! |•^€ ¥•μ

Langit? Bisakah engkau turunkan rasa cinta Althea untukku? Aku ingin merasakan rasanya dicintai. Saling mencintai tanpa merasakan patah hati.
-Asean Northumbria

HAHAHA HAPPY READING!!
..

Hening.

Semua orang yang berada di dalam ruangan seketika membisu. Mereka mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar.

Sebenarnya ada apa dengan Asean? Kecelakaan seperti apa yang telah pria itu alami?

Althea nampak mencubit lengan Asean kesal. Sembari mencegah isak tangis menatap Asean sinis. "Jangan becanda kenapa, sih? Kita semua khawatir tau sama lo." Sekali lagi, Althea mencubit lengan Asean. Membuat pria yang tengah berbaring meringis sembari menepis tangan Althea.

"Mbak gak punya sopan santun, ya? Main cubit sembarangan. Kita orang asing, ditambah saya lagi sakit. Tolong di jaga etikanya."

Tak hanya Althea, yang lain ikut membatu mendengar perkataan sengit pria yang berbaring di brankar. Masih belum bisa mencerna, mereka masih diam membisu. Tak tahu harus melakukan hal apa. Apa ini semua sungguhan?.

"Gimana keadaan Asean?!"

Analisa tiba-tiba datang bersama Summer. Mendobrak pintu rumah sakit. Napas mereka terlihat tersendat menandakan bahwa mereka habis berlari.

"Kalian naik apa ke sini?" tanya Atlas bingung.

"Ada helikopter yang jemput kita, tadi juga Om Bima sempet nelpon katanya Asean lagi di rumah sakit dan kalian udah di sini makanya Om Bima nyuruh kita nyusul. Dia ngirim heli ke villa." Analisa masih mengeluarkan raut panik dan juga khawatir.

"Om Bima tau Asean kecelakaan? Dan dia juga tahu lo berdua ada di villa?" beo Atlan mengernyit heran. Tak lama kemudian ia terpekik sembari memukul lengan West.

"Sial, apaan sih?" kesal West mengusap lengannya.

"Elsa ditinggal sendirian dong di Villa?!" pekik Atlan heboh yang langsung mendapat decakan dari yang lain. Masih saja memikirkan kucing dalam keadaan seperti ini.

"Ssh, kalian kalau mau berisik bisa tolong keluar? Saya ingin istirahat."

Lagi dan lagi seluruh tatapan mengarah pada pria yang berbaring. Analisa dan Summer yang baru saja datang mengernyit heran.

"Kak Asean Amnesia?" cicit Summer pelan melirik Atlas yang berdiri di sampingnya.

Atlas menggeleng. "Gue gak tahu, tapi semenjak kita dateng ke sini dia responnya kayak gitu."

"Asean, liat gue." Althea menangkup pipi Asean. Mengelusnya lembut. "Ini gue Althea. Beberapa jam lalu kita sempet berantem."

Asean mengernyit. Menepis tangan Althea dengan pelan menggunakan tangan kirinya karena tangan kanannya terluka.

"Maaf, jangan sok kenal, Mba."

Althea menggigit bibirnya. Lalu mundur perlahan dengan kepala menunduk. Asean benar-benar melupakan dirinya?

"Wah ramai sekali." Seorang dokter datang dengan senyum lebar. "Beberapa jam lalu ruangan ini sepi. Saya kira pasien adalah anak buangan yang tidak diperdulikan oleh keluarganya." Dokter tersebut terkekeh pelan.

"Bisa jelaskan teman saya ini kenapa, dok?" Althea dengan cepat bertanya.

"Pasien mengalami kecelakaan beberapa jam lalu. Tidak parah, hanya tangan yang patah, beberapa luka di kakinya juga sudah di obati juga benturan di kepala yang berdampak pada geger otak ringan saja."

"Sampai menyebabkan amnesia juga, Dok?"

