09. Kasus Verlia

Rasanya melelahkan setelah belajar bersama Lucas, berkutat dengan berbagai macam rumus dan bukannya pulang, aku harus mampir membeli kamus Bahasa Inggris terlebih dahulu. Karena jika tidak membeli sekarang, maka siap-siap saja besok Miss Wenda memarahiku. Tentu saja aku tidak mau itu terjadi. Alhasil awan mulai menggelap dan beberapa lampu sudah menyala menerangi kota, aku masih di depan ruko-ruko yang sudah tutup. Berjalan menuju halte untuk menunggu Taxi.

Saat di pertigaan depan toko yang sudah tutup, aku tertegun melihat di depan sana kira-kira jaraknya lima meter ... Verlia dan Bryan bertengkar? Aku menyipitkan mata, memastikan bahwa penglihatanku tidak salah.

Lebih mengejutkan lagi, apa barusan aku tidak salah dengar? Tadi Verlia bilang 'Lo tahu kenapa tadi siang gue pingsan? Itu karena gue sedang hamil. Gue hamil anak elo Bryan? Lo harus tanggung jawab!' Apa kupingku bermasalah kali ya. Tapi ... tapi ... tapi jika aku nggak salah denger berarti ....

Astaga!

Aku kembali membelalakkan mata saat di depan sana Verlia mulai menangis sambil mencegah Bryan masuk mobil. Untung di daerah sini sepi terlebih sudah sangat sore. Jadi, kuyakini tidak ada orang yang lewat kecuali mereka yang ada kepentingan mendadak sepertiku. Sekalipun ada, mereka yang pejalan kaki tidak akan peduli, mereka terlalu sibuk untuk ukuran orang perkotaan.

Tapi ada kemungkinan jika ada orang yang melihatnya dan peduli, kan, langsung berabe, apa lagi masalahnya sensitif.

"Yan, lo mau tanggung jawab 'kan?" Verlia mulai menyeka air matanya.

Tangan Bryan kali ini meremas kepalanya, frustasi. "Kita masih dibawah umur, Ver. Gue nggak bisa menikah muda! Gue punya impian dan lo juga sama, 'kan?"

Verlia tersenyum kecut. "Impian apa yang lo omongin? Setelah lo ngelakuin ini semua. Semua salah lo, Yan."

Bryan berdecak frustasi. "Itu kecelakaan Ver."

Verlia kembali menyeka air matanya. "Kecelakaan lo bilang? Impian gue hancur karena lo. Bagaimanapun ini anak lo Bryan. Lo yang memulainya lo harus tanggung jawab."

Telingaku memang masih normal. Aku langsung menutup mulutku dengan kedua tanganku. "Astaga Ver," cicitku tak percaya.

Aku kembali memandang mereka dengan was-was, Bryan tidak boleh tahu keberadaanku. Di depan sana kali ini Verlia menangis sesegukan sambil menarik lengan Bryan, tidak membiyarkan Bryan melangkah masuk ke dalam mobil dan meninggalkannya. "Bryan lo harus tanggung jawab. Lo sayang 'kan, lo cinta 'kan sama gue?"

Bryan yang hendak melangkah ke mobil, dia urungkan lalu kembali menoleh ke arah Verlia. "Awas kalau lo bilang-bilang ke anak kelas! Karena bukan gue aja yang hancur tapi lo juga sama! Jadi, jangan membuat masalah semakin kacau. Lebih baik diam bersikap sewajarnya seperti biasa. Gue bakal tanggung jawab, tapi nggak sekarang, Ver. Setelah gue lulus kuliah. Tunggu gue. Gue bakalan dat—"

Bryan langsung memegangi pipinya yang nyeri begitu Verlia menamparnya. Sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Verlia, Bryan mengucapkan dua kalimat yang membuat tangis Verlia semakin pecah. "Salah satu dari kita harus berkorban Ver. Percayalah sama gue, setelah lulus kuliah gue bakal tanggung jawab."

Setelah Bryan benar-benar pergi, tubuh Verlia langsung terperosok duduk di jalanan. Menangis memecah kesunyian malam di bawah langit bertabur bintang.

