Lembar 15

Jam istirahat tiba. Di saat kebanyakan murid meninggalkan kelas mereka, Changkyun justru menjadi salah satu murid yang masih berdiam diri di kelas. Jisung sebelumnya meninggalkan kelas tepat setelah bel berbunyi dan mengatakan akan ke kamar kecil.

Berbeda dengan murid lain yang berada di sana, di mana mereka saling bergurau dengan rekan masing-masing. Changkyun justru menempelkan keningnya pada kedua lengan yang terlipat di atas meja. Menyembunyikan wajahnya agar tak dilihat oleh siapapun.

Sangat aneh memang jika yang melihat Changkyun saat ini adalah orang yang mengenalnya dengan baik. Karena biasanya Changkyun sudah meninggalkan kelas bersama Jisung. Bukannya berdiam di kelas seperti seseorang yang tengah mengalami masalah.

Setelah beberapa menit, Jisung kembali ke kelas dan sedikit heran ketika masih melihat Changkyun berada di sana. Jisung lantas menghampiri Changkyun dan berdiri di samping meja.

"Kau sakit?" tegur Jisung.

Changkyun yang mendengar itu kemudian memberikan gelengan.

"Lalu kenapa kau tidur di sini?"

"Aku tidak tidur," gumam Changkyun.

Jisung kemudian duduk di samping Changkyun dan kembali memperhatikan rekannya yang menjadi aneh sejak pergi ke pesta ulang tahun teman mereka waktu itu.

Jisung kembali menegur, "kau bisa bernapas?"

Mendengar hal itu, Changkyun lantas menolehkan kepalanya. Memandang Jisung tanpa berniat mengangkat kepalanya.

Changkyun kemudian menyahut, "kenapa aku tidak bisa bernapas?"

"Kau menutupi wajahmu seperti itu?" Jisung turut menaruh kepalanya di atas meja dan berhadapan langsung dengan Changkyun. "Kenapa? Kau ada masalah? Ceritakan saja padaku."

"Apa yang harus aku ceritakan padamu?"

"Apapun. Aku akan mendengarkanmu."

Changkyun terdiam tanpa melepas pandangannya pada wajah Jisung dan begitupun sebaliknya. Dibandingkan menegur, Jisung lebih memilih menunggu. Namun sepertinya menunggu bukanlah hal yang baik karena mereka justru terlihat aneh ketika berdiam diri dalam posisi seperti itu.

"Ya! Apa kalian sedang berkencan?" tegur teman sekelas mereka.

Jisung segera mengangkat kepalanya tanpa menegakkan tubuhnya. Memandang ke arah tiga siswi yang salah satu dari mereka memberikan teguran sebelumnya.

Siswi itu kembali berucap, "kalian terlihat aneh jika seperti itu."

"Kalian para wanita, mengerti apa? Jangan berisik," balas Jisung sedikit ketus.

"Dasar." Ketiga siswi itu lantas tertawa dan kembali pada dunia mereka sendiri. Begitupun dengan Jisung yang kembali menaruh kepalanya.

Jisung lantas memutuskan untuk menegur, "katakan sesuatu, kau terlihat aneh jika seperti ini."

"Kau yang membuat kita terlihat aneh, bukan aku," balas Changkyun tanpa minat.

"Kau membuatku khawatir ... apa kau sedang bertengkar dengan paman?"

"Ayahku tidak pernah memarahiku, kenapa aku harus bertengkar dengannya?"

"Bibi?"

Changkyun menggeleng ragu.

Jisung menegakkan tubuhnya dan menaruh kedua tangannya di atas meja. "Kalau begitu katakan apa yang terjadi padamu, kenapa kau berubah seperti ini?"

"Aku sedang bingung."

"Bingung kenapa?"

"Aku ingin mengatakannya padamu, tapi ayahku melarangnya."

"Memangnya apa yang ingin kau katakan?"

"Ayahku mengatakan bahwa aku baru boleh memberitahumu jika kita sudah selesai ujian."

