Chapter 4: Just Happened
Persentase antara rasa sakit dan rasa malu di diri Etu, lebih tinggi rasa malu. Jelas saja, sosok yang kini berdiri di hadapannya tercengang melihat dia masih terperosok ke dalam got. Benar-benar memalukan, alih-alih menolong, wanita tersebut malah ikut-ikutan berteriak. Sampai seorang lainnya turun dari mobil, menjadi momen puncak rasa malu Etu.
Sosok tersebut adalah lelaki. Mengenakan seragam yang sama dengan Etu, lelaki itu sama terbelalaknya seperti wanita berbatik di sebelahnya.
"Etu!" serunya setelah melewati drama perkagetan tersebut. "Gimana bisa lu nyeblos ke sana?" Seolah-olah polos, lelaki tersebut mencoba meraih tangan Etu yang masih menahan ke ujung selokan.
Melihat sosok di hadapannya, Etu sama sekali bergeming. Dia tidak mampu menahan malu sampai-sampai mukanya memerah. Bahkan sepatah kata pun tidak keluar dari bibir tipisnya. Saat gadis tersebut berhasil naik dari selokan, aroma bau mulai menyerbak seiring dengan tetesan cairan kental hitam menetes ke jalanan dari kaki Etu.
"Dek Etu gak apa-apa? Maaf ibu tadi salah injek gas, harusnya ibu injek rem pas belok. Jadi kelepasan," ujar wanita yang terus melemparkan tatapan jijik ke arah Etu. "A, kamu bantu anter Etu pulang, ya, jalan kaki aja," lanjutnya.
"Hah? Pulang ke mana?" tanya lelaki yang masih menggenggam tangan Etu tersebut.
"Ke kosan, samping rumah. Etu kan ngekos di sana." Wanita tersebut berjalan menuju mobilnya kembali. "Mama gak nyangka kalo kalian satu sekolahan." Gebrakan pintu mobil tersebut terdengar keras, seakan-akan ibu lelaki ini tidak menyukai fakta bahwa Etu satu sekolah dengan anaknya.
Seketika mobil abu-abu tersebut menjauh dari mereka berdua, Etu langsung ambruk di tempat. Gadis itu mengeluh sakit karena ternyata pergelangan kakinya terkilir. Aris, sosok lelaki tersebut, menyadari kalau ini semua terjadi gara-gara ibunya yang ceroboh. Dia pun bersikeras menawarkan gendongan pada Etu. Meski awalnya menolak, karena dia tidak bisa jalan sama sekali dan sudah kadung malu, Etu pun menerima tawarannya.
"Kok bisa lu ngekos di kosan ibu gue?" tanya Aris seraya berjalan, tidak peduli kalau seragamnya ikut kotor dan bau terkena noda got dari pakaian Etu.
"Cuma nyari-nyari acak aja, terus ketemu si tante." Etu menjawab singkat, sesekali meringis karena masih kesakitan.
"Kok gue ga tau, ya. Hmm, gak apa, lah, berarti kita tetanggaan."
Kalimat tersebut membuat Etu merinding. Rasanya entah kenapa dia harus bertemu dengan orang yang seharusnya tidak dekat dengan dia karena bisa membuat masalah. Namun, apa boleh buat? Etu tidak bisa mengendalikan takdir yang diberikan oleh Tuhan. Lagi-lagi Etu hanya menghela napas panjang.
Selanjutnya, tidak ada pembicaraan yang signifikan di antara kedua remaja tersebut. Masing-masing terdiam. Di dalam hati Etu, dia merasa tidak enak karena sejauh lima ratus meter dirinya harus digendong oleh sosok yang baru saja dia kenal di sekolah. Namun, hal itu sepertinya tidak menjadi masalah bagi Aris. Dengan postur dan bentukan Aris yang bisa dibilang 'kutu buku', ternyata Aris cukup atletis juga untuk menggendong Etu yang berat badannya tidak terpaut jauh darinya.
Sesampainya di depan indekos, Etu pun turun dari gendongan Aris. Dia mampu berjalan dengan terpincang-pincang ke dalam. Setelah mengucapkan terima kasih, Etu segera masuk. Tanpa pikir panjang, gadis tersebut langsung membersihkan badan dan pakaian. Sepanjang ritual tersebut, Etu hanya bisa mengutuk karena kelakuan bodohnya di hadapan orang yang baru saja dia kenal. Masalahnya adalah orang tersebut kini teman sekelas dan juga tetangga rumah.
