1 || Dikit-dikit, Baper
Penyakit cewek sekarang tuh gampang baper. Liat orang nikah baper. Liat yang abis nikah, baper. Liat cowok baca Quran juga baper.
|||
Raka mengambil ponselnya yang ada di saku celana. Seraya menunggu rapat BEM dimulai, ia berniat untuk menghabiskan waktu untuk membaca al-qur'an. Katanya biar lebih berfaedah. Daripada nyanyi-nyanyi gaje macam anak-anak sekarang, pahala nggak dapat, timbul mudharat pula. Astaghfirullah'adzim.
Saat tengah sibuk membaca al-qur'an di bawah pohon yang ada di depan sekret, beberapa perempuan lewat. Sesekali Raka mendengar decak kagum dari mereka. Tapi bukannya bangga, Raka justru menghentikan bacaannya lalu memilih untuk masuk ke dalam sekret BEM.
Mungkin lebih baik ngajinya di dalam aja. Dari pada diliatin cewek di luar. Begitu pikir Raka.
Setelah berada di dalam sekret, Raka kembali membuka aplikasi Qurannya. Namun saat akan mulai membacanya, tiba-tiba ada telpon masuk dari Baim –si ketua BEM.
"Halo, assalamualaikum, Im."
"Waalaikumussalam, Ka. Lo udah di sekret?"
"Iya nih. Yang lain pada ke mana ya? Ini gue sendiri di sini."
"Iya, mereka nggak dateng. Karena hari ini gue nggak sempet dateng nih. Lagi ribet ngurus nikahan Mbak Wulan."
"Oh, ya udah. Gak pa-pa. Terus yang lain udah pada tau?"
"Iya, tadi gue abis nelpon mereka satu-satu."
Raka tertawa pelan. "Ngapain repot-repot sih, Im. Kenapa nggak share di grup aja? Atau nggak suruh salah satu anggota atau wakil lo nge-share."
"Oh iya. Gue lupa. Hahah. Emak gue ribet banget sumpah. Gini amat ya kalo sendirinya anak cowok."
"Halah, nggak ikhlas lo bantuin nyokap? Btw, wakil ketua emang ke mana? Kan bisa dia gantiin lo."
"Dia juga katanya lagi sibuk. Udah, nggak pa-pa. Kita rapatnya lanjut besok aja."
"Oke deh."
"Udah ya, Ka. Udah dapet panggilan nih gue. Iya, Mak. Bentar-bentar. Bye, Ka. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Raka tersenyum tipis mendengar keribetan sang ketua. Untung saja waktu mas Ganesa kembali menikah dengan mbak Jean, maminya tidak seribet mamanya Baim.
Raka menutup aplikasi Qur'annya dan beranjak mengambil ranselnya yang sengaja ia gantung di dekat pintu. Saat tengah sibuk memakai ranselnya, tiba-tiba pintu sekret terbuka dan menampilkan sosok Fiona yang membawa sebuah kardus yang berukuran sedang.
Raka refleks mengambil alih kardus yang entah apa isinya. Pantang bagi Raka melihat perempuan mengangkat yang berat-berat.
"Eh? Nggak pa-pa, Ka. Aku masih bisa angkat kok," ujar Fiona sungkan menyerahkan kardus itu kepada Raka.
"Udah nggak apa-apa." Raka menaruh kardus itu di samping lemari tempat menyimpan buku-buku.
"Oh iya. Itu dari Mas Purna, katanya untuk keperluan BEM,"
Raka mengangguk pelan. "Kok yang disuruh kamu?"
"Itu, Mas Purna tadi katanya nggak sempat karena harus anter adiknya berobat."
"Oh ya udah. Nanti aku kasi tau ke Mas Purna, jangan nyuruh cewek angkat yang berat-berat."
Fiona menggeleng pelan. "Udah. Gak masalah kok. Yaudah, Ka. Aku balik ya."
Raka mengangguk pelan. Membiarkan Fiona pergi.