"Lalu kenapa kau memberitahuku sekarang? Kau sudah membuatku penasaran."

"Sepertinya lebih baik kau tidak tahu."

"Tapi kau sudah mengatakannya padaku," nada bicara Jisung sedikit meninggi.

"Aku tidak memberitahumu."

"Kau memberitahuku jika ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku."

"Tapi aku belum mengatakan apa yang ingin kukatakan padamu."

Jisung tiba-tiba memegang kepalanya menggunakan kedua tangannya. Mencoba memperpanjang masa kesabarannya saat menghadapi sikap Changkyun yang seperti itu. Namun saat itu tawa pelan justru keluar dari mulut Changkyun, meski saat itu pula air mata keluar dari salah satu sudut matanya yang segera ia hapus.

"Kau sedang mempermainkanku?" kesal Jisung.

"Tidak."

"Kau memang menyebalkan. Ayo!"

"Ke mana?"

"Ke Kafetaria, aku lapar."

"Pergi saja sendiri, aku tidak lapar."

Jisung memukul bahu Changkyun sedikit keras. "Kau tidak ingat pesan paman?"

"Tidak, aku tidak ingin mengingat apapun," perkataan serius yang terucap sebagai sebuah candaan.

"Berhenti menjadi orang aneh dan cepat berdiri."

"Pergilah sendiri. Aku mengantuk ... jangan menggangguku."

"Kau memang sulit ditebak. Kau yakin tidak ingin pergi?"

"Tidak."

"Jadi aku harus pergi sendiri?"

Changkyun mengangguk. "Pergi saja ... jangan kembali sebelum kelas dimulai."

"Dasar orang aneh," cibir Jisung. Pemuda itu berdiri, namun sebelum pergi, ia lebih dulu mengusak rambut Changkyun dengan kasar seraya berucap, "jangan menyesal jika kau merindukanku nanti ..."

Changkyun menepis tangan Jisung. "Pergi sana."

"Aku pergi," pamit Jisung dengan senyum lebarnya.

Setelah melihat Jisung meninggalkan kelas, Changkyun menghilangkan garis senyum di wajahnya. Binar mata yang sempat terlihat ketika ia berbicara dengan Jisung turut sirna. Menyisakan tatapan kosong yang membawa kesedihan itu terlihat di kedua netra sayunya.

Pada akhirnya Changkyun menjadi satu-satunya orang yang masih menetap di dalam kelas. Meninggalkan kebisingan di luar ruangan itu, Changkyun menuntun kedua kelopak matanya untuk menutup. Memberikan waktu bagi dirinya sendiri untuk menyembuhkan luka yang tak bisa ia bagi dengan siapapun, bahkan jika itu ayahnya sendiri sekalipun.

Tempat yang berbeda, orang yang berbeda, namun dengan pemikiran yang sama. Seperti batin keduanya yang terhubung satu sama lain. Kala itu, Taehwa berbaring di sofa ruangannya. Melipat satu tangan di bawah kepala, sedangkan tangan satunya ia letakkan di atas perut. Pandangan pria itu mengarah pada langit-langit ruangan.

Jam makan siang sudah berjalan lima belas menit. Namun hingga detik ini tak ada tanda-tanda bahwa Taehwa akan beranjak dari tempatnya. Tak memiliki rasa lapar setelah menyelesaikan pekerjaannya, pria itu lebih memilih menyelami pemikirannya yang semakin kacau dari hari ke hari.

Pintu ruangan terbuka, namun Taehwa sama sekali tak memberikan respon. Seulgi lantas masuk dengan tangan kosong dan menutup pintu sebelum berjalan ke tempat Taehwa.

"Presdir, sudah waktunya makan siang. Kapan kau akan meninggalkan ruanganmu?" tegur Seulgi yang kemudian berdiri di samping meja.

Seulgi menatap heran ketika Taehwa tak memberikan respon sama sekali. Wanita itu lantas kembali menegur, "Presdir."