Setelah selesai membersihkan badan, Etu bergegas mengenakan pakaian. Dia mengenakan celana pendek dan baju lengan pendek senada warna merah muda. Etu duduk dan meluruskan kakinya, dia melihat dari kulit kuning langsatnya terdapat memar biru di area bawah lutut dan sekitar pergelangan kaki. Secara perlahan, Etu mengurut-urut.
Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan beberapa kali. Dengan bersusah payah, gadis yang baru mandi dan belum menyisir itu pun bangkit dari duduk dan mendekat secara perlahan ke arah pintu. Ketika dia membukanya, Etu melihat Aris dengan kotak yang ada di tangannya.
"Gue bawain P3K buat lu. Ada minyak urutnya juga, terus ada plester juga, pokoknya lengkap. Pake aja, ya." Aris mengulurkan kotak tersebut.
"Makasih, Ris." Etu perlahan meraih kotak yang semula ada di tangan Aris.
Setelah beberapa saat bergeming, Aris bertanya pada Etu, "Eh, boleh gue masuk?"
"Eh, jangan, Ris. Kita ngobrol di luar aja, ya." Tanpa pikir panjang, Etu langsung membalas pertanyaan tersebut.
Pasalnya bukan tidak boleh temannya itu masuk ke dalam idekosnya, tetapi keduanya baru mengenal, dan Etu pun tahu kalau Aris dekat dengan Lia. Kemudian fakta bahwa Aris adalah anak pemilik indekosnya, membuat Etu semakin tidak nyaman. Akhirnya kedua remaja tersebut hanya duduk di kursi rotan depan indekos.
Perbincangan antara Etu dan Aris menuju ke arah kehidupan di sekolah. Aris menceritakan bahwasanya SMA Plus Adhi Wiyata ini sebenarnya tidak sebaik yang orang-orang pikirkan. Beberapa Aris mendapati ada kejanggalan sistem yang sedang dijalankan di sekolah tersebut. Aris juga bilang kalau sebenarnya siswa di sana tidak sejenius seperti orang-orang katakan.
Hal-hal tersebut Aris ujarkan bukan sekadar menjelek-jelekkan sekolah saja. Melainkan, untuk memberi pandangan pada Etu yang mana baru pindah sekolah.
"Jadi, kenapa lu pindah di tengah semester akhir gini? Udah bagus kayaknya mending lu di sekolah lama lu, dari pada di sini." Aris yang memang tidak tahu latar belakang kepindahan Etu merasa seluruh perkataannya benar dan patut diucapkan.
Etu tidak menjawab untuk beberapa waktu, sampai dia menyadari kalau sedari tadi dirinya ditatap oleh Aris. "Eh, sebenrnya .. aku pindah itu karena ... aku ngindarin pembulian, Ris." Tidak ada gubrisan dari lawan bicara. "Sekolah lama, bagi aku itu neraka. Tiap hari aku kena pembulian di sana, karena aku yatim piatu ... tapi, sebenernya aku gak tau, sih, alasan mereka semua ngebuli aku itu apa. Cuma ...,"
"Yaudah, gak usah di bahas." Aris adalah tipe orang yang peka, dia cepat paham akan situasi yang sedang dialami oleh Etu. "Gini ... gue gak bisa jamin lu pindah ke sekolah gue bakalan seneng atau gimana. Tapi, gue bilang ke lu sekarang, persaingan di sekolah Adhi Wiyata ini gak sehat. Lu harus inget itu."
"Aris, pulang!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari Ibu Aris dari samping rumah.
"Oke, mama gue udah nyuruh balik, gue balik dulu, ya. Jangan lupa dipake obat-obatnya, biar besok lu bisa jalan agak enakan." Aris beranjak dari duduknya dan bergegas pergi meninggalkan Etu tanpa mendengar balasan sapa dari Etu.
Bersama dengan pikiran-pikiran atas perkataan Aris, Etu kembali masuk ke kamarnya. Dia mengunci pintu depan, dan berjalan perlahan ke arah kasur. Kotak pemberian Aris di simpan di samping tempat tidur, seolah-olah tidak tertarik dengan barang berguna itu, Etu malah melamun dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Benar saja, karena lamunan tersebut, Etu akhirnya memejamkan mata dan mulai tertidur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top