31. Menuju Akhir

"Apa harus kita pisah dulu biar kau tahu artinya tanpaku? Meyakinkanmu hal tersulitku, harus kau tahu ku mencintamu lebih dari cinta."
~
GAZA ALI
_____________________________

KESUNYIAN malam menyelimuti komplek perumahan elit yang ditinggali oleh Herzkiel. Waktu telah menunjukkan pukul 00:01, tetapi sepertinya pria itu masih belum terlalu mengantuk sehingga memutuskan untuk mencari udara segar di halaman depan rumahnya. Dengan sebuah termos berisikan susu stroberi hangat, Herzkiel mendudukkan dirinya di kursi taman dan merenung, memikirkan beberapa waktu lalu dimana ia tanpa sengaja telah bersikap kasar pada Kanaya.

"Gue butuh bantuan lo, Tris."

Herzkiel menyesali keputusannya karena telah meminta bantuan pada Tristan untuk mengambilkannya buku diary Kanaya yang belum ia kembalikan dan selama ini tersimpan rapi di rak buku kamarnya.

Setiap kata, kalimat, dan lembaran yang tertulis di dalamnya berhasil menghujam jantung Herzkiel. Membuatnya menyadari bahwa sejak awal seharusnya ia tidak pernah berusaha mencoba mencari celah dalam hati Kanaya. Tak peduli seberapa keras Herzkiel mencoba, ia tak akan pernah bisa menjadi seperti yang Kanaya inginkan karena gadis itu hanya menginginkan Abhim. Benar-benar hanya Abhim.

Herzkiel menghela napasnya dalam sebelum mengusap wajahnya kasar. Ia merasa alasannya membentak Kanaya tadi siang adalah karena ia merasa marah, kecewa, dan tak terima setelah mengetahui isi hati Kanaya yang sebenarnya.

"Kenapa nggak telepon aku kalau Kakak emang belum bisa tidur?"

Suara itu membuat Herzkiel refleks menoleh ke samping dan mendapati Kanaya sedang memandangnya dengan sebuah senyuman teduh. Herzkiel balas tersenyum, kemudian membiarkan Kanaya untuk bergabung duduk di sampingnya.

"Piyama kamu tipis."

Herzkiel menyampirkan jaket yang dikenakannya di bahu Kanaya agar tubuh gadis itu terlindungi dari angin malam yang menusuk. Mendapat perhatian kecil dari sang kekasih membuat Kanaya tak kuasa menahan senyumannya, lalu berangsur memeluk lengan Herzkiel.

"Begini lebih hangat," katanya sembari menyenderkan kepalanya di bahu tegap pria itu.

Keduanya diam cukup lama hingga akhirnya Kanaya memutuskan untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu.

"Ini waktu yang pas... kenapa Kakak nggak bertanya ulang? Aku bener-bener berharap Kak Kiel nggak akan ngebiarin hal ini berlalu begitu aja. Marah dan tanyain aja ke aku: tanya apa yang sebenernya terjadi tadi siang dan kenapa aku nangis."

Kepala Kanaya ditahan lembut oleh tangan Herzkiel ketika gadis itu hendak menoleh dan menatapnya.

"Menurutmu kenapa, Na? Tetap begini aja, aku nggak mau kamu melihat muka aku," katanya sembari mengelus rambut Kanaya.

Kanaya mengangguk menurut dan membiarkan Herzkiel untuk melanjutkan ucapannya yang belum sepenuhnya tersampaikan.

"Itu karena aku lebih mencintai kamu. Kita nggak seimbang karena rasa cinta aku ke kamu jauh lebih besar..." Herzkiel menjeda.

"Memang terkadang ada saat dimana aku mau bertengkar dan mempertanyakan sikap kamu, tapi apa kamu tau kenapa aku selalu ngebiarin semuanya berlalu begitu aja?" Herzkiel menghela napasnya ringan sembari memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Itu karena aku merasa kalau aku nggak mengalah, hubungan kita bakal berakhir. Karena itu, aku selalu menahan diri dan ngebiarin kamu menang, Na."

