Tujuh
***
"Oke, untuk hari ini sudah cukup," Shigure berujar. Tersenyum ramah kepada Yuuna yang akhirnya telah selesai menjalani konsultasi pertamanya.
Dan hasilnya, seimbang antara bagus dan tidak. Seperti yang bisa diperkirakan Shigure.
"Hanya ... begini saja?" tanya Yuuna seperti tidak yakin. Ia pikir, prosesnya akan berlangsung sangat lama. Bertanya ini itu. Memeriksa ini itu. Dan masih banyak lagi.
Shigure yang tengah sibuk menata kertas-kertas miliknya, seketika terhenti kala mendengar pertanyaan Yuuna. Menatap sang wanita dengan heran.
"Ini baru konsultasi pertamamu, Kawanishi-san," ujar Shigure berkomentar, "aku tidak bisa langsung menghujanimu dengan segala pertanyaan ataupun pemeriksaan. Itu justru akan membuatku kesulitan kedepannya,"
"Kenapa justru membuatmu kesulitan?" tanya Yuuna memiringkan kepalanya. Tanpa sadar menunjukkan ekspresi polosnya.
Melihat itu, Vivian yang berada di pinggir ruangan terlihat terbelalak. Dengan cepat menutup mulutnya untuk menyembunyikan senyumannya.
'Shit. That's cute.' Batin Vivian menjerit geli.
"Itu rahasia," jawab Shigure menempelkan telunjuknya di bibirnya dan tersenyum, "maaf aku tidak bisa mengatakannya, Kawanishi-san."
Yuuna mendengus. Pasrah menerima balasan Shigure begitu saja.
"Kalau begitu, aku sudah boleh pulang, 'kan?" Tanya Yuuna seperti memastikan.
"Silahkan," jawab Shigure mengangguk, "kita akan bertemu lagi lusa depan, oke?"
Yuuna agak terkejut dengan pemberitahuan itu, dan tanpa sadar menoleh kepada Vivian yang duduk menjaga jarak dari mereka.
"Aku akan menemanimu," ujar Vivian seolah tahu apa maksud tatapan Yuuna kepadanya itu.
"Baiklah," Yuuna kembali memandang Shigure dan mengangguk, "sampai ketemu lusa depan, Sensei."
Shigure tersenyum ramah. Beranjak berbarengan dari duduknya dengan Yuuna. Diikuti Vivian dari tempatnya sendiri.
"Bagaimana? Dia tidak buruk, 'kan?" ujar Vivian ketika Yuuna menghampirinya. Wajah dari wanita bermata hijau itu nampak bangga dan sombong.
"Aki tak tahu apakah harus merasa senang atau tersinggung dengan ucapanmu itu, Enne," komentar Shigure dari belakang Yuuna. Tersenyum miring mendengar komentar Vivian.
"Enne?" sahut Yuuna merasa aneh mendengar nama yang disebutkan Shigure.
"Ya, Enne," sahut Shigure mengangguk, "dari nama Adrienne,"
Seketika, Yuuna terbelalak.
"Tunggu. Maksudmu Enne yang itu?" tanya Yuuna memastikan, sekaligus tak percaya.
"Ya," Vivian menyahut, "kenapa?"
Yuuna telah membuka mulut. Jelas hendak membalas pertanyaan polos yang dilontarkan Vivian. Tapi setelahnya, ia justru membisu. Kembali menutup mulut, dan seperti memikirkan sesuatu.
"Tidak, bukan apa-apa," ujar Yuuna akhirnya kembali berjalan, dan mendahului Vivian untuk keluar dari kediaman Shigure.
Vivian menatap bingung punggung Yuuna yang perlahan menjauh. Hingga tiba-tiba, saat dirinya hendak ikut berjalan menuju pintu rumah Shigure, si pemilik rumah menahan salah satu bahunya. Membuat Vivian pun menoleh ke wanita berambut honey gold tersebut.
"Kenapa?" tanya Vivian.
"Kau akan mengantarnya pulang, 'kan?" tanya Shigure balik. Memastikan tebakannya.
"Yah, tidak seutuhnya mengantar dia pulang," jawab Vivian, "maksudku, aku tidak diizinkan mengetahui rumahnya,"
Shigure mengerjap. Dan keningnya mengerut.
"Jadi?" tanya Shigure simpel.
