannya tubuh jenjang itu kembali pada kursi. Kemudian menutupi wajahnya dengan manga yang sengaja ia baca dalam jarak yang sangat dekat.
Diam-diam, ia merasa risih. Walau matanya hanya terpaku pada sekumpulan gambar berdialog itu, namun ia bisa merasakan bahwa lelaki itu masih menatapnya lekat. Bahkan ia dapat mendengar suara geretan kursi di depannya. Ya. Haizaki duduk di sana.
Entah darimana ia mendengar rumor itu, bahwa sebenarnya Haizaki diam-diam menyukainya setelah sekian lama. Namun alih-alih menyukai, lelaki itu selalu mengobarkan api perang di setiap pertemuan mereka.
Lagipula, Narahashi tidak mengetahui apa yang membuat Haizaki menyimpan rasa padanya. Ia hanya perempuan yang sangat jauh dari kata feminine atau rupawan. Satu-satunya yang mencolok darinya hanyalah sikapnya yang tomboy juga kemampuan bertarungnya yang mengagumkan.
Selain itu, gelar playboy yang disandang oleh Haizaki membuatnya semakin minus di mata Narahashi. Menjadikannya hanya sebatas partner war di sisi gadis itu.
"Apa menariknya membaca manga ini? Dari sampulnya saja sudah terlihat. Tokoh-tokohnya aneh semua."
Mata Narahashi menyembul sedikit dari balik manga itu. Menyipit, menatap tak suka pada Haizaki yang baru saja menghina hobinya. Terlebih pada manga yang teramat ia sukai.
"Memang apa masalahnya? Mengapa kau merasa terganggu atas hobiku?" ucap Narahashi sengit. Ia akan kembali meladeni bacaannya di saat balasan Haizaki menguar.
"Apakah yang lelaki berambut hijau dengan muka jerawatan ini adalah tokoh utamanya? Begitu mengenaskan."
Narahashi tak mempedulikannya.
"Coba lihat. Sejak kapan ada manusia dengan dua sisi wajah yang berbeda? Bahkan sampai ke rambutnya."
Narahashi masih bisa tahan.
"Dan apa-apaan lelaki dengan pakaian konyol ini? Rambutnya seperti duri landak yang ketakutan! Mencuat ke segala arah. Hahaha ..."
Dan kesabaran itu ada batasnya bagi seorang Narahashi Akemi.
Tanpa berkata apapun, ia segera mengangkat kedua kaki. Lalu menendang dengan keras meja yang ia gunakan bersama Haizaki. Dan sisi sebelahnya pun telak menghantam dada lelaki itu dengan keras. Membuatnya terjatuh ke belakang karena tak siap menerima serangan itu.
"Dasar perempuan barbar! Apa maksudmu melakukan ini ... uhuk ..." Haizaki mencoba bangkit. Tangannya memegangi dada yang menjadi sarang bekas hantaman tadi. Rasanya begitu menyakitkan hingga ia terbatuk-batuk.
"Aku sudah memperingatimu. Bahwa bila kau tidak suka dengan segala hal yang berkaitan denganku, tinggalkan saja. Aku tak butuh komentar kotormu itu!" balas Narahashi dingin. Matanya menatap tajam pada Haizaki yang menatapnya serupa.
"Memang apa bagusnya manga ini hingga kau membelanya mati-matian, huh?"
"Hanya fans sejati yang tahu betapa indahnya bacaan ini. Cecunguk sepertimu butuh seribu tahun untuk memahami suatu hal yang tidak kau suka!"
"Cih... Dasar sombong!"
Berkata seperti itu, Haizaki segera menyambar buku bergambar itu. Lalu membuangnya begitu saja.
"Sepertinya itu lebih baik." Haizaki menatap arah lemparannya dengan bangga.
Begitu ia menoleh, tahu-tahu Narahashi sudah menerjangnya dengan ganas. Membuat mereka berdua terpental ke deretan meja para siswa dengan suara yang keras.
Teman-teman sekelas mereka yang sedari tadi hanya terdiam akibat perdebatan mereka, kini mendadak ribut karena ruangan itu menjadi arena gulat bagi keduanya. Beberapa siswi dengan histeris pergi keluar memanggil guru. Sementara para siswa mencoba melerai mereka yang menggila.
