A Rain: Recycle

[Midorima Shintarou x Asakura Haruka]

.

Disclaimer: Tadatoshi Fujimaki and Asakura Haruka

Plot is mine.

And happy reading!

.

.

.

Life has so many ways of letting us down

Inside the potion keep your feet on solid ground

Your heart filled with doubt, you're crying out

And you just can't seem to turn this thing around

(Only Gets Better)

.

.

Setahun berlalu sudah.

Selama itu pula Midorima dan Asakura harus menghadapi tekanan dari keluarga mereka masing-masing. Namun seperti kata pepatah. Semakin tegar karang yang berdiri, maka semakin keras pula ombak yang menghantamnya. Sama seperti hubungan mereka berdua.

Kini, Midorima mengikuti jejak Asakura sebagai peraih nilai terbaik untuk angkatannya. Membuatnya mudah diterima di Jurusan Kedokteran di Universitas Tokyo. Sekaligus akan mendekatkannya dengan Asakura yang juga mengambil Jurusan Pendidikan Dasar di tempat yang sama.

Keduanya kini sudah mengakui perasaan masing-masing. Namun tak terikat pada hubungan apapun. Membuat Hanabi berulang kali menanyakan keseriusan hubungan mereka. Sementara ayah Asakura, Kaze, memilih untuk menutup telinga semenjak peristiwa memalukan itu terjadi.

Demikian pula yang terjadi pada Midorima. Shutarou terkadang mengungkit kembali kejadian itu. Setelah itu, mencemooh sulung keluarganya atas tindakannya yang kurang ajar itu. Namun Midorima tak ambil pusing. Ia akan menulikan telinga jika melihat gelagat ayahnya yang aneh.

Mengenai hubungan keluarga Asakura dengan Mayuzumi, mereka tetap berhubungan baik. Walau sekarang mereka tidak berani mempertemukan putra-putri mereka. Reuni yang harusnya membahas generasi selanjutnya, kini hanya terisi oleh kelakar garing masa muda.

Semuanya tentu berubah. Tak ada yang menampik jika peristiwa yang memalukan itu mempengaruhi ketiga keluarga. Terutama ketiga sulungnya. Namun sekali lagi, tak ada yang berani mengungkit. Kecuali jika ada suasana yang memaksa mereka untuk membongkar memori kelam itu.

Sudah setahun berlalu. Dan mereka tetap mempercayai jika lembaran baru untuk kehidupan selanjutnya akan ada. Sayangnya, tak ada yang menyadari. Bahwa karma juga pasti mengikuti.

.

.

Life is too real for a fairy tale

Soon over after

Time is healer, but I won't fail

To be with you faster

(Barricade)

.

.

"Haruka?"

"Ya, Ibu? Ada apa?"

Asakura yang tengah mengetik tugas segera memenuhi panggilan itu dengan menemui ibunya di dapur. Tampak Hanabi tengah mempersiapkan beberapa kudapan. Membuatnya mengernyit heran.

"Itu untuk siapa?" tanyanya.

"Kau bawa ini menuju ruang tamu. Teman ayahmu ada yang datang," ujar Hanabi seraya menyerahkan nampan yang berisi empat gelas minuman itu kepada Asakura. Ia pun menerima itu setelah merapikan penampilannya sebentar.

Dengan hati-hati, Asakura membawanya menuju ruang tamu. Di mana ia mendengar beberapa suara serius yang saling bersahutan. Ia berhenti sebentar. Merasa familiar dengan suara-suara tersebut.

Asakura menyembulkan kepalanya sedikit ke ruang tersebut. Seketika itu pula ia tercekat karena mengenali para tamu ayahnya. Terlebih ketika seorang wanita paruh baya mengetahui dirinya.

"Ruka-chan? Kau kah itu?"

Asakura segera bersembunyi. Tiba-tiba saja ia merasa badannya gemetaran hanya karena panggilan singkat itu. Jantungnya pun mendadak ribut. Mulai mempertanyakan kesengajaan sang Ibu yang memintanya mengantarkan minuman.

Setelah menenangkan diri, Asakura pun kembali melanjutkan langkahnya memasuki ruangan yang mendadak berat itu. Dengan gerakan kaku, ia pun meletakkan minuman yang ia bawa di atas meja.

"Ruka-chan? Bagaimana kabarmu?"

Asakura mendongak ke arah sumber suara. Sedikit memaksa senyum, ia pun menjawab, "aku baik-baik saja, Mayuzumi-basan."

Mayuzumi Chinmi pun mengangguk lalu beranjak untuk menemui gadis itu. Asakura tertegun begitu Chinmi memeluknya hangat. "Ba-san merindukanmu, Sayang," ucapnya.

Kehangatan yang Asakura rasakan membuatnya membalas rengkuhan itu. "Aku juga demikian, Ba-san," lirihnya. Chinmi kemudian mengusap rambutnya lembut.

"Bagaimana kuliahmu? Lancar kan?"

Asakura mengangguk. Namun kemudian menggeleng begitu Chinmi mengajaknya duduk di sampingnya. "Maaf, Ba-san. Aku tengah ada tugas. Kurasa, aku harus menyelesaikannya sekarang," tolaknya halus. Chinmi mendesah kecil. Kemudian merelakan Asakura untuk pamit meninggalkan mereka.

Gadis itu akan berbalik, namun terhalang oleh ibunya yang membawa kudapan. Wanita itu pun meminta Asakura untuk turut dalam pembicaraan mereka.

"Ta-tapi, Bu ...."

Asakura segera terdiam begitu tubuhnya dipaksa untuk duduk di dekat Chinmi. Kemudian Hanabi pun segera mengapitnya dari sebelah kiri. Asakura sama sekali tak berani mengangkat muka begitu Kaze kembali melanjutkan percakapan mereka.

