Random

"Bahlul!"

"Gupron!"

"Asep!"

"Saprudin!"

"Sini kalian semua!" teriak Sandra menghapal semua nama para preman di sana. Tangannya setia berkacak pinggang dengan mata melotot.

Para preman yang tengah berkumpul di pos ronda tersentak kaget. Mereka menoleh dan langsung membulatkan matanya terkejut melihat kehadiran Sandra dan Antartika. Tahu apa kesalahan yang telah mereka lakukan, mereka dengan serempak bangkit dan mendekati Sandra walau saling dorong-dorongan.

Jika boleh jujur, mereka sedari dulu sudah segan dengan wanita satu itu. Tenaganya bukan main-main. Mereka saja dibuat kapok jika sudah berurusan dengan keluarga Catra. Memang bukan lawan yang sebanding.

"Mbak," sapa salah satu preman di sana tersenyum kikuk.

"Apa?! Kalian taukan kesalahan kalian di mana?" teriak Sandra lagi. Untung saja keadaan komplek selalu sepi di siang hari. Mengingatkan para penghuni akan disibukkan dengan pekerjaan mereka.

"Seenaknya aja mukul anak saya sampai babak belur gitu, dan kalian cuma minta maaf aja!" Sandra memukul lengan mereka satu persatu dengan gemas.

Antartika yang sedaritadi menemani Sandra hanya diam menjaga dan memperhatikan dari belakang. Tangannya bersidekap dada dengan raut tenang. Ia baru akan bergerak jika terjadi sesuatu dengan ibunya.

"Maaf Mbak, kita gak tahu itu si Atlas. Seragam siswa yang kita incar juga hampir sama. Suer Mbak, gak sengaja." Bahlul si ketua preman nampak menyatukan kedua tangannya meminta maaf.

"Maaf doang gak bikin kenyang." Sandra menghembuskan napas kasar. "Satu orang satu pukulan, gimana?" tawarnya menaikkan aatu alis. Para preman tersebut saling tatap.

Ada orang mau mukul minta penawaran?

"Boleh Mbak, satu pukulan mah gak bakal sakit." Saprudin dengan polosnya menjawab.

Sandra tersenyum menyeringai. Rupanya mereka meremehkan kekuatan Sandra. Lihat saja, satu pukulan darinya akan membuat mereka patah tulang sekaligus.

Bugh

Tiba-tiba, tanpa aba-aba Sandra langsung memukul Saprudin dengan kuat tepat di rahangnya hingga bengkok. Ia tersenyum puas.

"Gak sakit'kan?"

Saprudin meringis memegang rahangnya. Menyesal ia sudah meremehkan kekuatan Sandra. Sekarang ia sudah terkena dampaknya.

"Nakal kalian, ya!" Sandra memukul Gupron tepat di perut lalu menendang perut Asep tak kalah kuat.

"Lo sih!" Asep berbisik dengan raut menahan sakit ke arah Saprudin.

"Ampun, Mbak." Bahlul selaku ketua mengangkat kedua tangannya meminta ampun sembari tersenyum memperlihatkan giginya.

"Awas aja, ya kalau kalian macam-macam sama anak saya lagi!" Sandra menatap para preman tersebut dengan tatapan mengancam.

"Mbak, Bang Bahlul gak dipukul juga?" tanya Gupron merasa tidak adil. Bahlul langsung melotot ke arah anak buahnya.

"Dia dapet pukulan spesial," ujar Sandra membuat wajah Bahlul seketika memucat.

Tiin tiin

Mereka dikejutkan dengan suara klakson nyaring. Sandra segera menoleh dan siap mengumpat. Namun saat melihat mobil tersebut ia mengurungkan niatnya.

"Ngapain?"

Para preman tersebut langsung memundurkan langkah mereka. Wajahnya semakin pucat dengan pandangan was-was.

"Mereka udah mukul Atlas, aku gak terima. Yaudah aku datengin terus pukul balik," adu Sandra pada suaminya yang baru saja datang.

Bumi baru kembali dari kantornya. Ia melihat keberadaan istri dan putranya di depan komplek sehingga memberhentikan mobilnya untuk melihat situasi.

Mata Bumi langsung menatap ke arah Antartika yang sedaritadi hanya diam.

"Bener?"

"Gak sengaja," balas Antartika cuek. Bumi menghela napasnya. Menarik Sandra kepelukan dan mengecup puncak kepalanya dengan lembut.

"Masuk," suruhnya menunjuk ke arah mobil.

"Tapi aku belum selesai mukul me-"

"Masuk, oke?" Bumi memotong ucapan Sandra sembari menangkup pipinya dengan pandangan teduh. Sandra akhirnya luluh dan masuk ke dalam mobil. Namun ia memberikan tatapan tajam lebih dulu kepada preman tersebut.

"Kamu juga," suruhnya pada Antartika yang langsung dituruti tanpa basa-basi.

Bumi berbalik menghadap para preman yang sudah tersenyum canggung ke arahnya. Ia berjalan mendekat, lalu menepuk rahang Saprudin.

"Shh ... sakit Bang." Saprudin meringis.

Bumi berdecih. "Banci."