Kanaya mengangkat kepalanya dari bahu Herzkiel dan menatap manik pria itu dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Maaf, Kak..."

Herzkiel lekas menggelengkan kepalanya dan menghapus butiran air mata yang membasahi pipi Kanaya.

"Bukan kata itu. Aku mau dengar kata lain."

Air mata Kanaya semakin mengalir deras, gadis itu mengangguk mengerti sebelum memeluk tubuh Herzkiel erat dan berkata, "Aku cinta sama Kakak."

"Aku tau."

"Hm?" Kanaya menautkan alisnya tak terima. "Bukan itu. Aku mau dengar jawaban yang lain."

Herzkiel terkekeh geli melihat kelakuan kekasihnya, lalu memeluk tubuh mungil itu lebih erat dari yang sebelumnya. "Aku juga cinta kamu, Na."

"Besok kita nge-date bareng Sergan, yuk! Aku kangen sama pipi tembemnya."

"Besok sekolah, Na," tolak Herzkiel.

"Tapi lusa kan, Kak Kiel udah mau berangkat."

Melihat Kanaya mengerucutkan bibirnya sedih membuat hati Herzkiel luluh.

"Yaudah, tapi kita berdua aja."

***

Keesokan harinya, tepatnya pukul 07:00, mobil Herzkiel sudah terparkir rapi di dekat taman yang sering menjadi tempat Kanaya berkunjung. Ia datang ke sana bukan untuk menemui Kanaya ataupun mengajaknya berkencan, melainkan untuk menemui Abhim yang sedang bermain basket sendirian sejak satu jam yang lalu.

"Tebel muka juga lo berani dateng ke sini," ujar Abhim sembari menatap Herzkiel sinis.

Dengan santainya Herzkiel mengendikkan bahunya dan berkata, "Bukan taman punya bokap atau leluhur lo juga, kan?"

"Nggak usah basa-basi. Mau apa lo? Ngeledek gue karena gagal dapetin Naya?" Abhim memutar tubuhnya menghadap ke arah ring, lalu melemparkan bola basketnya untuk mencetak poin.

"Lo bicara seolah-olah Kanaya barang."

"Ck, bukan gitu maksud gue." Abhim berdecak kesal sebelum mendelik tajam ke arah Herzkiel. "Lo sama Naya sama-sama emang punya hobi suka suuzan sama orang lain, ya?" Tuduhnya.

"Bukan suuzan, intonasi lo yang perlu dibenerin."

Abhim memutar bola matanya jengah. "Ya, ya, ya, terserah lo, gue bukan capres yang butuh kritikan."

"Lo masih cinta sama Kanaya?"

Pertanyaan tak terduga itu membuat Abhim tidak bergerak dalam beberapa detik. Ia hanya memegang bolanya dan menatap Herzkiel dengan ekspresi yang tak dapat diartikan.

Tak lama kemudian, Abhim terkekeh hambar dan kembali melempar bola basketnya ke ring.

Dengan asal, ia pun menyahut, "Kenapa? Lo udah muak sama Naya dan berniat ngembaliin dia ke gue?"

Tidak ada jawaban dari sang lawan bicara.

Lantas saja Abhim langsung berpikir yang tidak-tidak. Ia membanting bola basketnya ke tanah secara sembarangan, kemudian mencengkram kaos yang dikenakan oleh Herzkiel dan mengguncangnya beberapa kali.

"Lo beneran muak sama Naya, hah?!" Abhim kembali mengguncang tubuh Herzkiel. "Jawab, Anjing!" Sentaknya.

"Hari ini bakal jadi hari terakhir gue sama Kanaya. Seperti yang pernah lo bilang, gue nggak cukup baik buat dia."

Abhim melemaskan cengkramannya ketika pandanganya bertumburan dengan mata Herzkiel yang menyiratkan keseriusan.