Dokter tersebut mengernyit sebentar, lalu menggelengkan kepalanya. "Jika kalian mengira teman kalian amnesia itu tidak terjadi, tenang saja. Dari semua gejala pasien tidak sampai mengalami amnesia. Jadi jangan khawatir."

Mendengar ucapan dokter, kini mereka serempak menatap sosok pria yang terbaring di brankar. Asean masih mengeluarkan raut bingung.

"Tapi teman saya gak inget apapun, Dok. Sejak kita datang, respon dia kayak ngelihat kita itu orang asing dan kebingungan." West melapor.

Dokter tersebut semakin mengernyit. "Masa, sih? Perasaan tadi pas siuman, pasien udah langsung ngamuk sama pelaku yang nabrak. Teriak-teriak sampe mecahin gelas. Tuh butktinya." Dokter tersebut menunjuk pecahan kaca tepat di dekat kaki Althea.

Althea sedikit menyingkir. Kepalanya mendongak, seluruh tatapan mengarah pada Asean yang kini sudah menyembunyikan seluruh badannya di balik selimut rumah sakit. Bahunya terlihat bergetar, mereka bisa menebak bahwa pria itu sedang terkikik tanpa suara.

"Administrasi sudah di urus oleh pelaku yang nabrak tadi. Pasien boleh pulang saat ini juga. Tunggu sampai cairan infusnya habis. Oh iya, disarankan pasien jangan terlalu melakukan hal berat. Bed rest minimal 3 harian."

"Makasih, Dok." Atlas tersenyum tipis. Walau jauh dalam lubuk hatinya ia ingin menjambak rambut pria yang tengah berbaring dan bersembunyi di balik selimut itu.

"Kalau begitu saya permisi." Dokter tersebut terkekeh pelan saat sekilas melihat kelakuan pasien. Ia lalu keluar dari ruangan tersebut.

"Amnesia, ya?" Atlas berdecih sembari meregangkan ototnya.

"Kita udah panik loh, setan," umpat Langit menggeram dengan senyum paksa. Atlan mengangguk setuju. Mereka semua kini menatap tajam Asean yang masih bersembunyi di balik selimut.

"Jahat banget." Althea kembali memukul dan tak sengaja tepat di bagian lengan Asean yang terluka.

"Aish, sakit Al!" Asean membuka selimut, mengelus tengannya yang dinyatakan patah itu. Wajahnya cemberut. Raut menyebalkan itu kembali menyambut mereka.

"Ya, habisnya lo bikin kita semua panik tau gak?!" Althea mengusap pipinya kasar. Ia merentangkan kedua tangannya. "Cepet peluk gue! Gak mau tahu!"

Asean mendelik. "Gue lagi sakit gini mana bisa bangun, yang ada lo kek yang-"

Bruk.

"Jangan bikin gue khawatir terus dong sialan! Maafin gue, gue tahu gue jahat banget, tapi jangan kayak gini juga. Gue takut lo ninggalin gue, ja-"

"Lepas Al, nanti ada yang cemburu," ujar Asean sembari melirik Catur. Althea menggeleng tetap kukuh memeluk Asean erat.

"Yaelah, santai bro. Waktu itu gue bercanda, gue gak ada rasa lebih sama Althea kalau itu yang mau lo denger. Lo gak usah cemburu gitu sama gue. Hubungan gue sama dia sekedar temen doang." Catur menjelaskan diiringi kekehan.

Asean terdiam, lalu tersadar dan memutar bola matanya malas. "Gue gak cemburu tuh," balasnya sembari memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rona merah yang mendadak muncul di pipinya.

"Makanya, jangan menyimpulkan gitu aja. Baru didatengin satu cowok dari masa lalu aja langsung mundur. Cemen banget." Atlas menyindir.

Asean hanya mendengus, tangannya menarik selimut sampai dada dan bersidekap dengan wajah masam setelah Althea melepas pelukan.

