[BoBoiBoy] Menuju Dunia Baru (Bagian 1)


Serial animasi & movie "BoBoiBoy" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Animonsta Studio

Timeline: Tak lama setelah "BoBoiBoy: The Movie"

Genre/Keterangan: Fantasy. Superhero. Drama. Friendship. Slight FangXYing pairing.


"Hhh ...."

"Apalah kamu ini, Fang? Dari tadi menghela napas terus?"

Fang menoleh malas ke arah kawan baiknya, BoBoiBoy, yang baru saja mengambil tempat duduk persis di kursi sebelah. Ia sendiri tengah duduk bertopang dagu di meja counter Kedai Kokotiam Tok Aba. Nasib baik kedai sedang sepi pengunjung. Kalau tidak, pastilah Ochobot sudah memprotesnya. Belum lagi Tok Aba, yang—untungnya—sudah pulang duluan. Ada urusan penting, katanya.

"Iya, lho. Nanti cepat tua, ma!"

Fang sudah tidak terlalu kaget lagi ketika tiba-tiba ada Ying, berdiri di samping kirinya. Arah yang berseberangan dengan BoBoiBoy. Dibandingkan kawan-kawannya yang lain, barangkali gadis beretnis China itulah yang paling senang memanfaatkan kuasanya di kehidupan sehari-hari. Sudah tak aneh lagi menyaksikan Ying tiba-tiba datang dan hilang. Kuasa manipulasi waktu, memang sangat berguna, 'kan?

"Kalau ada masalah, ceritakan sama kami."

Kali ini, Yaya yang datang. Mungkin tadi gadis berhijab pink itu bersama Ying, tetapi sedikit tertinggal di belakang. Fang melirik sebentar, melihat Yaya mengambil tempat duduk di samping BoBoiBoy.

"Nggak ada apa-apa, 'kok," Fang menyahut juga, nyaris ketus. Terdengar cukup defensif di telinga BoBoiBoy.

"Kamu ... lagi badmood, ya?" tanya sang penguasa tujuh elemen.

Fang menghela napas sekali lagi. Ia lantas bangkit dari kursinya. "Sori, aku lagi males ngomong. Aku pulang duluan. Bye."

"Fang ...?"

Ucapan BoBoiBoy terputus. Fang mengacuhkannya dan pergi begitu saja.

"Kenapa anak itu?" tanya Ying sambil duduk di kursi yang tadi ditempati Fang. Masih hangat.

"Entahlah." BoBoiBoy ikut-ikutan menghela napas.

"Jangan-jangan dia menyembunyikan sesuatu lagi?" Ying bicara terang-terangan. Plus memberikan penekanan pada satu kata terakhir.

BoBoiBoy dan Yaya saling pandang sejenak.

"Sudahlah, jangan berpikir yang tidak-tidak," kata Yaya kemudian. "Mungkin dia cuma sedang butuh waktu sendirian."

Ying mengangkat bahu. "Eh, ke mana Gopal, BoBoiBoy?"

"Mau coba kedai yang baru buka di dekat rumah dia, katanya."

"Pasti ada potongan harga besar-besaran, 'kan?"

"Iyalah."

"Ha ha ha .... Dasar Gopal!"



Fang berbohong.

Dia sama sekali tidak berniat pulang ke rumah, malah berjalan tak tentu arah. Menurutkan ke mana kaki melangkah, sementara pikirannya mengembara. Bukan memikirkan apa-apa, hanya dipenuhi kecamuk yang tak jelas ujung pangkalnya. Pada akhirnya, anak muda berkacamata full-frame warna ungu itu resah sendiri. Penat pun menghentikan langkahnya.

"Eh? Di mana ini?"

Fang menyapukan pandang berkeliling. Ia ada di sebuah taman, yang di dekatnya ada kawasan pertokoan. Bukan tempat yang familier baginya. Namun, sekilas ia mengenali salah satu kios jajanan di sebuah perempatan. Kalau tidak salah, Ying pernah mengajaknya ke sini sekali. Tepatnya, memaksa.

Fang menghela napas. "Ya sudahlah."

Mumpung ada di taman, Fang mencari pohon paling besar dan rindang yang ada di sana. Lantas rebahan di bawahnya, berbantal lengan, beralas rerumputan. Semilir angin menuntun Fang untuk memejamkan mata. Melupakan sejenak segala kegundahan yang menyesakkan.