"Jadi, berhubung cabang di Osaka ..."

Ini hanya pembicaraan bisnis biasa, bukan? Tapi mengapa Ibu memintaku untuk mendengarkannya? Aku rasa, ini sedikit aneh. Pikir Asakura saat mendengar pembicaraan itu.

Di saat itulah Asakura tahu jika ternyata Kaze, Ryo, dan Shutarou adalah rekan bisnis. Menurutnya, adalah suatu keajaiban jika ketiganya masih bisa membicarakan hal itu dengan santai tanpa mengingat apa yang terjadi di antara putra-putri mereka setahun silam.

"I-ibu, aku harus mengerjakan tugasku," bisik Asakura pada ibunya. Namun Hanabi tak acuh akan bisikan itu. Yang karenanya Asakura pun sweatdrop.

"Oh ya, Haruka. Bagaimana hubunganmu dengan Shintarou?" tanya Ryo tiba-tiba.

Asakura memilih bungkam. Dapat ia lihat sekilas air muka Shutarou yang mengeruh ketika lelaki bersurai abu itu menanyakannya.

"Haruka, kau harus menjawab pertanyaan Ryo-jisan, Sayang," ujar Hanabi. Tangannya yang mulai mengerut membelai lembut surai kemerahan Asakura. Meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Sepertinya tidak berjalan sesuai yang semestinya. Apakah Shintarou menyakitimu, Nak?"

Semua langsung menoleh ke arah Shutarou dan mendapati lelaki itu yang tersenyum dingin. Asakura pun menggeleng pelan, sekaligus takut.

"I-iie, Midorima-jisan. Midorima-kun tidak se—"

"Sebaiknya kau memutuskan hubungan kalian, Nak. Shintarou tidak pernah bisa serius dalam berhubungan dengan wanita."

Sekali lagi, semua tercekat mendengar lelaki itu yang menjelek-jelekkan anaknya sendiri. Namun bagi Asakura, selain sebagai sebuah penghinaan atas Midorima, itu juga terdengar seperti Shutarou yang tidak merestui hubungan keduanya.

Apakah Midorima-jisan tidak senang melihat kami berhubungan? Apakah ia masih marah atas peristiwa setahun lalu?

Asakura menggigit bibir bawahnya, menahan sakit ketika pemikiran itu datang dengan sendirinya. Walau tak ada yang menyetujui, ia pun segera meminta izin untuk kembali ke kamarnya.

Di dalam, tugas yang harus ia kerjakan terpaksa harus terbengkalai kembali. Bagaimana mungkin ia akan fokus mengerjakan tugas sementara di satu sisi air matanya tak berhenti mengalir?

Ia kemudian mengambil ponsel yang masih mengisi daya. Menekan panggilan cepat dengan tergesa-gesa. Lalu menunggu sambungan seraya mengusap sisa air mata.

"Halo, Haruka? Ada apa, nanodayo?"

"Sh-shintarou ..."

"Ada apa, nanodayo? Suaramu sedikit serak. Seperti baru selesai menangis."

Aku memang baru selesai menangis, Baka! Dan itu karena ayahmu! Batin Asakura di dalam hatinya.

"Apakah aku mengganggumu?"

"Iie. Kebetulan aku baru selesai mengerjakan tugas. Kau sendiri bagaimana? B-bukan bermaksud apa. Tapi aku tidak mau melihat dosen harus bersusah payah menghukummu, nanodayo."

"Dasar Tsundere! Tenang saja. Aku juga tengah mengerjakan tugasku."

Dengan laptop yang menganggur sementara pemiliknya tengah terisak di atas kasur? Huh. Lucu sekali. Pikir Asakura lagi.

"Aku bukan tsundere, nanodayo. Syukurlah jika begitu. Lalu? Apakah ada yang ingin kau bicarakan denganku sehingga kau menelepon?"

"Ya. Ada yang ingin kubicarakan. Tapi tidak di telepon."

"Kalau begitu, kurasa kita bisa bertemu di tempat dan di waktu yang biasa esok hari, Haruka."

"Ha'i. Aku juga memikirkan hal yang sama."

Selanjutnya, sambungan diputuskan. Kembali, Asakura menelungkupkan kepala di atas bantal. Masih sedikit shock atas penolakan tersirat dari Shutarou.

Semoga kau tidak berpikiran sama dengan ayahmu itu, Shin.

.

.

I knew you were

You were gonna come to me

Here you are, you better choose carefully

I am capable of anything

Of anything or everything

(Dark Horse)

.

.

Pagi itu, kebetulan ada dosen yang berhalangan hadir untuk memberikan mata kuliah. Sehingga Asakura pun memilih untuk menghabiskan waktunya di kantin. Lagipula, waktunya untuk bertemu dengan Midorima masih jauh.

"Satu takoyaki dan es jeruk," ujar Asakura. Pelayan yang berada di depannya pun mengiyakan, lalu pergi untuk menyiapkan hidangan itu.

Tak sampai lima menit, pesanan itu pun jadi. Asakura segera membawanya menuju meja terdekat yang kebetulan kosong. Setelah melesakkan tubuhnya, ia pun mulai menikmati makanan itu dalam kesendirian.

"Permisi. Boleh aku duduk di dekatmu?" ujar seseorang. Asakura pun mempersilakannya tanpa melihat orang tersebut terlebih dahulu. Terlalu asyik dengan makanannya.

"Kau terlihat sangat menikmati takoyaki itu, Asakura."

Asakura menghentikan aktifitasnya, menoleh, lalu terdiam begitu melihat siapa yang berbicara. Sedetik kemudian, ia pun tersedak oleh makanan itu sendiri.

"Kau tidak apa-apa, Asakura?"

