40. Bertengkar Hebat

"You're everything I want, but I can't deal with all your lovers. You're saying I'm the one, but it's your actions that speak louder."
~
THE WALTERS
_____________________________

MEMANG ada beberapa pertanyaan yang telah lama membebani hati dan pikiran Abhim. Namun, ketika matanya menangkap kebersamaan sepasang insan itu, semua pertanyaan tersebut lantas hilang begitu saja.

Kanaya sungguh mencintai Herzkiel. Itu terlihat jelas dari cara mata Kanaya memandang pria yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Sedangkan, Abhim duduk termangu di dalam mobilnya.

Sejak tadi pagi pesawat Abhim mendarat di ibukota, ia memutuskan untuk kembali bekerja di Jakarta atas bantuan dari sang ayah agar bisa segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antaranya dan Kanaya.

Bukannya bertindak seolah-olah tidak tahu, Abhim hanya belum terlalu siap untuk melepaskan Kanaya, dan kalaupun terpaksa harus siap, Abhim butuh waktu untuk menyiapkan kalimat perpisahan mereka.

Seperti saat ini, ia harus menahan kegeraman yang melanda hatinya ketika melihat Kanaya menerima sebuket bunga mawar warna merah muda yang Herzkiel berikan, lalu tak lama kemudian mereka bersama-sama masuk ke dalam mobil.

Jika mempertimbangkan waktu, ini adalah pukul 18.30, jam pulang kerja Kanaya, yang dimana seharusnya perempuan itu pulang sendiri menggunakan mobil pribadinya jika tidak dengan secara sengaja membuat janji pergi bersama Herzkiel.

Sesuatu di dalam diri Abhim berharap bahwa apa yang dicurigainya salah. Namun, di sisi lain, ia juga berharap bahwa kecurigaan itu memang benar terjadi sehingga Abhim dapat merasa impas akan kesalahan yang diperbuatnya waktu itu.

Abhim mengikuti kemana perginya mobil itu sampai berhenti di suatu restoran mewah yang entah mengapa cukup sepi hari ini. Pikiran bahwa Herzkiel mungkin saja telah menyewa tempat itu membuat Abhim terkekeh miris. Sialan, pria itu memang selalu mampu membuat dirinya merasa khawatir.

Beruntung restoran itu memiliki kaca yang transparan sehingga Abhim dapat memerhatikan mereka tanpa harus ikut masuk ke dalam dan mencari-cari alasan agar bisa menetap di sana.

Dari dalam, Abhim menyaksikan betapa hebatnya Herzkiel dalam memerlakukan seorang perempuan. Entahlah, apa perlakuan itu untuk semua perempuan atau hanya Kanaya seorang. Herzkiel menarik kursi untuk Kanaya duduki sebelum pada akhirnya bergabung duduk di kursi yang ada di seberangnya. Mereka kelihatan berbincang tak tentu arah, seperti menceritakan kisah-kisah mereka yang telah lalu, mungkin.

Abhim masih mampu menahan dirinya selama sekitar setengah jam sampai pada akhirnya ia melihat Herzkiel mengeluarkan sebuah beludru dari kantung celananya dan kemudian menyodorkan benda tersebut ke arah Kanaya.

Lantas saja Abhim langsung meraih ponselnya dan menghubungi nomor Kanaya yang sudah dua hari ini hanya ia pandangi sembari berbaring di atas kasur.

Abhim menangkap perubahan raut wajah Kanaya ketika perempuan itu memeriksa layar ponselnya. Namun, untungnya Kanaya tidak berpikir panjang untuk mengangkat panggilannya.

"Halo?"

"Kamu dimana sekarang?"

Abhim tidak berbasa-basi sama sekali.

"Aku pergi makan malam."

Ah, sial. Kanaya berkata jujur.

"Keluar, kita bicara."

Kalimat itu membuat Kanaya refleks menoleh ke sana kemari hingga pada akhirnya matanya menangkap keberadaan mobil milik Abhim terparkir di luar restoran.

