06. Jatuh Seperti di Cerita Fiksi
Aku menghela napas mencoba sabar saat kepalaku mulai berdenyut sakit akibat lembur membuat cerpen yang masih belum kelar malam tadi, sedangkan kakiku sudah tidak sanggup diajak kompromi untuk berdiri. Upacara yang seharusnya sudah berakhir malah diteruskan untuk mengumumkan hasil deretan siswa pemenang olimpiade.
Andai kata aku adalah siswa yang termasuk di dalamnya, maka aku tidak akan mengeluh berdiri di sini, mengacuhkan kepalaku yang rasanya ingin meledak, dan dengan senang hati aku akan mendengarkan hasil pengumuman. Tapi takdir selalu berkata lain! Hiks!
"Olimpiade matematika juara 3 dimenangkan oleh Alisya Merty kelas X IPA 2. Silahkan ananda Alisya harap maju ke depan."
Suara tepuk tangan dan siulan kebanggaan dari anak kelas X IPA 2 menggema kepenjuru lapangan saat gadis dengan rambut sebahu model bop yang kuyakini Merty berjalan menghampiri Mr. Johan, kepala sekolah.
Mr. Johan berdehem sebelum memanggil siswa selanjutnya.
"Siswa selanjutnya yang memenangkan Olimpiade Sains juara 1 dimenangkan oleh ..."
Mr. Johan sengaja menggantungkan ucapannya, bermaksud membuat acara ini menjadi semakin meriah karena kali ini yang dipanggil siswa yang mendapatkan juara satu.
"Eline Quenza kelas X IPA 1 .... Silahkan Ananda Eline untuk maju ke depan."
Aku sama sekali tidak tercengang atau bereaksi apa pun ketika mendengar Eline memenangkan olimpiade. Sudah terbiasa anak itu memenangkan olimpiade semenjak SMP. Hanya saja ... ada perasaan kesal kepada diri sendiri. Kesal kenapa aku tidak bisa seperti Eline, meski aku sudah belajar lebih daripada Eline, tapi tetap saja aku tidak bisa mengalahkan adikku yang diberi kelebihan otak cerdas oleh Tuhan.
Aku mendengus kesal membayangkan oma akan membanding-bandingkanku lagi dengan Eline saat syukuran makan malam, itu pasti. Ya, keluarga kami selalu mengadakan acara syukuran setiap salah satu keluarga besar kami ada yang mendapatkan suatu penghargaan.
Eline berjalan sok anggun, mungkin karena di lapangan ini ada Argam. Suara tepuk tangan dari teman kelasnya tak kalah ramai dari sebelumnya. Berdiri di samping Merty, Eline memasang wajah wibawanya mungkin secara tidak langsung memperlihatkan kepadaku, memamerkan kepintarannya yang membuatku semakin tidak percaya diri untuk memenangkan taruhan mendapatkan Argam.
Mr. Johan kembali memanggil pemenang selanjutnya.
"Wow gue kagum sama adik lo Die."
Aku menoleh ke arah Sila, lalu manggut-manggut dengan wajah datar. "Hmm."
"Tapi bukan sama sifatnya, cuma kagum sama kepintarannya Die."
Aku kembali manggut-manggut. "Hmm iya ... terserah lo Sil," jawabku malas.
"Ya elah kenapa si lo. Lo iri ya sama adik lo?" godanya.
Aduh bukannya iri, tapi merasa tertantang, hmm lupakan. Masalahnya yang membuatku malas ngomong karena kepalaku kali ini berdenyut lebih sakit daripada sebelumnya. Jika di animasi-animasi mungkin sudah ada burung yang berputar-putar di kepalaku. Hadeuuh! "Pusing gue Sil."
Sila terkekeh. "Pusing mikirin Argam, ya?"
Aduh itu orang. Apa dia tidak bisa membedakan mana yang bercanda dan nggak apa?! Beneran ini kepalaku rasanya ingin meledak, aku mendengus kesal. "Bisa jadi," jawabku asal.
Eh ... mendengar nama Argam, aku jadi teringat tadi malam setelah menggarap cerpen sebenarnya aku dan dia chatting-an lumayan lama.
"Kemarin Sil, Argam ngirim pesan. Sebenarnya pesan itu dikirim kemarin malam tapi, kan, gue baru beli paketannya tadi malam jadi baru gue balas tadi malam deh...." Aku menghela napas sebelum melanjutkan, "kami chatting-an lama Sil," lanjutku sambil memaksakan senyum saat kepalaku masih terasa berdenyut.
Nah, karena ini juga yang membuat jam tidurku berkurang sebab setelah menggarap cerpen aku chatting-an lumayan lama sama Argam sampe jam 00:00. Dari yang tadinya Argam bertanya mengenai kondisiku karena berantem dengan Bryan sampe membahas hal yang nggak penting, tapi berhasil membuatku senyum-senyum sendiri hingga guling-guling di kasur, dan berakhir jatuh terjungkal ke bawah tempat tidur. Miriiis hiks!
"Die gue punya ide," ucap Sila tiba-tiba membuat dahiku mengernyit.
"Apaan sih Sil. Apa hubungannya Argam sama ide? orang lagi ngomongin Argam kok malah nyambungnya ke ide?"
Sila menatapku dengan tampang greget. "Aduuh Alodieee, lo pernah tanya, kan, mau bikin cerita apa buat cerpen lo ... mending, nih, ya bikin cerita 'Cinta Berawal Dari Organisasi' Dulu, kan, awal mula lo kenal terus suka sama Argam karena elo satu organisasi PMR sama dia. Nah... ceritain aja cinta dalam diam lo itu."
Aku menggeleng. "Nggak, ah, Sil. Sama sekali nggak menarik."