Tadinya memang seperti itu niat Fang. Namun, nyatanya, suasana tenang justru membuat gundah enggan beranjak. Ia semakin menunjukkan eksistensi, beranak-pinak meracuni sanubari. Semakin dalam memejam, Fang semakin tenggelam dalam bayang-bayang yang beberapa waktu belakangan terus mengganggunya. Benar-benar racun! Sesuatu yang seharusnya tidak boleh ada!

Semua masih terukir jelas di dalam ingatan Fang. Saat-saat paling pahit yang pernah dialaminya selama berada di Pulau Rintis. Berada di Bumi. Kedatangan Pasukan Tengkotak, yang konon merupakan pemburu Sfera Kuasa terkuat di seluruh galaksi. Masa-masa suram nan menyakitkan. Bukan hanya baginya, tetapi juga teman-temannya.

Baru kali itu, dia merasa begitu tidak berdaya. Dihadapkan pada kekuatan yang sama sekali berbeda tingkatannya. Mereka semua dikalahkan dengan mudah. Bahkan BoBoiBoy. Baru kali itu juga, Fang melihat sahabat sekaligus rivalnya itu, dalam kondisi yang benar-benar hancur. Di luar, dan di dalam. Puncaknya adalah ketika mereka semua hampir kehilangan Ochobot untuk selamanya.

BoBoiBoy menangis. Dia yang biasanya selalu tersenyum, walau dihadapkan pada situasi seperti apa pun, saat itu menangis.

Akan tetapi, BoBoiBoy mampu bangkit kembali. Meskipun luka merajam raga. Walaupun airmata mengalir dari jiwa yang berduka. Dia tetap bangkit lagi, walau jatuh berkali-kali. Seperti pahlawan sejati. Ya .... Memang begitulah dia. Matahari akan selalu menjadi matahari, tak peduli rembulan menghalangi cahayanya sampai ke Bumi.

Di saat terdesak, di waktu kesedihan memuncak, BoBoiBoy mendapatkan kekuatan baru. Melebihi—bahkan jauh melebihi—kekuatan sebelumnya. Blaze dan Ice, Thorn dan Solar. Semuanya bangkit di satu hari itu. Sang pengendali elemen telah melampaui batasan dirinya sendiri, sehingga mampu menggunakan Kuasa Lima, bahkan Kuasa Tujuh. Memecah diri sendiri menjadi lima, lalu tujuh sosok, dengan kekuatan yang berbeda-beda, yang sama hebatnya. Bukankah itu sangat amat luar biasa?

Fang tidak bisa tidak mengagumi kekuatan BoBoiBoy yang disaksikannya hari itu. Memangnya siapa yang tidak akan kagum? Kalau ada orang lain yang melihat, Fang berani bertaruh, mereka akan terpesona. Ia semakin menghormati BoBoiBoy sebagai kawan sekaligus rival. Ia—tentu saja—ikut senang dan bangga.

Hanya saja, rasanya ... sedikit kesepian.

Fang tersentak pelan. Ia membuka mata, melihat dedaunan menaunginya dari sinar mentari. Aah .... Langitnya jadi terhalang. Tunggu dulu .... Apa-apaan pemikiran tadi? Kesepian? Seorang Fang, kesepian? Ah, tidak! Pasti bukan itu! Gundah yang dirasakannya selama ini, pasti akibat perasaan yang lain.

Fang berdecak kesal tiba-tiba. Kalau bukan itu, pastilah jawabannya akan kembali kepada satu hal yang tak pernah ingin diakuinya. Racun yang ingin dibuangnya jauh-jauh.

Dia iri.

Memang, bukan cuma BoBoiBoy yang waktu itu mendapatkan kekuatan baru. Fang dan yang lainnya pun mendapatkan upgrade untuk kuasa mereka masing-masing. Akan tetapi ... tetap saja, rasanya tidak sebanding dengan kekuatan BoBoiBoy.

Fang mendengus, terdengar sinis. "Aku ini ... sahabat macam apa? Payah! Payah sekali ...."

Kemudian, sang pengendali bayang kembali membiarkan matanya terpejam.



"Fang! Ternyata benar kamu."

Suara enerjik perempuan nan familier itu membuat kedua mata Fang langsung terbuka. Sepasang iris amethyst memastikan bahwa sang pemiliknya tidak salah mengenali suara orang. Benarlah suara—sedikit—cempreng itu milik gadis berambut hitam yang penampilannya didominasi warna biru dan kuning.