Kanaya memutuskan panggilan mereka, lalu meminta izin untuk pergi keluar sebentar pada Herzkiel yang tentunya langsung dibalas anggukkan oleh pria itu.

Di saat Kanaya keluar dari restoran, Abhim juga keluar dari mobilnya. Mereka saling menghampiri satu sama lain karena tahu ada sesuatu yang harus mereka jelaskan.

"Apa-apaan ini, Nay?"

Tidak ada nada marah sedikitpun yang keluar dari mulut Abhim. Nadanya lebih terdengar sedih dan kecewa. Sepertinya usia telah membuat pria itu berubah menjadi sosok yang lebih bijaksana dalam menanggapi segala masalah.

"Maksud kamu?" tanya Kanaya dengan setengah hati, tampak masih marah karena kesalahan yang dibuat Abhim waktu itu.

"Aku tanya, apa-apaan kamu ini..."

"Aku cuma makan malam," balas Kanaya seadanya.

Abhim menghela napasnya gusar, tidak percaya akan balasan yang baru ia dengar. "Ya, aku tau kalau itu. Kamu sengaja lakuin ini? Apa ini masih karena masalah waktu itu?"

"Maksud kamu apa?"

Kali ini nada Kanaya meninggi.

"Kenapa kamu harus kesal?" tanya perempuan itu yang membuat Abhim lama-kelamaan larut dalam emosinya.

"Coba kamu di posisi aku. Gimana perasaan kamu kalau melihat aku pergi makan malam sama cewek lain? Kamu nggak marah?"

"Aku marah!" tukas Kanaya langsung. "Tapi, kamu juga harus coba ada di posisi aku... anggap aku nggak menghubungi kamu sama sekali setelah ketahuan selingkuh sama cowok lain? Kamu nggak akan marah?"

"Aku bakal marah, Nay, tapi bukannya nggak pernah terpikir di kepalaku untuk menghubungi kamu setelah pertengkaran itu. Kamu yang nggak ngasih aku sedikit pun cela untuk menjelaskan apapun. Lalu, dengan seenaknya kamu buat aku curiga dan cemburu."

Giliran Kanaya yang menghela napasnya, terdengar lelah, lalu mengangguk pelan.

"Aku ngerti sekarang... masalahnya adalah kamu nggak percaya sama aku."

Alis Abhim saling bertaut.

"Aku nggak percaya kamu?"

"Kamu berpikir aku bakal ngelakuin hal yang sama seperti yang waktu itu kamu lakuin, kan?"

Abhim mendesah frustrasi mendengarnya. Ia bahkan sampai harus membuang mukanya sejenak sebelum kembali menatap Kanaya dengan raut wajah kecewa dan kesal.

"Nay—"

"Maaf, gue lancang motong percakapan kalian, tapi acara makan malam kami belum selesai."

Herzkiel tiba-tiba memasang badan untuk melindungi Kanaya di belakang tubuhnya.

"Kami?"

Sepertinya wajah Herzkiel akan memar dalam hitungan detik apabila Kanaya tidak buru-buru keluar dari tempat persembunyiannya dan menjauhkan kedua pria itu.

"Antar aku pulang, Bhim," pinta Kanaya.

Namun, Abhim masih membatu di posisinya seolah menimbang-nimbang apakah ia harus menahan diri atau melayangkan tinjuannya saja ke wajah tidak tahu malu Herzkiel.

"Bhim, aku bilang, aku mau pulang!"

Pada akhirnya, Abhim memilih untuk mengalah. Ditambah lagi, Kanaya memeluk lengannya erat dan menariknya untuk segera masuk ke dalam mobil, meninggalkan Herzkiel tanpa sepatah katapun.

Sebelum mobil itu melaju, Kanaya menyempatkan diri untuk melirik ke arah Herzkiel yang tampak menghela napasnya kecewa, lalu tak lama kemudian masuk kembali ke dalam restoran, entah untuk melanjutkan makannya kembali atau malah membayar makan malam mereka sebelum pulang.

