Rixam?
Berhati-hatilah dalam berbicara. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ketika kita berbicara seenaknya. Semua perkataan yang menurut kita sendiri biasa saja belum tentu baik di pendengaran orang lain. Hati dan perasaan masing-masing itu tak sama.
/My
..
Rixam? = Bertengkar?
Sandra yang baru saja selesai memasak segera berjalan tergesa menuju ruang kerja suaminya. Wajahnya nampak berseri sangat kentara sekali bahwa ia tengah bahagia.
Sandra langsung menerobos masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Ia melihat bahwa Bumi tengah menelpon seseorang. Tak mau mengganggu akhirnya Sandra berdiam diri menunggu suaminya selesai.
"Bagaimana bisa?" Suara Bumi mulai terdengar. Nadanya sangat tegas dan dapat Sandra lihat urat di sekitar lehernya mengetat.
"Saya sudah bilang saya tidak menjualnya kenapa dia melunjak?!"
Bumi yang posisinya membelakangi Sandra berdesis dengan mata semakin menajam.
"Bawa dia ke markas. Saya yang akan mengurusnya nanti. Ingat, jangan biarkan saham miliknya dibeli siapapun!"
Bumi langsung mematikan panggilan sepihak. Melempar ponsel ke sofa dan mengacak rambutnya merasa frustasi membuat Sandra yang sedaritadi memperhatikan menelan salivanya susah payah.
"Bum?" panggil Sandra pelan.
Sontak sosok yang dipanggil namanya menoleh. Dahinya mengerut menyadari kehadiran istrinya yang entah sejak kapan berada di sana.
"Kamu nguping?" tanya Bumi datar. Ia sangat tidak suka orang yang selalu menguping saat ia bekerja. Entah siapapun itu.
"M-maaf. Aku kira kamu gak terlalu sibuk makanya aku langsung masuk." Sandra sedikit merasa takut. Ia tahu ini salahnya karena telah seenaknya masuk padahal ia tahu dengan jelas suaminya tidak suka diganggu ketika sedang bekerja.
"Lain kali ketuk dulu," ucap Bumi masih datar. Pria itu duduk di kursi kerja dan mengetik sesuatu di laptop.
"Ada apa?" tanya Bumi ketika Sandra masih saja berdiri di tempat dan tak bergerak juga bersuara.
"Engh ... kamu gak papa? Tadi aku denger ada masalah di perusahaan kamu? Semua baik-baik aja, kan?"
Bumi langsung mendongak. Matanya memicing. Moodnya sedang tidak bagus sekarang. Dan pertanyaan seperti itu untuk sekarang tidak ada gunanya jika ia jawab. Lebih baik ia diam saja. Ia harus menahan emosinya agar tidak terlampiaskan kepada istrinya.
"Keluar," ujarnya lanjut berkutat dengan laptop.
"Tap-"
"Keluar, San."
"Aku ma-"
"Saya bilang keluar ya keluar!" bentak Bumi tanpa sadar dengan emosi memuncak.
Tidak hanya Sandra Bumi juga ikut tersentak kaget dengan perlakuannya sendiri. Ia langsung bangkit ketika melihat istrinya bergerak mundur perlahan dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Sayang, aku gak bermaksud. Aku ..." Tenggorokan Bumi rasanya tercekat. Ia tak bisa berkata-kata.
Sial, apa yang telah ia lakukan?!
"G-gak papa. Aku ngerti kok. Seharusnya aku gak ganggu kamu." Sandra mengusap air matanya kasar. Bukan karena sakit hati atau apapun. Ia hanya terkejut karena sebelumnya Bumi tidak pernah membentak.
"San ...." Bumi menatap bersalah Sandra.
"Lanjut aja kerjanya. Maaf udah ganggu. Tadinya aku cuma mau bilang kalau Audy udah melahirkan. Aku mau ajak kamu ke rumah sakit. Tapi kalau kamu masih sibuk gak papa. Aku tunggu sampai kamu selesai, ya." Sandra tersenyum dan berlalu pergi.
Tepat saat suara pintu tertutup baru Bumi tersadar dari lamunan. Ia berdecak, mengusap wajahnya kasar.
"Sial," desisnya mengumpat pada diri sendiri. Bisa-bisanya ia tidak bisa mengontrol diri saat berhadapan dengan istrinya. Tak mau berlarut dalam suasana seperti tadi ia langsung berjalan tergesa mengejar Sandra.
Saat ia sampai di depan kamarnya. Ia melihat ada Atlan yang berdiri setia di depan pintu sembari memakan es krim. Ia langsung berjalan menghampiri putranya.
"Atlan," panggil Bumi.
"Hm?" balas bocah tersebut cuek.
Bumi menghela napasnya. "Buna ada di dalam?"
