07. Menjalankan Misi Taruhan, Belajar!
Sudah dua kali aku menekan bel rumah Lucas, tapi tak kunjung ada tanda-tanda seseorang di dalamnya. Walaupun seperti itu, herannya mobil yang sering di bawa Lucas ke sekolah kok ada di depan garasi? Itu berarti dia memang sudah pulang. Aku menghela napas, coba kutekan sekali lagi barangkali Lucas muncul.
Hening ....
Tidak ada siapa pun yang muncul membukakan pintu.
Aku menggigit bibir bawahku, apa aku masuk aja kali ya? Tapi nanti dikira nggak sopan bagaimana? Atau dikira pencuri?
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Mana ada dianggap pencuri, konyol! Sudah jelas kan kedatanganku ke sini untuk belajar dengannya. Aku menelan ludah susah, perlahan tanganku mendorong pintu.
Ceklek.
Tidak terkunci, aku menghela napas lalu berjalan masuk.
Pandanganku mulai berkeliaran, mengamati setiap pintu ruangan. Barangkali Lucas muncul dari salah satu ruangan. Tapi nihil tidak ada yang muncul hingga kini kakiku sudah menginjak ruang tengah.
Wow lebar sekali ruangan ini. Terdapat sofa putih di ujung ruangan yang ditata membentuk simetris. Di tengahnya terdapat meja kaca yang dihiasi bunga lavender, sedangkan di depan sana tergantung televisi LID 42 Inch kurang lebihnya. Sementara di ujung kiri terdapat tangga. Banyaknya jendela kaca membuat ruangan menjadi terang.
Aku terpelonjak kaget saat wanita paruh baya yang kuyakini asisten rumah tangga di sini menepuk lenganku. "Non temennya Den Lucas?"
Aku mengangguk canggung. "I ... iya."
"Kenalin saya Bi Inah, asisten rumah tangga di sini. Maaf, ya, Non nggak tahu ada Non. Tadi belnya nggak kedengaran soalnya lagi nyuci baju di mesin cuci."
Aku mengangguk memaklumi. Terlebih ruangan ini sangat lebar, seharusnya Lucas memasang bel rumah dengan bunyi di atas 20 kHz. biar telinganya sekalian jebol. UPS!
Aku mengerjap, lupa belum memperkenalkan diri. "Saya Alodie."
Bi Inah manggut-manggut. "Nggak biasanya Den Lucas ngajak temannya ke rumah kecuali Den David sama Den Alvin."
"David?" cicitku. Oh jadi Lucas temannya David.
Bi Inah mengangguk. Seperti tahu apa yang kupikirkan, Bi Inah menjelaskan. "Iya. Kalau Den David itu sepupunya Den Lucas. Kalau Den Alvin teman sekelasnya."
Heh? David sama Lucas sepupuan? Baru tahu, sungguh. Ya, jelas orang aku belum mengenal Lucas kecuali tidak bisa mengelak bahwa aku mengenal kesombongannya, salah siapa nggak pernah senyum.
"Naik tangga aja non Alidi—"
"Alodie Bi." Aku mengoreksi.
Bi Inah menyengir, menampakan giginya yang masih lengkap. Wow. Biasanya kalau umur 50 tahun ke atas kan sudah ompong tapi Bi Inah tidak. "Naik tangga aja Non Alodie .... biasanyaa Den David sama Den Alvin juga langsung ke lantai atas."
Aku mengangguk. Setelah Bi Inah kembali ke dapur, aku mulai melangkah naik ke lantai atas. Kini kakiku sudah menginjak lantai ubin cokelat bermotif. Pandanganku langsung disambut rak-rak buku yang terisi penuh dari atas hingga bawah. Di samping kirinya terdapat lemari kaca berisi beberapa koleksi piala, sementara di sebelah kanannya terdapat meja belajar dengan dua kursi yang dipenuhi beberapa barang elektronik dan CD yang kebanyakan koleksi milik Ludwig van Beethoven dan Joseph Haydn.
Tapi yang sedari tadi mencuri perhatianku adalah ... di tengah ruangan yang luas terdapat piano klasik.
Apa Lucas yang sering memainkannya?
Aku berjalan mendekati piano, perlahan melangkah memutari piano sambil menyentuhnya.
Karena bosan, kini pandanganku beralih ke meja berukuran kecil yang belum sempat aku sebutkan tadi, letaknya di sudut ruangan. Di sana berbagai pigura tertata rapi, di dinding juga tercantel banyak foto ... Lucas?
Ya ampun sangat menggemaskan, tubuhnya putih mungil, pipinya gempal. Dia sepertinya Lucas saat berumur sekitar satu tahun. Melihat foto itu, bahkan aku tidak bisa untuk tidak mengembangkan senyum.
Setelah puas tersenyum, kini mataku beralih memandang foto yang kuyakini Lucas saat berumur empat tahun tengah menangis karena berebut sesuatu dengan seorang gadis sekitar umur tujuh tahunan. Siap dia? kakaknya?
"Alodie?"
Lagi-lagi aku terpelonjak kaget saat ada yang memanggilku, bukan memanggil tapi lebih tepatnya menebak apa aku Alodie?
Cepat-cepat aku langsung membalikan badan. Di depan sana Lucas berjalan mendekatiku, dia menggenakan kaus putih oblong. Auranya sangat santai seperti biasanya.
"Mau langsung belajar, Die?" tanyanya saat sudah berada di hadapanku.
Aku malah memandang sekitar, terlihat sepi. Waduuh aku hanya berdua bersama Lucas, nanti kalau canggung gimana? Atau mungkin ngobrolnya nggak nyambung gimana? atau yang lebih parah Lucas tetap bersikap dingin seperti biasanya sehingga menciptakan keheningan yang membuatku salah tingkah, bagaimanaaa? Mana lagi di lantai dua nggak ada orang lain. Setidaknya Bi Inah temani Alodie, nggak papa deh! Daripada nanti mati membeku.
