Chapter 3: Argument

Suasana hati Etu tidak enak, beberapa kali dia mendapati tatapan tajam yang terus terpancar dari mata Lia. Dia tidak bisa fokus pada pelajaran yang sedari tadi berlangsung. Sampai akhirnya bel jam istirahat berbunyi, Etu yang masih belum memiliki teman pun merasa tidak perlu pergi ke mana-mana. Dia hanya ingin berdiam diri di kelas.

Aris, sejak bunyi bel berdering sekali, sudah pergi entah ke mana. Etu bahkan sekarang tidak melihat siapa pun di dalam kelas. Tersisa dirinya seorang diri.

Perlahan Etu berdiri dari duduknya, kemudian berjalan perlahan mengitari ruangan tersebut. Lebih detail dia ingin mengenal ruangan dengan penuh desain dan posisi barang-barang yang rapi secara mendalam. Di dekat papan tulis dia mendapati organigram, gadis berambut poni itu pun membacanya secara saksama.

"Gak keluar?" Secara tiba-tiba terdengar satu suara familiar di belakang Etu.

Karena namanya yang dipanggil itu, Etu pun menoleh dengan persiapan jawaban yang sudah dia pikirkan. "Enggak, masih pengen di kelas dulu," ujar Etu sambil tersenyum tipis.

"Yu, cari makan sama gue." Seseorang itu menatap ke arah mata sendu Etu. Tatapan mata sayunya membuat Etu sedikit malu. "Kantin pasti rame, gue tau warung yang enak di depan sekolah."

"Hah? Emang ... boleh keluar?" tanya Etu dengan logat Sunda yang masih dia tahan agar tidak terlalu jelas.

"Gak boleh, aman." Seseorang tersebut pun mulai melangkah keluar kelas.

Etu merasa bingung, dia harus ikut atau tidak perlu menyibukkan diri dengan orang baru. Namun, beberapa pertimbangan seperti suara di perut yang sudah bergemuruh, menjadikan alasan Etu untuk bejalan mengikuti sesosok tersebut di belakang. Etu masih sungkan untuk berjalan beriringan. Yah, padahal dia bukan seorang pemalu.

"Ris, kamu ... pacaran sama Lia?" Entah apa yang merasuki Etu, kalimat bodoh tersebut malah seolah keluar dari bibirnya secara otomatis. Sontak lelaki yang berjalan kurang dari satu meter di depannya itu pun berhenti. Etu menutup mulutnya karena takut salah bicara. "Eh, maaf."

"Hmm, gak, sih. Gue sama Lia itu temen dari TK. Gak tau juga gimana caranya kita sekelas terus." Aris menoleh ke arah Etu. "Emangnya kenapa?" tanyanya kemudian.

Detak jantung Etu berdegup kencang, perasaan yang entah menjijikan itu melanda dirinya. Ayolah, Etu, ini hari pertama kamu sekolah di sini, jangan cari gara-gara. Dalam hati Etu terjadi pertengkaran di antara diri sendiri. "Eh, Gak apa, sih. Soalnya ... a-aku liat Lia tadi kayak marah gitu ... pas aku disuruh pindah duduk sama kamu."

Jelas sekali Etu gugup. Dari perkataannya yang terbata-bata membuat Aris tertawa terbahak-bahak. "Gak usah dipikirin."

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Dari belakang, Etu melihat sesosok lelaki yang berpakaian rapi, rambut hitam disisir dengan gaya comma hair, warna kulit kuning langsat, dengan tinggi yang tidak terlalu jauh darinya. Dalam diri Etu, dia terus meyakinkan untuk tidak menaruh perasaan pada lelaki tersebut. Lagi pula dia baru mengenalnya.

Aneh, ujarnya dalam hati.

Warung yang dimaksud oleh Aris ternyata sebuah tempat makan yang memang berada di sebrang jalan SMA Plus Adhi Wiyata. Warung tersebut menyediakan menu masakan rumahan dengan gaya masakan sunda. Hal ini membuat Etu senang, dia benar-benar antusias untuk mencicipi masakan sunda di Jakarta.

Aris cukup berteriak untuk meminta satu ibu-ibu dari warung tersebut datang dengan membawa menu. "Lu mau apa, Tu?"

"Hmm, sesuai rekomendasi aja, deh." Tidak ingin banyak memikirkan menu, Etu hanya ingin mengetahui selera masakan Aris.

"Oke." Aris berbali menghadap sesosok ibu-ibu kurus dengan daster bunga-bunga. "Bu, biasa, dua porsi, ya," ujarnya sambil memberikan kembali lembar menu yang semua sudah dipegang oleh Aris.

"Tiga porsi, Bu!" Tiba-tiba satu suara teriakan cukup terdengar keras di belakang.

Sontak Etu dan Aris menoleh. Keduanya mendapati satu sosok yang tidak lain dan tidak bukan adalah Lia. Gadis berkerudung tersebut diikuti beberapa orang lainnya. Mimik muka ceria masih tergambar di wajahnya, seolah-olah kehidupannya tidak penah sulit. Dengan langkah semangat, Lia dan kedua temannya pun menghampiri Etu dan Aris.

"Gak ajak-ajak, ya, mau makan di sini." Lia menoleh ke arah Aris dan Etu secara bergantian. "Ris, padalah aku suka makan di sini juga."

"Tadi gue nyari lu di kelas gak ada juga, Li," ucap Aris dengan nada bersahabat.