"Y-Ying??" Fang tergeragap, sontak bangkit dan duduk. Ying yang melihat itu, langsung merasa lucu dan tertawa kecil. "Kenapa kamu ada di sini?"

"Lagi pengin jajan ini." Ying menunjukkan kantong kertas berwarna cokelat di tangannya. Di bagian depan paper bag itu ada logo yang sama dengan milik kios jajanan di perempatan jalan sana. "Kamu kenapa di sini? Katanya mau pulang ...?"

Fang mengalihkan pandang seraya berdecak samar. Bagaimanapun ketahuan berbohong itu tidak nyaman rasanya.

"Bukan urusanmu."

Ying mengenali nada defensif yang sama dengan yang sempat didengarnya di kedai Tok Aba, belum lama berselang.

"Hei .... Ngapain kamu?" Fang tergelitik ketika Ying tiba-tiba ikut duduk di atas hamparan rumput. Tepat di sampingnya.

"Apa? Memangnya taman ini punyamu?" Ying menyahut enteng. Sungguh pun ia menyadari nada memprotes dalam ucapan Fang.

"Cih."

Fang tidak berkomentar apa-apa lagi. Bahkan ia mendadak malas bergerak, apalagi bangkit dan pergi. Malas bicara, malas berdebat. Dia cuma ingin diam. Menenggelamkan diri ke dalam lautan emosi negatif yang ia tahu butuh pengakuan. Memeluknya, alih-alih menyangkalnya.

"Mau?" Ying menyodorkan paper bag di tangan kirinya ke arah Fang. Sementara tangannya yang lain sudah memegang sebuah donat. Plain sugar, tampaknya.

"Nggak usah. Makasih."

Fang kembali merebahkan diri. Bersiap memejamkan mata lagi. Pemuda berambut raven itu benar-benar sudah berniat untuk mengabaikan Ying sepenuhnya.

Masa bodoh!

"Aku belinya lumayan banyak 'kok, Fang."

Masa bodoh, Ying.

"Hmmm .... Kayaknya tadi ada donat lobak merah juga, deh ...."

Tiga patah kata itu akhirnya mampu menarik perhatian Fang. Donat lobak merah. Lebih daripada sekedar 'menarik perhatian' sebenarnya. Karena sanggup membuat pemuda itu langsung bangun dan duduk. Seutuhnya membuka mata.

"Mana, mana?" Fang bertanya antusias.

Ying terkikik geli. Ia dan tiga temannya yang lain sudah hapal di luar kepala, bagaimana tergila-gilanya Fang kepada kudapan yang bernama 'donat lobak merah'. Gadis itu mencarikan donat yang dimaksud dari dalam wadahnya. Lantas diserahkannya kepada Fang. Sekali lagi, Ying terkikik saat melihat Fang memakan jajanan itu dengan raut wajah bahagia. Segala sikap dingin dan jaim menguap entah ke mana.

"Coba kamu bisa sejujur itu mengatakan masalahmu."

Tiba-tiba kalimat itu terucap dari bibir Ying, membuat Fang terhenti dari dua-tiga gigitan terakhirnya. Senyum bodoh pun terhapus dari wajah sang pengendali bayang. Iris amethyst itu kembali menggelap, hingga Ying agak menyesali ucapannya barusan.

"Ah! Tadi aku juga beli ini."

Entah apakah bermaksud mengalihkan pembicaraan, Ying mengeluarkan dua botol minuman yoghurt dari kantong plastik kecil yang juga dibawanya. Fang menerima salah satunya dari Ying. Dalam diam, pemuda itu menghabiskan sisa donat di tangannya. Wajahnya tak lagi secerah tadi.

"Ini cuma pemikiranku, sih." Tampaknya, Ying masih berminat melanjutkan topik yang sudah telanjur terangkat. "Kurasa masalahmu ada hubungannya dengan kami. Atau setidaknya ... salah satu dari kami."

Kelihatan sejelas itu, ya?

Fang mendengus pelan, lantas menghias bibirnya dengan seulas senyum tipis. Sinis. Mengejek diri sendiri. Pemuda itu membuka botol minumannya, menyesap isinya dalam diam yang sama. Diam yang terbelenggu keengganan.

Ying agak kecewa dengan reaksi Fang yang tak sesuai harapannya. Namun, ia tidak mau memaksa. Kalau memang harus menunggu, dirinya akan menunggu sampai Fang mau bercerita dengan sendirinya. Berapa lama pun waktu yang diperlukan.

