44. Berawal & Berakhir

HERZKIEL tidak kuasa menahan senyumannya ketika melihat nama Kanaya tertera di layar ponselnya. Akhirnya perempuan itu menghubunginya juga. Jujur, dua hari ini Herzkiel sangat merana karena tidak bisa melihat wajah cantik itu. Sesuatu di dalam hatinya sempat ragu dan berpikir Abhim akan mengingkari janjinya. Namun, sekarang ia bersyukur karena telah memercayai pria itu sampai akhir.

"Halo, Na."

"Kak..."

"Hm?"

"Aku mau ketemu."

Senyuman Herzkiel semakin melebar ketika mendengarnya. Ia menggigit bibir bawahnya karena merasa gemas sendiri.

"Oke, besok aku—"

"Aku di gedung apartemen Kakak."

Sontak saja Herzkiel bangkit dari posisi duduknya. Matanya mengarah pada jam dinding yang telah menunjukkan pukul 20:30. Ia tiba-tiba dilanda rasa khawatir akan perempuan itu.

"Aku turun sekarang."

Dan, Herzkiel benar-benar melakukannya. Pria itu meninggalkan apartemennya dengan langkah yang terburu-buru hingga hampir saja terpeleset jika ia tidak lekas berpengangan ke dinding yang ada di sebelahnya.

Herzkiel membutuhkan waktu empat menit hanya untuk turun ke lantai dasar karena ia tinggal di griya tawang, yang mana tempat itu merupakan unit di lantai tertinggi dan terbesar dari sebuah apartemen.

Sesampainya di lobby, mata Herzkiel langsung mengitari semua sisi hingga pada akhirnya menemukan Kanaya yang berdiri di luar gedung dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam hoodie merah muda, bertanda bahwa perempuan itu sudah menunggunya cukup lama dan kedinginan karena cuaca yang berangin malam ini.

"Na."

Panggilan itu refleks membuat Kanaya langsung memutar tubuhnya. Mata mereka bertemu, tetapi bibir Herzkiel seperti kelu untuk berkata. Entah mengapa, ia tiba-tiba merasa sangat canggung.

Kanaya menyatukan kedua tangannya yang masih berada di dalam hoodie karena merasa gugup untuk menyampaikan hal yang saat ini tersimpan di kepalanya.

"Can we start over?"

Sebenarnya, Kanaya juga tahu bahwa pertanyaan itu keterlaluan. Ia terlalu tebal muka untuk meminta kesempatan kedua pada Herzkiel yang mungkin selama dua hari ini telah berpikir untuk menyerah. Namun, Kanaya tidak punya pilihan, pria yang ada di hadapannya saat ini adalah satu-satunya pria yang ia inginkan untuk menghabiskan waktu bersama selamanya.

"Pardon me because I need so much time to figure it out that I want you to be with me..." Kanaya menatap Herzkiel dengan kesungguhan. "I want you to marry me, and I want you to love me the way that I love you..."

Usai mengucapkan semua hal yang ia inginkan Kanaya berharap dirinya merasa lega. Namun, anehnya ia tidak merasa begitu. Diamnya Herzkiel malah membuat perempuan itu bertanya-tanya apakah semuanya sudah terlanjur terlambat.

"Please say some—"

"Stay there."

Herzkiel memundurkan langkah kakinya ketika Kanaya berusaha mendekatinya. Hal itu lantas membuat Kanaya semakin yakin. Raut wajahnya menunjukkan dengan jelas bahwa malam ini mungkin akan menjadi saksi penyesalan terbesar dalam hidupnya.

"Aku memperingatkan kamu, Na... jangan pernah mendekat kalau kamu belum benar-benar yakin... because I swear that I can't never let you go again this time."

Kanaya segera menggelengkan kepalanya. "Aku nggak butuh waktu sedetikpun untuk meyakinkan diri lagi. I want you, Kak."

Melihat bibir Kanaya yang berkedut membuat Herzkiel menghela napasnya dalam. Entah perempuan itu sadar atau tidak, tetapi bisa-bisanya dia bertingkah imut di situasi serius seperti ini.

"Aku serius, aku nggak akan luluh hanya karena kamu bertingkah sok imut," ujar Herzkiel sok tegar.

"Kak Kiel nggak cocok bersikap sok kejam kayak gitu," komentar Kanaya.

"Pulang aja kalau kamu mau ngalihin topik."

Kanaya mendengus sebal. Herzkiel terus menuduhnya berusaha mengalihkan topik pembicaraan, padahal dia duluanlah yang meledek Kanaya bersikap sok imut tadi.

"Aku nggak akan pergi sebelum Kak Kiel peluk aku."

Perempuan ini benar-benar...

"Aku lagi nggak dalam mood untuk bercanda, Kanaya."

Mendengar Herzkiel menyebutkan nama panggilannya dengan lengkap membuat mata Kanaya langsung berkaca-kaca. Dadanya berdenyut perih padahal itu bukan masalah besar jika dilakukan oleh orang lain.

