Orang-orang Baik
Hari itu, masih di sekolah yang sama setelah satu tahun berlalu, aku termenung cukup lama sembari menatap pintu kelas.
Kenangan-kenangan mengenai teman-temanku di berbagai sekolah yang pernah kutempati hadir silih berganti, dimulai dari seorang Kanaya yang masih menggunakan seragam biru langit juga topi berlogokan taman kanak-kanak, hingga Kanaya yang mengenakan seragam putih merah dengan logo sekolah di lengan kirinya yang semakin lama semakin tebal seiring dengan kenaikan kelas karena mama selalu menimpa logo sekolah baru di atas sekolah lama.
Pasti seperti itu pula nasib seragam SMP-ku nanti, tebalnya logo di lengan kiriku menjadi penanda pada berapa banyaknya kenangan-kenangan dengan teman-teman lama yang sudah tertimpa oleh yang baru.
Berbicara tentang ambang pintu kelas, ada momen yang terus menerus terulang tidak perduli dimana atau sejauh apapun aku bersekolah, dan aku tidak keberatan olehnya. Ini mengenai mereka yang selalu menyerukan "Kanaya, ayo!" dengan raut wajah menggebu-gebu yang penuh semangat, mengajakku untuk pergi ke kantin dan berburu makanan enak, mengikuti ekstrakulikuler yang seru sekaligus melelahkan, pulang bersama meskipun hanya sampai gerbang sekolah, atau sekedar mengeksplorasi seisi sekolah sambil membahas cowok yang menarik perhatian hingga membuat kita akhirnya saling meledek satu sama lain di lorong sekolah.
Di setiap tempat tinggal baru, aku memang bertemu dengan orang-orang baik yang membantuku memecahkan bubble yang melindungiku dari dunia luar, membantuku mewarnai masa-masa sekolah dengan berbagai pilihan warna yang cerah.
"Kanaya, ngelamunin apa?"
Aku terkisap, mendapati Tania berdiri di depan mejaku dengan ransel besar yang tersampir di kedua pundaknya, kedua tangannya seperti biasa menjinjing tas laptop juga tas biola, membuatku bertanya-tanya apakah tinggi badannya pernah menurun karena selalu membawa banyak barang.
Bel sekolah yang kutunggu ternyata sudah berbunyi ketika aku melamun tadi, bahkan sebagian besar murid sudah menghilang dari kelas.
"Eh, nggak, kok," sahutku dengan cepat, seperti autotext yang tertanam di dalam kepala, menutup diriku rapat-rapat, sebelum aku tersadar bahwa aku terbiasa mengucapkan kebohongan-kebohongan kecil seperti itu. Lupa bahwa aku sesekali bisa merengek seperti seorang bayi meskipun lingkungan memaksaku untuk bisa berjalan dengan cepat.
"Aku tadi inget temen-temen di sekolah lamaku." Aku kembali berucap, lebih tepatnya mengoreksi ucapanku sebelumnya pada seorang yang baru kukenal selama satu tahun, waktu yang singkat itu ternyata jauh dari cukup untuk menyadari bahwa Tania adalah satu diantara orang-orang baik. "Oh iya, ini hari rabu, kan? Kita ke kios majalah?" tambahku, langsung mengalihkan pembicaraan karena terlalu canggung menjadi sosok melodramatis.
"Iya, kita daritadi nungguin kamu, loh," kata Tania, kemudian memalingkan wajahnya ke ambang pintu untuk menunjukkan Alli, Rissa, dan juga beberapa teman lain yang ternyata sedang menungguku.
Aku terkekeh polos, cepat-cepat menjejalkan buku dan alat tulisku ke dalam ransel dan menyampirkannya pada pundakku, tidak ingin membuat mereka menunggu lama.
Pergi ke kios majalah sepulang sekolah sudah menjadi ritual mingguan yang menyenangkan. Menabung satu minggu penuh, lomba lari menuju kios yang berjarak empat sampai lima blok dari sekolah, membahas idola-idola yang muncul di dalam majalah, hingga membaca cerpen juga cerita-cerita lain yang ada di dalamnya. Majalah juga menjadi alasanku bisa mengenal Tania, juga teman-teman yang lain. Menambah daftar kenanganku setiap melihat ambang pintu kelas.
"Tania, Kanaya, ayo!" seru Alli dengan nyaring sambil melambaikan tangannya di udara, suaranya menggema di dalam kelas yang sudah kosong ini.
"Ayo!" sahutku dan Tania bersamaan, berlari menghampiri mereka dengan bersemangat, dan seperti kebanyakan murid, energiku seakan kembali terisi penuh saat menyadari bahwa sudah waktunya untuk pergi dari sekolah yang melelahkan.
"Kanaya." Tania tiba-tiba saja memanggilku ketika kita bergerombol berjalan melewati gerbang sekolah, membuatku menoleh, kacamatanya memantulkan semburat jingga dari matahari yang mulai terbenam, membuatku teringat bahwa sosok yang sudah aku anggap sebagai sahabat ini pernah terlihat begitu menyilaukan dimataku dulu. "Kangen itu wajar, kok," timpal Tania dengan sungguh-sungguh, kemudian tersenyum lebar hingga kedua matanya yang berada di balik kacamata itu melengkung sempurna, tidak hanya bibirnya.
Aku mengernyit, kemudian menyadari bahwa dia sedang menimpali ucapanku saat di kelas. Aku lantas ikut tersenyum lebar.
Bertemu dengan orang-orang baik membuatku terkadang lupa bahwa aku sebenarnya masih terjebak di dalam time loop yang membuatku bisa saja tiba-tiba kehilangan semua yang berharga, seperti momen ini, juga mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top