Pemuda itu lantas menepuk-nepuk punggung Asakura dengan lembut. Tangannya pun menyodorkan gelas berwarna oranye yang belum disentuh sama sekali oleh Asakura. Terpaksa, gadis itu pun menerimanya.

Shimatta!! Mengapa aku harus bertemu dengannya?! I-ini ... M-mengapa bisa terjadi?! Pekik sulung Asakura itu dalam hati begitu mendapati tatapan Mayuzumi yang terlihat khawatir padanya.

Ya. Lelaki itu adalah Mayuzumi Chihiro. Lelaki yang Asakura coba untuk lupakan semenjak satu tahun lalu. Membuatnya semakin kesal ketika mengingat kalau Mayuzumi adalah seniornya di universitas itu.

Keduanya berada dalam suasana yang awkward. Sedikit menjauh, Asakura tak berani melanjutkan kegiatan makannya. Ia hanya terpaku pada takoyaki dan es jeruk miliknya. Hendak berlalu, namun Mayuzumi mencegah.

"Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-baik saja, Mayuzumi-kun."

"Bagaimana dengan kedua orang tuamu?"

"Mereka juga dalam keadaan baik."

Setelah itu, Mayuzumi bingung hendak menanyakan apa. Lagipula, bukan kebiasaannya berbicara banyak. Terlebih di depan perempuan.

"Maaf, Mayuzumi-kun. Aku harus kembali ke kelas," ujar Asakura tiba-tiba.

"Tunggu dulu, Asakura ..."

Asakura berbalik. Perempatan siku-siku ia perlihatkan ketika melihat tatapan abu yang terkesan aneh itu.

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

Tak menjawab, Asakura hanya mengangguk singkat.

"Bagaimana hubunganmu dengan kouhai-mu itu?"

"Maksudmu Midorima-kun?"

"Memangnya ada lagi yang kau pacari selain dia?"

Tentu saja Asakura merasa kesal. Secara tak langsung itu menyatakan dia memiliki banyak kekasih. Boleh kah dia menusukkan tusukan takoyaki itu ke dalam kelereng abu itu?

"Kami baik-baik saja. Memangnya ada apa?"

Bohong. Asakura merasa lidahnya terlampau kelu untuk memaksakan diri mengucapkan kalimat itu.

"Ah tidak. Aku hanya ingin melihat, apakah masih ada celah untuk dimasuki," lirih Mayuzumi yang segera bangkit. Di belakangnya, Asakura mengerjapkan mata. Ia tidak salah dengar kan? Mengapa Mayuzumi mengatakan hal semacam itu?

"Tunggu, Mayuzumi-kun!"

Mayuzumi menoleh. Iris kelabunya bersirobok dengan netra cokelat bening itu. Sekilas, ada keraguan yang terpancar di sana.

"Mengapa kau mengatakan hal itu?"

Mayuzumi menggeleng pelan. Setipis senyum ia sampirkan di wajah pucatnya.

"Awalnya, aku ingin menentang pertunangan kita secepatnya. Namun, begitu melihat Midorima yang membawamu saat itu, entah mengapa aku merasa tak rela. Oleh karenanya, badanku refleks menghajar wajahnya," ucap Mayuzumi tenang. Ia tersenyum kecil melihat Asakura yang terkejut karena pengakuannya itu.

"Kurasa, aku juga menyimpan hal yang sama seperti kalian. Jujur saja. Itu sampai saat ini," lanjutnya.

Sekarang, Asakura tak tahu harus berkata apa. Semua yang ingin ia tanyakan seolah buyar seketika begitu mendengar penuturan Mayuzumi. Mengapa setelah sekian lama hal itu terjadi, hal seperti ini harus mengikuti?

Namun akal sehat Asakura menentang. Tidak mengizinkan sesuatu seperti itu memasuki perasaannya. Yang lalu biarlah berlalu. Baginya, Mayuzumi sudah telat untuk merasakan hal itu. Karena sekarang, ia pun tak bisa lepas dari Midorima.

"Maaf Mayuzumi-kun. Tapi kurasa, celah yang kau maksud itu tidak ada sama sekali. Karena hubunganku dan Midorima-kun tetap berjalan baik," ujar Asakura tegas.

Mayuzumi mengangguk. Paham dengan hal itu, walau ia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaan, sekaligus penyesalan dari wajahnya.

"Aku mengerti keputusanmu. Tapi kau harus ingat. Aku akan kembali jika celah itu ada." Setelah mengucapkan itu, Mayuzumi pun segera berbalik. Berjalan menjauhi kantin yang menyepi.

Sementara, Asakura kembali terduduk di kursinya. Sedikit tak percaya, semua ini harus terjadi di masa yang seharusnya terisi oleh kenangan indah itu.

.

.

I was playing back a thousand memories, Baby

Thinking 'bout everything we've been through

Maybe I've been going back too much lately

When time stood still and I had you

(If This Was A Movie)

.

.

Setahun lalu, setelah peristiwa itu ...

"Apa yang kau lakukan, Berengsek?!! Padahal kau mengetahui kalau putri Kaze sudah bertunangan dengan putra Ryo. Tapi mengapa kau dengan sok gagahnya menghancurkan semua itu?! Apa kau juga tidak ingat jika mereka berdua adalah rekan bisnisku, Shintarou?! Bagaimana aku akan menutupi perilaku hinamu ini jika aku bertemu dengan mereka?! Katakan Shintarou?! Bagaimana aku harus melakukannya?!!"

Selanjutnya, sumpah serapah terus terdengar bersahut-sahutan di dalam rumah megah itu. Bergema, membuat yang mendengar merasa tak enak.

Sementara di depannya, Midorima hanya menatap lurus ke depan. Memikirkan bagaimana mempertahankan hubungannya dengan Asakura di tengah suasana yang pelik seperti ini. Tak menghiraukan entah sudah berapa kata umpatan yang Shutarou lemparkan kepadanya.