Menyadari Kanaya yang akan segera menangis dalam hitungan menit membuat Herzkiel terbelalak kaget.

"J-jangan nangis," perintahnya tergagap.

Herzkiel masih ingin membuat Kanaya mengintrospeksi diri, tetapi sayangnya perempuan itu telah menyentuh titik kelemahannya.

"Aku bilang jangan nangis, kamu nggak punya hak untuk nangis sekarang."

Pada akhirnya, air mata Kanaya tetap menetes juga meskipun perempuan itu sudah berusaha untuk menahannya.

"Kamu ini..."

Herzkiel kehabisan kata-kata.

"Sini."

Herzkiel mengalah, pria itu merentangkan tangannya, membiarkan Kanaya mendekat, dan mendekap tubuh mungil yang terasa dingin itu. Ia mengusap rambut Kanaya sembari mengecup pucuk kepala perempuan itu beberapa kali.

"Why are you always crying? You're breaking my heart," ujar Herzkiel sembari mengeratkan pelukannya.

***

Sedangkan itu, di tempat yang berbeda, Abhim masih terduduk dan termenung di kursi taman. Tatapannya dari aspal mulai beralih ketika bunyi langkah kaki seseorang dari samping mendekat ke arahnya.

"Bhim..."

Orang itu adalah Rachel. Melihatnya membuat Abhim menghela napasnya gusar. Pada saat ini ia sungguh sedang tidak mau diganggu, tetapi tak mungkin juga baginya untuk pura-pura tak melihat Rachel yang kini malah ikut duduk di sebelahnya.

"Gue nggak sengaja denger pembicaraan lo dan Kanaya," tutur Rachel.

"Tentang apa?"

"Kalian putus."

Abhim tiba-tiba terkekeh dan menatap Rachel sinis. "Jangan bikin gue ketawa, lo jelas-jelas ngikutin gue dari tadi dan lo juga sengaja nguping pembicaraan kami."

Rachel lumayan terkejut saat Abhim mengucapkan kalimat itu, padahal ia sudah merasa sangat berhati-hati ketika membututi pria itu agar tidak ketahuan.

"Lo mau apa?" tanya Abhim lelah, pada akhirnya. "Apa lo belum puas ngehancur—"

"Lo. Gue mau lo," potong Rachel, "dan masalah hubungan kalian yang berakhir, itu karena perasaan Kanaya buat lo udah nggak ada, bukan karena gue."

Abhim kembali menghela napasnya gusar. Ia bangkit dari posisinya sembari berkata, "Gue lagi nggak mood berdebat."

"Lo cinta sama gue, Bhim! Lo tau itu!" tegas Rachel ketika Abhim sudah menjauh beberapa langkah.

Hal itu lantas membuat Abhim berhenti dan memutar tubuhnya untuk menatap manik hitam mengilap milik Rachel yang dulu sempat menarik perhatiannya.

"Lo sehebat apa sampai bisa bersikap seolah lo lebih kenal gue ketimbang diri gue sendiri, hah?!" sahut Abhim sama kerasnya.

Tidak ada perasaan atau tatapan takut seperti apa yang selalu Kanaya beri padanya tiap kali mereka bertengkar. Rachel malah melangkah maju untuk mengikis jarak yang ada di antara mereka hingga tinggal selangkah.

"Kalau nggak cinta, kenapa lo bersikap baik ke gue selama ini? Lo peduli sama gue!"

Abhim mendesah frustrasi dengan kekeraskepalaan Rachel.

"Itu karena gue merasa nggak enak."

Ia tahu itu jawaban yang jahat, tetapi ia tak peduli selama itu bisa membuat Rachel berhenti untuk mengusiknya.

"Lo punya masa lalu yang kacau balau dan gue nggak sanggup ngeliat lo ada dimana-mana, bersikap seolah apa yang menimpa lo selama ini bukan masalah besar. Gue cuma merasa iba, apa salah?"

Rachel terdiam cukup lama sembari menatap Abhim dengan ekspresi pura-pura tidak terluka. Ia bahkan memaksakan dirinya untuk tersenyum walaupun matanya sudah berkaca-kaca.

"Nggak papa... selama lo baik ke gue bukan karena teringat sama Kanaya, itu nggak masalah. Kalau lo baik karena kasihan juga nggak papa. Itu artinya lo masih punya sedikit perasaan buat gue."

Abhim mendesah frutrasi untuk yang kedua kalinya.

"Lo masih belum ngerti juga..."

Abhim meraih kedua bahu Rachel dan mengguncangnya kuat.

"Maksud gue nggak, Chel. Gue nggak cinta sama lo! Satu-satunya orang yang gue cintain cuma Naya dan selamanya bakal tetap begitu!"

| TO BE CONTINUED |

Sumpah males banget kalau yang voments dikit, bahkan nggak sampe dari setengah yang baca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top