Tak peduli dengan sekitar, Narahashi yang menduduki perut Haizaki segera melancarkan pukulan bertubi-tubi yang dapat ditahan oleh targetnya. Sementara yang dibawah mencoba mencari cara membalik keadaan.
Celah terlihat oleh Haizaki. Ditangkapnya pukulan Narahashi menggunakan satu tangan. Dan tangan yang satunya melingkar di bagian belakang gadis itu. Koordinasi keduanya segera merubah suasana.
Narahashi mengambil napas sebanyak-banyaknya begitu punggungnya menghantam lantai dengan telak. Wajah garang masih ia berikan pada Haizaki yang memandanginya remeh dari atas.
"Kau unik. Tak salah aku menyukai kekerasanmu," gumam Haizaki. Dan di saat itu Narahashi memicingkan mata. Memastikan pendengarannya tidak salah tangkap atas gumaman bernada rendah itu.
"Apa maksud—"
"Narahashi-san! Haizaki-kun! Apa yang kalian lakukan?!"
Haizaki dan Narahashi menengok ke arah sumber suara. Di pintu, wali kelas mereka menatap garang. Terlebih posisi mereka yang ambigu itu, semakin menggelapkan auranya. Menyadari hal tersebut, keduanya dengan sigap menjauhi satu sama lain.
"Kalian berdua saya tunggu di ruang konseling! Sekarang juga!"
Suara hentakan dari bantingan pintu pun menutup adegan saat itu.
*****
Ruang konseling terdengar bak gemuruh pasar malam. Begitu ribut oleh teriakan yang saling bersahut-sahutan satu sama lain. Dan itu semua karena sepasang anak manusia yang dipaksa ke sana.
Di sana, Narahashi dan Haizaki masih saja meributkan kejadian yang lalu. Sementara wali kelas mereka yang merangkap sebagai pembina konseling hanya memegang kepalanya yang pusing karena perdebatan tersebut yang tiada habisnya.
"Kau yang mulai duluan!"
"Tapi kau meninjuku!"
"Kau ..."
"Kau..."
Brak.
"Cukup! Diam kalian berdua!"
Adu argument mereka terputus begitu sensei menggebrak meja dengan cukup kuat. Lalu menatap nyalang kepada kedua muridnya itu.
"Kalian berdua salah! Oleh karena itu, saya akan menghukum kalian!"
Keduanya meneguk ludah. Pasalnya, sensei yang satu ini memang terkenal akan hukumannya yang tak tanggung-tanggung atas setiap kesalahan yang ditanganinya.
"Hukuman kalian berdua adalah, cabuti rumput di belakang sekolah sampai bersih menggunakan kedua tangan kalian! Jika saya melihat kalian menggunakan alat atau kabur dari hukuman, saya pastikan catatan pelanggaran hukuman kalian akan dua kali lebih tebal dari rapor kalian! Sekarang, laksanakan hukuman kalian tersebut!"
Dengan ramah, sensei menunjukkan keduanya arah ke pintu yang terbuka. Keduanya saling pandang, sebelum akhirnya permisi undur diri.
*****
Udara sejuk di halaman belakang sekolah tak menetralkan suasana di antara Narahashi Akemi dan Haizaki Shougo. Keduanya saling men-deathglare satu sama lain. Sebelum akhirnya membuang muka.
"Aku mengambil sisi sebelah kanan. Dan kau sebelah kiri." Narahashi segera menuju arah yang ia ucapkan tanpa mendengar jawaban dari Haizaki.
Diamatinya rumput-rumput yang memiliki rata-rata nyaris selututnya itu, sebelum akhirnya memegang ujung salah satu dari mereka.
"Maafkan aku. Tapi aku harus mencabut kalian semua," bisik Narahashi sebelum mulai mencabuti rumput itu hingga ke akar-akarnya. Lalu mengumpulkannya di satu tempat.
Dan di belakangnya, Haizaki hanya diam mengamati tingkah Narahashi. Dalam hati, ia sedikit menyesali perbuatannya yang menyebabkan perempuan itu harus dihukum juga. Namun egonya berkata lain. Menurutnya, justru dirinya lah yang tak pantas dihukum. Semua murni kesalahan gadis itu.
Haizaki dapat mendengar bibir tipis itu menyanyikan sesuatu. Membuatnya tergoda untuk mendekati sumber suara.