Kembali tak mendapatkan jawaban. Seulgi mendekat dan berdiri di samping kepala Taehwa. Dengan tangan yang bersedekap, Seulgi sedikit mencondongkan tubuhnya sehingga wajahnya berada di atas wajah Taehwa dan membuat keduanya melakukan kontak mata.

"Ada apa denganmu?" teguran yang terdengar lebih santai.

Taehwa kemudian baru memberikan respon, "aku mendengarmu. Jika ingin bicara, bicara saja."

"Jika kau dengar, kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"

"Memangnya apa yang kau tanyakan?"

Seulgi menatap jengah. Menegakkan tubuhnya, Seulgi lantas berjalan ke arah kaki Taehwa. Menepuk kaki Taehwa agar memberinya sedikit ruang, Seulgi kemudian mendudukkan dirinya tepat di samping kaki Taehwa dengan posisi menghadap Taehwa yang sama sekali tak berpindah dari tempatnya.

Seulgi kemudian berucap dengan nada yang sedikit menuntut, "kau tidak bisa berbohong di hadapanku, sekarang katakan apa masalahmu."

"Saham perusahaan jatuh."

"Jangan mengada-ngada, Saham perusahaan dalam keadaan stabil ... kak Joohyun lagi?"

Bukannya menjawab, Taehwa justru tersenyum lebar, tampak tak percaya jika Seulgi bisa menebak pikirannya dengan begitu mudah.

"Berhenti bertingkah seperti itu dan cepat katakan padaku."

"Ini adalah masalah rumah tanggaku, akan sangat memalukan jika aku menceritakannya pada wanita luar."

"Sejak kapan kau memiliki rasa sungkan padaku?"

"Sejak aku mendengar kabar bahwa Sekretaris Kang akan segera menikah."

Dahi Seulgi mengernyit, sudah jelas bahwa yang dimaksud oleh Taehwa adalah dirinya. "Siapa yang mengatakannya padamu?"

"Kau pikir Jaebum yang mengatakannya padaku?"

"Dia yang mengatakannya padamu?"

"Aku belum sempat bertemu dengannya."

"Lalu?" tatapan Seulgi semakin menyelidik.

Taehwa kemudian memberikan jawaban yang sesungguhnya, "Changkyun yang memberitahuku."

"Changkyun?"

"Apa orang itu melamarmu di depan putraku?"

"Dia bahkan tidak mengatakan apapun padaku."

"Dia belum mengatakannya padamu?"

"Memangnya apa yang ingin dia katakan?"

"Kenapa bertanya padaku? Tanyakan saja padanya."

Seulgi dengan gemas mencubit kaki Taehwa. "Bagaimana aku bisa bertanya padanya jika aku tidak tahu apa yang ingin dia bicarakan padaku. Berhenti menjadi pria menyebalkan! Kau kira akan kutaruh di mana mukaku?"

Taehwa tertawa pelan lalu bangkit dari posisi berbaringnya tanpa menurunkan kedua kakinya. Tawa itu memudar, menyisakan seulas senyum tipis di wajahnya.

"Bagaimana dengan proyek Rumah Sakit?"

"Tidak ada masalah, semua berjalan dengan baik. Lebih baik sekarang kau keluar dan cari sesuatu untuk mengisi perutmu."

"Perutku sudah penuh, tapi hatiku rasanya masih kosong."

Seulgi meraih bantal kecil di dekat kaki Taehwa dan langsung melemparnya ke wajah Taehwa dengan kesal. Sedangkan Taehwa langsung menangkap bantal tersebut sehingga tak sampai mengenai wajahnya. Dan saat itu garis senyum tipis itu sedikit melebar.

"Tidak apa-apa jika kau menikah dengan Jaebum. Aku berani menjamin bahwa dia akan menjadi suami yang bertanggung jawab untukmu."

"Kau tahu aku tidak pernah suka membahas hal ini, jadi jangan dibahas lagi."

"Wanita tua egois."

"Apa?" Seulgi sedikit terkejut ketika Taehwa mengatainya. "Kau baru saja mengataiku 'wanita tua'?"

