Chapter 2: First Impression
Keputusan Lia untuk membawa Etu ke kelas, membuat gadis berponi itu canggung. Perasaan tersebut datang, karena yang memperkenalkan dia pada semua orang bukanlah seorang guru, melainkan siswa biasa yang sama seperti dia. Etu sendiri masih merasa belum cocok dengan kepribadian Lia berdasarkan impresi pertamanya.
Namun, tidak ada pilihan lain, mereka terus berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Gedung kelas dua belas MIPA satu ternyata terletak paling dekat dengan ruang guru. Di lantai dua, tepat dekat perpustakaan.
Sebelum masuk, Etu diperintah untuk menunggu Lia terlebih dahulu di luar sampai dirinya dipanggil. Etu hanya bisa melihat dari balik jendela. Calon teman-teman baru yang sepertinya agak hiperaktif. Benar, di luar dugaan Etu, dari luar pun dia sudah bisa mendengar kegaduhan yang berasal dari dalam ruangan, membuat citra sekolah unggulan ini sedikit luntur di pandangan Etu. Pasalnya, Etu mengira kalau sekolah barunya ini hanyalah sekumpulan anak ambisius yang kutu buku.
Tidak lama kemudian, Etu melihat lambaian tangan Lia dari dalam, jelas menyuruh dirinya untuk masuk. Lagi-lagi, Etu menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia melangkah masuk ke ruang kelas.
"Temen-temen, boleh minta waktunya sebentar?" Suara cempreng Lia mulai mengisi ruangan. "Halo? Aldy, Al, duduk dulu bisa?"
Kalimat tersebut terdengar lumayan mengintimidasi. Etu bahkan sedikit terkejut ketika semua siswa yang ada di hadapannya mulai diam ketika Lia sedang berbicara di depan.
Suasana kelas tersebut cukup nyaman, beberapa lukisan di tembok seolah-olah dibuat dengan manual oleh tangan-tangan kreatif dua belas MIPA satu. Rak-rak buku dan loker siswa ada di bagian belakang. Meski para siswa sangat gaduh, Etu tetap bisa merasakan ambisi akademik di dalam ruangan tersebut. Hal ini ditandai dengan satu lemari mencolok yang penuh dengan piagam dan piala kejuaraan dari kelas tersebut selama setengah semester lalu.
Mata Etu berbinar, dia benar-benar menemukan tempat yang mungkin bisa cocok dengan dirinya. Tempat yang siswanya fokus pada pelajaran, dan masa depan. Etu tersenyum tipis saat menyadari hal tersebut.
"Oke, Etu ... ayo kenalin diri dulu," ujar Lia dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya.
"Halo, Temen-temen. Kenalin aku Etu Siti Khodijah, kalian boleh panggil aku Etu." Serangkaian kalimat yang sudah dia hafalkan akhirnya keluar dengan lancar. Etu cukup lega meski tidak ada yang merespons perkataannya. Semua hanya diam.
"Jadi ... Etu ini bakalan jadi temen kelas kita mulai dari sekarang. Etu baru pindah dari SMA Tarunakarya Bandung." Lia menambahkan dengan bahasa yang mendayu-dayu terkesan menyepelekan nama sekolah tersebut.
Setelah perkenalan singkat dari Etu dan Lia selesai, seorang laki-laki yang duduk di pojok belakang mengangkat tangannya. Lelaki itu ingin bertanya pada Etu. "Kenapa lu pindah ke sekolah ini? Kasus, kah?" Seisi ruangan pun tertawa terbahak-bahak.
Etu terkejut, bagaimana bisa kalimat tidak berperasaan itu bisa dilontarkan kepada orang yang tidak dikenal. Mata Etu segera mengedar, dia melihat mana-mana saja yang ikut tertawa atas lelucon miris tersebut.
"Heh, Aldy ... ga boleh ngomong gitu!" Lia meninggikan suara cemprengnya. "Etu pindah ke sekolah ini, karena dia emang anak yang pinter, jadi sekolah lamanya rekomendasiin Etu buat pindah ke sekolah unggulan."
Yah, bahkan, kalimat pembelaan yang diujarkan oleh Lia pun tidak membuat Etu senang sebenarnya. Dia benar-benar baru menyadari kalau sekolah barunya ini ternyata berpotensi sama saja seperti sekolah lamanya. Etu cukup sulit mengondisikan raut wajahnya tersebut. Wajah lembut dan putih Etu, kini sedikit memerah karena kesal.