"Hei, apakah kau tidak bisa diam? Suaramu menggangguku," ujarnya di belakang Narahashi yang berusaha menarik sebuah rumput gajah.
"Memangnya kenapa? Lagipula ... aku ... hanya bernya ...nyi." Suara Narahashi terputus-putus akibat dirinya yang terlalu berkonsentrasi pada pekerjaannya.
"Ayolah ... Menurut padaku," racaunya kepada rumput yang baru terlihat akarnya itu.
Pertanyaan Haizaki ditambah rumput yang sulit dicabut membuat amarah Narahashi tersulut. Ia pun mengeluarkan tenaga lebih hingga akhirnya rumput itu lepas dari tanah.
Namun membuat Narahashi juga lepas dari keseimbangannya.
Sebelum ia jatuh, ia dapat merasakan bahwa Haizaki menangkap tubuhnya. Lalu membawanya menuju dada bidang itu.
"Kalau kau tidak bisa mencabutnya, jangan sok kuat, Baka! Kau bisa meminta tolong padaku!" rutuk Haizaki pada Narahashi yang masih shock karena posisi mereka.
Sadar akan yang terjadi, keduanya segera menjauh. Kembali menatap galak pada satu sama lain.
"Sudahlah. Aku malas berurusan denganmu lagi." Berkata seperti itu, Narahashi kembali menekuni pekerjaannya. Kembali mendendangkan lagu kesukaan.
"Sudah kukatakan. Berhenti bernyanyi!" bentak Haizaki. Narahashi menoleh. Lalu menatap remeh.
"Daripada kau merutuki nyanyianku, lebih baik kau segera menyelesaikan pekerjaanmu sebelum semua rumput itu tumbuh dua kali lipat! Lagipula, aku juga memiliki hak untuk bernyanyi, Baka!" Narahashi mengambil rumput liar di genggaman. Kemudian melemparkan semua, beserta tanahnya, ke arah Haizaki.
"Berhenti, kubilang. Atau aku akan menyumpal bibirmu itu dengan tanah!" ancamnya.
"Oh ya? Coba saja." Seringai Narahashi melebar seiring dengan nyanyian yang ia keraskan.
Haizaki menggemeretukkan gigi. Menahan amarah karena merasa tak dianggap oleh gadis itu. Dengan cepat, tangannya menangkup kedua pipi gadis itu. Lalu mencecap bibir merah itu dengan ganas.
Narahashi hanya bisa membelalakkan mata. Otaknya yang sempat korslet segera mengambil tindakan dengan menyuruh tubuh itu menendang perut di depannya.
"Hentai! Apa kau pikir aku sudi melakukannya denganmu, Bakayaro?!" teriak Narahashi seraya mengusap bibirnya cepat. Sekaligus mengusap air mata yang mendadak jatuh di kedua pipinya.
"Asal kau tahu saja. Aku sudah cukup bersabar atas semua perilakumu. Biar kata aku sering menghajarmu, namun bukan berarti kau bisa seenaknya mengambil ciumanku, Aho!" lanjutnya.
Haizaki hanya terdiam menanggapi semua itu. Namun sorot matanya menyiratkan penyesalan atas perbuatannya. Terutama karena ciuman sepihak nan paksa yang tadi ia lakukan.
"Narahashi, aku—"
"Apa? Kau puas atas perbuatanmu itu? Cih... Dasar berengsek! Dan satu lagi. Entah rumor yang menyebutkan kau menyukaiku itu benar atau tidak, namun aku akan berikan jawabannya. Aku membencimu!"
Haizaki tersentak mendengar hal itu. Permintaan maaf yang tak tersampaikan sudah membuatnya sedikit hancur. Namun pernyataan gadis itu bahwa ia membenci dirinya, cukup untuk membuat hati Haizaki lebur.
Tak peduli dengan hal itu, Narahashi segera meninggalkan Haizaki sendirian di halaman belakang yang masih penuh dengan rumput itu.
*****
Langit yang menyenja di atas sekolah mengaburkan pikiran Narahashi. Ia tak segera pulang setelah insiden tersebut. Di dalam kelas, pikirannya masih berseliweran. Memperdebatkan salah atau tidaknya perbuatannya barusan.
"Huft... baiklah. Sepertinya aku salah," ujar Narahashi pada dirinya sendiri. Berkata demikian, ia pun segera menuju ke halaman belakang. Hendak memeriksa keadaan partner war-nya itu.