"Thanks sudah ditraktir."

Mendadak Fang bangkit. Kedua bola mata biru milik Ying, terus mengikuti pergerakan pemuda itu. Yang memunguti semua bekas makanan dan minuman di sekitarnya, termasuk milik Ying. Yang kemudian membuangnya ke tempat sampah tak jauh dari pohon.

"Lain kali aku yang traktir."

Ying memandangi punggung Fang yang bergerak menjauh. Ingin memanggil, tetapi ada sesuatu—entah apa—yang menahan lidahnya. Ying menghela napas pelan. Mengulas senyum yang terlihat sedikit sendu.

Tidak apa-apa. Fang itu kuat. Dia pasti akan baik-baik saja.



Fang tiba di lokasi yang dikenalnya. Jarak jauh telah membuat kakinya mengeluh minta istirahat. Sebenarnya, Fang bisa saja menciptakan elang dari bayangan, lalu menaikinya sebagai alat transportasi udara seperti biasa. Lebih praktis dan cepat, tetapi tidak dilakukannya. Entahlah, mungkin ia memang ingin berlama-lama di jalan.

Langkah Fang terhenti di depan sebuah bangunan terabaikan yang menampilkan kesan seram. Yang memang sukses menakuti siapa pun yang lewat di dekatnya. Sampai-sampai dijuluki sebagai Rumah Hantu. Yah ... setengahnya Fang juga bertanggungjawab soal itu. Padahal tadinya ia cuma berpikir tempat ini cocok untuk melatih kemampuannya dalam mengendalikan bayangan.

Fang memasuki rumah megah itu selagi tak ada yang melihat. Bukan berarti ia tinggal di sana. Mungkin ada juga yang mengira begitu—atau tidak, tetapi sebenarnya ia tidak berumah di situ. Tidak penting. Yang jelas, saat ini ia butuh tempat yang sepi dan takkan didatangi siapa pun.

Ada sesuatu yang ingin dilakukannya tanpa sepengetahuan orang lain. Apalagi sampai ketahuan teman-temannya. Satu kebohongannya yang dipergoki oleh Ying sudah cukup mempermalukan sekaligus merepotkannya hari ini.

Fang menapaki satu persatu anak-anak tangga yang menuju lantai dua. Rumah itu sama sekali tak berubah sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya ke sana. Besar, luas, terbengkalai. Kosong. Memang menyeramkan. Ditambah lembayung senja harus bersusah-payah menerobos celah apa pun supaya bisa masuk sampai ke dalam sini.

Fang mengacuhkan semua itu. Ia terus naik ke lantai dua. Terus, sampai langkahnya terhenti di depan dinding. Anak muda itu terdiam. Mendadak ragu, apa memang ini keputusan yang tepat?

Dengan perasaan seperti itu, dia mengaktifkan fungsi komunikasi di Jam Kuasa berwarna biru miliknya. Bukan kawan-kawannya yang dihubungi, tetapi orang lain. Praktis, 'kan? Dengan benda itu sekarang dia bisa berhubungan dengan seseorang nun jauh di sana.

Misalnya, Tim Kaizo.

Meskipun begitu, tangan Fang kembali terhenti sesaat sebelum menyentuh layar LCD jam itu. Ragu kembali membayang. Ia ingat betul, ketika terakhir kali berjumpa dengan Kapten Kaizo, dirinya sudah menolak tawaran untuk kembali bersama tim kecil itu. Dia lebih memilih kawan-kawan Bumi-nya.

"Ah ...."

Setengah melamun, jemari Fang tak sengaja mengulas layar sentuh Jam Kuasa-nya. Tampilan holografik muncul. Awalnya masih sedikit ada gangguan seperti TV rusak. Namun, sebentar kemudian, sebentuk wajah yang familier terpampang di sana. Paras yang menunjukkan kemiripan nyata dengan dirinya. Pun warna rambut yang sama. Hanya saja, garis-garis wajah sosok itu menunjukkan kedewasaan dari segi usia.

"Pang rupanya. Ada apa menghubungi kami?" pria yang gemar berpakaian serba biru itu, menyapa dari ujung sana.

"Kepencet."

Jawaban Fang yang nyaris tanpa berpikir, membuat lawan bicaranya menggeram kesal. Ekspresi yang sama pun tak ditutup-tutupi dari wajahnya.