"Yaudah, Etu ... kamu bisa duduk di kursi kosong sebelah sana, ya."
Setelah Lia menyelesaikan sesi perkenalan yang sama sekali tidak berkesan itu, seorang wanita cantik pun masuk ke ruang kelas. Wanita tersebut berpakaian rapi dengan batik biru corak Tut Wuri Handayani. Berjalan di atas sepatu hak tiga sentimeternya, wanita yang dipastikan sebagai guru itu pun duduk di kursi meja guru.
Bukanya menghormati, seluruh siswa hanya bersorak seolah-olah yang lewat di hadapannya ini adalah idola mereka. Terutama para siswa laki-laki yang ada di sana.
Etu mengamati setiap kejadian yang membuat dirinya mengkategorikan sekolah ini ke dalam daftar kuning miliknya. Daftar kuning bagi Etu adalah sesuatu yang musti diwaspadai. Kesan pertama Etu terhadap sekolah ini masih campur aduk, dia juga tidak bisa langsung memutuskan kalau sekolah ini masuk ke daftar merah.
"Pagi, Anak-anak!" seru guru yang kini matanya sedang membola seolah-olah mencari sesuatu. "Eh ... murid barunya duduk di mana, ya?"
"Ini, Bu!" teriak Lia sambil menunjuk ke arah Etu yang duduk sendirian. "Dia duduk di belakang Lia."
"Oh? Hmm ... Etu ya namanya? Kenapa tidak duduk sama Aris aja? Itu kursi milik Shebby, kan?" Guru tersebut pun bangkit dari duduknya, dia melangkah mendekati Etu yang masih celingak-celinguk.
"Eh, Etu disuruh duduk di sini, Bu." Etu menjawab apa adanya sesuai fakta.
"Iya, Bu. Shebby bisa duduk di tempat saya aja. Toh dia sekarang gak masuk juga. Nah, biar saya duduk sama Aris nanti." Setelah kalimat itu selesai dilontarkan oleh Lia, seluruh ruangan langsung gemuruh dengan menyoraki Lia dengan kata-kata 'cieee'. "Apa, sih? Pada sirik, ya?"
"Enggak, enggak, jangan. Biar Etu duduk sama Aris, ya." Guru tersebut tetap memiliki pendirian yang teguh. "Ayo, pindah, Nak," ajak guru tersebut. "Nama Ibu, Bu Pupun. Ibu wali kelas kamu sekarang, harusnya Lia udah kasih tau ke kamu, kan?"
Etu mengangguk pelan sambil membawa tasnya kembali. Dia bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati seorang lelaki yang juga duduk sendirian di barisan samping kanan.
Posisi tempat duduk di kelas tersebut ada empat baris. Masing-masing baris memiliki lima meja ke belakang, dan setiap meja diisi oleh dua orang. Dari pintu, barisan meja Lia ada di urutan ketiga, sedangkan barisan meja Aris ada di urutan keempat. Jadi, kini, posisi Etu adalah duduk di ujung dekat tembok.
Sebenarnya, Etu merasa canggung karena harus duduk dengan laki-laki. Namun, dia tidak terlalu risau soal itu, yang dia khawatirkan adalah mimik muka Lia yang memerah terlihat geram atas keputusan Ibu Pupun.
Etu mendekati remaja laki-laki yang sedari tadi tidak terlalu tertarik dengan drama yang dibuat oleh Lia. Aris namanya, dia memiliki perawakan kurus dan tinggi. Dari postur tubuhnya, Etu tahu kalau sosok yang kini duduk di sampingnya ini tidak suka berolahraga. Aris memiliki gaya rambut comma hair berwarna hitam pekat.
"Punten, ya." Etu dengan refleks berucap Bahasa Sunda juga pada Aris pada saat didinya hendak duduk. Dia benar-benar malu sampai memalingkan wajah.
Tidak lama kemudian, terucap suara laki-laki yang agak serak dari sampingnya. "Orang sunda, ya?"
Sontak Etu menoleh, dia mendapati lelaki tersebut tersenyum manis dengan mata sayu yang tidak terelakkan. Jantungnya berdebar, bukan karena apa-apa, tetapi karena dirinya malu dan takut ditertawakan oleh teman sebangkunya ini.
"Ayah gue orang sunda juga soalnya. Kenalin, gue Aris." Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Etu ...." Tanpa membalas uluran tangan tersebut, Etu hanya sedikit menganggukkan kepalanya sedetik kemudian tersenyum kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top