"Anata, kau terlalu keras padanya," ujar seorang wanita dengan lembut. Jemarinya segera membelai tangan kepala keluarga itu. Berharap dapat meredakan amarahnya.

"Tapi yang dia lakukan itu sudah keterlaluan, Shiiya! Dia seenaknya saja mencium dan mengajak lari gadis yang sudah bertunangan, di pesta pertunangan itu sendiri!!" bentak Shutarou.

Midorima Shiiya hanya mengangguk kecil. Paham akan sumber amarah suaminya yang terus meledak-ledak. Sementara di satu sisi, ia juga dapat mengerti mengapa anak sulungnya melakukan semua itu.

"Seandainya ia menjadi dokter di kemudian hari, aku tidak bisa menjamin reputasinya akan bagus mengingat dasarnya saja sudah bajingan seperti ini!!"

"Shutarou!!" Kali ini, Shiiya sudah tidak bisa menahan diri. Sisi keibuannya tentu tak terima jika masa depan anaknya dilecehkan seperti itu. Apapun yang Midorima lakukan saat ini, masa depannya masih bisa berubah. Jadi, tak ada yang boleh mengusiknya. Walau itu adalah Shutarou, ayah dari anaknya sendiri.

"Otou-cama ... Otou-cama tidak boleh belkata kasal kepada Chin-niicama. Ibu gulu bilang, itu tidak baik."

Semuanya serentak menoleh ke arah pojok ruangan yang terhubung dengan ruangan yang lain. Tatapan mereka terpusat pada eksistensi gadis kecil bersurai hijau yang memeluk boneka kodok sewarna rambutnya. Ukuran boneka yang sedikit lebih besar dari gadis itu menyembunyikan wajahnya yang sedikit ketakutan akibat mendengar amukan sang ayah.

"Chin-niicama juga tidak boleh melebut punya olang lain. Kata ibu gulu, itu sama saja dengan menculi," celoteh gadis itu lagi dengan ucapan yang masih cadel. Ia segera menutupi wajahnya dengan boneka itu ketika sang ibu menghampiri.

"Shinka, mengapa kau di sini? Ayo pergi tidur lagi. Okaa-sama temani ya?" ujar Shiiya kecil seraya menggendong bungsunya yang masih berusia lima setengah tahun itu. Membawa gadis yang masih menatapi kedua lelaki itu menuju kamarnya.

Suasana hening setelah kedatangan Shinka. Shutarou pun memilih mengikuti perkataan anak gadisnya –yang walau masih balita, tapi sudah mulai bersekolah– itu. Ia pun mengatur napasnya yang masih tak beraturan. Menatap sebentar pada Midorima, lalu segera meninggalkan anak lelakinya itu.

Apapun yang terjadi, aku tidak akan melepaskanmu, Haruka. Janjinya di dalam hati.

Sementara di rumah keluarga Asakura, hal yang sama juga terjadi. Kaze terus memberikan ceramah mengenai keputusan putri tunggalnya itu. Sementara Hanabi memilih untuk menghabiskan tangisnya dalam diam.

"Haruka, apa yang kau pikirkan? Padahal semua sudah setuju jika kau bertunangan deng—"

"Tapi aku tidak pernah menyetujuinya!"

"Haruka! Jangan memotong ucapan ayahmu!!"

Asakura seketika terdiam begitu ibunya membentaknya karena memotong ucapan sang ayah. Tapi itu semua semata-mata adalah spontanitas dari kerja otaknya.

"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan ketika memilih untuk kabur dan pulang dalam keadaan basah bersama anak dari Shutarou. Namun, perbuatan kalian itu sudah mencoreng nama baik dari tiga keluarga. Apalagi banyak rekan dan kolega bisnis kami yang menghadiri acara itu!!" ujar Kaze dengan amarah yang tertahan. Sementara Asakura memilih untuk menerka darimana ayahnya tahu tentang keluarga Midorima.

Suara dering ponsel tiba-tiba memecah suasana sunyi yang sempat terjadi. Dengan tergopoh-gopoh, Hanabi pun segera memeriksa ponselnya.

"Itu dari siapa, Hanabi?" tanya Kaze.

"Dari Chin-chan..."

"Apa katanya?"

"Ia meminta maaf karena telah memaksa Haruka untuk bertunangan dengan Chihiro-kun. Menurutnya, itu semua salahnya karena ia yang paling menginginkan pertunangan itu. Ia sangat ingin Haruka menjadi menantunya," lirih Hanabi setelah menjawab pesan dari Nyonya Mayuzumi tersebut.

Asakura semakin menundukkan pandangan kala tatapan tajam Kaze kembali terhunus pada dirinya.

"Kau dengar itu, Haruka?! Seharusnya kau dan putra Shutarou yang meminta maaf kepada mereka! Bukan malah Chinmi yang harus menanggung semua ini!!"

Setelah satu vas berserakan di lantai, Kaze pun segera membanting pintu kamarnya dengan keras. Menandakan amarahnya benar-benar membutuhkan pelampiasan.

Asakura mengangkat muka takut-takut. Dapat ia lihat Hanabi yang menatapnya dengan rasa yang bercampur aduk. Namun kekecewaan lebih tampak pada netra wanita yang memilih untuk meninggalkan Asakura, lalu menyusul sang suami menuju kamar mereka itu.

Dan sekarang, apa yang harus kulakukan? Batinnya melirih pilu.

.

.

Falling out of love is hard

Falling for betrayal is worst

Broken trust and broken hearts

I know, I know

(Impossible)

.

.

Asakura mengerjapkan mata. Kemudian menyadari bahwa ia berada di ruang kesehatan kampus. Ia pun menoleh. Mendapati sepasang netra emerald yang menyipit karena senyuman

"Jangan bergerak, nanodayo. Kau belum pulih benar," ujar Midorima lembut. Asakura tersenyum kecil. Kemudian kembali menidurkan diri.

