38 || Canggung
Meminjam konsep milik John Dewey—filsuf dan psikologis asal Amerika, "Kita tidak belajar dari pengalaman. Kita belajar dari reflektif pada pengalaman." Jadi kurasa, itulah yang sedang kami lakukan saat ini.
Manda pun sama. Seusai makan, ia menjadi sosok yang lebih pendiam dan pemikir daripada biasanya. Wanita itu kemudian memakai kacamatanya lagi lalu beranjak untuk keluar dari ruangan, katanya ingin bertemu dengan Jean (anjing Husky miliknya kalau kau lupa) di luar. Mungkin ia juga sekalian ingin mencari angin segar.
Jadi, di sini tersisa aku, Jason, kedua Ran, dan Chris yang tertidur panjang.
Kedua Ran juga tidak banyak bicara. Mungkin mereka semua memang butuh waktu untuk berpikir, "Sebenarnya, apa yang sedang kita lakukan dan inginkan?"
Maka, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena toh, aku juga tidak tahu. Kita sudah menghancurkan tatanan semesta, kita sudah bertindak melewati peran-peran yang sudah ditakdirkan, makanya hidup kita menjadi lebih rumit daripada orang-orang. Dan, ini konsekuensi. Ini harga yang harus dibayar karena kita sudah melalui batas-batasnya.
"Jadi, sekarang ... kita harus bagaimana?" tanya Jason memecah keheningan.
"Kita harus menggunakan lubang cacing itu lagi," ucapku selanjutnya.
"Bagaimana soal robot-robot itu?"
Aku diam.
Lalu, aku menyadari kedua Ran jadi memandangiku dengan tatapan penuh tanya ketika aku tidak bisa menjawab.
"Aku meragukan robot-robot itu," kataku.
Ran Muda jadi ikut bergabung. "Ragu bagaimana?"
Aku mendesah. Bingung ingin menjawab apa.
"Nanti kita akan tahu."
***
Sore itu, aku mencoba melepas diri dari semua hal yang membuatku stress (baca: berhenti penasaran dengan data-data dari buku dan monitor).
Mungkin itu kenapa Francesco Cirillo, seorang mahasiswa dari suatu universitas, membuat teknik pomodoro pada tahun 1890 akhir agar dirinya bisa tetap merasa fokus dan tidak kelelahan secara mental ketika masa studinya. Yang mana, itu solusi yang sangat cerdas sekali! Jadi ketika kamu merasa lelah berkelanjutan karena beban pekerjaan atau pendidikan, teknik pomodoro bisa membantu dengan memberikan waktu untukmu beristirahat sejenak dari hal-hal yang memberatkan selama beberapa saat, lalu kembali mengerjakannya lagi ketika mentalmu sudah lumayan stabil.
Jadi kurang lebih, begitulah alasannya kenapa aku memilih keluar dari ruangan untuk jalan-jalan sore bersama Ran Muda. Kami ingin melepas penat, itu saja.
"Sayang sekali Jason dan dirimu dari masa depan tidak melihat ini," kataku berusaha keras untuk mencairkan suasana.
"Iya," kata Ran Muda.
Kami berjalan-jalan mengelilingi kota, melihat teknologi canggih itu bertebaran di sekeliling, seolah kami berdua sedang di film-film fiksi ilmiah yang sering Jason tonton. Luar biasa hebat.
Kondisi kota ramai orang-orang pulang bekerja. Mereka memakai setelan kerja yang rapi dan formal. Tapi tidak semuanya, ada juga beberapa remaja dan dewasa muda yang berjalan-jalan hanya untuk melihat-lihat seperti kami. Kadang mereka mampir ke suatu bangunan (mungkin itu mall), atau pergi membeli jajanan di toko-toko makanan yang berderet pada tepi jalan.
Di sini tidak ada langit senja yang indah, karena kubah di atas menutupinya. Tetapi, ada lampu-lampu menawan yang menirukan sinar-sinar oranye senja di luar kubah sehingga suasana petang itu tetap terasa.
Aku berhenti sejenak untuk melihat semuanya dengan saksama. "Rasanya seperti satu abad tidak pernah keluar rumah," ucapku sambil menarik senyum canggung kepada Ran Muda. "Derivea sangat indah."
