28. Antara Dua Hati

"We never get the chance to try and what makes it worse is you would have loved me if you met me first."
~
ERIC ETHRIDGE
_____________________________

ADA beberapa hal yang sebenarnya membuat Herzkiel dan Kanaya merasa penasaran, dan di sinilah mereka sekarang, di ruang rawat inap milik Herzkiel, berkumpul bersama dengan Magenta dan Tristan.

"Jadi, dia sering mampir ke klub lo?" Magenta menatap Tristan dengan alis yang bertaut.

Ya, orang yang pertama kali tahu perihal rencana busuk David dan Rachel adalah Tristan. Sejak awal bertemu dengan Rachel, Tristan merasa tidak asing, pria itu seperti pernah bertemu dengan Rachel paling tidak satu kali dalam seumur hidupnya.

Benar saja, Rachel merupakan seorang pelayan di salah satu cabang klub malam miliknya. Tristan cukup jarang pergi ke sana, tetapi ia tahu bahwa David adalah pelanggan tetapnya.

Keduanya terlibat hubungan friends with benefits, setidaknya itu yang Tristan dengar dari pekerja di sana.

"Tapi, lo nggak pernah pake dia, kan?"

Pertanyaan bar-bar Magenta membuat Tristan melotot tidak terima. "Jangan sembarangan kalau bicara. Gue cuma gituan sama adek lo."

"Bangga lagi si Anjing," dengus Magenta.

Herzkiel menghela napasnya dalam. Kedua pria di depannya ini memang belum bisa disatukan. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menyudahi pembicaraan mereka. Pasalnya, ini juga sudah menunjukkan pukul 06.30 dan Herzkiel khawatir ketiga orang yang disayanginya itu akan terlambat masuk sekolah.

"Tolong jaga Kanaya selama gue nggak di sekolah," katanya sembari menatap Magenta dan Tristan secara bergantian.

Tristan mengangguk mantap, lalu bangkit dari posisi duduknya, mengulurkan tangannya untuk mengajak Kanaya untuk segera pergi bersamanya.

"Aku nggak boleh di sini aja, ya?" Kanaya menggigit bibir bagian bawahnya ragu.

Herzkiel menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Sesungguhnya mana mungkin Herzkiel tidak mau Kanaya menemaninya di ruang rumah sakit yang cukup membosankan ini? Hanya saja, ia tidak mau gadisnya melewatkan pelajaran-pelajaran penting yang mungkin akan diterangkan oleh para guru hari ini.

Tak punya pilihan lain, Kanaya pun pada akhirnya menyambut uluran tangan Tristan, membiarkan bahunya dirangkul oleh pria itu dengan santai. Inilah Tristan, sang playboy yang juga memiliki love language berupa physical touch.

"Jagain cewek gua," bisik Herzkiel pada Magenta ketika Tristan dan Kanaya hampir keluar dari ruangan tersebut.

Magenta terkekeh melihat keposesifan Herzkiel yang terpampang nyata. Pria itu pun mengangguk mantap, lalu menepuk lembuh bahu sahabatnya.

"Tolong jaga El juga, gue tau dia lebih butuh lo ketimbang gue yang notabenenya kakak dia sendiri."

"Hm."

*

*

*

"Okay, ada lima hal yang perlu lo jelasin ke gue sekarang juga."

Kanaya menatap Juan dengan pandangan lunglai, ia memang cukup lelah karena semalaman tidak tidur demi menemani kekasihnya berceloteh dengan Magenta dan Tristan.

"Can I spill it now?" Tanya Juan yang terlihat tak sabaran.

Kanaya menganggukkan kepalanya.

"Kenapa dia sama dia ada di sini?" Tunjuk Juan ke arah Magenta dan Tristan yang sedang asyik bermain kartu remi bersama teman-teman sekelas Kanaya. "Terus, kemana dua orang ini?" Tanyanya pula sembari menunjuk dua bangku kosong di belakang mereka, tempat Abhim dan Rachel biasa duduk.

Kanaya menatap Magenta dan Tristan secara bergantian sebelum menghela napasnya gusar. Menjaga yang dimaksudkan oleh Herzkiel sepertinya salah ditangkap oleh kedua mahluk itu. Buktinya, Magenta dan Tristan terus-menerus mengikuti gadis itu walaupun Kanaya hanya ingin pergi ke toilet.

