43. Berhenti Saling Menyakiti
"Aku tak mengejarmu saat kau pergi bukan karena ku tak cinta lagi, tapi ku ingin berhenti kita saling menyakiti."
~
ELSYA
_____________________________
CKLEK!
Penunggu rumah yang baru saja membuka pintu rumah itu menatap tamu yang ada di hadapannya dengan mata tak mengedip. Ia membeku beberapa saat, sebelum pada akhirnya memutar tubuh mungilnya untuk berlari masuk ke dalam dan memanggil ayahnya dengan suara yang menggelegar karena antusias.
"Papa! Adek liat ada Abang di depan pintu!"
Awalnya sang ayah tidak percaya, tetapi kakinya tetap melangkah terburu-buru menuju pintu depan hingga matanya berhasil melihat wajah putranya yang sudah sangat lama tidak ia temui.
"Pa," sapa Abhim sembari tersenyum tipis.
Ferro menahan air matanya yang akan menetes, lalu melangkah mau sembari merentangkan tangannya untuk mendekap tubuh Abhim erat. Ferro benar-benar merindukan putranya karena sejak Abhim tahu bahwa kedua orang tuanya sudah lama bercerai, pria itu enggan untuk menemui mereka. Abhim seperti menutup diri dan hanya ingin berkomunikasi melalui pesan.
"Boys don't cry. You're the one who said that."
Ferro lantas bergegas menghapus air mata yang membasahi pipinya, lalu terkekeh geli sembari menepuk-nepuk lembut bahu Abhim dan memersilakan pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Namanya Anneliese, tapi biasa dipanggil Anne," jelas Ferro ketika mata Abhim mengarah pada remaja baru yang tadi membukakan pintu untuknya. "Dia udah lama pengen ketemu sama kamu, cuma Papa aja belum punya keberanian untuk menyampaikan itu ke kamu setelah—"
Ferro menghentikan ucapannya ketika Abhim menepuk sisi kosong di sebelahnya agar Anne duduk di sebelahnya. Pria itu menyentuh puncak kepala Anne lembut, lalu menatap Ferro kembali untuk berkomentar, "Beruntung, mukanya nggak mirip sama Papa."
"Kamu pikir begitu? Papa malah berpikir dia seratus persen mirip sama Papa."
"How old are you?" tanya Abhim pada Anne.
"Fourteen," jawabnya malu-malu.
"Waktu benar-benar cepat berlalu, Pa."
"Ya, kamu benar."
Ferro memberikan kode pada Anne untuk meninggalkan mereka berdua saja karena entah mengapa Ferro merasa ada sesuatu yang ingin Abhim sampaikan padanya hingga membuat pria itu mau repot-repot datang kemari.
"Ini pasti tentang Kanaya." Tebak Ferro tepat sasaran.
"Papa tau darimana?"
Ferro tersenyum tipis. "It's always been about her since the beginning."
Abhim ikut tersenyum, tetapi tak lama kemudian mendesah frustrasi sembari menyentuh keningnya dengan kepala yang tertunduk.
"Dia dan aku... nggak pantas bersama, Pa. Lebih tepatnya, aku yang nggak pantas buat Naya. Dia perempuan yang sangat baik dan hidupnya sempurna, sedangkan aku? Aku bahkan nggak bisa mendeskripsikan seberapa buruk diriku sendiri."
"Kamu begini setelah berbagai usaha untuk mempertahakan dia, kan?" tanya Ferro yang langsung dibalas anggukkan oleh Abhim. Ferro pun menghela napasnya dalam, lalu berkata, "Setiap orang tua pasti akan lebih mementingkan kebahagiaan anaknya, tetapi Papa tidak akan begitu. Papa percaya keputusan yang kamu buat telah melalui banyak pertimbangan. Jadi, jika kamu memang merasa tidak baik untuk Kanaya maka lepaskan perempuan itu, jangan menahannya terlalu lama, Nak..."
Abhim mengangguk paham dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya karena merasa malu menangis usai meledek sang ayah sebelumnya.
"Masalahnya adalah aku nggak tau cara melepaskan dia dengan benar. Aku mau dia tau kalau kami berpisah bukan karena aku marah, benci, atau berhenti mencintai dia, Pa..."
"Kalau begitu, jangan sampaikan hal ini pada Papa, sampaikan semuanya pada Kanaya agar dia tau bahwa putra Papa ini tidak main-main dengan cintanya."
Ferro menepuk punggung Abhim lembut untuk yang ke sekian kalinya.
"Diam hanya mengundang penyesalan dan penderitaan, Nak, sama seperti yang Papa dan Mamamu rasakan dulu. Semua yang tidak disertai penjelasan malah akan menciptakan perkiraan yang pada akhirnya hanya akan menghasilkan kesalahan. Kamu mengerti maksud Papa, kan?"
***
Kanaya dan Abhim memang memiliki ikatan batin yang sangat kuat. Terbukti ketika membuka pesan tersebut, Kanaya tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pria itu. Meski merasa lemas untuk berdiri dari kasurnya di hari libur usai uring-uringan menggalaukan Herzkiel yang tak lagi menghubunginya, Kanaya pun memutuskan untuk menghampiri Abhim secepat yang ia bisa.