"Nggak menarik apa? jangan pesimis dulu dong, Die," jawabnya.
Aku menghela napas. "Emang lo mau, kalo cerpennya real kisah gue, persoalan lo sama Bryan ikut gue tulis. Mau?"
Sila menggigit bibir bawahnya. "Nggak jadi deh," ucapnya sedih.
"Olimpiade Kimia juara 1 dimenangkan oleh ... Lucas Winston Wijaya."
Suara gemuruh tepuk tangan tak kalah ramai dari sebelum-sebelumnya, menggema hingga menembus telingaku. Mengingatkanku jika nanti aku sudah mulai belajar dengan Lucas.
"Wow, Kak Lucas?" cicitku sambil memperhatikan Lucas yang tengah berjalan tenang tanpa ekspresi seperti biasanya, menghampiri Mr. Johan ke depan, berdiri di samping pemenang lainnya.
Sila menoleh ke arahku. "Yey biasa aja kali Die. Dia kan emang sering menangin lomba."
Aku balas menatap Sila. "Iyakah?" jujur saja sebelum mengenal Lucas, aku tidak pernah tahu dia sering memenangkan perlombaan.
"Ya ampun Alodie, masa nggak tahu sih!"
Aku menghela napas. "Emang dia artis sehingga semua orang bisa tahu? Lagian, kan, bukan dia aja yang menangin olimpiade."
Sila meringis. "Iya juga, sih, Die. Terus lo kenapa sekarang tanya-tanya kak Lucas?" Sila memicingkan matanya, "jangan-jangan lo juga suka sama Kak Lucas ya? Mencintai dua cowok sekaligus, wow!"
Aku meringis saat beberapa anak menoleh ke arah kami karena perkataan Sila yang keras.
"Aduh yang pelan dong Sil. Bukan gitu."
"Terus?" tanyanya.
"Mulai nanti sore gue belajar bareng dia."
Dahi Sila mengernyit. "Kok bisa?"
"Mama nawarin gue les sama anaknya temen Mama. Gue nggak tahu anaknya itu kak Lucas, Sil. Kalau tahu, gue mah ogah-ogahan."
Sila memainkan ekspresi wajahnya, kalau sudah kayak gini pasti dia bakal menggodaku. "Jangan kayak gitu Die, nanti suka looh," ucapnya berbarengan dengan anak-anak berhamburan pergi meninggalkan lapangan setelah Mr. Johan membagikan piala dan foto bersama.
Sebelum pergi hendak memukul lengan Sila terlebih dahulu karena ucapannya tadi, aku urungkan sebab kepalaku kembali berdenyut hingga rasanya kakiku lemas mataku berkunang-kunang. Dunia seolah berputar dan ....
Bruuk ....
Samar-samar aku bisa melihat pria jangkung menyanggaku, bersamaan dengan itu pekikan orang-orang mulai terdengar ricuh. Walaupun seperti itu, sejenak aku bisa merasakan hidupku seperti berada di dalam novel di mana Pangeran datang menyanggaku. Dalam situasiku yang seperti ini, aku masih mengharapkan dia adalah Argam.
Tapi setelahnya mataku benar-benar terpejam, aku tidak mengingat apa-apa lagi. Rasanya aku seperti tertidur pulas.
***
Aroma minyak kayu putih mulai tercium. Mataku perlahan-lahan terbuka, sedikit meringis karena kepalaku masih terasa berdenyut tapi tidak sesakit tadi. Tadi? bukannya tadi pagi aku berada di lapangan? Kenapa sekarang berada di ....
Pelan-pelan aku mengedarkan pandangan, aku berada di UKS. Di depanku Argam membawakan segelas air putih. Sila duduk di sampingku. Eh sebentar, kok, aku bisa berada di UKS? Oh, iya, aku ingat tadi pasti setelah merasakan dunia tergoncang aku langsung pingsan.
Di sini ada Argam? Berarti tadi Argam yang menyanggaku dan membawaku ke sini? Wah ... benar-benar hidupku seperti cerita fiksi. Seumur-umur baru pernah jatuh ditangkap manusia, pria pula. Dan pria itu Argam. Amazing Alodie!
Rasanya aku ingin tersenyum, aduh jangan dulu dong Alodie. Masih ada Argam di sini!
Argam mendekatiku. "Lo udah sadar? masih sakit nggak kepalanya Die?"
"Sedikit," jawabku.
Argam mengangguk. "Ya udah istirahat aja dulu," Argam memandang Sila, "lo temenin dia dulu ya. Ini air hangatnya tolong kasih dia ya. Karena Alodie udah sadar, gue pergi ya," lanjut Argam, Sila mengangguk.
Sebelum benar-benar pergi Argam menoleh kepadaku. "Cepat sembuh ya." Dia tersenyum kepadaku.
Aku mengangguk, balas tersenyum. "Thanks Gam."
Argam mengangguk. "Sama-sama Die." Setelah Argam benar-benar pergi aku langsung tersenyum.
"Iiih senyum-senyum. Kenapa sih?" tanya Sila sambil menyodorkan air hangat kepadaku.
Aku bangkit untuk duduk bersandar bantal dengan senyum yang masih mengembang. "Tadi Argam yang nangkep gue? Terus ngebawa gue ke sini, ya, Sil?" tanyaku sambil menerima gelas berisi air hangat.
Aku meneguknya.
"Idiih ... bukan dia Die, tapi Kak Lucas." Jawaban Sila berhasil membuatku tersedak air yang sedang aku teguk.
Setelah selesai tersedak-sedak, aku menatap Sila. "Kak Lucas? Kok bisa?"
***
A/N
Sejauh ini bagaimana ceritanya?
Lope. 💛💛💛
See you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top