Dan sampai di sana, Narahashi dibuat terkaget. Bagaimana tidak? sekarang tidak ada satupun rumput yang nyaris selututnya itu. Yang ada hanyalah hamparan tanah dengan rumput-rumput kecil yang tak bisa tercabut.
Dia ... melakukan semuanya sendirian?! pikir Narahashi ketika menemukan sosok berbadan tegap yang bersandar di bawah pohon besar di sisi lapangan yang lain. Dan ia pun mendekatinya.
Haizaki yang dalam keadaan setengah sadar segera terlonjak begitu mendapati Narahashi yang menuju ke arahnya. Namun yang berbeda, aura gadis itu sedikit cerah daripada sebelumnya.
"Mengapa kau kembali? Tenang saja. Bagianmu sudah kukerjakan juga. Kita sudah bebas dari hukuman," ujar Haizaki tanpa melihat ke arah Narahashi.
Ia pun terpaksa menoleh ketika Narahashi membungkukkan badannya sedikit. Terlebih ketika gadis itu mengeluarkan kata.
"Haizaki-kun, aku minta maaf atas perbuatanku tadi. Seharusnya aku bisa mengontrol emosi dan tidak membiarkan pekerjaanku di selesaikan walaupun jujur, masalahnya memang bersumber darimu. Dan terima kasih atas bantuannya," ucap Narahashi lancar.
Haizaki hanya mengembuskan napas mendengar permintaan maaf yang bahkan masih sempat-sempatnya menghakiminya itu. Namun, ia memaklumi.
"Uh ... Ya. Aku juga minta maaf karena selalu mengganggumu. Terutama karena ciuman tadi." Suara Haizaki yang terdengar kikuk mau tak mau mengundang tawa kecil Narahashi.
Gadis itu mengambil tempat di sisi Haizaki. Kemudian menyodorkan botol berisi air yang tak sempat ia minum ketika pelajaran olahraga tadi.
"Minumlah. Kau membutuhkannya kan?" ucapnya sedikit malu.
Dengan sedikit gugup, Haizaki menerima minuman itu. Lalu menenggaknya dengan cepat. Setelah minum, ia pun menatap Narahashi yang sedang melihat hamparan di depannya.
"Hei, tadi kau bilang ada rumor kalau aku menyukaimu kan?" tanya Haizaki. Nada suaranya yang terdengar serius membuat Narahashi mengangguk.
"Teman-teman sekelas yang memberitahuku. Tapi lupakan saja. Toh hanya rumor," balas Narahashi.
"Bagaimana kalau itu benar?"
Narahashi membelalakkan mata begitu mendengar jawaban Haizaki. Namun sayangnya, Narahashi tidak melihat kebohongan di sorot mata lelaki yang tengah menatap dirinya itu.
"Ya. Aku memang menyukaimu, Narahashi. Dan semua perilakuku yang mengganggumu itu, semata-mata karena aku ingin mendapatkan perhatianmu," ujar Haizaki jujur.
"Tapi kau sudah bilang kalau kau membenciku..." Narahashi bingung hendak mengatakan apa. Ia kembali menatap Haizaki yang mengembuskan napasnya berat.
"Daijoubu dayo. Yang penting aku sudah mengungkapkan perasaanku..."
"Bagaimana jika itu salah?" sambung Narahashi cepat.
Giliran Haizaki yang menatap tak percaya pada Narahashi yang sedikit bersemu merah di dekatnya. Tatapannya semakin intens pada gadis yang semakin menyembunyikan mukanya itu.
Wajahnya pun mendekat. Tangan kekarnya pun segera mengambil dagu Narahashi. Lalu membawa wajah itu menuju wajahnya dengan lembut. Tak ada perlawanan dari Narahashi.
"Kurasa, ciuman yang tadi tidak salah bukan?" ujarnya lembut. Dan Narahashi menganggukinya.
Senyum keduanya merekah di bawah pohon itu. Kemudian, giliran tangan mereka yang bertaut. Membawa sepasang tubuh itu meninggalkan saksi bisu kejadian di senja ini.
.
.
.
Yosh! Akhirnya mulai nulis lagi dah :v
Btw, semoga kau suka dengan fanfict ini, Akemi-san. Gomen nasai. Ide yang nyangkut di kepala cuma ini T_T
See you all! ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top