37. Rencana Herzkiel

"Terlalu besarku taruh harapan pada dirimu, itu alasanku lama tanpa dirimu."
~
ANGGI MARITO
_____________________________

ABHIM menatap foto yang baru saja dikirim oleh Franky beberapa menit lalu. Itu adalah foto Kanaya bersama Herzkiel di sebuah kafe dengan dua orang lain yang tak ia kenal. Entah apa alasan Franky mengirimnya, tetapi yang pasti Abhim tak pernah sekalipun meminta pria itu untuk melakukannya. Menurut penjelasannya, waktu itu Franky sedang pergi makan malam bersama calon pacarnya dan tanpa sengaja melihat Kanaya berada di meja yang sama dengan Herzkiel.

Abhim sungguh berterima kasih pada Franky karena telah memberinya informasi bahwa Herzkiel telah kembali ke Indonesia. Namun, di sisi lain ia juga merasa khawatir. Abhim menanti-nanti Kanaya untuk menceritakan perihal kejadian di kafe itu, tetapi sepertinya perempuan itu masih ingin menyimpannya seorang diri.

Franky Jamet
Lo yakin masih mau lanjutin hubungan lo sama Naya?

Pertanyaan itu membuat Abhim menghela napasnya gusar. Ia menghapus pesan Franky, lalu mematikan ponselnya. Itu adalah caranya untuk mempercayai Kanaya dan menjaga hubungan mereka agar tetap baik-baik saja.

***

"Setelah kejadian malam ini, aku merasa nggak akan pernah bisa ngejalanin hubungan kita kayak semula, Bhim..."

Meskipun Abhim sudah sekuat mungkin berusaha untuk menjaga hubungan mereka, pada akhirnya ia tetap saja gagal.

Abhim yang tak berhasil mengejar kepergian Kanaya terduduk di kursi taman dengan termenung. Ia menyatukan kedua tangannya erat sebagai usaha untuk menahan air matanya yang hendak bercucuran. Saat ini ia tidak dapat berpikir jernih, yang bisa ia lakukan hanyalah berandai-andai.

Seandainya jika Kanaya percaya padanya sama seperti ia mempercayai Kanaya waktu itu. Kanaya begitu mudah untuk mengatakan kata 'putus', sedangkan selama ini Abhim benar-benar berusaha agar kata itu tidak pernah keluar dari bibir keduanya.

Abhim telah mengenal Kanaya lama. Ia bahkan sampai yakin bahwa dirinya mengenal Kanaya jauh lebih baik daripada perempuan itu mengenal dirinya sendiri. Oleh karena itu, diam-diam ia juga tahu bahwa sejak awal mereka menjalin hubungan, Kanaya sudah tidak lagi memiliki rasa padanya. Sayangnya, Abhim belum begitu kuat dan siap untuk melepas Kanaya dari hidupnya.

Mengingat hal itu membuat hati Abhim kembali terluka dan untuk melupakannya, Abhim memilih untuk membereskan hiasan yang Kanaya gantung di halaman depan rumah. Ia menarik asal lampu manik yang berkerlap-kerlip hingga putus dan tak lagi berbentuk, lalu jatuh terduduk di atas tanah karena rasa sesak yang tiba-tiba menyerang tubuhnya.

"Hgghhh..."

"S-sialan!"

Ia mengumpat sembari menarik asal rumput yang melekat di tanah. Air matanya menetes seiring tubuhnya yang semakin lama semakin melemah. Sebelum hilang kesadaran, ia sempat mendengar langkah kaki yang terdengar buru-buru. Demi apapun Abhim sungguh berharap bahwa orang itu adalah Kanaya.

***

Bunyi roda koper yang berputar cepat cukup menarik perhatian beberapa orang yang berada di bandara, tetapi Kanaya mengabaikannya dan tetap berjalan dengan cepat keluar dari gedung tersebut.

Ketika matanya menangkap keberadaan Magenta di tempat penjemputan, air mata Kanaya langsung menetes, ia berlari kencang untuk masuk ke dalam dekapan Magenta yang memang sudah mempersiapkan dirinya dengan cara merentangkan tangannya selebar mungkin.

"Aku dan Abhim putus, Kak..."

