04. Ruang Maut

Ruang BK dulunya adalah ruang yang paling aku hindari. Di mana setiap kali melihat siswa bermasalah masuk ruang BK, aku selalu bergidik lalu dalam hati akan berucap 'jangan sampai aku seperti mereka, jangan sampai aku mengundang orang tuaku masuk ke dalamnya. Jangan sampai!' Karena ruang BK adalah ruang mautnya anak-anak bermasalah.

Tapi nyatanya, sekarang aku berada di sini. Di ruangan yang bisa dibilang cukup sempit, terdapat tiga kursi dan satu meja. Aku duduk berjejeran dengan Bryan berhadapan dengan Mr. Anton, sedangkan Sila berdiri di samping kananku.

Aku menghela napas. Biar kuberitahu sekali lagi, selama aku belajar di SMA Negeri dua Jakarta, baru kali ini aku menginjakkan kakiku di ruang BK.

Samar-samar aku bisa melihat beberapa siswa yang mengikuti kami tadi, kini berdiri di depan ruang BK saling menggosipi aku dan jelmaan siluman Bryan. Seolah aku ini adalah tontonan yang paling menarik.

Pernah sekali saat aku masih kelas X menjadi penonton di depan ruang BK karena kasus bullying kakak kelas XII yang sudah lulus, namanya? tidak akan kusebutkan namanya, tapi kasusnya cukup berat karena si korban luka parah. Tidak pernah aku mengira akan menjadi tontonan seperti mereka.

"Alodie!"

Aku tersentak saat Mr. Anton memanggilku. Ya ampun sedari tadi aku melamun? bergelut sendiri dengan pemikiranku. Astaga ... sudah berapa kali Mr. Anton memanggilku?.

"I ... Iya Mr," jawabku tergagap.

Mr. Anton menatapku tajam. "Kenapa perkelahian antara kamu dan Bryan bisa terjadi?"

"Itu Mr—" Mr. Anton memotong ucapan Bryan barusan.

"Saya nggak tanya kamu Bryan. Saya tanya Alodie."

Bryan bungkam.

Sebelum aku menjawab, Bryan melirikku kesal. "Begini Mr. tadi saya nggak sengaja liat Bryan menampar teman saya, Sila. Jadi, dia dulu yang nyari gara-gara."

Mr. Anton menoleh ke arah Sila. "Apa benar seperti itu Sila?"

Sila menatap ke arah Bryan sejenak dengan penuh kekesalan, seperkian detik Sila menoleh ke arah Mr. Anton lalu mengangguk.

Bryan yang tidak terima langsung berucap, "Tapi Mr, Alodie mukul wajah saya. Jadi seharusnya dia dulu yang memulai perkelahian ini."

Aku menoleh ke arah Bryan jengkel. "Kok bisa saya. Kan, Anda dulu yang memulai. Jika saja Anda tidak bermain kasar kepada teman saya, maka saya tidak akan menghajar Anda." Karena kesal aku mengganti lo menjadi Anda kepada Bryan.

Bryan menatap tajam ke arahku, aku balas menatapnya tajam, mendadak ada aliran listrik tak kasatmata yang tercipta diantara kami. "Tapi kalau lo nggak mukul gue sampe luka gini, maka perkelahian tadi nggak bakal terjadi. Ini semua gara-gara lo," jawab Bryan jengkel.

Aku menggeram kesal. "Kok gue! Kan lo duluan!"

Praak!

Suasana menjadi hening setelah Mr. Anton memukul meja.

"Panggil orang tua kalian untuk datang ke sini sekarang juga!"

Heh? yang benar saja. Aku kan baru pernah masuk ruang BK lalu kenapa harus melibatkan orang tua?

Refleks aku berdiri. "Tapi Mr! Kenapa harus melibatkan orang tua? Bisakah Mr membatalkan perintah barusan?" Aku memelas.

Mr. Anton hanya menatapku tanpa menjawab, tatapannya memberi tuduhan bahwa aku tidak sopan seketika berdiri seperti ini, tersadar aku langsung duduk kembali.

