Lima


***

["Apa?"]

Vivian tak menyahut. Wanita berambut cokelat panjang itu masih tersenyum polos, sambil berhadapan dengan Carol via panggilan video dari laptopnya.

["Kenapa kau senyam-senyum begitu? Kau membuatku takut Vivi. Jangan bilang kau mulai tidak—"]

"Aku masih waras!" ucap Vivian cepat. Tahu apa yang hendak diutarakan sahabatnya itu.

Carol terkekeh mendengar sahutan Vivian. Memang, menggoda wanita satu ini ada kesenangan yang berbeda bagi Carol.

["Kalau begitu, ada apa? Sungguh, kau membuatku ta—"]

Carol terhenti. Dirinya tersadar akan sesuatu. Dan ia ganti tersenyum penuh arti kepada Vivian.

["Ah ... kurasa aku tahu,"]

Vivian tampak menaikkan kedua alisnya. Matanya memancarkan tatapan tidak sabar.

["Ini soal orang yang menjadi bahan pertanyaanmu kemarin, 'kan?"]

Vivian terkekeh. "Kau memang memahamiku ya, Carol," komentarnya tersenyum lebar.

["Kau itu mudah ditebak pemikirannya,"]

"Eh? Begitu kah?" balas Vivian.

Carol terlihat mengangguk.

["Jadi bagaimana? Apa yang kau lakukan hingga berhasil menutupi lukanya dalam waktu singkat?"]

"Menghajarnya," jawab Vivian menunjukkan tangannya yang mengepal, hingga tampak oleh kamera laptopnya.

["Sungguh? Kau menggunakan cara seperti itu?"]

"Tentu saja!" Vivian menyengir polos, "untuk apa bicara baik-baik, jika orang yang kau ajak bicara tidak sepenuhnya mendengarkanmu? Pukul sampai mampus nomor satu, bicara baik-baik pikir belakangan."

***

"Jika kau merasa kesal karena mati babak belur di tanganku, maka berhentilah. Jadi aku takkan punya alasan untuk menghajarmu sampai mati." Ucap Vivian kepada Yuuna, dengan senyum yang masih terukir di bibirnya.

Yuuna terdiam beribu bahasa. Pikirannya seolah tak mempercayai apa yang diutarakan Vivian kepadanya. Tidak hanya soal membantunya, tapi juga tentang Vivian yang akan menghajarnya sampai mati jika Yuuna mencoba melakukan hal yang berbahaya.

Sama sekali tidak ramah.

"Itu ... tidaklah mudah," ujar Yuuna akhirnya. Arah pandangnya jelas menghindar dari tatapan iris emerald di hadapannya. "Aku sudah tidak memiliki apapun lagi. Keluargaku sudah meninggalkanku. Teman-temanku juga tak jauh berbeda. Tak ada yang bisa kulakukan,"

"Yup, memang tidak ada yang bisa dilakukan," sahut Vivian mengangguk mantap.

Balasan Vivian jelas membuat Yuuna terbelalak. Dan secara spontan, wanita berambut pendek itu kembali menatap Vivian. Hendak melawan ucapan Vivian. Tapi wanita yang menjadi lawan bicaranya itu, telah lebih dulu berucap lagi.

"... jika kau melakukannya seorang diri," lanjut Vivian. Membuat Yuuna mengatup kembali mulutnya.

"Apa ... maksudmu?" balas Yuuna bertanya kemudian.

"Maksudku adalah, kau jelas takkan bisa melakukan apapun jika seorang diri," jelas Vivian berjalan mendekati Yuuna, dan berjongkok di hadapannya sambil berpangku dagu dengan kedua tangannya yang berada di atas lututnya. "Orang sepertimu jelas memerlukan dukungan orang lain untuk berubah. Untuk mengawasi dan untuk menjagamu. Dengan keadaan mentalmu yang jelas tak stabil di setiap waktu, mencoba mendapatkan kembali kewarasanmu seorang diri jelas bukan perkara mudah bahkan bisa saja termasuk mustahil.

Carol—maksudku sahabatku, juga tidak jauh berbeda denganmu. Meski aku yakin masalah yang kau miliki dengan miliknya berbeda, tapi ia memiliki pemikiran serupa yaitu, dunia itu memuakkan. Dan dirinya berpikir, kematian akan membuatnya bebas seutuhnya dari dunia. Walau faktanya tidak sesimpel itu,"

"Jadi, itu maksud ucapanmu ketika kau bilang pernah melihatku?" balas Yuuna bertanya topik yang sedikit keluar dari jalur.

Vivian berpikir. Mencoba memahami maksud dari perkataan Yuuna.