Kanaya sedikit berharap ada guru yang menegur keduanya. Namun, tampaknya tak ada guru yang berani, apalagi itu sudah menyangkut urusan AS3, donatur terbesar di sekolah tersebut.

"Disuruh Kak Kiel," jawab Kanaya seadanya.

Juan menepuk tangannya satu kali, kemudian membekap mulutnya dengan bola mata yang hampir akan melompat keluar. "Ihh... nggak nyangka, cowok lo so sweet juga, ya."

Kanaya manggut-manggut dengan lemah. Memang benar, Kanaya tidak menyangka Herzkiel akan bersikap berlebihan, atau mungkin teman-temannya lah yang berlebihan?

"Btw, cowok lo kemana?" Tanya Juan lagi.

"Masuk rumah sakit."

"Kok, bisa?!" Juan bangkit dari duduknya saking terkejutnya.

"Nanya sekali lagi gue gampar lo."

Magenta yang rupanya diam-diam telah menguping pembicaraan keduanya pun turun tangan. Bukan apa, ia hanya takut Kanaya akan menyebarkan bahwa dirinyalah yang menyebabkan tangan Herzkiel terluka.

"Eh, iya, iya, Kak."

Nyali Juan ciut seketika.

Magenta memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Rupanya pukul telah menunjukkan waktu 12.00 tepat. Magenta mencekal tangan Kanaya, lalu membawanya untuk segera keluar dari kelas, tentunya bersama dengan Tristan yang menyusul keduanya dari belakang.

"Makan."

Kanaya menatap sepuluh piring yang dipenuhi dengan menu yang berbeda-beda dari kantin. Mulutnya sedikit menganga karena terkejut, ia juga merasa sedikit malu karena diperhatikan oleh orang-orang yang berada di sekitar sana.

"Kakak nggak makan juga?"

Kanaya menelan ludahnya tak sanggup jika harus menghabiskan semua makanan itu sendirian.

"Makan, kok, tapi tetep aja ladies first..."

Tristan tersenyum manis sembari mengelus pucuk kepala Kanaya, membuat para penggemarnya yang melihat menjerit tidak terima.

Pada akhirnya, mereka bertiga makan memulai acara makan dalam keheningan. Tristan duduk di sebelah Kanaya, sedangkan Magenta duduk di depan keduanya. Agaknya Magenta kehilangan napsu makannya, terbukti dengan caranya memainkan kuah batagor yang harusnya ia makan.

"Lo tau Kiel bakal lanjut kuliah di luar?"

Pertanyaan itu tiba-tiba saja lolos dari mulut Magenta setelah ia tahan-tahan sejak tadi pagi.

"Gen!"

Tristan berseru dengan raut wajah tak suka. Ini seharusnya menjadi rahasia di antara mereka bertiga. Namun, Magenta malah membocorkannya begitu saja. Herzkiel bahkan belum 24 jam memberitahu mereka perihal kabar itu.

"Gue cuma ngerasa lo perlu tau tentang ini. You're his girlfriend, anyway."

Magenta kemudian melanjutkan makannya dengan santai, membiarkan Kanaya termenung dengan gejolak pikiran dan hatinya sendiri.

***

"Sayang sekali, jika dilihat dari tingkat keparahannya, telapak tangan Anda tidak akan bisa beraktivitas normal seperti sedia kala meskipun melakukan rehabilitasi."

Bahu Herzkiel melemas. Ia menatap tangan kanannya yang masih dibalut oleh perban pasca melakukan operasi. Sejak awal ayahnya memang sudah memberitahu bahwa luka di tangannya kemungkinan akan membawa kecacatan ringan seumur hidup, dan Herzkiel harus menghapus keinginannya untuk menjadi seorang dokter spesialis bedah saraf. Namun, Herzkiel tidak percaya begitu saja dan memilih untuk berkonsultasi sendirian pada dokter ortopedi.

"Saya tau hal ini berat untuk Anda terima, tetapi saya harap-"

"Walaupun saya memberi semua uang yang saya punya, apa Dokter tidak bisa mengembalikan tangan saya seperti semula?"

Terlihat dari raut wajahnya bahwa Herzkiel tidak mampu menerima kenyataan itu. Ia merasa masa depannya hancur.

"Maaf..."

Ketika dokter ini menundukkan wajahnya, di saat itu pula Herzkiel bangkit dari duduknya dan keluar dari ruang konsultasi tersebut.