Aku menghela napas mencoba mengenyahkan pikiran negatif. "Terserah Kaka aja deh," jawabku akhirnya.
Lucas berjalan ke arah meja belajar aku mengekori. "Sekarang kita buat jadwalnya aja dulu ya Die," ucapnya sambil duduk.
Aku mengangguk. Sebelum duduk, aku melepaskan tas gendong lalu kutaruh ke atas kursi. Sedangkan Lucas meminggirkan laptop di meja, memberikan celah untuk menaruh bukunya lalu tangannya terjulur mengambil bolpoin, mulai menulis jadwal. Kini aku duduk di sampingnya, hanya memperhatikan cowok itu menulis jadwal untukku belajar.
"Kak Lucas biasa ngajarin anak-anak belajar?" Aku memulai pembicaraan.
Dia balas menatapku lalu menautkan alisnya. "Nggak juga." Dia kembali menulis.
Aku manggut-manggut sambil memainkan kakiku.
"Kita belajarnya senin sampe sabtu aja, ya. Minggunya buat istirahat, bagaimana?" tanyanya.
Aku mengangguk, menurut saja.
Lucas kembali menoleh ke arahku. "Lo ikut ekstrakurikuler nggak Die?"
Wah ... mulai tanya-tanya nih. Lumayan gengsi sih aku nggak ikut organisasi apa pun. Dulunya aku mengikuti organisasi PMR tapi pas kelas XI keluar, soalnya entah kenapa jadi males. Hadeuuh dasar Alodie pemalas.
"Dulunya, sih, ikut PMR. Tapi malah pas kelas XI keluar. Jadi, sekarang nggak ikut apa-apa," jawabku.
Lucas mengangguk. "Kirain punya, kalau gitu waktunya sama terus aja, Die. Sepulang sekolah setelah satu jam. Jadi, satu jam itu bisa dipergunakan buat ganti seragam sama makan dulu." Dia menyodorkan selembar jadwal kepadaku.
Oh, jadi tadi Lucas tanya-tanya buat menentukan waktu belajarnya? Kirain dia kepo, eh ... mana mungkin dia kepo. Orang dia aja nggak punya ekspresi, mana peduli sama urusan orang?
Eh sebentar ... sebentar berarti Lucas punya waktu luang banyak, buktinya dia bisa mengajariku belajar kapan saja. Emang dia nggak ikut ekstrakurikuler juga apa? Eumm dia kan sudah kelas XII, sebentar lagi UN. Hampir lupa.
Lucas menoleh ke arahku. "Kita mulai belajar sekarang aja. Lo bawa buku, kan?"
Gimana sih Lucas, udah senang mau ijin pulang malah ngajakin belajar. Katanya hari ini cuma bikin jadwal? Aku menghela napas, ok Alodie tenang! Kamu harus belajar biar bisa memenangkan taruhan. Demi Argam Alodie, inget demi Argam! Fighting!
***
Satu jam. Aku sudah belajar satu jam bersama Lucas. Aku heran otaknya itu terbuat dari apa, sih? Kok, semua materi Fisika yang belum aku pahami, dia bisa menjelaskan semuanya. Semuanya loh!
Dari materi momen dan impuls sampe keseimbangan benda tegar dia masih ingat, padahal aku yang baru saja diberi penjelasan kemarin oleh Miss Anggie sudah lupa. Bukannya lupa, tapi setiap kali pelajaran Miss Anggie aku selalu mengantuk karena penjelasannya yang susah dipahami dan suaranya yang lembut bagaikan lagu pengantar tidur. Terserah mau lagu atau apa, tapi yang pasti suaranya pelan, bernada, dan lirih membuatku dengan mudah menjelajahi alam mimpi.
Sedangkan Lucas, aku langsung paham dengan penjelasannya. Aku suka bagaimana dia memilih kata-kata untuk menjelaskan kepadaku. Kesannya singkat, tapi jelas walau sama sekali nggak ramah, sekali-kali senyum kek!
Lucas menutup buku paket. "Sampe sini dulu belajarnya," Dia bangkit dari kursinya, "lo mau minum apa, Die?" tanyanya.
"Terserah Kaka aja deh," jawabku.
Dia mengangguk lalu berjalan meninggalkanku menuruni tangga.
Karena bosan, aku berdiri lalu berjalan ke arah lemari kaca yang berisi deretan beberapa piala. Tadi aku belum sempat melihatnya. Di sana bukan piala saja, tetapi ada sertifikat yang dipajang. Apa semua milik Lucas? Jika iya wow ... hebat!
Loh, loh kok aku jadi terkagum-kagum gini sama manusia tanpa ekspresi itu, sih?!
Aku mulai membacanya satu persatu.
Juara satu olimpiade Kimia tingkat provinsi.
Kalau itu pasti penghargaan yang tadi pagi baru dia dapat.
Aku kembali membaca penghargaan olimpiade-olimpiade lainnya. Hingga bola mataku berhenti pada tulisan:
Juara dua piano solo compettion, Jakarta tahun 2017
Mataku terbelalak. "Kak Lucas pianis?" cicitku.
Jadi pretasi yang Lucas capai bukan di akademik saja tetapi juga di non akademik.
Entah kenapa, tapi yang jelas ada perasaan termotivasi. Maksudku, kenapa aku tidak bisa seperti dia ketika sama-sama punya dua mata, satu hidung, dan mempunyai otak kanan kiri yang sama dengan Lucas.
Untuk pertama kalinya aku menjadi tertantang, ingin tahu apa bakat yang aku punya.
Akademik? atau non akademik?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top