Oppressi

Oppressi = Hancur

"Dan kini, kisah penghancuran itu benar-benar terjadi. Semua telah dimulai."
- Atlas Geograf Catra

"Banyak bacot banget, sih lo?" Aksara berkacak pinggang dengan mata melotot.

Semesta menoleh, ia lalu tertawa. "Aksara?" sapanya tersenyum. "Lo cewek di club waktu itu?" Aksara hanya memicing, tak paham dengan ucapan Semesta.

"Lo gak ingat? Gue yang temenin lo pas lo mabuk. Waktu itu lo bilang kalau lo hamil, dan yang hamilin lo itu--"

"Shut up, sialan!" Aksara dengan cepat memotong ucapan Semesta. Wajahnya sudah pucat dengan jantung berdegup kencang.

Keadaan mendadak hening. Semesta semakin tersenyum menyeringai.

"Gue gak mau ganggu waktu kalian. Gue pergi dulu, lima belas menit ke depan balapan di mulai." Semesta melambaikan tangannya dan berlalu pergi.

"Sa?" Althea menatap Aksara meminta penjelasan. Yang lain ikut menatap Aksara.

"K-kalian percaya sama Semesta?" Aksara tersenyum hambar. "Itu bohong, gue gak hamil."

"Lo bohong," ujar Analisa dengan mata memicing. "Mata lo lirik sana-sini, pergerakan lo juga aneh." Analisa menyelidik gerakan tubuh Aksara.

"Jujur sama kita, lo beneran hamil?" Asean bertanya.

Aksara menghembuskan napas kasar. Ia menggigit bibirnya dan memalingkan muka mencoba menghindari tatapan tajam dari seorang pria. "I-iya, gue hamil."

Semua nampak menegang. Althea dan Analisa langsung mendekati Aksara yang sudah berkaca-kaca.

"Lo udah cek ke dokter?"

Aksara menggeleng. "Gue cek pake testpack tiga kali dan hasilnya sama, garis dua."

"Siapa?" lirih Analisa. "Siapa pria brengsek yang udah buat lo hamil?"

Aksara diam tak menjawab, memalingkan wajahnya.

"Jawab, Sa!" desak Althea.

Aksara menggeleng, ia menatap kedua temannya sembari tersenyum. "Udah ah, lupain. Sekarang fokus nonton balapan aja."

Plak.

"Lo gila, hah?" Analisa menampar Aksara.
Semua pria yang tadinya diam langsung mendekat.

"Kita khawatir, kita cemas sama keadaan lo. Lo malah kayak gini. Jangan berpura-pura, jangan sok menutupi, belajar terbuka bisa gak sih?"

"Shit, bukan sekarang waktunya, Ana!" Aksara menatap Analisa frustasi. "Biarin gue tenang dulu, nanti gue bakal cerita."

"Kapan?" sewot Analisa emosi. "Kapan, hah? Kalo aja Semesta tadi gak bilang gitu kita semua gak bakal tahu. Lo gak pernah mau cerita apapun. Lo anggap kita apa sih, Sa?" Analisa sudah menangis. Ia tidak terima dengan apa yang telah Aksara alami.

"Arghhh."

Aksara mengacak rambutnya frustasi mengingat kejadian beberapa jam lalu.

"Semesta sialan," umpatnya dengan napas memburu. Ia membaringkan tubuhnya di bath up yang sudah terisi air penuh.

Pikirannya kembali membayangkan saat bersama Atlantik beberapa menit lalu. Tatapan pria itu tajam, sikapnya berubah menjadi dingin. Aksara takut, tentu saja. Atlantik tak biasanya seperti itu. Ia tahu semua ini pasti akan terjadi. Namun Aksara tak menyangka jika Atlantik akan merespon seperti itu saat tahu apa yang terjadi pada dirinya.

Ia mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Atlantik. Aksara harap Atlantik kembali bersikap seperti semula apabila mereka bertemu nanti.

...

Prang

"Arghhh!"

"Shit!"

"Sialan!"

"Mati lo brengsek!"

Atlantik melempar bola basket ke arah pintu balkon yang terbuat dari kaca. Suara nyaring terdengar. Kaca tersebut pecah dalam hitungan detik.