Tiba di tempat, tepatnya taman bagian lapangan basket yang menyimpan banyak cerita tentang mereka, Kanaya melihat Abhim yang duduk termenung di kursi. Mata mereka bertemu dan saat itu pula Kanaya merasakan kesedihan di mata pria itu, yang anehnya juga membuatnya merasakan hal yang sama.
Abhim bangkit dari posisinya sembari menghela napasnya, lalu menghampiri Kanaya dan mendekap tubuh perempuan itu erat. Mereka terdiam dengan posisi itu dalam waktu yang lama. Kanaya merasakan air matanya akan segera keluar meskipun Abhim belum mengatakan apapun.
"Ayo, putus, Nay."
Deg!
Itu memang bukan sesuatu yang mengejutkan, tetapi entah mengapa masih membuat jantung Kanaya seperti berhenti berdetak.
"Sorotan cerah yang selalu kamu beri ke dia membuat aku patah hati..."
"Kenapa kamu marah? Kenapa kamu selalu nangis? Apa aku yang membuat kita hancur berantakan begini? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menghantui aku setiap malam."
"Tapi sekarang aku sadar kalau kamu udah berubah dan akupun begitu... aku minta maaf karena nggak bisa nepatin janji-janjiku untuk menikahi kamu dan menjadikan kamu perempuan yang paling bahagia di bumi ini."
Abhim mengurai pelukan mereka, lalu menatap Kanaya dengan sorotan penuh kepedihan.
"Aku banyak terluka dan lelah karena kamu," tuturnya, "Kanaya... kamu benar-benar jahat sama aku." Abhim tersenyum paksa, lalu melanjutkan perkataannya. "Aku tau aku juga jahat, tapi kamu lebih jahat."
Abhim terdiam sejenak sebelum pada akhirnya mengulang maksud dari semua ucapannya.
"Ayo, berpisah sekarang."
Abhim menghapus air mata yang baru saja menetes dan membasahi pipi Kanaya.
"Dan aku mau kamu tau, aku nggak pernah membenci kamu atas semua hal yang kamu lakuin ke aku, Nay... kamu perempuan paling menakjubkan yang pernah aku temui, dan kadang kala membuat aku bertanya kenapa kamu pernah lebih memilih aku. Aku mencintai kamu dengan segala hal yang bisa aku pertaruhkan, dan aku rasa kamu harus segera terbebas dari hubungan ini."
Air mata semakin membanjiri wajah Kanaya yang membuat Abhim menjadi tidak kuasa untuk tidak meneteskan air mata. Namun, pria itu buru-buru menghapusnya.
"See? I love you so much, I just want you to be happy... even that happiness is no longer includes me."
Abhim menekuk kakinya ke dasar, lalu mengikat tali sepatu Kanaya yang rupanya telah lepas sejak awal.
"Aku bantu ikat sekarang karena kalau kamu jatuh setelah ini, aku nggak akan bantu lagi."
Bibir Kanaya berkedut ke bawah, sedih mendengarnya. Namun, kepalanya malah mengangguk mengiyakan. Ketegasan dari kedua belah pihak adalah hal yang paling mereka butuhkan saat ini. Jika tidak begitu, semuanya pasti akan berakhir sia-sia.
"Maksudku, jangan pernah jatuh saat memperjuangkan cinta kamu untuk Herzkiel."
Ah, Abhim... pria ini paling bisa membuat Kanaya menguras air mata.
Kanaya mengangguk untuk yang kedua kalinya, lalu memeluk Abhim erat ketika pria itu sudah kembali berdiri.
"Aku juga mau kamu tau sesuatu, Bhim..." Kanaya menyentuh pipi Abhim dan mengusapnya lembut. "Kecelakaan waktu itu sama sekali bukan salah kamu. Takdirku memang sudah tertulis untuk mengalami kejadian itu, dan akupun udah lama berdamai dengan diriku sendiri. Jadi, aku juga berharap kamu akan melakukan hal yang sama. Aku sedih setiap melihat kamu minum obat diam-diam di belakang aku."
Kecelakaan yang Kanaya maksudkan adalah kejadian dimana perempuan itu diculik dan hampir diperkosa oleh teman-teman David karena Abhim yang tidak sengaja menolak panggilannya.
"Aku akan mencoba demi kamu," ujar pria itu sembari tersenyum tipis.
Pada akhirnya, Abhim harus merelakan cinta pertamanya untuk berakhir. Cinta pertama yang berada di luar jangkauannya berupa perempuan baik yang membuat siapapun ingin mengetahui apa yang sedang ia pikirkan. Perempuan yang pada akhirnya adalah orang yang paling bisa membaca pikiran Abhim meski pria itu tak memahaminya sama sekali. Takdir telah membawa keduanya melalui banyak hal bersama, yang pasti perjalanan Kanaya akan indah. Tentunya setelah Abhim melepaskan Kanaya untuk yang kedua kalinya.
| TO BE CONTINUED |
Parah sih, kalau kalian nggak kebanjiran air mata. Thor yang nulis aja sampe kena flu. Sedih banget liat mereka putus, tapi ya mau gimana lagi 🤧
✨ Extra Photocard ✨
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top