Mr. Anton menghela napas. "Tidak bisa Alodie. Saya harus memberitahu orang tua kalian. Luka kalian cukup parah, jadi saya harus melibatkan orang tua kalian!"

Mendengar itu aku jadi teringat akan lukaku. Sebelum akhirnya aku langsung memandang tanganku yang terkelupas, darahnya sudah mengering, tapi mendadak aku jadi merasakan rasa sakit kembali. Tanganku kini menyentuh dahiku yang berdenyut pegal, ternyata aku juga mempunyai luka di dahi.

***

Entah hanya perasaanku saja atau memang papa sengaja bersikap dingin kepadaku. Karena semenjak papa dipanggil ke ruang BK, pulangnya papa sama sekali tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Aku kira papa bakal memarahiku, tapi kenapa dia malah diam, membuatku semakin takut akan diamnya papa.

Pernah mendengar marahnya orang diam akan meledak-ledak? Aku takut, jika ujungnya papa akan sangat marah kepadaku.

Hingga makan malam tiba, hanya mama saja yang menanyai kondisiku, memahami perasaanku. Papa dia sesekali hanya bertanya kepada Eline. Hingga makan malam selesai, aku yang hendak bangkit pergi ke kamar mau tak mau mesti kuurungkan, sebab papa memanggilku dengan nada yang tak bersahabat.

"Die ... Papa mau bicara sama kamu." Papa berjalan mendekatiku. Kini kami saling berhadap-hadapan.

Aku menoleh, mengernyitkan dahi. Hendak berucap, tapi Eline lebih dahulu berucap, "Pa aku ke kamar dulu."

Sepertinya Eline memang sengaja membiarkan papa leluasa berbicara denganku. Tapi sebelum benar-benar pergi, Eline menatapku lalu memutar bola matanya malas, sementara mama masih duduk di tempat.

Aku menggigit bibir bawahku saat papa memandangku tajam.

"Apa berkelahi yang selama ini Papa ajarkan ke kamu, Die?" Suara berat itu mulai menggema di telingaku.

Aku menggeleng pelan.

"Apa kamu tidak bisa menahan diri untuk tidak berkelahi?"

"Sudahlah Mas, Alodie, kan, sudah minta maaf. Lagian perkelahian tadi bukan salah Alo—." Mama menengahi, tapi papa langsung mengangkat tangan kanannya, seolah menyuruh mama untuk tidak ikut campur. Karena itu, mama berjalan kesal meninggalkan papa berdua denganku.

Papa kembali memandangku tidak suka. "Kamu itu perempuan! Bukannya belajar yang pinter malah berkelahi. Contoh adikmu itu! Bukannya membuat malu seperti tadi!"

Eline! Eline! dan Eline! Tidak bisakah papa berhenti membanding-bandingkanku dengan Eline?! Aku merasa jika papa memang lebih menyayangi Eline.

Aku mengepalkan tangan, kepalaku yang tadinya tertunduk sekarang kuangkat. "Alodie tahu kalau Alodie nggak sepintar Eline, nggak bisa main musik nggak punya bakat apapun. Tapi Alodie nggak pernah bermaksud membuat Papa malu. Perkelahian tadi itu bukan kesalahan Alodie, Pa! Bryan dulu yang memulainya!" jawabku sambil menahan sesak di dada. Ingin rasanya menangis, tapi aku nggak boleh terlihat lemah di hadapan papa sekalipun.

"Tapi tetap saja seharusnya kamu nggak berantem! Papa malu punya anak seperti kamu!"

Mendengar ucapan papa barusan membuat hatiku sakit, lebih sakit daripada luka di dahiku. Seolah ucapan papa barusan sama saja tidak menginginkan anak sepertiku.