"Kau pingsan di kantin tadi. Untung saja ia cepat membawamu kemari, lalu memanggilku menuju kelas, nanodayo." Sekilas, Asakura dapat merasakan kegetiran di balik nada suara Midorima.

"S-siapa yang membawaku?"

Midorima mengambil napas berat. Lalu menolehkan kepala seraya mengucapkan, "Mayuzumi Chihiro."

Sekarang Asakura mengerti mengapa suara Midorima sedikit lain daripada biasanya. Juga mengerti mengapa ia bisa pingsan mendadak. Apa yang Mayuzumi ungkapkan membuat ingatan yang terkubur itu kembali mencuat.

"Mengapa kau bisa bersamanya, nanodayo?" tanya Midorima penuh selidik. Dan Asakura memilih untuk menyembunyikannya.

"Kami hanya bertemu ketika makan siang. Kebetulan ia duduk di meja yang sama denganku karena kehabisan tempat," jawab Asakura.

Kilatan pada manik itu membuat Asakura berpikir bahwa Midorima masih meragukan jawabannya. "Kau tak percaya?" lanjutnya.

"Aku percaya, nanodayo. Hanya saja, aku tidak bisa memikirkan bagaimana perasaan kalian ketika bertemu tadi, nanodayo," ujar Midorima. Asakura menggeleng pelan.

"Iie. Ia hanya menanyakan kabar kami sekeluarga. Setelah itu, kami tidak membicarakan apa pun." Tentu saja kalimat terakhir yang Asakura katakan adalah bohong.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" ujar Midorima tiba-tiba.

Asakura meneguk ludah. Merasa berat untuk mengatakan semua itu.

"Sh-Shintarou ..."

"Ya, Haruka?"

"E-etto ... Apakah selama ini Midorima-jisan tidak pernah menyetujui hubungan kita?"

Midorima terdiam mendengar pertanyaan itu. Membuatnya teringat akan Shutarou yang gencar memaksakan sesuatu padanya akhir-akhir ini.

"Itu bukan masalah, nanodayo. Aku akan tetap membujuk Otou-sama untuk masalah ini. Dan bagaimana dengan kedua orang tuamu sendiri, nanodayo?"

"Mereka sama. Dan aku akan mengusahakan hal yang sama pula," ujar Asakura.

Midorima tersenyum kecil. Kemudian mencium pucuk kepala Asakura dengan lembut.

"Maafkan aku, Haruka. Maafkan aku ..." bisiknya tanpa terdengar oleh gadis itu.

.

.

Dear, it took so long just to feel alright

Remember how you put back the light in my eyes

I wish, that I had missed the first time that we kissed

Cause you broke all your promises

(Jar of Heart)

.

.

Sebulan kemudian ...

Mati.

Itu yang pertama kali Asakura rasakan kala mendengar alasan di balik kedua orang tuanya yang bersiap-siap akan pergi.

"Kalian akan pergi ke mana?"

"Kami ingin pergi ke pesta pertunangan keluarga Midorima," jawab Kaze dengan pelan.

Tak tahu mengapa, tiba-tiba saja Asakura sudah terduduk di lantai. Menatap kosong pada ibunya yang langsung mendekapnya dengan erat.

"Mi-Midorima? Midorima ka-kawanmu, Yah?" ujar Asakura tak percaya.

"Tentu saja. Shutarou akan melaksanakan pertunangan anaknya."

Seingat Asakura, Midorima pernah bercerita jika ia hanya memiliki seorang adik yang masih balita. Itu berarti, yang akan bertunangan adalah ...

"Tidak!! Itu bukan Shintarou!!" Tiba-tiba saja Asakura sudah menjerit keras di dalam dekapan ibunya yang semakin mengerat. Sementara Hanabi sendiri sudah menangis melihat nasib sang putri.

"Haruka ... tenanglah, Nak. Tenangkan dirimu," bisik Hanabi terus menerus di telinga yang tertutupi rambut kemerahan itu.

"Sekarang kau sudah percaya kan, Haruka? Keputusanmu itu adalah salah besar!" ujar Kaze tak peduli dengan kondisi anaknya saat ini.

"Kaze! Jangan menambah derita Haruka! Kau harusnya menenangkan dia!" bentak Hanabi. Namun Kaze memilih untuk meninggalkan mereka.

Asakura masih tergugu dalam pelukan sang ibu saat sebuah pemikiran gila itu memasuki pikirannya. Segera ia berlari ke kamar, menyambar jaket, lalu melesat ke luar rumah. Tak peduli dengan teriakan Hanabi yang terus memanggil namanya.

Kakinya terus berlari. Membawa tubuh itu menuju daerah perumahan elit yang sudah tampak di depan mata. Dapat ia lihat banyak mobil mewah yang keluar masuk di sekitar situ.

Sampai akhirnya ia tiba di depan sebuah rumah yang berdiri menantang. Berbagai jenis bunga dan hiasan terpasang di sekelilingnya. Menandakan ada sebuah pesta yang tengah diselenggarakan.

Dada Asakura terasa sesak melihat semua itu. Jika ini benar adalah pertunangan Midorima, apakah ini yang ia rasakan juga ketika lelaki itu datang ke pertunangannya dulu? Rasanya benar-benar menyakitkan.

Asakura terus berdiri mematung di luar. Ia sama sekali tak memiliki keberanian untuk masuk ke dalam. Hingga sebuah suara tangisan terdengar oleh telinganya.

Gadis itu mencari sumber suara, dan berakhir pada seorang gadis kecil yang terduduk di pinggir jalan. Tampaknya, kaki gadis itu tengah terluka. Membuatnya hanya duduk mengaduh tanpa bisa bergerak sedikit pun.

