Prologue

✦⊱┈──┈⊰ Prologue ⊱┈──┈⊰✦

Aku tidak pernah takut tenggelam. Bagi sebagian orang, air adalah tempat mematikan, tempat tubuh kehilangan kendali, dan napas dirampas paksa oleh gelombang. Tapi aku selalu membayangkan tenggelam seperti panggilan hangat dari pelukan abadi. Aku tidak perlu berpura-pura kuat, tidak perlu tersenyum saat jiwa ini lelah dihantam kenyataan.

Hari itu langit berpendar jingga, menandai senja di pantai berbatu yang menjadi latar liburan bersama rekan kantorku. Mereka bersorak-sorai, mengejar deburan ombak, dan menyusun kenangan dalam tawa. Aku ikut tertawa—atau setidaknya berpura-pura. Aku mahir dalam hal itu.

"Kau tidak berenang?" tanya seorang rekan atau bisa dibilang teman kantorku yang lebih peduli dibanding yang lain.

"Nanti," jawabku singkat, menyembunyikan keraguan di balik suara yang datar. Aku membiarkan kakiku tenggelam dalam pasir basah, dinginnya merayap naik seolah mengajakku tenggelam lebih jauh.

Hidupku selalu seperti itu—terjebak antara kenyataan yang tak kuinginkan dan harapan yang terlalu samar untuk kugapai. Sebagai anak sulung, aku tumbuh dengan tanggung jawab yang menyesakkan. Rumah adalah medan perangku. Keluargaku penuh tuntutan, kata-kata kasar, dan beban yang kerap kutanggung sendiri. Tidak ada tempat berlindung, tidak ada ruang untuk merasa utuh, bahkan untuk menjadi diri sendiri.

Aku memejamkan mata, mencoba menikmati suara ombak yang memecah keramaian. Kebebasan itu tidak terasa nyata hingga saat ini. Langit jingga mulai tertutup oleh gerombolan awan gelap yang datang bersama angin kencang.

Sebuah teriakan histeris menarik perhatianku. Aku membuka mata, menoleh ke arah suara. Orang-orang menujuk ke air. Jauh di tengah laut, seorang anak melambai putus asa, tubuhnya terseret arus. Napasku tercekat melihatnya. Teman-temanku terpaku. Panik, bingung, dan terlalu takut untuk bertindak. Mereka benar, kecelakaan atau kemalangan di tempat ramai akan memicu bystander effect.

"Tidak ada yang bisa berenang sejauh itu!" seru seseorang.

Aku tahu mereka benar. Kepalaku belum sempat berpikir lebih jauh, namun tubuhku sudah bergerak. Kakiku menendang pasir dan aku berlari menuju air sekuat tenaga. Menerjang gelombang besar dan hujan yang tiba-tiba mengguyur pantai sore ini. Walau seingatku ramalan cuaca menunjukkan hari ini akan cerah.

Rasa dingin menghantam kulitku, tetapi aku terus berenang maju. Napasku pendek, gerakanku terhambat ombak, tetapi aku tidak peduli. Jika aku bisa menyelamatkan anak itu, mungkin—mungkin aku akan merasa lebih berarti. Mungkin ... aku bisa bebas.

Aku meraih tangannya yang lemah, merengkuh tubuh kecil itu ke arahku. "Pegang aku erat-erat," bisikku di sela napas yang tersengal.

Akan tetapi arus terlalu kuat. Ombak mendorong kami lebih jauh ke tengah, memisahkan aku dari daratan. Tubuhku mulai lelah, otot-ototku rasanya terbakar. Namun, aku terus berjuang, memeluk anak itu agar tidak tenggelam. Napas kami semakin terputus-putus, sementara gelombang semakin liar menghantam tubuh kami.

Dalam detik-detik terakhir, aku merasa tubuhku menyerah. Dengan tenaga terakhir, aku dorong tubuh anak itu ke arah pantai. Anak itu perlahan menjauh, didorong arus menuju tempat yang lebih aman. Kulihat beberapa orang mulai mencoba meraih anak itu saat tubuh lunglainya hanyut ke tepi.

Aku terbenam. Dunia menjadi gelap. Telingaku berdenging. Paru-paruku rasanya mau pecah. Di dasar air, aku mendengar suara—pelan, jauh, tetapi jelas seperti bisikan yang langsung menyentuh jiwaku.

"Kau memilih ini," suara itu berkata.

Aku ingin menyangkal, tetapi kebenaran itu menyakitkan. Aku memang memilih ini. Andai saja tubuhku tidak bergerak dengan sendirinya untuk menyelamatkan anak itu. Lagi pula, ke mana perginya orang tua anak itu?

"Apa kau menyesal?"

Aku tidak menjawab, tidak bisa. Mulutku kaku. Bahkan dalam keheningan itu, aku tahu jawabannya. Tidak, aku tidak menyesal. Jika hidup ini penuh dengan rasa sakit dan ketidakberdayaan, mungkin tenggelam adalah jalan keluar yang lebih damai. Aku tersenyum dalam hatiku. Ah, apakah kedamaian diri ini sebentar lagi dapat kuraih?

Sayangnya, sesaat sebelum segalanya berakhir, sesuatu menarikku. Rasanya seperti badai menerjang tubuhku, tetapi kali ini bukan arus laut. Itu kekuatan lain, lebih besar, lebih asing. Tubuhku ditarik dan aku merasa seperti terhisap ke dalam kegelapan tanpa akhir. Aku merasa seperti diremukkan dan dihancurkan secara bertubi-tubi. 

༺•●•༻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top