Aku tersenyum kecut lalu menjawab ucapan papa dengan menahan seribu sesak di dada. "Papa malu punya anak kayak Alodie? Kenapa dulu Papa nggak buang Alodie aja? Alodie lebih baik nggak punya Papa daripada punya Papa yang pilih kasih kayak Pa—"

Aku membelalakkan mata sambil meringis kesakitan begitu papa menamparku, sementara tangan kananku kini langsung memegangi pipi yang terasa nyeri akibat tamparan barusan, seperkian detik aku merasa mataku mulai memanas. Aku sudah tidak sanggup lagi membendung air mata, alhasil air mataku tumpah merembas membasahi pipi. Untuk pertama kalinya papa menamparku!

Papa menatap telapak tangannya yang barusan ia gunakan untuk menamparku.

Sebelum pergi aku kembali berucap, "Alodie benci Papa! Papa jahat! Kalau tahu kayak gini kenapa Bunda nggak bawa Alodie pergi juga?!"

Setelah mengatakan itu, aku berlari meninggalkan papa yang masih tertegun. Mama di ruang tengah memanggilku, tapi aku tetap berlari menuju kamar sambil menyeka air mata agar mama tidak tahu aku menangis.

Sesampainya di kamar, aku langsung menenggelamkan wajahku di bantal, menangis kencang tanpa suara. Sekali lagi aku tidak mau mama tahu aku tengah menangis.

Samar-samar aku mendengar pertengkaran antara mama dan papa karenaku. Sudah jelas saat mama berada di ruang tengah, dia mendengar semua pembicaraanku dan papa, alhasil sekarang mama memarahi papa.

Aku tahu mama bukan mama kandungku, aku tidak terlahir dari rahimnya, tapi dia tidak pernah membedakanku dengan Eline. Walaupun seperti itu, terkadang aku takut suatu saat mama akan membedakanku. Jadinya, aku tidak pernah menunjukkan secara gamblang rasa sanyangku kepadanya.

Aku hanya takut suatu saat akan kecewa jika memang itu akan terjadi; seperti papa, mama akan lebih menyayangi Eline daripada aku.

Aku berjengit begitu mendengar pintu diketuk. Aku bisa memastikan kalau yang mengetuk pintu kamar adalah mama. Buru-buru aku menghapus air mataku.

"Alodie, Mama masuk ya."

Aku tidak menjawab ucapan mama.

Samar-samar aku bisa mendengar pintu terbuka, kini Mama melangkah mendekatiku yang tengah duduk bersender sambil mengusap bekas air mata.

Mama duduk di depanku, mengelus rambutku, bola matanya menatap dahiku yang sudah ditutupi plester.

"Mama tahu Alodie, Papa nglakuin itu bukan berarti Papa nggak sayang sama kamu."

Mendengar ucapan mama, aku memalingkan mukaku. Mama berhenti mengelus rambutku, tangannya kini ia gunakan mengangkat daguku agar aku balas menatapnya.

Aku menatap mama sekilas, tapi lagi-lagi aku memalingkan muka. "Papa nggak sayang sama Alodie, Ma. Buktinya Papa malu, kan, punya anak kayak Alodie. Kalau tahu seperti ini kenapa dulu Bunda nggak bawa Alodie pergi juga!"

"Alodie!" Mama membentukku bukan karena benci.

Aku bungkam.

Mama menghela napas. "Alodie sayang, Papa keras ke kamu karena Papa sayang ke kamu. Papa dulu sudah berjanji sama Bunda kamu, supaya suatu saat kamu menjadi anak yang membanggakan."

Aku masih bungkam.

"Ma, Alodie mau tidur," ucapku beralasan. Saat ini aku ingin sendiri.

Mama mengangguk. Aku mengganti posisi menjadi rebahan, mama membantu menyelimutiku hingga menutupi leher. Sebelum pergi dia kembali mengelus pucuk rambutku.

Maafkan aku Ma. Aku hanya ingin sendiri. Ingin tidur menemui bunda walau hanya di alam mimpi, tapi bahkan aku sama sekali tidak tahu bagaimana wajah bunda.

***

Bagaimana ceritanya.
Mau lanjut?

Salam:))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top