"Astaga, adik kecil. Kau tak apa-apa kan?" ujar Asakura. Ia segera berlutut, memeriksa kaki anak itu yang ternyata keseleo. Akhirnya, ia memutuskan untuk menggendongnya.

"Cup cup cup ... Sayang, berhenti nangis ya. Kakak antarkan ke rumahnya ya? Rumahmu di mana?" tanya Asakura seraya terus menenangkan gadis bersurai hijau itu.

Gadis dalam gendongannya itu lantas menunjuk rumah megah di belakang mereka. Membuat Asakura meragu. Namun ia tetap harus mengantarkan anak itu. Mungkin ia terpisah dengan orang tuanya.

"Namamu siapa, Sayang?" tanyanya lembut ketika mereka akan masuk ke dalam rumah itu.

"Ch-Chinka. Midolima Chinka."

Langkah Asakura terhenti begitu mendengar jawaban tersebut. Walaupun kurang jelas karena gadis itu masih cadel, namun Asakura dapat mengerti apa yang ia ucapkan. Tak pernah ia sangka bahwa ia akan bertemu dengan salah seorang Midorima yang lain.

Setelah itu, Asakura memilih diam. Tak berbicara sedikitpun walau bagian security sempat menanyai undangannya. Namun para petugas itu membiarkannya masuk. Mungkin karena melihat Shinka yang berada dalam gendongannya.

Pun demikian ketika ia masuk ke dalam. Tak ada yang berani menegur Asakura. Hanya Shinka yang sesekali berceloteh tak jelas yang membuat Asakura tersenyum karenanya.

"Haruka? Apa itu dirimu?"

Sontak Asakura berbalik. Kemudian menggigit bibir bawah ketika mendapati sesosok pria jangkung yang menggunakan tuxedo hitam. Ada sebuah keterkejutan sekaligus penyesalan yang terbit di antara keduanya.

"Onii-cama!!" teriak Shinka girang. Ia segera memberontak, sehingga Asakura harus menurunkannya dengan hati-hati.

Gadis itu langsung berlari hingga menubruk Midorima. Kemudian dengan gaya yang manja, ia pun meminta agar aniki-nya itu menggendongnya.

"Kau kemana saja, Shinka? Otou-sama dan Okaa-sama lelah mencarimu," ujar Midorima pada adiknya itu.

"Tadi Chinka melihat kelinci. Telus Chinka ikutin campai lual. Tapi Chinka telsesat. Telus Onee-cama itu yang mengajak Chinka pulang," celoteh Shinka seraya menunjuk Asakura yang menunduk.

Midorima tersenyum, lantas mengacak rambut Shinka perlahan. Ia kemudian memupuskan jarak di antara ia dan Asakura. Hening sempat menguasai mereka. Bahkan Shinka pun memilih untuk diam.

"Haruka ... aku bisa menjelaskan ini, nanodayo," ujar Midorima pelan. Dan Asakura memilih bungkam.

"Pertunangan ini bukan hal yang kuinginkan juga, nanodayo. Namun Otou-sama terus mengancamku. Aku tidak bisa mengelak dari ancaman itu, nanodayo," lanjutnya.

"Memangnya, ancaman apa yang bisa membuat Shintarou yang kukenal berpendirian kuat ini takluk?" ujar Asakura pelan. Dan tanpa ia sadari, air matanya menetes perlahan.

"Otou-sama mengancam akan menceraikan Okaa-sama."

Di saat itulah Asakura langsung memperlihatkan wajahnya karena terlalu kaget. Sementara Midorima menahan luka dalam hati melihat air mata gadis itu yang tiada henti.

"Okaa-sama ternyata merestui hubungan kita, Haruka. Ia sempat berdebat keras dengan Otou-sama. Sampai akhirnya, Otou-sama mengatakan hal itu. Ia bilang, ia tidak mau bersama dengan orang yang tidak bisa patuh padanya, nanodayo," lirih Midorima. Dan Asakura tak tahu harus menjawab apa untuk menanggapi hal tersebut.

"Aku menghentikan mereka. Namun Otou-sama tetap pada pendiriannya, nanodayo. Kemudian, ia mengajukan syarat. Ia tidak akan menceraikan Okaa-sama, tapi aku harus mengikuti semua permintaannya. Termasuk pertunangan ini," lanjutnya.

"Dan kau mengiyakannya?" ujar Asakura tak percaya.

"Asal kau tahu saja, nanodayo. Aku sebenarnya tidak mau menuruti permintaan konyol itu. Pun Okaa-sama juga sudah siap jika perceraian itu terjadi. Namun masih ada Shinka. Ia masih memerlukan mereka, nanodayo." Midorima menatap sendu pada Shinka yang sibuk memainkan kerah tuxedonya.

Asakura menutup mata. Lalu mengambil napas berat. Benar-benar berat sampai rasanya ia akan jatuh karena hal itu. Mengapa dari semua kemungkinan, alasan ini yang harus disampaikan oleh Midorima?

"Aku mengerti ..." ujar gadis itu akhirnya. Ia pun menyunggingkan senyum secara paksa. Membuat hati Midorima merasa sembilu kala melihatnya.

"Aku benar-benar minta maaf, nanodayo. Walau seperti itu, kurasa kau lebih baik tidak melakukannya. Aku tidak pantas untuk mendapatkan apapun darimu lagi."

Asakura menggigit bibir bawahnya keras ketika melihat setitik air mata yang keluar dari emerald kiri itu. Menandakan kesakitan yang tiada akhir.

Midorima maju. Kemudian merengkuh Asakura menggunakan sebelah tangannya yang bebas, sementara yang satunya tetap menggendong Shinka yang kebingungan karena tingkah mereka.