"Kalo ada kenapa kalo gak ada kenapa?" tanya Atlan mendongak. Bibirnya sudah belepotan dipenuhi sisa es krim.
Ingin rasanya Bumi mengumpat, tapi ia tahan. "Jawab saja Atlan."
"Ada," balasnya kembali melahap es krim.
Saat Bumi hendak menarik knop pintu Atlan menendang kaki ayahnya membuat sang empu terkejut dan mengurungkan niatnya. Ia menunduk dengan satu alis terangkat. Atlas sudah bersidekap dada.
"Kenapa? Papa mau masuk."
Atlan menggeleng keras. "No."
Bumi mengernyit. "Kok gak boleh?"
"No!" ujar Atlan lagi kali ini lebih tegas.
"Biarkan Papa masuk, Atlan."
"No!"
Bumi berdecak. Ingin marah namun ia tahan.
"Kamu kenapa jawab No terus?"
Atlan menghentakkan kakinya. Wajahnya nampak memerah dengan mata menajam.
"Kata Bang Anta kalau Papa mau masuk ke kamal Buna Atlan suluh bilang No. Jadi yaudahlah. Abah masuk kamal Buna, No!" Atlan bersidekap dada.
"Abah bikin Buna nangis, ya?! Abah apain Bunanya Atlan?" tanya bocah kecil itu cemberut. "Abah gak gigit Buna, kan? Gak ambil uang Buna? Atau Abah kelitikin Buna? Biasanya Buna suka nangis sambil ketawa kalau dikelitikin. Tapi tadi nangis doang, ketawanya enggak."
Bumi terdiam. Sandra menangis lagi? Bukannya tadi wanita itu tersenyum dan mengatakan bahwa ia tidak apa-apa?
Bodoh! Perempuan jika sudah mengatakan seperti itu artinya makna dari kata yang mereka ucapkan adalah kebalikannya! Bodoh sekali. Apalagi mengingat ia sudah membentak istrinya. Padahal ia tahu bahwa Sandra sangat tidak suka dibentak.
Bodoh!
Bumi mengacak rambutnya sembari berdesis.
"Jangan diacak lambutnya. Nanti kutu di lambut Abah pada telbang!" celetuk Atlan dengan mata mengerjap. Bumi mendelik. Mana ada ia punya kutu!
Tanpa menghiraukan perkataan putranya. Bumi berjongkok, memegang bahu Atlan.
"Atlan suka melukis?" tanya Bumi lembut.
Atlan langsung mengangguk antusias. "Suka banget, Abah. Kemalin Atlan belhasil melukis gambal gunung sama sawah diajalin Om Es bulung. Telus Atlan juga melukis hutan Om Google yang ajalin."
Bumi terkekeh. Om Es burung yang dimaksud Atlan adalah Elang dan Om Google adalah GM. Mereka berdua anggota Wx yang saat itu Bumi suruh menjaga Atlan ketika ia ke markas.
"Atlan mau beli peralatan melukis lagi?" tawar Bumi yang langsung mendapat anggukan dari putranya.
"Mau! Kebetulan cat ail walna melah abis. Atlan gak bisa bikin campulan walna jadi pink. Abah mau beliin?" Mata Atlas nampak berbinar. Raut permusuhan yang tadi ia layangkan mendadak hilang digantikan raut antusias.
"Nanti Papa beliin. Asal dengan satu syarat."
"Apa Pa?" Atlan bergerak tidak sabar.
"Izinin papa masuk ketemu Buna, ya?"
Atlan langsung terdiam melunturkan senyumnya.
"Boleh, kan?"
"Tapi janji jangan bikin Buna nangis lagi?"
Bumi mengangguk mantap. Mengacak rambut putranya. "Iya, Papa janji."
"Oke deh! Pintu kamal telbuka, Papa boleh masuk!" Atlan mendorong pintu agar terbuka. Mempersilahkan Ayahnya masuk.
Bumi langsung melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Pandangannya jatuh pasa istri dan kedua putranya yang sedang berpelukan.
"Huaaa ... kalian pelukan gak ajakin Atlan!" Sosok bocah yang tadi berdiri di ambang pintu nampak berteriak nyaring. Kakinya berlari menghampiri kedua saudaranya dan ikut bergabung memeluk Sandra.
"Kenapa kok kalian meluk Buna?" tanya Atlan setelah mereka saling melepas.
"Buna seneng karena Abang udah bisa bilang huruf R! Nih rrrrrrr ...." Atlas memamerkan keberhasilannya yang sudah bisa mengucapkan huruf alphabet tersebut.
"L-lllll ... Kok Atlan gak bisa? Lllllll ...." Atlan menghentakkan kakinya kesal. Bibirnya mengerucut sebal.