Apa terdapat bintang? tanpa kusadari langit sudah menggelap. Sungguh, aku tidak percaya kejadian yang baru saja aku saksikan nyata. Sepertinya aku mimpi deh. Aku mencubit sendiri tanganku, terasa sakit. Ya ampun ini nyata! Dan aku juga bisa mendengar tangisan Verlia.

Aku tahu selama ini kami musuhan, tapi tak sampai hati aku membiarkan dia seorang diri menangis di jalanan. Aku mulai melangkah mendekatinya.

"Ver."

Verlia menghapus air matanya. Perlahan dia menoleh ke arahku. "Alodie?" cicitnya sambil membelalakkan mata. Dia menelan ludah sebelum melanjutkan ucapannya, "lo tahu semuanya?"

Kali ini nada suara Verlia terdengar normal.

Aku mengangguk.

Dia berdiri lalu berjalan cepat ke arahku dengan rambut agak berantakan, sedangkan pipinya masih basah. Dia menggoyangkan lenganku. "Die gue mohon ke lo, jangan bilang siapa-siapa," Dia menghela napas sebelum melanjutkan, "gue mohon, Die."

Aku masih terdiam, dia kembali meneteskan air matanya.

Aku mengangguk. "Iya Ver, gue nggak bakal bilang siapa-siapa."

"Makasih, Die. Makasih," cicitnya sambil menangis.

Entah kenapa aku langsung memeluknya, sedangkan dia menjatuhkan kepala di pundakku. Dia menangis terisak. "Gue takut Die. Semua impian gue hancur. Kerja keras, keringat gue terkuras sia-sia. Gue nggak bisa ikut lomba cheerleader Die. Hidup gue hancur ... hancur ... hancur Die," ucapnya mengganti posisi menjadi berhadapan kembali denganku.

Tanganku menepuk-nepuk pundak Verlia."Nggak Ver. Hidup lo nggak hancur." Aku menghela napas lalu kembali berkata dengan pelan. "Saat ini yang mesti lo lakuin adalah kasih tahu semuanya ke orang tua lo Ver."

Verlia menepis tanganku yang masih berada di pundaknya. "Nggak mungkin Die. Papa sama mama nggak bakal nerima gue jadi anaknya!"

"Tapi Ver?"

"Please, Die, gue butuh keberanian buat ngasih tahu semuanya ke orang tua gue. Gue butuh waktu. Untuk saat ini lo bisa, kan, jaga rahasia?"

Untuk kedua kalinya aku menghela napas, aku bisa apa selain mengawasinya. Aku tidak mau nasib Verlia sama seperti nasib gadis di koran tadi yang hamil di luar nikah dan berakhir bunuh diri. Astaga jangan sampai. "Ok. Gue bakal diem, tapi kasih gue alamat tinggal lo sama nomor ponsel lo, ya Ver."

Verlia mengangguk sambil menghapus air matanya. "Apartemen Cempaka lantai 8 nomor 59." Bukan hanya itu Verlia juga menyerahkan no ponselnya.

Aku memicingkan sebelah alisku. "Lo tinggal sendiri atau sama orang tua di Apartemen?"

Verlia memberitahuku jika dia tinggal seorang diri, dan aku otomatis menelan ludah susah. Dalam kondisinya yang seperti ini bahaya jika Verlia tinggal sendiri. Oh, ya ampun! Baiklah mulai saat ini aku harus sering-sering saja mengunjungi apartemennya, memastikan bahwa dia tidak akan melakukan hal bodoh lainnya lagi.

Aku menghela napas. "Apa lo ngelakuin itu sama Bryan tanpa paksaan?"

Verlia menggeleng keras. "Gue sama sekali nggak tahu Bryan mau ngelakuin itu ke gue, Die. Dia emang pernah ngajak sekali tapi gue tolak demi impian, demi cheerleader." Verlia tersenyum kecut.

Aku membelalakkan mata. "APA?!"

Dia mengigit bibir bawahnya, sementara wajahnya seolah mengatakan 'apa perlu gue cerita ke Alodie?' Sebelum akhirnya Verlia menghela napas panjang dan berucap, "Setelah pesta ulang tahun Stela, dia ngantar gue ke apartemen. Terus tanpa gue tahu dia ngasih jus jeruk yang udah dikasih sesuatu, Die. Dan entah gimana akhirnya gue mabuk. Keesokan harinya ternyata gue udah ...."