"Aku hanya akan menemaninya hingga jarak tertentu dari rumahnya," jelas Vivian.
"Kenapa ... begitu?"
Vivian tak menjawab langsung. Justru wanita itu tampak menoleh ke arah yang dilalui Yuuna untuk pergi ke pintu depan rumah Shigure.
"Kurasa karena dia belum mempercayaiku," jawab Vivian kembali memandang Shigure dan tersenyum. "Dan aku juga tidak menyalahkan sikapnya itu. Selain itu, ada apa? Kenapa bertanya seperti itu,"
"Oh benar. Setelah mengantarnya nanti, apa kau bisa kembali kemari lagi?" tanya Shigure, "hari kau tidak punya jadwal periksa, 'kan? Karena itu kau berani mengajaknya kemari bahkan menemaninya,"
"Um ... ya. Besok jadwalku untuk check up," jawab Vivian, "jadi tidak masalah. Aku tidak keberatan kembali ke sini lagi setelah mengantar Yuuna kembali. Tapi, untuk apa?"
"Aku ingin membahas soal Kawanishi-san." Jawab Shigure langsung.
***
"Jadi ... Enne, ya," komentar Yuuna ketika dirinya dan Vivian sudah berada dalam perjalanan pulang ke kediaman Yuuna.
Ditemani dengan camilan manis—es krim untuk Yuuna, es kopi untuk Vivian—keduanya berjalan berdampingan sambil menikmati keramaian kota Tokyo. Jarak fisik di antara mereka pun juga tampak mulai menipis.
"Hm?" Vivian menoleh. Jelas tak mendengar apa yang dikatakan Yuuna. Tapi ia seperti merasakan wanita di sebelahnya ini baru saja mengatakan sesuatu.
"Kenapa kau tidak mengatakan sedari awal kalau kau adalah Enne yang terkenal itu?" tanya Yuuna sedikit menolehkan kepalanya, agar Vivian bisa melihat gerak bibirnya.
"Apa itu penting?" balas Vivian balik bertanya, "dan sebenarnya, aku sempat menyinggung soal siapa aku. Tapi kau tidak ingat,"
"Benarkah?" balas Yuuna tak percaya. Tapi tiba-tiba, ia teringat akan sesuatu. "Oh, yang waktu itu ya. Yang kau mengatakan apakah aku tidak mengenalmu,"
"Tepat!" sahut Vivian refleks menunjuk Yuuna.
"Aku tak menghapal wajahmu. Tapi namamu memang sangat terkenal," aku Yuuna kemudian.
"Ah tidak. Biasa saja. Kau terlalu berlebihan menilaiku," balas Vivian berpura-pura malu. Walau dalam benaknya, ia merasa bangga dan sombong.
Yuuna kemudian membisu. Menikmati es krimnya sesaat, sambil melirik Vivian di sampingnya yang sibuk memperhatikan deretan toko yang mereka lewati.
"Jangan memandangiku terus," ujar Vivian menoleh kepada Yuuna. Tersenyum miring. "Itu membuatku tidak—"
"Kau ... hebat," potong Yuuna tiba-tiba.
Menangkap apa yang dikatakan Yuuna, Vivian spontan berhenti melangkah.
"Maaf?" ucap Vivian polos.
Yuuna akhirnya ikut berhenti. Sedikit berbalik untuk berhadapan sepenuhnya ke arah Vivian yang berhenti di belakangnya.
"Kau ... hebat," ulang Yuuna. Rona merah terlihat menghias tipis kedua pipi mulusnya, "dengan ... kekurangan yang kau miliki itu, kau mampu menjadi sosok yang hebat. Seorang komposer terkenal dari Inggris yang begitu mendunia. Hanya orang bodoh yang tak tahu siapa itu Enne,"
"Yah ...," Vivian mengusap belakang lehernya. Tak tahu harus bertingkah bagaimana ketika mendengar pengakuan Yuuna. "Aku ... berhasil sampai sejauh ini juga tidak dengan cara instan. Ada banyak rintangan—"
"Aku tahu," potong Yuuna lagi, "aku tahu, pasti tidak mudah untuk bisa mencapai titik ini. Tapi meski begitu, kau tidak menyerah. Sedangkan aku ...," Ia terhenti sesaat. Memandang ke bawah, dan mengusap jari manisnya dengan ibu jarinya.