"Kantin dulu yuk, mendadak haus, nih." Analisa memberi kode sembari mengibaskan rambutnya. Ia langsung menarik Atlas keluar, diikuti yang lain. Menyisakan Althea dan Asean di dalam.

"Ngapain di sini? Sana kantin juga, tinggalin aja gue sekalian di sini sendiri." Asean berujar datar tanpa berani menatap Althea.

Althea hanya mencebik. Tangannya terulur memainkan jemari Asean dengan wajah menunduk. Ia tidak tahu harus membuka percakapan dari mana. Di kepalanya sudah banyak kalimat yang ingin ia utarakan.

Baru saja Althea hendak membuka suara, Asean lebih dulu menatap gadis itu tajam. "Cukup, kalau lo mau buka suara karena lo mau minta maaf lagi. Gue gak mau denger. Panas dan muak."

Althea semakin mencebik. Memainkan jari telunjuk Asean sedikit kasar. "Gue gak bisa dimaafin, ya?" Kepalanya semakin menunduk. Althea sungguh merasa bersalah. Ia sadar bahwa semua deretan kejadian hari ini terjadi karena ulah dirinya sendiri.

"Lo tau Al." Asean membuka suara, matanya menatap langit atap di ruangan tersebut dengan tatapan kosong. "Gue kira, gue gak bakal ketemu lo lagi. Gue kira gue bakal mati. Terus ketemu bidadari di sana. Taunya gue masih hidup dan malah ketemu sama nenek sihir lagi sekarang." Asean terkekeh pelan. Dapat ia dengar gadis di sampingnya mencebik.

"Padahal gue udah bikin surat kece buat lo. Surat yang setelah gue baca beberapa kali ternyata keren juga dong. Romantis banget lagi. Keren loh Al, sebelum dijemput maut bikin surat perpisahan ala-ala gitu. Di tambah yang nulis itu bukan gue, tapi dibantu suster, makin kayak di film gitu gak, sih, Al?" Asean terkikik, masih bertahan menatap ke atas, tanpa berniat sedikitpun melirik sosok gadis yang kini tengah menatapnya sayu.

Tak mendapat respon apapun dari Althea, Asean langsung menoleh. Lalu tersenyum kecil begitu melihat Althea yang masih saja meneteskan air matanya. Wajahnya semakin memerah, mata sembab dan keadaan yang cukup urakan. Asean baru menyadari itu semua.

"Hal kayak gini yang bikin gue susah buat ngelepas lo." Punggung jari telunjuk Asean terulur mengusap pipi Althea. "Lo itu selalu berusaha terlihat kuat, beringas dan berhati baja di hadapan banyak orang. Tapi sekalinya lo ada dalam keadaan down, lo gak bisa berhenti dan terus nangis."

Althea menarik napas panjang lalu menghembuskan secara kasar. "Dan lo satu-satunya orang yang bisa bangkitin gue. Lo salah satu energi untuk diri gue. Lo satu-satunya orang yang selalu ada disaat gue berusaha nyembunyiin tangis gue biar orang lain gak tahu."

Asean tertawa hambar. "Emang iya?"

Althea mendengus. "Lo lupa? Dulu waktu gue jatuh dari sepeda, gue gak nangis di depan nyokap sama bokap gue. Tapi begitu gue sampe di kamar, gue nangis kejer di balkon, di depan lo yang rela loncat dari balkon kamar lo ke balkon kamar gue."

"Jangan lupa juga, ketika gue berantem rebutan mainan. Terus gue ke dorong sampe kepala gue kebentur dan bocor, karena rasa sakit yang luar biasa gue nangis kejer banget. Tiba-tiba lo yang saat itu lagi main layangan nyamperin gue, bukannya nyari bantuan tapi lo malah ikutan nangis juga. Kita berdua malah jadi adu suara tangisan siapa yang paling kenceng." Althea tertawa membayangkan deretan kejadian bersama Asean di masa lalu.

