10. Semangat Belajar Demi Argam
Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi saat jam pelajaran terakhir. Banyak sekali hal yang aku pikirkan. Dari yang meratapi nasib ketika jam pelajaran keempat kosong, hingga Stela kembali beraksi menentukan pemeran Putri tidur, dan lagi-lagi aku ditunjuk menjadi figuran. Hmm sudahlah tak apa-apa, setidaknya aku tidak perlu ikut latihan setiap hari. Jadi, aku punya waktu untuk belajar dan mengawasi Verlia.
Verlia? Dia tidak ikut pentas karena dia harus latihan cheerleader. Ya, seharusnya seperti itu sebelum Verlia hamil. Tapi sekarang dia tengah hamil, jadi seharusnya dia mengundurkan diri dari tim cheerleader.
Membicarakan Verlia entah kenapa pikiran negatif mulai berkelebat. Terlebih hari ini Verlia alpa tidak berangkat sekolah. Apa dia baik-baik saja? Dia tidak akan melakukan hal bodoh, kan? seperti melakukan percobaan menggugurkan kandungan atau mengakhiri hidupnya, mungkin?
Aku bergidik ngeri. Verlia tidak akan melakukan hal bodoh itu. Tapi kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Aku benar-benar harus mengawasinya, biar nanti aku pergi ke Apartemennya setelah belajar bersama Lucas.
Aku mendengus mengingat hari ini akan diadakan makan malam syukuran adikku yang mendapatkan juara olimpiade. Seharusnya syukuran itu dilaksanakan malam tepat pengumuman kemenangan, tapi katanya oma ada kepentingan sehingga diundur. Tidak masalah kata mama, tapi masalah bagiku. Aku tidak terlalu menyukai makan malam yang selalu membuatku naik darah. Ah, sudahlah yang terpenting nanti aku harus pulang tepat waktu sebelum pukul 18:00.
Itu berarti ada sedikit waktu untuk mengunjungi Verlia, terlebih jarak apartemen Verlia lumayan jauh dari rumah Lucas. Tak masalah, daripada hal tidak terduga terjadi pada Verlia.
Bel pulang berbunyi, aku menghela napas lega. Cepat-cepat aku memasukan buku paket dan alat tulis ke dalam tas. Setelah Miss Anggie keluar, anak-anak termasuk aku berhamburan keluar. Aku berjalan keluar gerbang bersama Sila, memang siapa lagi jika bukan bersama Sila.
"Mau langsung ke rumah Kak Lucas, Die atau pulang dulu?" tanyanya saat kami sudah berada di depan parkiran.
Aku menoleh balas menatapnya. "Pulang dulu, Sil. Ganti baju terus makan dulu."
Sila manggut-manggut. "Oh gitu, ya udah sukses belajarnya biar menang taruhannya. Kalau menang gue traktir, ya."
Traktir? Apa kabar David hari ini? Biasanya anak itu nongol di kantin menagih traktirannya, tapi kali ini nggak. Syukurlah uangku jadi tersisa. Itu berarti masih tersisa dua hari lagi mentraktir David. Yeaah, aku akan kembali merdeka lalu aku bisa kembali menyisakan uangku untuk membeli novel! Lama tidak membeli novel.
Aku mendengus. "Ok, lah, gue traktir kalau gue menang Sil."
Sila tersenyum singkat. "Tapi terserah gue traktirannya, ya, hehehe."
"Loh kok gitu?"
"Ya elah Die. Kan, itung-itung ngerayain kemenangan loh. Itu pun kalau lo menang."
Aku mendengus. "Ya sudahlah." Lagian belum tentu aku yang menang, tapi walaupun seperti itu aku nggak boleh pesimis yang penting sekarang berusaha, belajar yang giat!
Sila kembali tersenyum. "Nah gitu dong Die. Gue duluan, ya. Daah." Sila melambaikan tangan berjalan meninggalkanku menuju parkiran. Dari dulu kelas X hingga sekarang, Sila memang selalu membawa motor ke SMA.
Aku berjalan keluar gerbang, biasanya aku akan berdiri di depan gerbang bersama Eline menunggu jemputan Pak Beni, supir di rumah kami. Tapi tidak hari ini, karena Pak Beni tadi pagi minta cuti sebab anaknya sedang melahirkan.
Alhasil aku harus berjalan menuju halte ditemani terik matahari yang menyengat kulitku.
Halte cukup ramai dipadati siswa-siswi tapi aku tidak melihat Eline, mungkin Eline meminta Camelia untuk mengantarnya. Aku mendengus, sudah tiga kali taxi datang tapi aku kalah cepat dengan penumpang lainnya. Akhirnya aku masih duduk di sini dengan beberapa siswa lainnya. Karena bosan, aku mengayun-ayunkan kakiku bermain-main, sementara bola mataku tidak berpaling memandang langit yang begitu cerah.
Aku kembali mendengus, lama sekali taksi datang kalau kayak gini bisa-bisa setelah belajar bersama Lucas, aku tidak bisa menjenguk Verlia.
Motor matic berhenti tepat di depanku. Aku mendongak, menampakan seorang pria jangkung yang sangat aku kenali, siapa lagi jika bukan Argam. Dia melepas helmet lalu menoleh ke arahku.
Argam menautkan kedua alisnya. "Lo nggak dijemput, Die?"
Aku menggeleng. "Nggak Gam."
"Oh... mau bareng, Die? Kebetulan, nih, gue bawa helm dua."
"Beneran mau nganter?" tanyaku.
Dia mengangguk lalu tertawa. "Ya beneran lah Die."
Aku tersenyum, mengangguk lalu berjalan mendekat ke arahnya. Dia menyerahkan helmet satunya lagi kepadaku.