Saprudin melotot. "Gak gitu, Bang. Mbak Sandra kekuatannya gede banget, mukulnya juga tiba-tiba."

"Iya, sama aja lo banci."

Saprudin tak bisa berkata-kata. Lebih baik diam untuk mencari aman. Karena melawan pun percuma, ia akan selalu kalah.

Bumi mengeluarkan dompetnya dan mengambil 5 lembar uang berwarna merah. Ia memberikan uang tersebut kepada para preman.

"Wah, makasih Bang. Buat beli obat, kan ya?"

Bumi menggeleng. "Beli Ayam," ujar Bumi tenang memasukkan kembali dompetnya.

"Abang tau aja kita-kita belum makan," sahut Asep kegirangan.

"Kata siapa buat kalian?" Bumi memicing tak suka.

"Lah, terus?" Gupron mengernyit.

"Itu buat Buaya saya, tolong belikan. Nanti antar ke rumah." Setelah mengatakan tersebut Bumi langsung berbalik menuju mobilnya dengan santai meninggalkan empat pria preman yang sudah melongo.

"Lima ratus ribu buat makanan Buaya." Bahlul menggeleng tak percaya.

"Kita kalah sama Buaya, Bang."

"Udah ah ayo beliin, gue gak mau kena semprot Bapak Dunia lagi." Asep mengintrupsi.

"Duh, tapi bentar lagi gue mau streaming Blackpink. Gak mau ketinggalan nih," ujar Saprudin memelas. Iya, preman satu ini adalah seorang fanboy.

"Ck, lo masih aja nontonin mereka. Dosa lo, zina mata!" sembur Gupron.

"Heh, lo kata maling juga gak dosa?" sindir Asep.

"Lo doang, gue gak pernah maling," balas Gupron meledek.

"Cemen, maling aja takut." Asep memanas.

"Udah sana kalian beli Ayam!" Bahlul selaku ketua menegur sembari menjitak kepala para anak buahnya.

"Lo gak ikut bos?"

"Gak lah, itu tugas kalian bertiga. Gue mau nonton siaran ulang pertandingan MotoGp kemarin."

"Yah, gue juga mau lihat kalau itu," ujar Asep.

"Gak! Sana lo semua!" tegas Bahlul membuat ketiganya mendesah pasrah dan berlalu pergi.

Sesampainya di rumah, Sandra keluar dari mobil dengan tergesa meninggal Antartika dan Bumi yang menatap wanita itu bingung.

"Kenapa?" tanya Bumi setelah mereka keluar. Keduanya berdiri bersandar kap mobil dengan tangan sama-sama bersidekap dada.

"Apa?" balas Antartika tak mengerti.

"Ibu kamu, kenapa?"

"Gak tahu," balas Antartika lagi singkat.

Hening, tak ada lagi yang bersuara. Keduanya sama-sama diam. Dua pria terkalem itu nampak menikmati angin di tengah kesunyian.

"Kok diem?" celetuk Bumi setelah lama keduanya saling bungkam.

Antartika melirik sekilas. "Karena gak ngomong."

"Jangan kayak gitu."

"Apanya?"

"Bicara."

"Suka-suka Anta."

"Nanti gak ada yang mau sama kamu."

"I don't care."

"Lebih perbanyak senyum."

Antartika menghela napas. Lama-lama ia menjadi kesal. Ayahnya selalu saja menjawab. "Males," balasnya.

"Hm," gumam Bumi.

Suasana kembali hening.

"Ck, Atlan perhatiin daritadi kalian saling diem mulu. Emang gitu ya dua pria es kalau barengan gini gak ada yang mulai percakapan duluan. Diem aja terus sampai si Raden ganti gender."

Atlan datang menghampiri kedua pria terkalem sembari menenteng kresek. Bumi dan Antartika hanya diam memperhatikan Atlan tanpa mau berbicara.

"Ck, tanya kek ini Atlan bawa apaan," kesal Atlan.

"Tikus?" tebak Bumi.

Atlan tersenyum lebar. "Iya! Tadi Atlan nemu Tikus masa di dapur, punya siapa, sih? Masa rumah sultan gini ada Tikusnya? Gak elit banget, Nyamuk aja gak ada masa Tikus ada? Atlan tangkap aja dan ini mau Atlan buang."

"Oh," balas Bumi mengangguk singkat.

Atlan mendelik. "Bodo amat! Serah kalian berdua aja dah! Capek Atlan, ngadepin dua manusia ini. Kapan-kapan Atlan anter ke rumah sakit deh buat jahit mulut kalian. Percuma'kan kayak gitu juga kalian gak ngomong, jadi Atlan jahit aja."

Bumi dan Antartika saling melirik, lalu keduanya sama terkekeh pelan.

"Tuh, dasar orang gila!" sembur Atlan bergidik dan segera berlalu. Melihat keduanya terkekeh seperti malah terasa cringe bagi dirinya.

Di dalam rumah Atlas keluar dari ruang gym, ia mengambil air mineral dari dapur dan duduk di ruang keluarga bersama Sandra yang sedang memainkan ponsel.