Sebenarnya Althea lebih banyak menghabiskan masa kecilnya bersama Atlas. Dulu, ia selalu bersama pria itu di manapun dan kapanpun.  Namun, pengalaman yang selalu membekas adalah bersama Asean. Entah, meskipun mereka jarang bertemu tapi sekalinya mereka bertemu deretan kejadian di antara mereka tidak bisa terlupakan. Apa yang mereka lakukan di masa lalu akan selalu membekas di ingatan mereka berdua.

Kini ruangan tersebut kembali diliputi keheningan. Keduanya sibuk dengan bayang-bayang masa lalu. Mengingat kembali masa-masa mereka bersama.

"Ah iya, pesan yang gue kirim saat itu. Jangan terlalu dipikirin. Karena setelah gue pikir lagi, ternyata gue alay. Apaan banget ngirim begituan, anggap aja itu setan yang ngetik. Oke?" Asean membuka suara. Matanya masih tidak mau menatap Althea. Sibuk berpencar menatap sudut-sudut ruangan.

"Jadi lo gak bener-bener mundur, kan? Lo gak  bakal ngejauhin gue?" Althea menatap penuh harap.

Asean membasahkan bibirnya yang mendadak terasa kering. "Gak usah kepedean juga. Gue bakalan biasa aja tuh kalau lo deket sama si Guntur itu. Jangan harap gue bakal cemburu, ya, Al. Itu gak akan terjadi." Asean mengeluarkan raut sombong.

Althea mendengus geli. "Catur, nama dia Catur."

Asean memutar bola matanya malas. "Bodo amat. Gak peduli gue. Nama dia bukan termasuk deretan nama Nabi yang harus gue hapal."

Althea semakin tersenyum geli. Kenapa Asean semakin berbicara ngaler-ngidul?

"Ngapain senyum-senyum? Muka lo jelek banget!" ketus Asean, menatap Althea sinis. Althea malah semakin tersenyum lebar.

Ia menganggap bahwa perkataan Asean tadi adalah sebuah pujian. Seperti, 'Lo kenapa senyum-senyum? Senyuman lo bikin gue salting!'

"Waktu berduaan sudah selesai, untuk Nyonya Althea diharap menyingkir. Karena saya akan mengintrogasi Bapak Asean."

Suara Atlantik di ambang pintu membuat dua sejoli serempak menoleh. Asean merespon dengan memutar bola matanya malas, sedangkan Althea sudah berdecak kesal karena obrolannya dengan Asean malah terganggu.

"Udah baikan, belum?" tanya Catur bersidekap dada. "Si cupu jangan gampang cemburu dan so mundur lagi, kalau cinta, ya, perjuangin sampe dapet. Satu lagi si gak tahu diri, jangan suka plinplan. Hargain perjuangan si cupu, udah ditinggalin baru nangis kejer, tau rasa, kan, lo." Catur terkekeh di akhir kalimat. Althea dan Asean balas memutar bola matanya malas saling memalingkan wajah satu sama lain.

Atlas yang berdiri di dekat Catur terdiam dengan pandangan memicing. Ia tidak bodoh, dalam pancaran mata pria itu, tersirat sebuah kedustaan yang terpendam begitu dalam. Menutup rapat sebuah perasaan yang sebenarnya benar-benar ada, namun ia tahan agar tidak keluar dari zona kekuasaannya.

Bertahan dengan rasa sakit mendalam, terkapar di atas bebatuan tajam akibat menelan racun miliknya sendiri. Seolah ia melakukan bunuh diri di area wilayahnya sendiri.

....

Udah paham ye kan, jadinya sama siapa, nd perasaan Catur aslinya seperti apa, HAHAHA.

Btw, siapa Cast yang selalu kalian tunggu di cerita ini? Kenapa kalian memilih orang itu?

Next or End?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top