"Lo nggak perlu dengerin pendapat orang lain," lirih Abhim yang tiba-tiba dilanda rasa bersalah.

Herzkiel menggeleng lemah. "Terkadang ada fakta yang perlu gue terima meskipun itu keluar dari mulut lo. Just take care of her, could you?"

Abhim terdiam dengan pandangan yang tertunduk selama beberapa saat sebelum kembali menatap manik Herzkiel dengan sorotan penuh keyakinan.

"I had my chance with her and I blew it, so this time... if I ever get another chance, I'm not gonna blow it."

Herzkiel tersenyum tipis kemudian menepuk bahu Abhim lembut. "Then, great to hear that."

Ketika Herzkiel terlihat akan segera melenggang pergi dan meninggalkannya, Abhim mengeluarkan sebuah pertanyaan mendadak yang membuat langkah kaki Herzkiel terhenti secara otomatis.

"Kalau gue boleh tau, apa alasan lo menyerah?"

Herzkiel sama sekali tak membalikkan tubuhnya, ia tetap pada posisi awalnya, yakni berdiri membelakangi Abhim. Pria itu tersenyum, lalu berkata lirih, "Karena saat dia nangis, gue bener-bener nggak tau harus berbuat apa..."

Dulu Herzkiel pernah dengan percaya diri menjanjikan kebahagiaan untuk Kanaya karena sebelum keduanya menjalin hubungan gadis itu selalu dibuat sedih oleh Abhim. Namun, semakin ke sini ia semakin menyadari bahwa tangisan Kanaya mulai berubah, bukan lagi hadir karena ulah Abhim, melainkan karenanya. Ya, Herzkiel sudah terlalu banyak membuat Kanaya menangis dan ia tak bisa mempertanggungjawabkan janjinya. Oleh karena itu, ia percaya bahwa dirinya memang tidak cukup baik untuk Kanaya.

***

Senyum riang tercetak jelas di bibir Kanaya ketika matanya menangkap keberadaan Herzkiel yang sedang bersandar di pintu mobil halaman depan rumahnya. Gadis itu melambaikan tangannya sebelum menghampiri Herzkiel.

Herzkiel tersenyum, lalu mengulurkan tangannya untuk menyelipkan helaian rambut Kanaya ke belakang telinga. "Cantik," pujinya secara terang-terangan kemudian.

Sepertinya Herzkiel sengaja melakukan itu hanya untuk melihat telinga Kanaya berubah warna menjadi kemerahan akibat salah tingkah.

"Kak Kiel!" Sungut Kanaya kesal sebelum menutupi telinganya kembali dengan rambut.

Herzkiel terkekeh geli sembari membukakan pintu untuk kekasihnya. Cukup sudah, ia tidak ingin kejahilannya malah merusak mood Kanaya.

"Hati-hati," katanya sembari meletakkan tangannya di dekat handle mobil agar kepala Kanaya tak terantuk.

Setelah memastikan Kanaya aman dan nyaman, barulah ia menyusul masuk ke kursi kemudi. Keduanya saling bertatapan cukup lama sebelum tertawa tanpa sebab secara bersamaan.

"Aku nggak nyangka ini baru kencan yang kedua, padahal kita udah pacaran hampir satu tahun." Kanaya menggeleng-menggelengkan kepalanya keheranan. "Pokoknya, besok-besok kita harus lebih sering ya, Kak?"

Herzkiel menanggapinya dengan anggukkan ringan. Besok-besok? Apakah mungkin masih ada hari esok untuknya berkencan bersama dengan Kanaya? Ck, ia ragu.

"Kamu suka bunga, Na?"

Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Kanaya mengernyitkan dahinya bingung. Namun, tak sampai lima detik menggerakkan kepalanya untuk mengangguk.

Herzkiel menggerakkan tangannya untuk meraih sesuatu di kursi belakang, lalu ketika benda yang ia inginkan tergapai, ia langsung memberikannya pada Kanaya.

