05. Partner Belajar

Aku sedang berusaha menjadi orang yang nggak mau berlarut-larut dalam kesedihan, sebab aku tidak mau membuat diriku menderita. Pagi tadi sebenarnya aku tidak mau sarapan karena menghindari bertatap muka dengan papa, tapi dipikir-pikir itu nggak benar. Jika aku tidak sarapan berarti aku sama saja membuat diriku menderita dengan kelaparan, bukan?

Untung saja aku sarapan kalau nggak pasti aku nggak bakal konsentrasi mendengarkan penjelasan guru Sejarah—
Mr. Thomas— yang kata-katanya sulit dimengerti kecuali bagi mereka yang cerdas. Tapi karena Mr. Thomas, aku bisa merasakan menjadi orang cerdas, jika aku bisa memahami penjelasannya. Itu hal yang membuat menarik dari pelajaran sejarah.

Aku dan Sila bergegas ke kantin begitu bel istirahat berbunyi. Di sana sudah ada David tengah duduk manis di ujung kantin, dia melambaikan tangan kepadaku sambil menyeringai lebar hingga membuatku muak. Muak karena lagi-lagi aku harus mentraktirnya.

David menyendok soto yang tadi aku pesan, lalu dimasukan ke mulutnya. "Gila Die, lo berani juga ya sama si Bryan."

Setelah menelan bakso, aku balas menatap David. "Bagaimana lagi Vid, orang dia dulu yang memulainya. Gue nggak bisa tinggal diem dong."

Sila memicingkan sebelah alisnya, "Lo tahu penyebab Alodie berantem sama Bryan, Vid?"

David mengangguk. "Sedikit. Kemarin itu kalian menjadi topik hangat pembicaraan loh. Hebat!" David memberikan jempol sambil tersenyum.

Sila pura-pura ikut tersenyum, "Iya Vid hebat, hebat banget!" ucapnya kemudian matanya melotot sambil memberikan serangan pamungkas dengan memukul lengan David. "Hebat apanya, yang ada malu!"

David meringis kesakitan. "Hey, nggak usah main mukul, dong, sakit tahu Sil."

Aku mendengus, sudah jelas kejadian kemarin menjadi bahan perbincangan hangat. Mungkin hampir semua penduduk SMA tahu aku berantem dengan Bryan. Buktinya tadi pagi saat aku berjalan di koridor— walau tidak ditunjukkan secara langsung, sih— beberapa anak membicarakanku. Aku bisa mendengar meski samar-samar. Arg!

Kesialan macam apa yang menimpaku akhir-akhir ini! Saat masuk ke kelas pagi tadi geng nenek peyot Stela menjadi diam lalu menatapku aneh. Mungkin dia juga baru saja menggosipiku. Dia, kan, ratunya gosip.

David menyedot jus jeruk setelahnya dia menatapku. "Emang ... bener Die, Bryan yang nyari gara-gara duluan. Tapi lo yang mulai main kekerasan?"

Aku yang tengah mengunyah bakso tersedak-sedak mendengar pertanyaan David barusan. Sila yang duduk di depanku cepat-cepat memberiku segelas air putih, aku langsung menyambar dan meneguknya.

Setelah lumayan tenang, aku mendesah sambil membatin; gila kali, ya, gosip macam apa itu? Hoaks bener-bener hoaks!

"Gosip gila kali ya." Pada akhirnya aku mengatakannya, lalu aku kembali berucap, "bukan gue dulu yang main kekerasan Vid tapi Bryan dulu yang nampar Sil—"

Aku menghentikan ucapanku saat Sila melototiku. Aduh ini mulut asal crocos padahal aku kan sudah berjanji untuk tidak menceritakan masalah kemarin. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mau ada yang salah paham dengan gosip itu. "Sorry Sil," ucapku.

Sila mendengus kemudian dia mengangguk memaafkanku.

"Bryan nampar lo Sil? Ya ampun parah!" ucap David.

Lagi-lagi Sila mengangguk.

"Loh, kok, bisa Sila ditampar Bryan, Die? Apa masalahnya sih."

Aku mengedikan bahu. "Tuh tanya sendiri sama Sila."

David kembali menatap Sila. "Kok bisa Sil?

Sila menghentikan aktivitasnya memotong bakso menggunakan sendok, raut wajahnya berubah menjadi muram. "Udahlah nggak usah dibahas."

David nampak terlihat kecewa lalu mendengus. "Hmm ya sudah," jawabnya pura-pura jengah.

Setelah benar-benar David pergi meninggalkan kantin, aku menoleh ke arah sekitar, kantin sepi. Mungkin ini waktu yang tepat untuk bertanya kepada Sila. Aku mengganti posisi menjadi duduk di samping Sila.

"Sil emang si Bryan selingkuh sama siapa?" tanyaku. Aku tahu Bryan selingkuh, tapi aku nggak tahu dia selingkuh dengan siapa.

"Verlia," cicitnya.

Dahiku mengernyit. "Verlia? Kok, lo bisa tahu Sil?"

Bibir Sila melengkung ke bawah. "Kemarin pas gue pergi ke kamar mandi, gue nggak sengaja liat Bryan sama Verlia ciuman Die," ucapnya dengan suara rendah namun aku masih bisa mendengarnya.

Mataku terbelalak. "Bryan ciuman sama Verlia di SMA? Dasar brengsek emang, ya, itu siluman! Rasanya gue pengin menghajarnya lagi, Sil! Kalau Mr. Anton tahu, nih, ya, mereka melakukan itu di SMA pasti Bryan bakal mampus tuh!" Setelah perkataan itu, Sila tidak berkomentar. Aku menoleh ke arahnya, dia menundukkan kepala, samar-samar aku bisa melihat mata Sila memerah.

Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa Sil?"

"Gue pengin nangis Die," cicitnya setelah itu Sila menangis histeris, untung kantin sudah sepi hanya ada beberapa pemilik kantin yang melihat kami. Aku hanya bisa mengelus-elus pundak Sila. Dalam hati, aku tidak henti-hentinya melafalkan sumpah serapah untuk siluman Bryan!

Setelah puas menangis, Sila menghapus air mata menggunakan tissue kantin. Hehe maaf ibu kantin tissue-nya terpakai banyak. "Gue udah lega Die."

Aku mengangguk. "Sabar ya Sil, lo pasti bakal dapetin cowok yang lebih baik daripada siluman Bryan!"

Sila manggut-manggut sambil mengeluarkan ingus dengan tissue. "Gue bersyukur Die ... bisa terbebas dari jelmaan siluman Bryan. Coba kalau gue nggak memergoki dia langsung, pasti gue masih pacaran sama siluman itu!"

Aku mengangguk sambil tersenyum kecil.

***

"Ayo diminum."

Aku mengangguk saat wanita seusia mamaku— Tante Lalisa— menawarkan minuman kepadaku.

Saat ini aku dan mama sedang berada di rumah tante Lalisa. Setelah pulang sekolah, mama mengajakku ke rumahnya. Mama memberitahuku bahwa dia akan memperkenalkanku dengan anak teman mama yang bakal mengajariku belajar. Mama bilang dia satu sekolah denganku, membuatku sedari tadi tiada henti bertanya-tanya siapa dia, apa aku mengenalnya?

Kini mama dan Tante Lalisa tengah mengobrol, sedangkan aku sibuk mengamati Tante Lalisa. Diusianya yang terbilang cukup banyak, Tante Lalisa masih terlihat awet muda, kerutan di dahinya juga tidak terlihat. Dia masih cantik, bagaimana wajah saat mudanya? pasti sangat cantik.

Kini bola mataku berpindah mengamati rumahnya yang terbilang cukup besar, lebih besar dibanding rumahku yang juga mempunyai dua lantai. Aku mulai merasa bosan, kenapa anaknya Tante Lalisa tidak pulang-pulang, sih? padahal kan sekolah sudah bubar dari tadi.

Apa benar kata Tante Lalisa anaknya itu mampir ke toko buku dulu? Jika iya anaknya itu pasti rajin. Hmm yaya lah kalau tidak mana mungkin mama menyuruhku untuk private bersamanya.

Suara langkah kaki mulai terdengar lebih jelas hingga menampakan seorang pria menggenakan seragam yang setiap hari aku pakai, muncul dari balik pintu. Masuk berjalan mendekati kami.

"Kak Lucas," cicitku tanpa sadar.

Mama menoleh ke arahku. "Kamu kenal Die?"

Aku mengangguk. "Dia kakak kelas aku Ma."

Kenapa harus Lucas yang akan membimbingku belajar? Hadeuuh dia kan anaknya dingin gitu dan sulit diajak bicara. Dia juga sombong. Mama kenapa harus dia sih? Nggak ada yang lain apa? Adanya kalau  belajar dengannya bisa-bisa aku mati membeku sebelum memulai belajar.

Tapi bagiamana lagi? Mau menolak, mama sudah terlanjur bilang ke Tante Lalisa kan tidak enak. Tidak ada pilihan lain selain belajar dengannya. Demi Argam aku rela.

Setelah Lucas bersalaman denganku dan Mama, kini dia duduk di sampingku dengan tas masih di punggungnya.

Tante Lalisa mulai berucap. "Lucas ini Alodie, Alodie ini Lucas. Mulai besok kamu ajarin Alodie belajar, ya."

Lucas menatapku sejenak, lalu kembali balas menatap mamanya. "Saya usahain Ma," jawabnya tanpa ekspresi apa pun. Senyum kek atau apa. Emang ya itu orang nggak punya ekspresi apa?!

Tante Lalisa mengangguk.

Lucas berdiri lalu menatap mama, dengan sopan dia berucap, "Saya ijin ke kamar dulu Tante."

Mama mengangguk, setelahnya Tante Lalisa kembali menawarkan berbagai hidangan. Kali ini aku mengangguk sambil mengambil kue sekadar sopan santun. Ketika aku sibuk memakan kue, tanpa sadar aku tidak berpaling memandang Lucas yang tengah berjalan menuju ruang tengah, sedangkan mama dan Tante Lalisa kembali mengobrol.

"Anak kamu ternyata tampan dan sopan, ya. Jarang, loh, di zaman milenial seperti ini ada anak yang sopan, rajin, baik seperti anakmu, La."

Sopan, rajin, dan baik? Mendengar ucapan Mama barusan membuatku hampir tersedak kue yang sedang aku makan, kalau-kalau aku tidak langsung meneguk segelas jus jeruk yang Tante Lalisa sediakan.

Setelah meneguknya, aku mendesah sambil membatin; Mama belum tahu, sih, sifat asli Lucas. Lucas itu mm ... sedikit sombong.

"Ah, anak kamu juga sopan, cantik-cantik lagi Mel."

Obrolan mereka tidak sampai disitu, mama masih bertanya-tanya mengenai Lucas.

Aku mendengus. Kenapa aku harus belajar dengan cowok irit bicara itu sih? Sekali lagi, demi Argam aku relaaaa!

***







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top