Kemudian, laki-laki jangkung itu juga berhenti di sampingku. Lalu Ran Muda memandangku untuk balas menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum paling menenangkan yang pernah kulihat sambil menganggukkan kepala. "Iya, kamu benar."
Dan, entah kenapa jantungku berdegup keras.
Sial.
Apa ini? Apa aku sedang ada di tahap pubertas?
Kalau iya, astaga ... masa-masa seperti ini bukan waktu yang tepat untuk itu!
Aku semakin merutuk dalam hati ketika mata teduh milik Ran Muda masih mengarah kepadaku. Dan senyumnya pun sama, masih mengembang dengan hangat untukku. Sial. Sial. Sial. Kenapa aku tidak pernah memerhatikan pesona Ran Muda selama ini?
Eh, astaga.
APA YANG KUPIKIRKAN?
Aku menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran-pikiran aneh itu. Lalu menggaruk tengkuk dengan canggung. Aku bingung harus berbuat apa lagi sekarang. Tapi, daripada situasi berubah jadi semakin tidak terkontrol, aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
"Sudah lama tidak ngobrol denganmu, aku jadi agak ... bingung," tuturku, kehabisan akal. Bagaimana bisa aku terang-terangan mengatakannya?
Kami berjalan beriringan lagi. Dan, langkah kaki bergerak pelan-pelan. Tapi memang jantungku dasarnya kurang ajar, jadi ritmenya seperti habis lomba lari maraton tingkat dunia.
Ran Muda terkekeh. "Kamu lebih sering ngobrol dengan diriku dari masa depan."
Aku jadi ikut tertawa—tawa dibuat-buat yang sok anggun itu. "Benar juga."
Lalu kami sama-sama diam lagi. Dan aku jadi kebingungan lagi.
Ya ampun, bagaimana Ran Muda bisa berjalan dengan tenang begitu?
Aku menggigit bibir bagian dalam. Sepertinya jalan sore berdua dengan Ran Muda bukan keputusan yang baik, karena buktinya, kali ini aku jadi tidak fokus menikmati suasana kota Derivea. Fokusku malah semakin terganggu!
Ketika aku sibuk dengan isi kepalaku sendiri, tiba-tiba saja Ran Muda berteriak: "Awas!" Lalu merangkul pundakku untuk menunduk.
Mobil terbang rupanya melintas tepat di atas kepala kami.
Dan, aku berhenti bernapas untuk ke sekian detik.
"Kamu tidak apa-apa?" Ran Muda berdiri lagi seraya menarik kedua bahuku agar sejajar.
Aku, yang badannya masih sedikit meringkuk canggung, bukan takut, menaikturunkan kepala dengan gerakan robotik. "Aku baik-baik saja."
Ran Muda mengesah pelan sembari mengusap wajahnya. "Astaga ..." keluh laki-laki itu. "Tadi berbahaya sekali! Mobil itu sepertinya perlu dibawa ke bengkel agar tidak membahayakan pejalan kaki," gerutunya.
"I-iya ...."
"Jane?"
Aku tergagap. "Ah—i-iya?"
"Wajahmu ... kenapa?"
Rasanya seperti mau menangis. Aku langsung memegang kedua pipiku yang menghangat dan (pasti) merah merona seperti tomat rebus. Ya ampun, kenapa semuanya berjalan dengan tidak tepat?
"Sepertinya di sini panas, ya." Terserahlah, aku mencoba mengibaskan tangan ke arah muka untuk memeragakan akting kepanasan itu.
Kulihat ekspresi Ran Muda jadi semakin kebingungan. "Tidak sama sekali."
Dan, rasanya seperti tertangkap basah.
"Panas, kok. Aku sudah kepanasan." Jika berada di dalam situasi seperti ini, sungguh, kalau bisa aku ingin menghilang dari pandangannya. "Kurasa kita harus kembali. Kita harus mandi."
Ran Muda mengerjapkan mata.
"E—eh, maksudnya aku harus mandi." Aku berusaha nyengir dan tertawa sendiri seperti orang salah tingkah (padahal memang kenyataannya begitu). "I-iya aku harus mandi sendiri."
Astaga ....
Apa lagi yang baru saja kukatakan?
Seandainya aku bisa kabur dari situasi seperti ini. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top