Ketika menerimanya, Kanaya terlihat begitu senang dan terharu hingga tanpa sadar telah menjerit kegirangan dan membuat Herzkiel yang duduk di sebelahnya terperanjat kaget.

"Kakak ini bagus banget tau!"

Herzkiel lega, ternyata mencontek buku harian Kanaya ada manfaatnya juga.

*

*

*

Mobil Herzkiel terparkir cukup lama di suatu kafe unik yang dimana di dalamnya berisikan berbagai macam jenis kucing dari belahan dunia. Ya, menurut contekannya, Kanaya pernah berharap diajak berkencan ke kafe kucing karena gadis itu sangat menyukai jenis anabul tersebut, sayangnya karena sang ibu menderita rhinitis alergi, Kanaya jadi tidak bisa memelihara kucing.

Herzkiel tak kuasa menahan senyumannya tiap kali Kanaya tertawa karena merasa terlalu senang. Tawa gadis itu berhasil membuatnya hampir lupa bahwa hari ini akan menjadi hari terakhir mereka menghabiskan waktu bersama.

"Ahh... kamu lucu banget, gemesh pengen bawa pulang!"

Kanaya menguyel-nguyel pipi berisi milik seekor kucing jenis british shorthair yang sejak tadi menarik perhatiannya.

Kanaya tertawa keras ketika melihat interaksi Herzkiel bersama seekor kucing berwarna kuning-putih. Kucing tersebut terlihat risih dengan cara Herzkiel membelainya dan lucunya, Herzkiel malah mengira hewan tersebut menyukainya.

"Dicakar, Na..."

Herzkiel menunjukkan punggung tangannya yang berdarah karena ulah kucing garang tadi. Bukannya turut prihatin, Kanaya malah semakin mengeraskan tawanya dan membuat Herzkiel kebingungan.

"Mungkin love language kucingnya act of service Kak, bukan physical touch," ujar gadis itu ngawur.

Herzkiel manggut-manggut menanggapinya. "Kalau kamu, Na?" Tanyanya kemudian.

Niat Herzkiel mungkin memang bukan untuk menggoda kekasihnya, tetapi entah mengapa pertanyaan itu berhasil membuat telinga Kanaya kembali panas.

"Ehh... nggak tau," sahutnya salah tingkah.

Usai merasa puas berinteraksi dengan para kucing, Kanaya dan Herzkiel pun memutuskan untuk menyudahinya dan pergi ke suatu restoran yang jaraknya tak terlalu jauh dari sana. Namun, sebelum itu, keduanya pergi ke kassa untuk membayar.

"Totalnya Rp200.000,00, Kak."

"Kalau sama anak kucing yang itu jadi berapa?" Tunjuk Herzkiel ke arah anak kucing yang sebelumnya menarik perhatian Kanaya.

"Ehh... kebetulan kami nggak jual—"

"Rp50.000.000,00 kasih?" Potong Herzkiel yang membuat bola mata Kanaya hampir melompat keluar dari tempatnya.

"Kami siapkan dengan kandang angkutnya segera, Kak," kata sang kasir sigap.

"Apa bisa diantar langsung ke alamat ini?" Herzkiel menuliskan alamat rumah Kanaya.

"Kak, aku nggak bisa pelihara kucing, soalnya Bunda alergi." Kanaya buru-buru menolak dengan segala alasan yang memungkinkan. Gila saja! Harga kucing itu bukannya murah.

"Yaudah, kalau gitu ke sini." Herzkiel mengganti alamat rumah Kanaya menjadi alamat rumahnya.

"Kak,"

Kanaya memberengut protes, tetapi Herzkiel mengabaikannya dan malah menggesek kartunya untuk membayar.