"Aishiteru, Haruka. Maafkan aku yang hadir di kehidupanmu."

Bisikan itu membuat air mata yang mengumpul seketika pecah pada Asakura. Terlebih ketika lelaki itu mengusap kepalanya, lalu mencium keningnya lembut. Dapat ia rasakan bahunya yang basah karena tangisan tertahan dari Midorima.

"Onii-cama dan Onee-cama tidak boleh menangis. Kata Ibu gulu, lebih baik telcenyum dalipada menangis," celetuk Shinka tiba-tiba.

Keduanya menghentikan rengkuhan itu. Menatap wajah polos Shinka yang menggembungkan pipinya.

"Shinka pintar sekali. Lihat? Sekarang Onee-sama sudah berhenti menangis kan?" ujar Asakura seraya mengusap air matanya cepat. Lalu merangkai senyum di depan gadis kecil itu.

"Onee-cama lebih cantik kalau telcenyum."

"Arigatou. Shinka jauh lebih cantik dan imut," ujar Asakura. Ia kemudian mengelus lembut kepala Shinka. Kemudian segera berpamitan pulang.

"Onee-cama! Nanti main ke cini lagi ya! Chinka akan tunggu belcama Onii-cama!" teriak Shinka seraya melambaikan tangan kepada Asakura yang menjauh.

Gadis itu berbalik. Kemudian tersenyum untuk terakhir kalinya pada emerald di balik megane yang menatapnya sendu itu. Seketika itu juga, air matanya kembali jatuh. Namun cepat-cepat ia hapus begitu bayangan Shinka yang berceloteh ada di benaknya.

Apakah masih ada alasanku untuk tersenyum setelah semua ini terjadi? Asakura membatin pilu. Menatap halaman di mana hujan tengah mengguyurnya. Membuatnya tersenyum getir. Lalu memaksa diri menerobos tangisan alam itu.

Bukankah ini sama seperti dulu? Hujan untuk kejadian yang sama. Namun untuk luka yang lebih besar.

.

.

We could have had it all

You had my heart inside of your hand

And you played it to the beat

(Rolling in The Deep)
.

.

Sudah dua puluh tahun berlalu sejak peristiwa itu. Asakura— maksudnya Haruka, selama itu juga mencoba untuk mengubur dalam-dalam kepingan kelam masa remajanya. Mencoba untuk meyakini bahwa ada yang masih lebih baik dari semua itu.

Sampai akhir, pemuda bermegane dan pemuda bersurai abu itu benar-benar hanya menjadi figuran dalam hidupnya. Namun Haruka sendiri tidak menampik. Jika tidak ada figuran seperti mereka, mungkin ia tidak akan bertemu dengan kehidupannya saat ini.

Haruka memandangi foto berukuran besar di depannya. Foto dirinya beserta keluarganya saat ini ketika tahun baru. Menggunakan yukata dan hakama, mereka semua bergandengan tangan di depan sebuah kuil yang megah.

Ia kemudian menoleh ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Di sana, tampak seorang gadis berambut pirang yang tengah melepas sepatu sekolahnya, menggantinya dengan sandal rumah, sebelum akhirnya menghamburkan diri ke dalam pelukan wanita itu.

"Tadaima, Okaa-sama!" serunya.

"Okaeri, Suzuka," jawab Haruka. Ia kemudian mengajak putri tunggalnya itu untuk duduk di sofa terdekatnya. Di saat itu juga ia menyadari jika rambut Suzuka basah.

"Apakah tadi hujan ketika kau pulang?" tanya Haruka begitu mereka berdua duduk bersisian di sana. Suzuka mengangguk kecil.

"Bagaimana sekolahmu?" tanya Haruka seraya mengeringkan kepala pirang itu menggunakan handuk.

Suzuka tak menjawab. Ia malah memposisikan dirinya tidur menyamping, dengan kepala yang bertumpu pada pangkuan Haruka. Membuat sang Ibu mengerti, ada yang ingin dibicarakan oleh Suzuka.

"Sekolahku baik-baik saja, Okaa-sama. Aku mendapatkan nilai A+ untuk proyek Astronomi yang kubuat minggu lalu," ucap Suzuka.

Haruka mengangguk. Ingatan akan Suzuka yang mati-matian membuat tugas yang dimaksud membuatnya bersyukur. Hasil tidak mengkhianati usaha.

"Tapi sepertinya ada yang mengganggumu, Suzuka." Haruka mengelus lembut helaian pirang yang terurai di pangkuannya. Mencoba membujuk sang empunya untuk berbagi cerita.

"Etto ... ada yang ingin kutanyakan pada Okaa-sama," lirihnya.

"Apa itu?" tanya Haruka penasaran.

Tapi, apa tidak apa-apa aku menanyakan ini pada Okaa-sama?

Suzuka akan membuka mulutnya, namun sepersekian detik kemudian kembali menutup bagian itu. Ia lalu menggeleng pelan. "Iie. Aku tidak jadi menanyakannya."

Tingkah yang penuh keraguan itu membuat Haruka mengernyit heran. Sepertinya masalah yang tengah dipendam oleh putrinya itu serius.

"Jangan pernah bertindak ragu-ragu, Tokugawa Suzuka! Tanyakan saja hal itu pada Okaa-sama. Okaa-sama akan menjawabnya," ujar Haruka. Sedetik kemudian, ia menyadari bahwa nada suaranya sedikit tinggi.

"Sayang, jika kau tak menceritakannya, itu akan menjadi masalah bagimu di kemudian hari," lanjutnya dengan nada yang lebih lembut.

Suzuka pun memilin jarinya. Kemudian dengan hati-hati ia berucap, "dulu ketika Okaa-sama seumuranku sampai bertemu dengan Otou-sama, apakah Okaa-sama pernah menyukai seseorang dengan tulus?"