Raka masih mematung di tempatnya. Diam-diam, ia terus menatap Fiona sampai perempuan itu menghilang di balik dinding koridor.
"Gini ya rasanya cinta diam-diam?"
🌹 🌹 🌹
"Assalamu'alaikum. Fiona pulang, Bu."
"Waalaikumussalam."
Fiona langsung masuk ke dalam kamarnya dan segera mengganti pakaiannya. Setelah mengganti pakaian, Fiona langsung menuju dapur untuk membantu Ibunya memilah-milah sayur yang akan di bawa ke pasar sore nanti."
Ibu memegang lengan Fiona yang baru saja ikut bergabung memilah sayuran itu. "Fi, makan dulu sana. Terus istirahat. Lagian masih tiga jam lagi kok. Ibu masih bisa pilih-pilih sendiri."
Fiona menggeleng pelan menolak pinta ibunya. "Fiona belum lapar kok, Bu."
"Fi, dengerin kalo Ibu ngomong. Nanti maag kamu kambuh lagi. Pokoknya Ibu nggak mau tau, kamu makan sekarang," titah ibu tak ingin dibantah.
Fiona yang memang tipikal anak yang patuh pada ibunya itu pun akhirnya mau tak mau mengikuti keinginan ibunya. Lagian keinginan ibu itu pasti demi kebaikannya, ia yakin itu.
Fiona membuka tudung saji, dan yang dilihatnya hanyalah satu butir telur yang sudah direbus dan sayur satu mangkuk serta nasi satu piring.
Sebelum ke kampus tadi, Fiona sempat mengecek bahan-bahan makanan yang ada di dapur. Yang didapatnya hanyalah sebutir telur, seikat sayur dan setengah gelas beras. Dan mengingat hal itu, Fiona jadi sadar. Kalau ibu pastilah belum makan.
Sudah biasa tapi luar biasa.
Kasus ibu yang lebih memilih membiarkan anaknya kenyang dibanding dirinya sendiri itu sudah sering terjadi antara Fiona dan ibunya. Dan kenyataan itu selalu saja sukses membuat Fiona merasa bersalah.
Kepergian Ayahnya beberapa tahun yang lalu memang telah membawa begitu banyak perubahan dalam hidupnya. Kalaulah dulu mereka masih bisa menikmati empuknya daging ikan hasil jerih payah Ayahnya, sekarang mencari sesuap nasi pun mereka harus berjuang keras. Tetapi, Fiona bersyukur karena dia masih diberi kesehatan oleh Allah sehingga bisa membantu ibunya yang saat ini menjadi tulang punggung keluarganya dengan berjualan sayur dan ikan di pasar. Tapi, dengan berjualan sayur dan ikan pun kadang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Mereka bahkan kadang harus menahan lapar selama dua hari karena bahan-bahan dapur mereka sudah habis. Belum lagi pemasukan mereka sudah habis untuk keperluan lainnya. Beruntung, masih ada tetangga yang bergerak hatinya untuk memberi mereka makanan.
Fiona mengambil sepiring nasi, telur dan sayur itu lalu mendudukkan dirinya tepat di samping ibunya.
"Loh, kok nggak makan di meja? Jangan di sini. Di sini kotor."
Fiona tersenyum tipis lalu menyendok satu sendok nasi, sepotong telur dan sayur kemudian disodorkan di depan mulut ibunya.
Ibu memundurkan kepalanya terkejut. "Kenapa?"
"Udah, Bu. Ibu makan aja, ya. Fiona suapin."
Ibu menggeleng pelan. "Ibu udah makan tadi."
"Bu, Fiona tau kok kalo Ibu bohong. Karena tadi sebelum ke kampus, Fiona sempat ngecek bahan makanan di dapur. Jadiiii, Ibu sekarang makan. Fiona nggak mau tau."
"Tapi kamu–"
"Kita bagi dua," sela Fiona cepat, membuat ibu akhirnya mau membuka mulutnya.
"Fi, maafin Ibu ya. Tiap hari kita cuma bisa makan ginian."