Kanaya tahu bahwa Abhim sedang berusaha mengontrol dirinya sendiri. Oleh karena itu, di sepanjang jalan mereka hanya saling diam tanpa ada satu orang pun yang bersedia memulai pembicaraan.

Sesampainya di depan gedung apartemen Kanaya, Abhim mulai memberanikan dirinya untuk berbicara, tentunya dengan mata yang melirik ke arah Kanaya dan sebuah cincin yang tersemat di jari manis tangan sebelah kiri perempuan itu.

Cincin itu adalah pemberian dari Abhim ketika usia hubungan mereka menyentuh empat tahun. Seperti pasangan pada umumnya, cincin itu mereka jadikan sebagai simbol pertunangan, dimana itu bertanda bahwa nantinya mereka akan segera menikah.

"Aku tau ini bukan yang pertama kalinya, jadi sekarang kasih aku alasan kenapa kamu dan Herzkiel bisa bareng..."

Abhim menghela napasnya pelan sebelum melanjutkan kata-katanya kembali.

"Sekeras apapun aku mencoba, aku nggak bisa bertindak seolah-olah aku nggak melihat apapun. Jadi, jelasin ke aku supaya aku bisa mengerti dan memaklumi itu."

Tidak ada balasan dari Kanaya, yang membuat Abhim menyimpulkan bahwa memang tidak ada yang perlu dijelaskan, apa yang dilihat oleh pria itu memang seperti apa yang pria itu pikirkan.

Kanaya melepaskan cincin yang ada di jarinya, lalu meletakkannya di atas dashboard.

Abhim yang melihat itu lantas langsung bertanya, "Kamu ngapain?"

Bukannya menjawab, Kanaya malah melepas safety belt-nya, lalu keluar dari mobil.

"Kanaya, aku belum selesai bicara."

Abhim lantas langsung keluar dari mobil dan mencekal pergelangan tangan Kanaya sebelum perempuan itu pergi terlalu jauh.

Abhim mengembalikan cincin tersebut ke tangan Kanaya dengan kepala yang menggeleng khawatir.

"Jangan lakuin ini, ya?" Abhim memohon.

"Kita harus berhenti, Bhim..."

"Apa yang harus dihentiin?" Abhim berpura-pura tidak paham.

"Pertengkaran seperti ini!" geram Kanaya, "Semuanya terlalu jelas, pada akhirnya kita juga bakal putus."

"Kamu tau darimana? Mungkin aja pertengkaran ini malah justru membuat kita semakin dekat."

Kekukuhan Abhim membuat Kanaya semakin merasa emosi dan tak mampu mengontrol dirinya sendiri, yang pada akhirnya semakin menyakiti kedua insan itu.

"Aku tau. Kita berdua pasti bakal semakin jatuh ke dasar dan hubungan ini bakal berakhir." Kanaya menatap Abhim dengan mata yang berkaca-kaca. "Apa kamu nggak ngerasain hal yang sama?"

Abhim lekas menggelengkan kepalanya dan semakin mengeratkan pegangannya terhadap Kanaya.

"Kalau kamu berpikir ini dasar, aku nggak peduli, aku bisa jatuh lebih dalam lagi."

"Seberapa jauh lagi kita harus jatuh? Seberapa jauh lagi kamu mau terluka? Seberapa jauh lagi kamu mau membenci aku?! Kenapa kamu mau menjalani hubungan yang udah jelas akhirnya akan gimana?!"

"Berhenti bertingkah seolah kamu ahli dalam pacaran! Memangnya siapa yang ngajarin kamu tentang cinta?!" Pecah sudah amarah Abhim.

"Aku belajar dari Kak Kiel. Puas?!"

Di detik itu Abhim langsung bungkam, pegangannya terhadap Kanaya melemah, yang langsung dimanfaatkan oleh perempuan itu untuk melepaskan diri dan membuat cincin yang berada di tangannya jatuh ke aspal begitu saja.

| TO BE CONTINUED |

Hey, hey, jangan pada males voments, nanti saya jadi malas update juga, lho...

✨ Extra Photocard ✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top