Amarah yang menyelubungi dadanya membuat Herzkiel merasa sesak. Ia perlu keluar dari gedung bernuansa putih itu sesegera mungkin. Namun, langit seperti tidak menghendaki keinginannya. Hujan gerimis tiba-tiba terjadi begitu saja dan memaksa Herzkiel untuk menghentikan langkah kakinya.

Ralat. Bukan rintik hujan yang membuat Herzkiel memilih untuk diam di tempat, melainkan sosok Abhim yang sepertinya akan segera menghampirinya dari kejauhan.

Merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan pria itu, Herzkiel pun memutar tubuhnya dan memilih untuk lekas masuk ke dalam ruang rawat inapnya. Namun sayang, Abhim sudah lebih dulu menahan bahunya dan memaksanya untuk bertatap wajah.

"Emosi gue lagi nggak stabil, lebih baik lo pergi," usirnya terang-terangan.

Abhim mendapati tangan sebelah kiri Herzkiel terkepal kuat ketika menatap maniknya. Tanpa tahu malu, pria itu pun tersenyum miring dan bertanya, "Kalian putus?"

Herzkiel menghela napasnya gusar. Ia tidak mau masuk ke dalam jebakan Abhim. Oleh karena itu, ia menjauhkan tangan pria itu dari bahunya, lalu kembali memutar tubuhnya seperti semula.

"Kenapa lo harus selalu nahan emosi dan berpura-pura jadi malaikat penyelamat untuk Naya?"

Kanaya. Nama itu seharusnya tidak patut disebut oleh Abhim. Pria itu seharusnya malu dan merasa bersalah karena akibat ulahnya Kanaya hampir saja kehilangan kehormatannya.

Abhim masih memasang senyuman miringnya ketika Herzkiel memutar tubuh dan berjalan mendekatinya.

Bugh!

Abhim jatuh tersungkur hingga bokongnya mengenai tanah yang basah dengan kasar. Beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitar sana menjerit kaget, sama kagetnya seperti Abhim yang tidak menyangka akan mendapat pukulan dari Herzkiel.

Tanpa kesulitan, Abhim bangkit dari posisinya dan kembali tersenyum miring ketika mengamati Herzkiel yang sedang mengatur napasnya, mungkin merasa nyeri pada daerah tangannya yang masih terluka.

"Kenapa? Naya bilang, dia suka sama gue lagi?"

Herzkiel menatap Abhim kesal, pria satu ini tampaknya tidak jera juga setelah diberi pukulan yang cukup kuat.

"Sialan!"

Pukulan kedua hampir saja mengenai wajahnya jika Abhim tidak buru-buru menahan tangan Herzkiel.

"Jangan keterlaluan, gue cuma biarin lo mukul gue satu kali."

Abhim melayangkan tinjunya, tetapi secepat itu pula Herzkiel melepaskan diri dan menghindar.

"Entah Kanaya suka sama lo ataupun enggak, dia nggak boleh berakhir sama lo."

Herzkiel mengepalkan tangannya yang terasa begitu nyeri karena terlepas dari kain penyangga sehabis memukul wajah Abhim.

"Mungkin gue bisa ngerelain dia untuk cowok lain, tapi bukan lo..."

Abhim tertawa remeh. "Lo siapa bisa mutusin semua itu? Apa hak lo, hah?!"

"Karena lo orang yang selalu ngebuat dia nangis selama bertahun-tahun, lo bahkan nggak tau betapa berharganya perasaan Kanaya."

Raut wajah Abhim berubah pucat mendengar pernyataan Herzkiel yang bagaikan tamparan keras untuknya.

Pria itu menundukkan wajahnya sesaat sebelum mendongak kembali dengan tangan yang terkepal. "Sekarang gue tau, jadi gue bakal menjaga dan menghargai dia!"

Bugh!

Kali ini satu pukulan mengenai wajah Herzkiel. Semua orang dapat mengamati betapa kuatnya tubuh Herzkiel ketika pria itu terlihat tidak goyah sama sekali dan malah berhasil meraih dan mencengkram kerah kemeja Abhim.

"Menjaga? Menghargai? Jangan buat gue ketawa!" Herzkiel mengguncang tubuh Abhim kuat. "Dia bahkan hampir kehilangan keperawanannya karena kebodohan lo," desisnya dengan suara kecil agar tidak dapat didengar oleh orang lain selain Abhim.