Ibunya itu terlihat serius menatap layar, sembari sesekali berbicara sendiri. Entah, Atlas tidak mengerti apa yang tengah ibunya lakukan. Ia mulai fokus pada iPad.

"Huaaaa ... Atlas! Beliin Buna obat pusing dong!" Sandra tiba-tiba berteriak nyering mengejutkan Atlas.

"Buna pusing?" Atlas dengan cepat menyimpan iPad dan menghadap ke arah Sandra. Memegang kedua bahu ibunya dengan mata memandang cemas.

"Ini pasti sakit, kasihan. Atlas tolong kamu beliin obat ke apotek, ya?" Sandra menatap putranya berkaca-kaca. Atlas langsung menempelkan punggung tangannya di kening Sandra.

"Buna gak demam."

"Cepat Atlas beliin Buna obat!"

"Ya, tapi buat apa? Buna'kan gak sakit."

Sandra mendengus, ia memamerkan layar ponsel ke arah Atlas.

"Lihat, Pou milik Buna lagi sakit. Hiks ... kasihan sampai geter-geter bibirnya." Tiba-tiba Sandra menangis.


Atlas melongo, menatap layar ponsel dan ibunya secara bergantian. Jadi ini alasannya? Astaga, What's wrong with mom? Kenapa ibunya menjadi sensitif seperti ini?

"Buna?" Atlas menatap Sandra tak habis pikir.

"Kenapa masih di sini? Cepet beliin Buna obat." Sandra mendorong lengan Atlas. "Kamu udah gak sayang sama Buna?" Matanya mulai berkaca-kaca.

Atlas kehabisan kata-kata dengan wajah kebingungan tak tahu harus berbuat apa.

"Mas ...." Tiba-tiba Sandra merengek begitu melihat kehadiran suaminya yang baru saja masuk bersama Antartika.

Atlas menghela napasnya, mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu begitu tatapan dua pria itu mengarah padanya.

"Kenapa?" Bumi merangkul Sandra sembari mengusap pipinya.

"Atlas udah gak sayang sama aku lagi," ujarnya membuat Atlas melotot.

"A-atlas  ...." Pria itu tak bisa mengelak, tenggorokannya seolah tercekat apalagi saat mendapat tatapan tajam dari ayah dan adiknya.

"Masa aku minta beliin martabak dia gak mau?" Sandra mengusap dada suaminya dengan wajah memelas.

"Atlas?" tegur Bumi dengan mata memicing.

"G-gak, gak gitu konsepnya, Pa. Tadi Buna gak minta beliin Martabak, Buna minta beliin--"

"Atlas," potong Sandra cepat dengan wajah cemberut. "Jangan dikasih tahu, itu rahasia kita berdua!"

"Hah?" Atlas melongo. Menggaruk kepalanya tidak mengerti. Ibunya ini kenapa sih?

"Udah ah, kalian semua gak ada yang sama Buna. Buna mau main sama Atlan aja!" Sandra mendorong tubuh Bumi untuk menjauh dan meninggalkan ketiganya dengan kaki dihentak.

Antartika yang tak mengerti apa-apa dengan cuek berlalu duduk di sofa menonton pertandingan. Sedangkan Atlas sudah menatap Bumi dengan cengiran khas. Ia tahu apa yang akan ayahnya lakukan setelah ini.

"Buna lagi mau menstruasi kayaknya Pa. Jangan marahin Atlas, Atlas gak salah kok." Atlas membela dirinya.

Bumi hanya berdecih dan berlalu begitu saja. Untuk apa ia marah, toh ia sendiri tidak mengerti alasan istrinya seperti itu karena apa.

Atlas mendengus kesal, ia berbalik mendekati adiknya dan duduk di sampingnya.

"Dek," panggil Atlas yang langsung mendapat tatapan tajam dari Antartika.

"Shut up!"desis Antartika kesal. Ia sangat tidak suka dengan panggilan itu.

"Canda, baperan amat." Atlas merangkul bahu adiknya. "Besok gue tanding, tapi nanti malem ada balapan. Lo mau gantiin gue gak?" bisik Atlas menarik perhatian Antartika.

"Lawan?"

"Kayak biasa, si Semesta."

Antartika berdecak. "Males, gak level."

"Cih, sok keren lo! Terima aja kenapa? Cuma hari ini doang, kalau besok gak tanding gue juga gak bakal nyuruh lo gantiin."

"Atlantik juga ikut ntar malem. Ayolah, An. Semesta itu musuh kita bertiga. Masa lo mau diem aja?" Atlas terus mencoba membujuk adiknya.

"Belajar," balas Antartika cuek.

"Ck, belajar bisa nanti. Lagian dari kemarin lo sibuk ngurung di ruang study mulu! Ayolah Ocean, lo harus mau!"

"Ck, iya."

"Lo mau?" Atlas berbinar.

"Hm."

"Sip, bagus. Ini baru adik gue!" Dengan gerakan cepat Atlas mengecup pipi adiknya dan bangkit berlari sekencang mungkin menghidari amukan Antartika.

"Shit!" Antartika mengumpat dan mengusap pipinya kasar.

Dasar, Atlas homo!

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top