Satu


***

"Nah! Makanlah! Es krim itu aku yang traktir!" Wanita itu berbangga diri. Senyum lebar merekah di bibirnya yang beroleskan lipgloss.

Sedangkan Yuuna, dirinya nampak membisu. Memandang perempuan asing itu dengan ekspresi bertanya-tanya. Sebelum ganti dirinya menatap seporsi es krim tiga rasa, yang terhidang di depannya.

"Apa ini?" Tanya Yuuna memandang si wanita asing.

"Kok tanya apa ini?" balas wanita itu memiringkan kepala. Heran dengan perkataan Yuuna. "Ini es krim. Jelas sekali ini es krim!"

Keheningan terbangun. Hanya terdengar suara samar dari pelanggan lain yang tengah ada di kedai es krim tersebut.

"Dan apa maksudmu memberiku ini?" Tanya Yuuna lagi seolah melanjutkan pertanyaannya.

Wanita bermata hijau itu—yang andai Yuuna boleh berkomentar jujur, irisnya nampak indah—kini membisu. Mengerjap, dan tak lama tampak membelalakkan mata.

"Oh ... astaga ...." Gumam wanita tersebut seperti menyadari sesuatu.

Yuuna mengangkat sebelah alisnya heran.

Sungguh. Apa-apaan wanita ini sebenarnya?

***

Vivian berjalan menyusuri daerah perbelanjaan Tokyo dengan wajah senang. Alunan melodi ia senandungkan secara acak—dari lagu satu, ke lagu lainnya tanpa ia selesaikan seutuhnya—sembari menunggu panggilan video di ponselnya, yang tengah disambungkan kepada seseorang.

Akhirnya, setelah berlalu tiga kali nada tunggu, panggilan video itu diterima oleh pihak seberang.

["Hai, Vivi!"]

Sesosok wajah wanita berambut hitam legam dan bermata biru pucat, muncul di layar ponsel Vivian. Menatap sosok tersebut, senyum di bibir Vivian semakin merekah.

"Hey, Carol!" Jawab Vivian. Sesekali, matanya berganti memperhatikan sekitar agar dirinya tidak bertubrukan dengan orang lain.

["Bagaimana check up-nya? Melihat dari tampangmu yang berseri itu, aku yakin hasilnya baik,"]

"Exactly!" Vivian menjawab. Tanpa segan kembali menggunakan bahasa aslinya—inggris—saat berbicara dengan sahabatnya itu. "Kamu ... baik-baik saja di sana, 'kan? Kamu tidak mencoba melakukan hal bodoh selama aku di Jepang, 'kan?"

Carol terlihat menghela napas mendengar kekhawatiran Vivian.

["Vivi. Apa kamu sadar kapan terakhir kali kamu menanyakan hal itu?"]

Langkah Vivian terhenti. Sejenak memikirkan pertanyaan Carol tersebut.

["Jangan berpura-pura lupa,"]

Carol terdengar berkomentar lagi.

["Melupakan sesuatu, bukanlah sesuatu yang mudah kamu lakukan, Vivi,"]

Vivian terkekeh malu. Menggaruk pelan belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Dua hari yang lalu," aku Vivian terkait pertanyaan Carol sebelumnya.

["Tepat! Dua hari yang lalu kamu baru menanyakan soal keadaanku, Vivi! Dua. Hari. Yang. Lalu!"]

"Tapi, 'kan aku khawatir padamu," elak Vivian dengan nada serius, "bagaimana jika kamu mencoba melakukan hal bodoh di saat aku jauh darimu? Aku tak mau membayangkan itu!"

["Hei tenanglah, babe. Berkatmu, keadaanku tidak seburuk sebelum aku bertemu denganmu. Kamu sendiri juga tahu, 'kan bagaimana perkembangan kesehatan mentalku setahun terakhir ini,"]

"Memang sih ...,"

["Kalau begitu, tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kamu fokuslah pada pengobatanmu di sana."]

Vivian memandang Carol dengan penuh selidik. Ia harus percaya pada sahabatnya itu. Dan memang, apa yang dikatakan Carol itu ada benarnya.

"Baiklah. Aku perca—!" Vivian tiba-tiba terhenti.

Perhatiannya sesaat tertuju pada hal lain. Mengabaikan Carol yang memanggilnya bingung.

Dari tempatnya berada, Vivian bisa melihat seorang wanita berambut cokelat tembaga pendek, yang sedang berjalan di trotoar di seberangnya. Langkah wanita asing itu tampak sempoyongan seperti orang sakit yang memaksakan diri untuk tetap pergi jalan-jalan. Dan pada saat itulah, Vivian terperangah. Kedua kakinya tanpa sadar bergerak lebih cepat dari pikirannya, untuk menerjang kerumunan. Melawan ombak manusia demi menghampiri wanita tak dikenal itu.

Namun, kata menghampiri rasanya kurang tepat. Karena tindakan yang dilakukan Vivian, jelas lebih mengarah ke tindakan penyelamatan.

Ya. Menyelamatkan wanita berambut pendek itu dihantam oleh keras sebuah mobil yang melaju di jalan.

Ponsel milik Vivian ia lemparkan begitu saja saat ia meraih tubuh wanita itu. Dan ia yakin, nasib ponselnya itu sudah menjadi ponsel geprek.

"Apa-apaan kau?" Vivian berucap kepada wanita yang diselamatkannya.. Nadanya kesal, tapi juga bercampur khawatir. "Apa kau tak dengar klakson mobil itu?"

Wanita di bawahnya terdiam. Mata cokelat yang berhasil ditangkap Vivian, itu jelas terlihat kosong. Dan Vivian merasa perasaan deja vu ketika melihatnya.

Yang dalam waktu singkat, ia berhasil mengingatnya.

'Carol.' Batin Vivian.

***

Yuuna bangkit dari duduknya seketika saat tak kunjung mendapat balasan.

"A-ah tunggu!" Wanita bermata hijau itu ikut beranjak dari duduknya, dan menahan salah satu tangan Yuuna.

"Lepaskan!" sentak Yuuna. Tak peduli jika hal tersebut membuat dirinya menjadi pusat perhatian.

Toh tidak ada yang mengenalnya.

"Aku tak kenal siapa kau. Jadi jangan ganggu aku," sambung Yuuna lagi menatap bengis wanita asing tersebut. "Dan aku tidak tertarik menerima pemberian seseorang yang tidak kukenal,"

"Eh? Kau ... tidak kenal aku?" Tanya si wanita menunjuk dirinya sendiri. Tampang polosnya seolah mengejek Yuuna.

Wajahnya seperti minta untuk dipukul.

"Ha?" Yuuna mengerutkan kening. Ia jadi semakin takut dengan wanita di hadapannya ini. Meski harus ia akui, sang wanita bermata hijau tersebut begitu cantik.

"Ah maaf," Wanita asing itu langsung memasang wajah malu. Menggaruk tipis salah satu pipinya dengan jarinya. "Jangan dipikirkan."

Yuuna kembali mengerutkan kening. Gelagat wanita satu ini, entah kenapa tak bisa dipahami Yuuna. Tapi biarlah. Mungkin dia hanya wanita yang gila perhatian.

Selesai dengan urusannya, Yuuna pun memutuskan untuk pergi dari kedai es krim itu. Meninggalkan wanita gila tersebut bersama dua porsi es krim yang keduanya masih tak tersentuh di depan mejanya.

Begitulah yang dipikirkan Yuuna.

Karena ternyata, wanita itu masih belum selesai dengan Yuuna.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top