"Kau memang sudah tua. Kau kira berapa usiamu? Lihatlah sudah sebesar apa putraku ... jika kau menikah sejak dulu, mungkin aku akan menjodohkan putraku dengan putrimu."

"Bicara apa kau ini? Apa kau sedang mabuk?"

"Apa telingaku merah." Taehwa meraba telinganya sendiri. Pasalnya telinganya akan berubah menjadi merah ketika ia mabuk. Namun saat itu warna telinganya masih normal karena memang dia dalam keadaan yang sepenuhnya sadar.

Seulgi kemudian merespon tanpa minat, "dan seharusnya kau sadar bahwa kau sudah terlalu tua dengan leluconmu ini."

Ponsel di tangan Seulgi tiba-tiba bergetar. Seulgi melihat layar ponselnya dan melihat satu panggilan masuk. Namun ia terlihat enggan untuk menerimanya.

"Siapa?" tegur Taehwa.

Seulgi menjawab dengan ragu, "Jaebum."

"Berikan padaku," Taehwa mengulurkan tangannya.

"Apa yang ingin kau lakukan?" selidik Seulgi.

"Berikan saja padaku."

"Jangan bicara macam-macam."

Taehwa hanya mengangguk, dan setelah mendapatkan ponsel Seulgi, ia segera menerima panggilan itu.

"Halo. Kau memiliki keperluan, Tuan Im Jaebum?" ucap Taehwa tanpa ragu dan tentu saja hal itu berhasil mengejutkan Jaebum.

"Kenapa kau yang menerima teleponnya?" ucap Jaebum di seberang.

"Itu artinya dia sedang bersamaku."

"Dasar licik."

Taehwa tertawa ringan sembari menggaruk alisnya sebelum berbicara dengan lebih serius. Tak ingin menjadi penghalang antara kedua orang yang baru saja memulai hubungan serius itu.

"Jika kau ingin membawanya pergi makan siang, pastikan kau sudah berada di depan kantor sebelum kau menghubunginya."

"Apa yang kau bicarakan?" bisik Seulgi sembari sekilas memukul lengan Taehwa.

Jaebum kemudian menyahut, "sebenarnya aku berniat untuk menculiknya. Tapi bagaimana lagi, aku sudah ketahuan ... tapi omong-omong, aku sudah ada di sini sejak sepuluh menit yang lalu."

"Kau benar-benar menyedihkan, Im Jaebum. Ingat pesanku baik-baik jika kau tidak ingin menyesal."

Taehwa memutuskan sambungan secara sepihak dan mengembalikan ponsel Seulgi.

"Apa yang kalian bicarakan?"

"Kau sudah mendengarnya tadi."

"Ya! Kim Taehwa-"

"Turunlah, dia sudah menunggumu."

"Apa?" Seulgi tentu saja terkejut.

"Dia mengajakmu makan siang. Pergilah sebelum jam makan siang habis."

"Aku tidak mengatakan bahwa aku menyetujuinya."

"Tapi aku terlanjur mengatakan bahwa kau akan turun lima menit lagi."

"Aku tidak mendengarmu mengatakan hal itu."

"Kami memiliki bahasa yang tidak kau mengerti. Jangan bertanya lagi dan cepat pergi."

Seulgi menghela napasnya. "Kau ini benar-benar," gumamnya yang kemudian berdiri. "Pergilah keluar dan cari sesuatu untuk dimakan, aku pergi dulu."

Seulgi lantas meninggalkan Taehwa. Dan tepat setelah sang Sekretaris meninggalkan ruangannya, saat itu garis senyum di wajah Taehwa memudar. Pandangannya jatuh pada kaca gedung yang memperlihatkan langit cerah siang itu. Entah mengapa, setiap hari kekosongan di dalam hatinya terasa semakin melebar. Rasanya sangat dingin di dalam sana, namun perasaan itu kembali menghangat ketika ia sudah dihadapkan dengan sang putra.

Selesai ditulis : 17.07.2020
Dipublikasikan : 19.07.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top