Magenta mengangguk mengerti sembari mengusap punggung Kanaya lembut untuk menenangkannya.

"You made a great choice," pujinya.

Kanaya menguraikan pelukan mereka, lalu menggeleng kuat sebagai tanda penolakan.

"Bukan Abhim... aku yang salah, Kak."

Magenta lagi-lagi menganggukkan kepalanya, jarinya tergerak untuk menghapus air mata yang membasahi wajah Kanaya, lalu mencakupnya lembut.

"Entah apa yang ada di benak lo, gue nggak tau alasan lo ngelakuin itu, tapi lakuin aja, lakuin apapun yang lo mau, Nay."

Merasa terganggu dengan tatapan orang-orang di sekitar mereka membuat Magenta mengajak Kanaya untuk segera masuk ke dalam mobil usai memasukkan barang bawaan perempuan itu ke bagasi mobil.

Di dalam mobil Magenta melirik Kanaya yang terus-menerus meneteskan air matanya. Walau sebenarnya sangat ingin tahu apa yang menyebabkan perempuan itu putus dari Abhim, Magenta tetap berusaha menahan dirinya.

"Aku goyah, Kak..."

"Hah?"

Hanya satu kata itu yang mampu Magenta ucapkan walau sejak awal ia sudah mengira-ngira.

"Kemarin aku ketemu sama Kak Kiel."

Mobil milik Magenta lantas bergerak menyamping untuk berhenti di pinggiran.

"Kiel? Herzkiel di Jakarta?"

Kanaya menganggukkan kepalanya.

"Si Anjing nggak ngabarin gue," umpat Magenta sembari memeriksa ponselnya yang tiba-tiba bergetar.

Ketika melihat nama yang tercantum di layar ponsel, Magenta pun melotot. Ia kemudian memamerkannya pada Kanaya dan membuat perempuan itu tanpa sadar berhenti menangis.

"Halo?"

"Apa kabar lo?"

Magenta memejamkan kedua matanya menahan emosi atas sikap sok akrab Herzkiel padanya. Tentu saja ia merasa sangat terkhianati saat tahu bahwa Herzkiel berada di Jakarta, tetapi tidak mengabarinya.

"Lo mau ngomong apa?"

"Gue di Jakarta."

"Tau."

"Dari Kanaya?"

Kanaya lantas menggeleng cepat agar Magenta tak salah bicara.

"Nggak, dari Rara si pawang hujan."

Terdengar suara helaan napas berat dari seberang sana.

"Gue tunggu di tempat biasa."

"Haha. Lo pikir—"

Tit!

Magenta refleks melempar ponselnya ke jok belakang karena merasa kesal dengan Herzkiel yang mematikan panggilannya secara sepihak.

"Kak Magen bakal temuin dia?" cicit Kanaya sembari memainkan jemarinya gugup.

"Nggak mungkin nggak."

"Kalau gitu, seandainya Kak Kiel nanya... tolong bilang aku udah menikah, ya?"

Magenta menaikkan salah satu alisnya terkejut dengan permintaan Kanaya barusan.

"Hah? Gimana-gimana? Nggak ngeh gue."

Telinga Kanaya mulai memerah karena menahan malu. "Ehm... waktu itu aku bilang ke Kak Kiel kalau aku udah nikah."

"Sama siapa?" tanya Magenta masih terheran-heran.

"Sama siapa lagi?"

"Abhim?"

Melihat Kanaya yang mengangguk membuat bahu Magenta sontak melemas.

*

*

*

Ringkikan suara kuda mengisi keheningan tanah lapang berumput milik ayah Herzkiel. Pria itu sudah hampir setengah jam menunggu kedatangan Magenta sembari menunggangi kuda peliharaannya. Namun, Magenta tampaknya sengaja menelatkan diri untuk balas dendam padanya.

"Kiel!"

Langkah kuda yang datang dari arah belakang membuat Herzkiel refleks menoleh. Rupanya itu adalah Tristan. Pria itu menghampirinya dengan senyuman yang tercetak manis karena lesung pipi kembarnya, tak lupa pula dengan sekotak susu rasa stroberi di tangannya.

"Welcome back," selamatnya.