"Setiap orang memiliki masalah yang berbeda-beda," ujar Vivian tiba-tiba. Yang mana ucapan itu sukses membuat Yuuna mengangkat wajahnya lagi. "Carol—sahabatku, pernah mengatakan itu padaku saat aku bertanya soal pasal bunuh diri.
Dan aku memang menyetujui ucapannya itu. Masalah yang kau alami, jelas berbeda dengan milikku. Caramu mengatasinya, juga tentu berbeda dengan cara yang kupilih. Dan sebagai tambahan, dulu aku sempat berpikir bahwa aku adalah manusia yang gagal diciptakan Tuhan,"
Yuuna membelalak. Terkejut dengan ucapan, serta senyum segan yang dilukiskan Vivian.
"Kenapa ... begitu?" tanya Yuuna penasaran.
Vivian sejenak kembali menikmati es kopinya. Kali ini hingga habis menyisakan batu esnya saja.
"Kedua orangtuaku tidak memiliki riwayat penyakit," ujar Vivian mulai bercerita, "bahkan nenek maupun kakekku. Tapi entah bagaimana, saat kelahiranku, aku justru harus kehilangan hampir seluruh kemampuan mendengarku. Saat kecil, tentu aku tidak terlalu ambil pusing. Tapi, saat aku sudah mengerti keadaan yang aku jalani, aku mulai merasa putus asa.
Aku berpikir, diriku adalah manusia ciptaan Tuhan yang gagal. Yang seharusnya tidak diciptakan, tapi tetap dipaksa untuk diciptakan di dunia. Karena bagiku, menyadari bahwa aku tidak bisa mendengar, sama saja seperti aku sendirian di dunia ini. Tak ada suara yang bisa membantuku. Itu ... hampir membuatku gila,"
Yuuna terdiam beribu bahasa kala mendengar kisah di balik sosok Vivian Adrienne, atau orang-orang mengenalnya sebagai Enne. Itu pahit. Dan membuat Yuuna berpikir, bukankah dirinya lebih beruntung? Meski dahulu ia memiliki sesosok ayah berengsek, tapi setidaknya ia masih terlahir sempurna. Meski pada akhirnya kini ia hanya seorang diri, setidaknya ia sempat dicintai.
Walau finalnya, pengkhianatan yang justru didapat Yuuna.
"Tapi, aku takkan berkomentar hidupmu lebih baik atau sejenisnya," lanjut Vivian lagi, "karena aku sudah berjanji takkan melakukan itu. Selain itu, sudah kukatakan, 'kan? Apa yang kau miliki, jelas berbeda dengan apa yang kumiliki. Kita tidak bisa selalu menyetarakan keadaan orang lain, dengan keadaan yang kita miliki. Itu ... seperti sudah menjadi sebuah tuntutan."
***
Tak terasa, perjalanan mereka telah berakhir. Saling berbagi cerita, membuat mereka tak menyadari panjangnya waktu yang harus mereka tempuh untuk tiba di daerah kediaman Yuuna.
"Terima kasih untuk hari ini," ujar Yuuna membungkukkan badan.
"Sama sekali bukan masalah," Vivian menjawab. Tersenyum hangat kepada wanita berambut pendek itu. "Kita ... akan bertemu lagi lusa depan ya,"
Yuuna kembali meluruskan tubuhnya dan mengangguk. "Dan besok ...," ucapnya malu, "apakah kau ada jadwal check up?"
Vivian mengangguk. "Pagi pukul 9," beritahunya.
"Hingga?"
"Pukul 11 paling cepat. Kenapa?"
"K-kalau begitu ... apakah kau mau mengabariku kapan kau punya waktu luang?"
Vivian mengerjap.
"Selain besok atau lusa—karena aku harus menemanimu menemui Shigure lagi, aku punya waktu luang,"
"I-itu berarti ... kau tidak keberatan jika menemaniku menemui seseorang?"
"Menemui seseorang? Yah ... jika kau yang meminta, aku sama sekali tak keberatan," jawab Vivian kemudian. "Memangnya kau ingin menemui siapa?"
Yuuna tak langsung menjawab. Justru ia terlihat ragu dan takut untuk mengatakannya.
"Seseorang yang dulu sempat kucintai." Jawab Yuuna akhirnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top