"Kalau begitu, kuputus—"

"Jangan!" potong Fang. "Bercanda, Bang .... Maaf ...."

Kepanikan rupanya telah membuat Fang tanpa sadar bicara dengan nada yang terlalu santai dan personal. Roman muka pemuda itu sontak memerah, lantas ditundukkannya kepala karena malu. Sayang sekali, dia jadi tak sempat melihat senyum tipis di wajah Kaizo, kakak satu-satunya.

"Jangan menghubungiku kalau tidak ada yang penting," kata Kaizo saat Fang menegakkan kepalanya kembali.

"Baik, Kapten!" Fang menyahut khidmat. Lega karena tak merasakan kemarahan di dalam ucapan maupun gerak-gerik Kaizo.

Diam-diam, Fang bertanya-tanya, kenapa kakaknya bisa setenang itu? Mungkin mood Kaizo sedang bagus? Dan itu bisa terjadi jika dia sedang dalam keadaan santai, sambil makan sup lobak merah, misalnya. Itu memang makanan kesukaan sang kakak.

"Jadi ... ada apa?" Kaizo mengulangi pertanyaannya, mengejutkan Fang yang pikirannya sudah mulai melantur. "Jangan bilang kau menyesali keputusanmu waktu itu."

Sampai sekarang Fang masih heran, kenapa Kaizo sepertinya selalu tahu apa yang dipikirkannya. Selalu memahami kegelisahannya. Termasuk ketika ia diam, atau berkata bahwa dirinya 'baik-baik saja'.

Tiba-tiba terdengar Kaizo menghela napas pelan di seberang sana. "Kau ini memang tidak pernah berubah, ya."

Sekali lagi, Fang tertunduk.

"Aku ... tidak menyesal," katanya, masih menunduk. "Aku tidak pernah menyesal bisa bertemu dan bersama-sama dengan mereka. BoBoiBoy, Yaya, Gopal, Ying ... Ochobot ... semuanya .... Mereka memberikan banyak hal padaku di sini. Hal penting yang selama ini belum pernah kutemukan di mana pun."

Kaizo terus memandang dalam diam selama adiknya berbicara. Sama sekali tidak menyela.

"Hanya saja ... aku ...."

Fang tidak meneruskan ucapannya. Ia menunduk semakin dalam dengan tangan terkepal. Kaizo pun dapat menangkap getaran halus di tubuh remaja belasan tahun itu.

"Pasti terjadi sesuatu, benar?" tebak Kaizo.

Fang meringis. Lagi-lagi tepat. "Sebenarnya ... persis seperti yang Kapten katakan pada kami waktu itu. Kelompok pemburu Sfera Kuasa benar-benar datang ke sini."

"Hoo .... Kelompok mana?"

"Pasukan Tengkotak."

Raut wajah Kaizo berubah seketika. Sesuatu berkilat di matanya yang beriris merah marun. Dan itu sama sekali bukan hal yang menyenangkan untuk dilihat. Untungnya, Fang masih tertunduk.

"Pasukan Tengkotak. Gerombolan Bora Ra, ya .... Itu sudah menjelaskan semuanya."

Entah mengapa, Fang merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam suara abangnya. Lebih dari cukup untuk membuatnya mengangkat wajah, menentang pandangan sang kakak. Namun, pada akhirnya, Fang tidak menemukan keganjilan apa pun.

"Tapi kau masih bisa menghubungiku. Artinya, masalah itu sudah bisa diatasi."

Fang merasa seperti mendengar sekelumit kekhawatiran samar di dalam nada suara Kaizo. Ia diam sejenak, mencoba menemukan jejak kecemasan di dalam ekspresi kakaknya. Namun, wajah itu datar seperti biasa.

"Iya ... kami menang," kata Fang. Sekali lagi, ia meringis. "Dengan susah payah. Sampai babak belur."

Di luar keinginannya, Fang tertawa kering. Tatapan mata Kaizo menajam, tetapi ia tidak berkomentar. Dibiarkannya detik-detik sunyi hadir setelah itu.

"Aku ini ... lemah."

Terlontar begitu saja dari bibir Fang. Sementara, ekspresinya tersembunyi di balik kacamata.

"Memang. Baru sadar?" Kaizo mendengus pelan.