Herzkiel diam sejenak sebelum mengambil sekotak susu favoritnya itu. "Lo tau darimana gue ada di sini?"

"Dari ikatan batin gue sama El... mungkin?"

Jawabannya terdengar seperti pertanyaan.

"Kalau lo dateng ke sini dengan niat minta pertolongan dari gue untuk ketemu sama El, sorry, gue nggak mau."

"Lo bakal mau."

"Pede," ledek Herzkiel sebelum menghentakkan tali kudanya agar bisa menjauh dari Tristan.

Dari belakang, Tristan terlihat terkekeh geli, lalu mulai menyusul Herzkiel yang semakin mempercepat lari kudanya.

"Gue punya semua informasi tentang Kanaya!"

Teriakan Tristan membuat Herzkiel refleks menghentikan kudanya dan menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap.

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk berdamai dan duduk di kursi kayu yang tersedia di sana.

"Jadi, apa yang pengen lo tau dari gue?"

Herzkiel menatap Tristan dengan penuh pertimbangan sebelum bertanya, "Sejak kapan Kanaya nikah sama Abhim?"

Bukannya langsung menjawab, Tristan malah tertawa terbahak-bahak sampai matanya tak terlihat lagi.

"Seriously, Man? Darimana lo dapet rumor sampah kayak gitu?"

"Mereka belum nikah?"

Nada bicara Herzkiel tiba-tiba terdengar bersemangat.

"Tepatnya, mereka nggak akan nikah."

"Maksud lo?" tanya Herzkiel bingung.

"Mereka baru aja putus dan sekarang Kanaya lagi sama Magen..." Tristan tersenyum miring dan licik. "Jadi, lo tau kan, siapa orang yang sekiranya bakal selalu berpihak ke lo?"

"Gue bakal bicara sama El sepulang ini," sahut Herzkiel, tahu apa yang diinginkan oleh sahabatnya itu.

"Thanks."

Herzkiel mengangguk singkat, lalu beranjak pergi dari posisinya.

"Lo mau kemana?"

"Ada sesuatu yang perlu gue urus."

Pria itu melanjutkan langkahnya. Namun, baru beberapa langkah, matanya malah bertumburan dengan milik Magenta. Magenta terlihat kebingungan melihat Herzkiel yang akan segera pergi setelah membuat janji dengannya.

"Lo mau kemana?"

Magenta mencekal lengan Herzkiel sehingga pria itu mau tak mau menghentikan langkahnya.

"Nemuin Kanaya."

"Kanaya udah nikah," tekan Magenta.

Hal itu lantas membuat Herzkiel sedikit memanas dan refleks menghempaskan tangan Magenta kasar dari tubuhnya.

"Lo telat," ujarnya dingin sebelum kembali melangkah pergi.

Magenta menatap punggung Herzkiel yang perlahan menjauh dengan tatapan bertanya-tanya. Namun, tak bertahan lama karena tak lama kemudian ia melihat keberadaan Tristan dengan senyuman penuh artinya.

Herzkiel melangkah cepat menuju mobil sport-nya yang terparkir di dekat pintu masuk rumah. Baru saja menekan tombol di kunci mobil, limousine hitam milik Ravi tiba-tiba berhenti di dekatnya. Pria baya itu keluar dengan wajah terkejut sekaligus senang melihat kedatangan putranya yang terbilang mendadak.

"Sejak kapan—"

"Pa..."

Herzkiel melangkah mendekati Ravi dengan tatapan serius sehingga membuat pria baya itu sedikit merasa gugup.

"Ya, Nak. Ada apa?"

"Aku boleh minta tolong sama Papa?"

Mendengarnya membuat Ravi merasa terharu hingga matanya berkaca-kaca. Ini adalah yang pertama kalinya Herzkiel berbicara selembut itu padanya, tak lupa pula dengan permintaannya karena seumur-umur Herzkiel tak pernah memintan apapun darinya.

"Katakan... kamu mau apa?"

"Ada perempuan yang selama ini selalu menetap di hatiku dan aku butuh bantuan dari Papa dan Mama untuk melamarnya langsung melalui kedua orang tuanya."

| TO BE CONTINUED |

Cie, cie... digantung🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top