"Kok, bisa kebetulan lo ke sini bawa helm dua, Gam?" tanyaku sambil memakai helmet.
Argam lagi-lagi tertawa. "Kalau ke sini, sih, gue sengaja bukan kebetulan Die. Liat lo dan gue bawa helm nganggur, ya, udah sekalian. Sebenarnya kalau helm, sih, buat Hendra. Tapi katanya dia mau jalan sama ceweknya."
Aku manggut-manggut lalu duduk di belakang Argam. Setelah duduk tiba-tiba jantungku berdebar, pipiku memerah saat mulai kepikiran harus pegangan ke mana. Astaga. Kalau nggak pegangan Argam, nanti barangkali Argam mengerem mendadak aku bakal kedorong ke depan lalu menubruk Argam seperti minggu kemarin pas Argam nganter aku pulang. Aku nggak mau terperangkap di lubang yang sama. Alhasil kini aku pegangan baju Argam di kedua sisi pinggangnya.
Nggak mungkin kan aku melingkarkan tanganku di pinggang Argam, meski sebenarnya menginginkan. Jika saja Argam menawarkan, sebenarnya sih aku mau-mau saja. Eits! Tapi dia sama sekali nggak nawarin. Jadi, aku mesti menahan keinginan ini.
Motor mulai melaju, hingga di pertigaan jalan aku tidak sengaja melihat Eline di dalam mobil Camelia. Kan pulang dianter Camelia, apa tadi aku bilang. Eline dari balik jendela yang terbuka, menatapku tidak suka. Ya, jelas aku kan sedang boncengan dengan Argam. Dalam hati aku ingin tersenyum mengejek. Salah siapa
lima hari yang lalu saat Eline diantar pulang Argam sombongnya minta ampun. Hiks! Tapi aku tidak melakukan itu.
"Eh Gam," ucapku dengan suara keras mengingat bising kendaraan. Terlebih Argam juga memakai helmet.
"Kenapa Die?" tanyanya tidak kalah keras meningkahi hembusan angin.
"Gam, nanti berhenti dulu di Alfamart depan sana, ya?" ucapku sambil menunjuk Alfamart di depan sana.
Argam mengangguk. Beberapa detik kemudian Argam menghentikan motornya sesuai perintahku.
Aku melepas helmet. "Lo boleh pulang, Gam. Gue mau beli roti dulu terus mau langsung pergi les di rumah temen." Aku pikir-pikir lebih baik membeli roti untuk makan siang dan langsung pergi ke rumah Lucas daripada pulang nanti malah menguras waktu yang mengakibatkan batal pergi ke Apartemen Verlia.
"Emang rumah temen lo jauh dari sini Die?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Nggak, kok. Nggak lumayan jauh, nanti gue bisa naik taxi."
"Gue anterin aja, deh, kalau deket. Sana lo beli dulu."
Aku jadi nggak enak sama Argam, baik banget sih aku jadi tambah suka kan sama dia.
Aku mengangguk, tersenyum lalu meninggalkan Argam masuk ke dalam Alfamart membeli roti.
Setelah mengambil beberapa roti untukku dan minuman kaleng dingin untuk Argam, aku berjalan menuju kasir untuk mengantri. Kini giliranku, aku memberikan selembar uang kertas biru bergambar Djuanda Kartawidjaja. Kemudian menerima kembalian beberapa uang receh. Aku kembali berjalan keluar Alfamart.
Argam menyerahkan helmet kepadaku. "Nih Die."
Aku mengangguk, memakainya lalu kembali duduk di belakang Argam.
"Udah siap mbak?" tanyanya.
Setiap kali Argam memanggilku 'mbak' dengan nada jenaka aku pasti selalu tersenyum. "Siap Gam," jawabku. Motor kembali melaju sesekali aku menunjukkan arah menuju rumah Lucas.
"Sekarang belok kanan apa kiri, Die?" tanyanya.
"Belok kiri Gam."
Argam mengangguk.
Beberapa detik kemudian kami sampai di depan rumah Lucas. "Berhenti Gam."
Argam menurut lalu berhenti tepat di gerbang rumah Lucas. "Ini rumahnya Die?"
"Iya Gam," aku turun, melepas helmet lalu kuberikan kepada Argam, "thanks ya Gam," ucapku sambil tersenyum.
"Santai aja Die."
"Oh, ya, Gam, hampir lupa," Tanganku cepat-cepat terjulur ke dalam keresek mengambil minuman kaleng yang masih dingin untuk Argam. "nih, buat lo Gam," lanjutku sambil menjulurkan kaleng minuman.
Argam memicingkan sebelah alisnya. "Thanks Die," jawabnya sambil menerimanya, "lain kali nggak usah ngasih beginian Die," lanjutnya.
"Nggak papa kok Gam. Oh, ya hati-hati di jalan ya."
Argam mengangguk sambil memasukan minuman kaleng di saku celananya. "Lo yang semangat belajarnya, Die."
Aku mengangguk. "Iya Gam." Ya jelas aku semangat ini kan demi kamu Gam. Biar aku menang taruhan dari Eline, jadi Eline nggak ada alasan untuk menghalangiku atau memarahiku saat jalan bareng atau suatu saat bakal jadian dengan kamu, Gam.
"Sana masuk, Die."
"Die?"
Aku mengerjap. "Eh ... em iya kenapa Gam?"
Dia tersenyum kecil. "Kok malah bengong. Udah sana masuk."
"Lo duluan aja Gam."
Argam menyalakan motor, melaju meninggalkanku yang masih terpaku menatap punggungnya. Setelah punggung Argam tertelan tikungan, aku membalikan badan berjalan menuju rumah Lucas.
Semangat belajar Alodie! Demi Argam!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top