Haruka terdiam. Sama sekali tak menyangka jika Suzuka menanyakan hal itu. Padahal sebelum ini, gadis itu tak pernah berani mengungkit masa lalu kedua orang tuanya. Menurutnya, itu adalah hal yang tabu.

"Pernah. Tapi sayangnya itu tidak terbalaskan seperti yang seharusnya," lirih Haruka. Suzuka dapat melihat kerapuhan yang terbit pada iris cokelat itu, walau samar.

Seharusnya aku tidak menanyakan hal itu pada Okaa-sama. Ah, ini benar-benar salah! Rutuknya di dalam hati.

"Gomen nasai, Okaa-sama. Okaa-sama tidak perlu melanjutkannya."

"Akan Okaa-sama lanjutkan jika kau ingin mengetahui lebih banyak, Suzuka."

"Kalau begitu, aku tidak menginginkannya lagi. Jadi Okaa-sama tidak perlu melanjutkannya," putus Suzuka. Haruka mengembuskan napas melihat sikap Suzuka yang keras kepala itu.

"Memangnya mengapa kau menanyakan hal itu, hm?" tanya Haruka lagi. Dapat ia rasakan napas Suzuka yang menjadi lebih berat.

"Etto ... Se-sebenarnya, a-ada teman yang me-menyatakan perasaannya padaku, Okaa-sama." Suzuka lantas membuang muka. Menghindari tatapan Haruka yang menyipit pendengar penuturannya yang terbata-bata itu.

"Hee? Ada yang sudah dewasa sepertinya," goda Haruka seraya menahan tawa.

"Okaa-sama! Jangan menggodaku seperti itu!" bentak Suzuka. Dapat ia rasakan mukanya yang semakin memanas. Entah apa warna mukanya saat ini.

Haruka meminta maaf. Lalu kembali mengelus rambut Suzuka dengan kasih sayang. "Kau tinggal memilih sesuai perasaanmu. Kau bisa menerima, ataupun menolaknya. Apapun yang kau pilih itu, jangan sampai mengganggu hubungan kalian dan prestasimu di sekolah, Suzuka. Bagaimanapun, itu lebih penting."

"Begitukah?" tanya Suzuka ragu.

Haruka mengangguk. "Memang Suzuka memiliki rasa yang sama, hm? Apakah kau juga menyukainya?"

Suzuka merona mendengar pertanyaan itu. Ia lantas mengangguk, namun sepersekian detik kemudian, menggeleng dengan cepat. Lagi, hal itu membuat Haruka heran.

"Kau ragu? Jika begitu, Okaa-sama sarankan jangan. Hubungan yang dimulai dengan keraguan akan berakhir pada kehancuran bagi semua pihak." Haruka menasihati Suzuka. Walau ia tak mengingkari, ada perasaan aneh ketika mengucapkan nasihat itu.

"Huft ... kalau begitu, sepertinya aku memerlukan waktu untuk memikirkannya kembali, Okaa-sama." Suzuka pun bangkit. Air mukanya terlihat lebih cerah dari sebelumnya.

"Begitu lebih baik. Okaa-sama akan mendukung setiap keputusanmu. Dan kau juga harus menceritakan semua masalahmu agar cepat terselesaikan. Kau mengerti, Suzuka?"

Suzuka mengangguk. Kemudian berpamitan menuju kamarnya.

"Oh ya, Suzuka," panggil Haruka ketika anaknya itu akan menaiki tangga.

"Ya, Okaa-sama? Ada apa?"

"Bukan bermaksud apa. Tapi, apa boleh Okaa-sama tahu siapa nama lelaki itu?"

Kembali, keraguan menghinggapi wajah manis itu. Suzuka pun menunduk seraya mengatakan, "maaf Okaa-sama. Sebenarnya ada yang sengaja tak kuberitahukan kepadamu tadi."

"Apa itu?" tanya Haruka. Kali ini, rasa penasarannya benar-benar membuncah.

"S-sebenarnya, yang menyatakan rasa padaku ada dua orang. M-mereka mengatakannya di saat yang bersamaan," cicit Suzuka.

Haruka mengerjapkan mata. Ia tahu bahwa putrinya itu adalah salah satu dari primadona di sekolahnya. Tapi kejadian seperti ini tetap saja terasa aneh. Dan entah mengapa, perasaan itu semakin membesar di lubuk hati wanita itu.

"Siapa nama mereka?"

Aneh bukan? Anaknya yang ditembak, tapi Haruka merasa jantungnya juga berdetak tak karuan tanpa alasan.

"Nama mereka ..."

Haruka masih menunggu Suzuka sampai siap untuk mengatakannya.

"... Midorima Shuntarou-kun dan Mayuzumi Chiriku-kun."

Tercekat, Haruka merasa tak percaya. Untuk sepersekian detik, ia seolah diajak untuk kembali menyelami ingatan terdasarnya akan dua marga tersebut. Berikut siluet dua lelaki yang membayang, mencoba untuk naik ke permukaan.

Selintas, suatu pemikiran menyusup semu. Apakah kisah mereka itu akan kembali terulang dengan peran yang digantikan oleh anak mereka masing-masing? Sama seperti hujan yang terus terulang dalam cara yang sama.

Terdengar seperti kebetulan. Namun Haruka memilih untuk meyakininya sebagai suatu kesalahan.

Yang selanjutnya adalah gelap.

.

.

.

Akhirnya, setelah bingung semingguan (atau dua mingguan ya?), ini fict jadi juga. Awalnya bingung karena gak tahu harus lanjutin A Rain itu seperti apa. Karena saat itu, ide untuk fict ini mentok di sana.

Maaf jika kalian (terutama OC) kurang berkenan dengan cerita ini. Apalagi panjangnya juga masya allah ... :"

Hope you like it!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top