Verlia menceritakan semua kejadian kepadaku dengan jujur, aku bisa melihat kilatan kejujuran dari mata Verlia.

***

"Apa?! Verlia hamil, Die?" mengetahui situasi, Sila balik bertanya dengan suara rendah. Ralat, sangat rendah.

Aku mengangguk.

Wajah Sila masih bingung bercampur terkejut. "Gue nggak salah denger 'kan?"

Aku menggeleng.

Sila membelalakkan mata. "Astaga!"

Kali ini aku dan Sila sedang duduk di kantin. Aku menceritakan semua kejadian kenapa Verlia bisa hamil saat kantin mulai sepi.

"Bryan juga bohong sama Verlia kalau dia udah putus sama lo, Sil. Makannya tiga bulan yang lalu Verlia nerima Bryan jadi pacarnya."

Sila tidak merespon ucapanku.

Aku menoleh ke arah Sila. Dia terdiam, ekspresinya berubah menjadi kecewa. Entah apa yang dia pikirkan, tapi yang pasti dia semakin kecewa dengan Bryan. Coba bayangkan, Sila dan Bryan sudah berpacaran hampir satu tahun, lalu baru kemarin Sila memergoki Bryan selingkuh. Dan baru sekarang dia mengetahui Verlia dan Bryan sudah berpacaran selama tiga bulan, lebih mengejutkan lagi, Verlia hamil anak Bryan.

Sila menundukkan kepala, perlahan air matanya mulai menetes. Dia menangis dalam diam.

"Sil, lo nggak papa?" pertanyaanku sangat bodoh. Jelas-jelas Sila menangis berarti dia kenapa-napa. Terkadang memang pertanyaan bodoh keluar begitu saja dari mulut tanpa diminta. Itu refleks.

Sila menghapus air matanya lalu balas menatapku. "Gue nangis cuma kasihan sama diri gue sendiri, Die."

Mendengar ucapan Sila aku sedikit terkejut. "Heh?"

Sila menghela napas. "Kok, gue bisa bodoh banget, ya, ditipu sama tingkah laku manisnya. Ternyata dia Siluman!" jengkel Sila.

"Udahlah Sil. Yang penting sekarang lo udah nggak sama dia."

Sila mengangguk.

"Jadi sekarang lo mau bantu gue, Sil?"

Dahi Sila mengernyit. "Bantu apa Die?"

"Bantu mengawasi Verlia."

Sila menggeleng keras. "Yang benar saja dia itu menjengkelkan, Die! Nggak mau, pokoknya gue nggak mau berurusan sama dia. Gue masih kesal sama dia!"

Aku menatap lekat ke arahnya. "Sil, dia butuh seseorang. Lo tahu sendiri, kan, dia tinggal seorang diri, orang tuanya di Singapura semua. Coba bayangkan, kalau lo jadi dia, banyak tekanan yang harus lo hadapi pastinya. Psikisnya pasti belum siap menerima itu semua!"

Sila bungkam lalu matanya melebar. "Die, gue jadi ingat. Kemarin, kan, pas di perpus kita baca di koran siswa hamil dan berakhir bunuh diri, tuh. Baru aja kemarin dibahas kenapa malah kasus serupa tertimpa sama teman sekelas kita, Die. Astaga! Masih belum percaya sumpah."

Aku menghela napas. "Kasus siswa hamil diluar nikah, kan, udah banyak terjadi Sil. Yang parahnya kasus perkosaan, pasti berakhir hilangnya nyawa korban. Makannya, Sil, kita harus benar-benar hati-hati, jaga diri. Karena yang berperan utama mencegah itu terjadi, ya, diri sendiri."

Sila manggut-manggut. "Wow, kok, lo jadi bijak si Die."

"Spontan aja lah Sil. Gimana sama pertanyaan tadi?

Dahi Sila mengernyit. "Pertanyaan yang mana?"

"Ya ampun lo gimana, sih, Sil. Lo mau nggak ikut mengawasi Verlia."

Sila menghela napas. "Demi peri kemanusiaan gue mau, deh. Daripada nyawa seseorang, eh, dua orang sama janinnya bahaya," ucapnya rendah mengingat mengucapkan kata 'janin'

Aku tersenyum lalu mengangguk.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top