"Maksud lo apa?"

Abhim mengerutkan dahinya tidak mengerti. Namun, Herzkiel enggan menjawab dan malah menjauhkan diri dari pria itu.

"Maksud lo apa bilang gitu, hah?!"

Abhim berusaha menahan kepergian Herzkiel. Namun, tindakannya itu malah membuat tiga insan yang baru saja tiba salah paham.

"Kak Kiel?!"

Kanaya menatap Herzkiel dan Abhim secara bergantian, lalu buru-buru menghampiri keduanya tanpa memedulikan dirinya yang terkena hujan akibat keluar dari pengawasan payung yang Tristan pegang.

"Lo ngapain di sini, Bhim?"

Kanaya begitu khawatir ketika melihat pelipis Herzkiel mengeluarkan darah segar. Ia bahkan mengabaikan darah yang juga mengalir dari ujung bibir Abhim.

"Gue tanya lo ngapain di sini?!"

Tidak mendapat jawaban, Kanaya pun menguatkan nada bicaranya. Jika sudah begini, jelas-jelas saja Kanaya akan mengira Abhim yang memulai semuanya duluan, walaupun memang benar.

"Gue cuma perlu bicara sesuatu-"

"Bicara sesuatu sampai harus ngelukain orang? Gitu?!"

Abhim terdiam.

"Ayo, balik ke kamar, Na."

Kanaya menghentikan niatnya untuk kembali memarahi Abhim ketika mendengar Herzkiel meringis kesakitan akibat rasa nyeri di bagian tangannya. Tak punya pilihan lain, Kanaya pun lekas membawa Herzkiel pergi dan meninggalkan Abhim seorang diri.

Setibanya di dalam ruang rawat inap Herzkiel, Kanaya membawa pria itu untuk segera duduk di sofa, lalu mengamati luka di pelipisnya dengan saksama.

"Wajah Kakak kenapa? Kenapa bisa sampai kayak gini, sih?

Ketika hendak menyentuh luka yang ada di wajah Herzkiel, tangan Kanaya pun ditahan oleh sang empu.

"Bukan apa-apa, cuma luka kecil."

Hal itu sengaja Herzkiel lakukan karena tidak ingin membuat kekhawatiran Kanaya semakin menjadi-jadi. Herzkiel merupakan orang yang perhatian, maka dari itu ia tahu bahwa saat ini gadisnya sedang menahan air mata.

"Maaf, aku tadi keterlaluan..."

Kanaya menggigit bibir bawahnya, tidak kuasa untuk menahan air matanya lagi ketika melihat wajah Herzkiel malah diselimuti oleh rasa bersalah.

"Luka kecil apanya?"

Setetes air mata lolos dari mata sebelah kiri Kanaya.

"Gimana bisa Kakak malah khawatirin perasaan aku sekarang? Kakak nggak marah?" Oceh gadis itu.

Bukannya membalas, Herzkiel malah terdiam dengan sebuah senyuman.

"Kakak seharusnya marah sama aku," kesalnya hingga menghentakkan kakinya sekali ke lantai, "aku itu pacar Kakak, tapi aku selalu nyakitin Kakak. Aku juga nggak bisa menjaga hati aku dan goyah setiap saat..."

Kanaya menghapus air mata yang membanjiri pipinya secepat kilat, lalu menatap mata Herzkiel kembali untuk mengeluarkan semua unek-unek yang tersimpan di hatinya selama ini.

"kalau aku begitu, Kak Kiel harusnya marah dan berdebat sama aku."

Herzkiel menarik Kanaya untuk masuk ke dalam dekapannya ketika ia tahu air mata gadis itu akan kembali mengalir dengan deras. Ia ingin menjadi penenang bagi Kanaya yang saat ini sedang membenci dirinya sendiri.

"Hm, aku bakal inget itu..."

Herzkiel mengusap rambut Kanaya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

"mulai sekarang aku bakal marah. Jadi, jangan sedih lagi, ya."

| TO BE CONTINUED |

Kali ini lumayan cepet kan, updatenya? Hayo, jangan pada males vote dan komentar, nanti Thor jadi ikutan males buat update loh😏

Sekalian nih, mau tanya kalian pada masuk tim yang mana.

1. Tim Kiel

2. Tim Abhim

✨ Extra Photocard ✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top