Etu mendengar ternyata nada Aris berbicara pada siapa pun memang seperti itu. Kini, Etu mulai harus sadar bahwa Aris adalah tipe lelaki yang bersahabat. Lagi pula Etu adalah siswa baru, jadi sudah jelas Aris akan berbaik hati padanya.

Kini, di tempat yang tidak ada tempat duduk tersebut ada lima orang. Etu hanya mengenali Aris dan Lia saja, sedangkan dua lainnya masih belum dia ketahui namanya. Lia dan Aris sibuk mengobrol, sedangkan Etu terdiam sambil sesekali canggung tersenyum pada siapa pun untuk menanggapi obrolan Lia dan Aris.

Tidak lama, tiga porsi makanan pun datang. Ketiganya memakan makanan tersebut di mushola yang letaknya tidak jauh dari gerbang. Etu baru menyadari kalau mereka hanya memesan tiga porsi makan, sedangkan mereka berlima. Namun, dari ketidakenakan tersebut, Etu tidak berani bertanya pada Lia atau pun Aris. Sampai akhirnya, dia tahu alasannya.

"Eh, lu tega, ya, si Rizka sama Dila kenapa kagak dibeliin makan." Aris menunjuk ke arah dua orang yang duduknya sedikit lebih jauh dari mereka bertiga.

"Lah, orang mereka kagak bilang." Lia dengan polos menjawab, kunyahan di dalam mulutnya terdengar penuh.

"Gue gak suka kalo lu kayak gini, Li. Lu gak boleh sok-sokan jadi bos di geng lu." Aris sudah menghabiskan makanannya. "Lagian apa-apaan, sih, geng-gengan gitu. Biar apa?"

Perdebatan kecil antara Aris dan Lia semakin membuat Etu tidak nyaman. Meski sebenarnya makanan yang masuk ke perutnya terasa enak, tetapi situasi di mushola tersebut sangatlah tidak etis. Bahkan, beberapa orang melihat ke arah Aris dan Lia yang terus berdebat tanpa henti.

Tidak lama kemudian, dua gadis yang diketahui namanya Rizka dan Dila menghampiri Lia yang sudah tersulut amarah. Keduanya terlihat menenangkan Lia, kemudian membawa Lia pergi. Melihat itu, Etu benar-benar tidak habis pikir. Dia merasakan dengan jelas kalau Rizka dan Dila adalah sosok yang seolah-olah setia pada Lia.

Ada apa sebenernya?

Hati Etu menjadi kacau, dia masih menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara mereka. Bahkan secara tidak sengaja Etu masuk ke pertikaian antara Aris dan Lia.

"Udah selesai makannya?" tanya Aris, wajahnya masih memerah. Etu hanya menjawab dengan satu anggukan. "Yaudah, ayo balikin dulu piringnya."

Aris mengambil piring Lia yang masih terisi setengah porsi nasi liwet, kemudian menumpuk dengan piring kosong miliknya dan milik Etu. Keduanya berjalan menuju gerbang sekolah lagi dan memanggil ibu-ibu warung. Aris membayar semuanya, bahkan ketika Etu ingin membayar, Aris menolak dengan alasan ini ucapan selamat datang darinya.

Hari pertama Etu di sekolah baru berjalan cukup campur aduk. Dia benar-benar bingung harus menempatkan diri seperti apa di sekolah tersebut. Persaingan akademik masih belum terlihat, padahal sekolah tersebut dikenal sebagai salah satu SMA terfavorit di Indonesia. Namun, satu hal yang pasti Etu ketahui adalah, berhati-hati untuk memilih teman.

Setelah bunyi bel pulang berdering, Etu pun segera merapikan seluruh barang-barangnya ke dalam tas. Dia berdiri dan dengan cepat pergi ke luar untuk pulang. Ketika matahari sore menyengat di ibu kota, Etu baru menyadari bahwa cuaca di Jakarta sangat berbeda dengan cuaca di Lembang.

Di depan gerbang sekolah sudah berjejer banyak mobil angkutan kota yang terparkir. Mobil-mobil tersebut sudah siap mengantarkan para siswa untuk pulang ke rumahnya. Tanpa pikir panjang Etu pun menaiki angkot yang beberapa detik saja sudah penuh dan sesak. Tujuan Etu mungkin paling jauh, jadi dia tidak khawatir untuk duduk di pojokan. Hanya satu masalah, bau badan anak-anak SMA yang khas membuat Etu ingin muntah.

Sesuai dugaan, Etu adalah orang paling terakhir yang turun, sehingga setidaknya dia tidak perlu mengucapkan banyak kata 'permisi' untuk keluar dari angkot tersebut. Setelah membayar angkot, Etu bergegas berjalan memasuki gang.

Kaki ramping Etu berjalan di bagian sisi kanan jalan. Melintasi beberapa rumah yang dia tidak ketahui pemiliknya siapa. Saat sampai di tikungan terakhir, Etu hendak sampai ke indekosnya, sebuah mobil bergerak cepat dari belakang dengan klakson keras. Hal itu sontak mengagetkan Etu yang langsung melompat ke samping.

Lompatan tersebut tidak berjalan mulus. Selain kepalanya menabrak tembok pagar rumah orang, kaki Etu juga terjeblos ke dalam selokan bau berwarna hitam pekat. Etu menjerit dengan suara melengking. Decitan rem mendadak menjelaskan bahwa mobil abu-abu yang menyerempet dirinya pun berhenti.

Sesosok wanita kurus berpakaian batik dengan blazer hitam dan sepatu hak tinggi mengkilap pun turun dari mobil tersebut. "Dek Etu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top