"Ah, waktu aku menyelamatkanmu ya," ujar Vivian teringat, "ya benar. Tatapanmu saat itu benar-benar mirip dengan sahabatku."

Yuuna ganti membisu. Tatapannya jelas masih tertuju lurus kepada Vivian. Seolah, dirinya tengah mencoba masuk ke dalam pikiran wanita di hadapannya. Mencoba mencari tahu, apakah semua yang dikatakan Vivian adalah kebenaran atau hanya sekedar cerita karangan yang terlintas begitu saja di pikirannya.

Tapi, dengan melihat tatapan dari mata hijau itu, Yuuna dapat menarik kesimpulan. Dengan melihat begitu jernihnya manik emerald tersebut, Yuuna sadar jika Vivian tidak berbohong sedikitpun.

"Apakah ... sungguh kau bisa membantu?" tanya Yuuna akhirnya. Sekali lagi memastikan.

Vivian mengangguk. "Dan perlu kuperingatkan padamu bahwa aku tidak memiliki latar belakang pendidikan kejiwaan. Bahkan faktanya, aku adalah seorang komposer. Jadi aku akan membantumu dengan cara yang bisa kulakukan,"

"Tunggu. Kau seorang komposer?" tanya Yuuna sepenuhnya keluar dari topik.

Vivian kembali mengangguk.

"Hei yang benar saja," Yuuna terdengar meragukannya. Bagaimana tidak? Ini urusan tentang kewarasannya. Kejiwaannya yang rentan.

"Percayalah padaku," balas Vivian tersenyum, "lalu satu hal lagi adalah, aku tak bisa terus-terusan membantumu. Aku berada di Jepang sifatnya sementara. Setelah keperluan berobatku selesai, aku akan kembali ke Inggris. Jadi, aku pasti akan melakukan yang terbaik untuk waktu yang terbatas ini! Oleh karena itu ...,"

Vivian mengulurkan tangannya kepada Yuuna. Dan wanita berambut serta bertubuh pendek itu jelas terlihat ragu. Berkali-kali ini memperhatikan tangan lalu wajah Vivian.

"Ayo lakukan yang terbaik bersama-sama. Memang tidak akan mudah, tapi bukan berarti mustahil, 'kan?" ujar Vivian.

Akhirnya, setelah segala pertimbangan yang berjalan di pikiran Yuuna, dirinya pun menerima uluran tangan Vivian. Itu terasa hangat dan lembut di bawah telapak tangannya.

"Mohon kerja samanya!" Ucap Vivian menyengir lebar.

***

"Dan begitu lah ceritanya!" ujar Vivian akhirnya mengakhiri cerita kesehariannya dengan wajah gembira berseri.

Carol sendiri tampak mendengarkan kisah Vivian dengan saksama. Tak ada sekalipun ia memotong. Carol seutuhnya memberikan Vivian kesempatan untuk bercerita panjang lebar.

["Itu keren. Dan membuatku iri,"]

"Iri? Kenapa?" balas Vivian keheranan.

["Dengan kau yang berurusan dengan wanita itu, jelas kau akan sibuk dan takkan punya waktu untuk menghubungi,"]

"Tunggu. Kenapa tiba-tiba kau jadi seperti anak kecil? Aku begitu karena aku memang ingin menolongnya,"

Carol justru tersenyum lega akan tanggapan Vivian

["Kau ini terlalu baik Vivi. Dan aku sungguh merasa bersyukur bisa bertemu denganmu setelah James,"]

"Apa-apaan kalimat itu? Kau membuatku merinding Carol," Vivian berkomentar.

["Jahatnya! Jangan berkata begitu donk! Aku malu bicara seperti tadi tahu!"]

Vivian tertawa geli melihat ekspresi malu Carol dari layar laptopnya. Ah, ia ingin sekali memeluk sahabatnya itu.

["Ngomong-ngomong, siapa nama wanita itu?"]

Carol kembali berujar. Mempertanyakan identitas wanita yang akan menjadi urusan Vivian.

"Nama aslinya adalah Kawanishi Yuuna," jawab Vivian, "sedangkan nama samarannya adalah Kawayuu Nishina,"

["Nama samaran?"]

"Dia ... sebelumnya ada seorang mangaka atau kita bisa menyebutnya komikus," jelas Vivian.

["Tunggu. Apa katamu? Sebelumnya?"]

Vivian terlihat mengangguk.

"Ya. Sebelum editornya sendiri ditangkap pihak berwenang, atas kasus korupsi dari hasil penjualan komik milik Kawanishi Yuuna."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top