Ketika keduanya sudah berada di dalam mobil, Kanaya langsung memukul bahu Herzkiel ringan dengan alis yang menukik. "Kakak, itu tuh, bukan daun, itu uang! Kakak nggak boleh main buang-buang uang gitu aja tau!" Omelnya.

"Aku nggak buang, aku beli buat kamu, Na."

"It cost almost $3.200, Kak."

Herzkiel memasang safety belt-nya dengan santai, lalu menatap Kanaya dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. "Really? Damn, I thought it was expensive."

It was?

Kanaya langsung tidak bisa berkata apa-apa. Perdebatan mereka pun terpaksa berakhir dan dimenangkan oleh Herzkiel.

Sepanjang menempu perjalanan dengan mengendarai mobil, tangan Herzkiel dan Kanaya tak pernah terlepas. Kelihatannya mereka berdua sama-sama tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun.

Mobil Herzkiel terparkir di basement suatu hotel mewah yang ada di Jakarta. Pria itu mengajak Kanaya turun, lalu membawanya ke restoran yang ada di dalam gedung hotel tersebut. Kelihatannya Herzkiel sudah memersiapkan semuanya. Buktinya, beberapa pelayan, koki, beserta manejer hotel tersebut menyambut kedatangannya dengan sangat baik.

"Duduk, Na," perintahnya karena Kanaya belum juga mendudukkan diri padahal dirinya sudah menarik kursi untuk gadis itu.

"Makasih, Kak."

Herzkiel mengangguk singkat, sebelum ikut duduk di hadapan Kanaya. Pria tersenyum melihat kekasihnya tampak kagum dengan nuansa hotel yang sengaja ia siapkan spesial untuk Kanaya. Ya, semuanya memang terlihat begitu mudah bagi Herzkiel sebab hotel tersebut kepunyaan ayahnya.

"Aku pikir hal-hal kayak gini cuma ada di drama-drama tau."

Kanaya berkomentar ketika seorang pelayan mengantarkannya sebuah kue tiramisu dengan sebuah beludru yang di dalamnya berisikan kalung.

Herzkiel terkekeh geli mendengarnya. Pria itu bangkit dari kursinya, lalu mengambil dan memasangkan kalung tersebut di leher jenjang Kanaya.

"Mungkin cincin bakal terlihat lebih romantis, but I think it will be too fast, isn't it?" Bisiknya yang membuat wajah dan telinga Kanaya kompak memerah.

"Infinity?" Kanaya menyentuh manik perhiasan tersebut.

"Infinity is forever, and that is what you are to me, kamu adalah selamanya bagi aku, Na..."

Kanaya buru-buru mengambil tisu yang ada di atas meja, lalu menghapus air matanya sebelum jatuh dan menghancurkan make up yang ia gunakan.

Gadis itu terkekeh ringan. "Kenapa Kak Kiel bertindak terlalu manis hari ini? Apa karena sebentar lagi kita ldr? Kalau iya, please stop right here karena aku takut nggak akan sanggup ngelepas Kakak pergi nantinya."

Herzkiel meraih tubuh Kanaya untuk masuk ke dalam dekapannya, berusaha menenangkan perasaannya gadis itu agar berhenti menangis.

"Maaf karena aku harus ninggalin kamu."

Kanaya menggeleng cepat. "Bukan masalah, selama akhirnya Kak Kiel kembali ke aku."

Kembali?

Apakah itu memungkinkan?

Notifikasi pesan yang berasal dari ponsel Kanaya membuat mereka terpaksa menguraikan pelukan dan kembali duduk di kursi masing-masing.

Herzkiel memerhatikan gerak-gerik Kanaya yang mulai terlihat gelisah. Tentu saja ia tahu siapa penyebabnya. Herzkiel merasa kecewa, tetapi ia sudah memersiapkan dirinya sehingga rasa sedihnya tidak berlebihan, lagipula kecewa sudah menjadi makanan sehari-harinya sejak menjalin hubungan dengan gadis itu.

"Kalau ada sesuatu yang genting kamu nggak perlu ragu untuk pergi, Na."