"Anta juga belum bisa. Sabar ya!" Atlas terkikik sombong. Merasa senang ia bisa lebih dulu berhasil mengucapkan huruf tersebut.
Sandra ikut tersenyum dan mengacak rambut putranya. Kepalanya mendongak dan pandangannya langsung bertubrukan dengan
Bumi. Mereka saling tatap cukup lama sebelum suara Anta menyadarkannya.
"Kenapa Papa masuk?" Anta menatap tidak suka Bumi. Tangannya bergerak memeluk leher Sandra dengan erat.
Atlas ikut menoleh. Matanya berubah tajam. Ia berdiri di atas ranjang dan bersidekap dada.
"Itu dia tersangka yang udah buat Buna nangis!" teriaknya nyaring. "Kenapa kamu suruh dia masuk Atlan?"
Atlan nampak nyengir sembari menggaruk kepalanya. "Abah mau beliin Atlan alat melukis jadi Atlan bukain."
"Dasar, kamu mau aja disogok sama dia!" Atlan menatap Bumi sebagai tanda permusuhan.
"Abang, gak boleh bicara seperti itu. Dia Papa kamu, harus sopan sama orang tua." Sandra menegur.
"Tapi dia udah buat Buna nangis!" Atlan semakin ganas dengan wajahnya yang mulai cemberut.
"Maafin Papa," ujar Bumi mendekati triplet yang sudah berdiri di depan Sandra mereka sama-sama bersidekap dada seolah menjaga Sandra.
"Gak akan! Hali ini Papa tidul di lual. Bial kita aja yang tidul sama Buna." Atlan bersuara.
"Gak," balas Bumi cepat dengan tegas.
"Baba nakal, jadi Baba tidur di luar dong! Biar sama tante girang," sahut Atlas.
Atlas benar-benar bisa mengatakan huruf R!
"Ish, kalo Abah sama tante gilang nanti Buna sama siapa? Abang mau Abah diambil tante gilang telus nanti Buna sendilian?"
"Jangan, nanti Buna nangis telus." Anta menyahut.
"Yah, jadi gimana? Abah gak jadi tidur di luar?" Atlas cemberut.
Bumi terkekeh pelan. Merasa gemas dengan tingkah ketiga putranya. Matanya sesekali melirik Sandra yang juga ikut tertawa. Bumi merasa lega akan itu.
"Maaf," ujar Bumi pelan ketika pandangan keduanya bertemu.
Ia memang bersalah. Tidak seharusnya melampiaskan amarahnya pada Sandra. Terkadang Bumi memang masih belum bisa mengendalikan emosinya.
"Gak papa, aku ngerti kok. Gak perlu minta maaf." Sandra mengulas senyum tipis.
"Buna udah maafin," ujar Bumi kepada triplet seolah mengadu bahwa ia sudah dimaafkan. Kakinya melangkah mendekati Sandra dan memeluk istrinya erat. Mengecup keningnya lama penuh kelembutan. Memamerkan kemesraannya kepada ketiga putranya.
"Dih cium-cium!" Atlas mendelik kesal.
"Meleka udah baikan Bang?" Atlan bertanya pada Anta.
"Udah," balas Anta cuek.
"Yah, kenapa malahannya gak lama aja, sih? Bial Abah tidul di lual."
Bumi yang mendengar itu mendelik. "Kamu aja nanti yang tidur di luar."
"No," balas Atlan sembari menggelengkan kepalanya cepat.
"Cih, kamu taunya no doang," celetuk Atlas.
"Oh yes!" sahut Atlan nyengir.
"Kalian mau lihat dedek bayi gak?" tawar Sandra.
"Dedek bayi?" beo Atlas.
"Yang kayak anaknya Om Sanu itu Buna?" tanya Atlan.
Sandra mengangguk mengiyakan. Beberapa hari lalu memang tetangganya baru saja melahirkan. Waktu itu Sandra dan ketiga anaknya datang menjenguk. Ketiga putranya sempat melihat aneh ke arah bayi tersebut. Mungkin agak sedikit asing bagi mereka karena baru melihat untuk pertama kalinya. Namun lama kelamaan mereka menyukainya.
"Kalian mau lihat?" tanya Sandra lagi.
"Mau!" sahut Atlan cepat. Memang dari ketiganya Atlan yang paling menyukai bayi.
"Perempuan atau laki-laki?" tanya Bumi pada Sandra.
"Gak tahu, aku belum sempet tanyain. Tadi yang nelpon juga Bima."
Bumi mengangguk. "Yaudah ayo," ajaknya langsung bangkit.
Atlan bersorak paling kencang. Rasanya tak sabar melihat sosok manusia kecil dan mungil yang tubuhnya diikat kain.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top