Fiona menggeleng pelan. "Nggak pa-pa, Bu. Bisa makan aja Fio udah bersyukur kok."
Ibu mengelus pelan kepala anak semata wayangnya itu.
"Bu. Ibu nggak usah khawatir. Nanti Fio cari calon suaminya yang kaya. Biar bisa bawa Ibu makan-makanan enak dan tinggal di tempat yang layak. Oke?"
Ibu tersenyum lebar mendengar ucapan Fiona. "Aaamiiin, Nak. InsyaAllah."
🌹 🌹 🌹
Hari ini kebetulan dosen Fiona tidak masuk, karena sedang tidak ada kerjaan, Fiona pun akhirnya memutuskan untuk membantu-bantu ibu Ratih di kantin.
"Selamat pagi menjelang siang, Bu. Wuih, rame ya, Bu? Sini Fio bantuin."
Bu Ratih yang memang sudah biasa dibantu oleh Fiona pun sangat senang melihat perempuan itu datang di saat pelanggan kantinnya seramai ini.
"Eh, Neng Fio. Iya nih, Neng. Lagi rame soalnya katanya dosen-dosen mereka pada nggak masuk," jawab bu Ratih seraya meracik soto pesanan pelanggan. "Neng Fio juga lagi kosong ya?"
"Hehe, iya, Bu. Makanya ke sini."
"Bu. Pesen es teh dua, sama bakso dua ya. Di meja ujung sana," ujar seorang perempuan seraya menunjuk salah satu meja yang ada di sudut kantin.
"Siap, Neng."
"Biar saya aja, Bu." Fiona segera membuat pesanan perempuan tadi, namun saat sedang sibuk menyiapkan, tiba-tiba datang tiga orang cowok yang juga ikut memesan. Awalnya tak ada yang aneh, seperti kebanyakan pemesan, mereka menyebutkan pesanannya. Tapi setelah itu, bukannya pergi mereka malah menggoda Fiona yang sedang sibuk.
"Wuih, asistennya Bu Ratih cantik juga ya. Sayang kurang bedak sama lipstik," ucap salah seorang di antaranya.
"Iya, mau nggak kita-kita beliin bedak sama lipstik?"
Fiona tersenyum tipis menanggapi. "Masnya mungkin mau cari tempat duduk dulu? Sebelum nggak kebagian tempat," jawab Fiona sekenanya.
Raka dan Gama yang baru saa memasuki kantin langsung saja melenggang ke tempat bu Ratih untuk memesan. Namun hal janggal tiba-tiba tertangkap oleh keduanya.
"Ka, kayaknya Fio lagi digodain tuh."
Raka tak menggubris ucapan Gama dan langsung saja mendekat ke tempat bu Ratih dan Fio.
"Kalian udah pesan belom? Gue mau pesen ini," ucap Raka membuat ketiga cowok tadi mau tak mau harus menyingkir dari sana.
Raka bisa mendengar ketiganya bergumam "Ah, ganggu aja.". Tapi Raka tidak peduli, yang penting mereka sudah pergi dan tidak mengganggu Fiona.
"Wuih. Super hero dateng," bisik Gama menggoda. "Untung Fiona tipikal cewek yang nggak gampang baper ya. Jadi omongan cowok tadi nggak ditelan bulat-bulat," lanjut Gama kemudian ikut berbaris di belakang Raka untuk memesan.
"Iya, gue juga bersyukur. Gak pa-pa dia nggak peka sama gue, yang penting dia bisa jadi cewek yang nggak gampang baper biar nggak kemakan omongan macam cowok tadi," ucap Raka pelan.
"Lo ngomong apa tadi?"
"Gak ada. Salah denger lo."
"Oh."
🌹 🌹 🌹
Ciehhhh Raka apdet. Wkwkwk.
Siapa di sini yang baperan? Liat orang nikah baper, liat ikhwan solawatan, baper. Apalagi dibacain Quran sama Raka. Hihihi
Okay. Ditunggu vote dan komentarnya. 😊
P.s: cek typo
W i n d y H a r u n o
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top