Kanaya mematikan layar ponselnya, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak ada yang lebih penting dan genting daripada acara kita hari ini."

Herzkiel tersenyum. Walaupun ia tahu apa yang dikatakan Kanaya tidak benar-benar berasal dari lubuk hati, Herzkiel akan tetap berusaha untuk menghargainya.

Ketika acara makan malam mereka dimulai, tatapan Kanaya tak lepas dari kaca yang ada di sebelahnya. Bagaimana tidak, langit malam telah menunjukkan tanda akan datangnya hujan, dan memikirkan Abhim yang mengharapkan kehadirannya di sana sungguh membuat perasaannya jadi tak tenang.

"Hujan," lirih Kanaya ketika gerimis mulai membasahi kaca.

Pada akhirnya Herzkiel memutuskan untuk membatalkan acara mereka untuk menonton pertunjukan kembang api. Alasannya karena hujan deras yang tak memungkinkan sehingga keduanya kini sudah berada di dalam mobil.

Alis Kanaya refleks tertaut ketika Herzkiel melaju ke arah yang bukan untuk ke komplek perumahan mereka.

"Kita mau kemana, Kak?"

Herzkiel tak menjawab, pria itu hanya fokus menyetir dengan kuku jari yang memutih akibat terlalu kuat mencengkram stir mobil, berusaha menetralisir perasaan aneh yang menyerang dadanya.

"Kak?"

Kanaya kembali menatap Herzkiel ketika mobil milik pria itu tiba-tiba saja berhenti di dekat taman, tempat dimana Abhim memintanya untuk bertemu beberapa waktu lalu.

Herzkiel menyodorkan sebuah payung ke arah Kanaya, dan barulah tatapan keduanya bertemu.

"Lakuin apa yang kamu mau, Na. Aku benci melihat kamu berusaha untuk membohongi diri kamu sendiri."

"Kak Kiel..."

Kanaya menggeleng menolak dengan mata yang berair.

Herzkiel menghela napasnya berat, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi gadis itu sebelum mengelusnya lembut.

"I'm okay. Just go," ujarnya berusaha meyakinkan.

Kanaya mengangguk, lalu keluar dari mobil tersebut dengan gerakan yang terburu-buru, membuat hati Herzkiel semakin teriris dibuatnya.

Ah, Kanaya rupanya memang belum bisa melupakan Abhim. Herzkiel memang sudah menebaknya sejak awal, tetapi tetap saja kenyataan itu membuat dirinya hancur.

Suara percikan air yang berasal dari langkah kaki Kanaya membuat Abhim yang sejak tadi duduk termenung di kursi taman mulai mengangkat pandangannya dengan penuh harapan.

"Lo ngapain?"

Belum sempat terucap sepatah kata, Kanaya sudah menyerocos lebih dahulu dengan nada ketusnya.

"Nunggu lo," jawab Abhim.

"Lo bercanda?"

"Apa gue kelihatan lagi melawak?" Pria itu terlihat menyedihkan karena basah kuyup.

"Gue harap gitu." Kanaya menguatkan pegangannya pada gagang payung. "Kenapa lo harus berpura-pura tulus dan ngebuat gue goyah?" Tanyanya lirih dengan air mata yang menetes.

Abhim menatap Kanaya cukup lama sebelum memutuskan untuk melangkah maju dan mengambil salah satu tangan Kanaya untuk ia genggam.

"Mulai sekarang biar cinta gue yang nggak berbalas. Sama seperti lo yang menyukai gue, gue bakal menyukai lo lebih dari itu dan bahkan lebih lama... tapi seperti gue yang pada akhirnya balik mencintai lo, tolong kembaliin cinta itu ke gue."

| TO BE CONTINUED |

Have nothing to say. Aku kecewa karena kalian semakin males komen padahal komen itu yang ngebuat aku semangat untuk update.

✨ Extra Photocard ✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top