Fang tersentak. Seketika, darahnya berdesir. Namun, entah mengapa, pemuda itu tidak merasa tersinggung atau sakit hati. Khas abangnya sekali, komentar itu. Perlahan, justru kehangatan yang datang menyelimuti hatinya. Memberinya ketenangan yang memang didambakannya saat ini.

"Lalu, apa yang kauinginkan sekarang?"

Satu pertanyaan lugas dari Kaizo menyentak batin Fang. Ya. Sebenarnya dia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Hanya tinggal mengerahkan keberanian untuk mengambil pilihan.

"Kelihatannya kau sudah memutuskan sesuatu." Untuk yang kesekian kalinya, Kaizo menebak isi hati Fang tanpa meleset. "Percuma saja kalau yang kaupertimbangkan adalah benar atau salah. Siapa pun bisa berdebat selamanya soal itu."

"Kalau mau pulang ke sini, pulang saja. Begitu maksud Kapten."

Fang dan Kaizo sama-sama kaget ketika suara lain ikut masuk ke dalam percakapan. Rupanya ada Letnan Lahap ikut mendekat. Sosok alien bertubuh ungu itu tampak tertangkap layar pada proyeksi hologram Jam Kuasa Fang.

"Letnan Lahap," Fang menyapa. "Ng .... Yang tadi itu ...?"

"Kapten rindu lah tak ada kau, Pang."

"LAHAP!!"

Setelah teriakan Kaizo itu, hubungan komunikasi terputus tiba-tiba. Fang ternganga sekian detik, kehilangan kata-kata. Entah Letnan Lahap tadi salah makan apa sampai bicara seperti itu. Lantas ia berdoa semoga Letnan Lahap baik-baik saja di sana. Apa pun yang mungkin dilakukan Kaizo padanya setelah insiden tadi.

Pip pip pip.

"Ng?" Fang terkejut ketika tiba-tiba nada tanda ada pesan singkat masuk, terdengar dari Jam Kuasa miliknya. Segera dibukanya pesan itu.

Kalau kau ingin kembali ke sini, hubungi aku kapan saja.

Fang tak bisa mencegah senyum yang terbit di wajahnya tanpa permisi. Pesan tanpa nama. Siapa lagi pengirimnya kalau bukan Kaizo. Abangnya semata wayang.

Sementara, di luar, senja semakin tua. Merahnya langit sedikit demi sedikit dijamah kegelapan. Perlahan, tetapi pasti. Dan di tengah ketenangan yang tercipta olehnya, Fang mengucapkan tiga kata itu penuh syukur.

"Terima kasih ... Abang."



Bersambung ke bagian 2 ...

Menuju Dunia Baru; a BoBoiBoy fanfiction by Heidy S.C. 2017©

BoBoiBoy; Animonsta Studio 2011-2016©


====================================================

Author's Corner


Jadi juga fanfic one-shot pertamaku untuk Wattpad~! ^_^

Pilihanku jatuh pada BoBoiBoy, animasi bertema kepahlawan favoritku (tepatnya, superhero). Fokus utamanya ada di Fang, yang juga karakter favoritku di seri ini~ <3

Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Tsubasa_KEI yang menginspirasiku untuk menulis fanfic BoBoiBoy-ku sendiri. Juga buat LizzNP, makasih yaa ... kata-katamulah yang mendorongku untuk mem-publish fanfic ini.

Nah, untuk fanfic "Menuju Dunia Baru" ini niatnya mau dibikin dark, angsty ... tapi malah terpengaruh sisi komedi dari serial aslinya. Niatnya mau bikin 4-5K kata, tapi jadinya lebih panjang. XD *apalah*

Maafkan juga kalau jadinya bersambung. Tapi ini aslinya beneran one-shot, 'kok. Cuma, berhubung kepanjangan, kuputuskan membuatnya jadi dua bagian.

Tapi, aku puas—banget—bisa bikin interaksi yang menarik antara Fang & abangnya. Rada susah, takut bikin Kaizo (terlalu) OOC. Syukurlah bisa terlewati dengan baik. Itulah bentuk perhatian seorang kakak ala Kaizo. :3

Sori kalau Letnan Lahap OOC. Beneran salah makan kayaknya, hahaha ... ^_^;

Oh ya ... ada selipan pairing FaYi juga walau samar-samar. :"D

Oke~bagian ini jadinya drama banget, deh. Selanjutnya, baru ada action.

Sampai jumpa di bagian 2~! \(^o^)


Solo, 17 Juni 2017

Heidy S.C.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top