Atlantik menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dengan napas memburu. Dobrakan pintu yang sudah terbuka tak ia pedulikan.

Sandra menutup mulutnya melihat kamar Atlantik yang sudah hancur. Atlas dan Antartika segera mendekati Atlantik.

"Atlan?" Atlas hendak meraih lengan Atlantik namun dengan cepat ditepis.

"Keluar, Bang. Atlantik malu." Pria itu membalikkan tubuhnya menjadi tengkurap.

"Lo kenapa? Kalau ada masalah cerita, jangan rusakin semua barang kayak gini."

"Atlan gak papa."

"Atlan ...."

Sandra mendekati Atlantik dengan wajah memerah, matanya sudah mengeluarkan air mata.

"Maafin Buna, sayang. Jangan kayak gini."

"Atlan gak papa, barang-barang yang rusak nanti Atlan ganti."

"Buna gak peduli sama barang, Buna peduli sama kamu. Kalau ada masalah cerita sama Buna, jangan kayak gini."

Atlantik tertawa, ia bangkit menatap Sandra meremehkan. "Kalau Atlantik cerita emang Buna bisa selesaikan masalah Atlantik? Gak gampang, Bun."

"Mending kalian keluar, gak usah banyak bacot."

"Gak usah sok peduli kalau nyatanya cuma basa-basi."

Bugh

"Bangun lo!" Antartika memukul rahang Atlantik. Matanya semakin menajam. Ia sedaritadi diam bukannya tak peduli, tapi ia mencoba menahan emosi melihat kelakuan adiknya sampai ia tidak tahan untuk memukul Atlantik yang sudah keterlaluan.

Bugh

"Sadar!" Antartika memukul Atlantik lagi.

Atlantik tertawa. Mengibaskan tangannya seolah tak merasa sakit.

"Sudah Anta, jangan pukul Atlan!" Sandra mendorong Antartika kuat hingga punggung pria itu membentur ujung kaca yang retak.

"Shit." Bumi mengumpat ketika melihat cairan kental merembes mencetak kaos Antartika. Ia yang tadinya menyandar di pintu melangkahkan kakinya mendekat.

"Lo gak papa?" Atlas menatap Antartika cemas. Antartika menggeleng kecil dan bergerak menjauh tanpa banyak bicara. Atlas menatap Sandra kecewa.

"Niat Anta baik, Bun. Anta gak suka Atlan yang kasar, kenapa Buna malah dorong Anta?" Atlas menggeleng tidak habis pikir. Ia melangkah menyusul Anta yang berdiri di ambang pintu sembari berusaha membersihkan lukanya tanpa meminta bantuan.

"B-buna, Buna gak sengaja." Sandra mematung melihat kejadian barusan. Matanya mengerjap hingga satu tetes air mata kembali lolos.

"Seneng?" Bumi menatap Atlantik datar. Sandra ia bawa ke belakang punggungnya, melindungi. Tangannya bersidekap dada. Atlantik memalingkan mukanya. Tatapan Bumi sangat mematikan.

"Tell me," lanjut Bumi masih cukup tenang.

Atlantik tetap tak mau bersuara.

"Wanna play with your dad, son?" Suara Bumi mulai merendah. "What's wrong with you?"

Bumi mencengkram dagu Atlantik cukup kuat. Tatapannya menghunus tajam. "Why?"

"Atlan gak lakuin itu, tapi kenapa Atlan dituduh?" Atlantik mulai bersuara. Atlas dan Antartika yang masih berada di ambang pintu menoleh.

"Melakukan apa, Son?" Bumi semakin kuat mencengkram dagu Atlantik agar anaknya mau berbicara.

"Mas." Sandra hendak menyentuh lengan Bumi berniat memberhentikan perlakuan suaminya. Namun saat Bumi menatapnya tajam Sandra mengurungkan niatnya.

Atlas berjalan mendekat dan membawa Sandra untuk menjauh.

"Jawab saya, apa yang telah kamu lakukan sampai seperti ini?" Bumi mulai berbicara formal. Tatapan Elangnya mampu membuat lawan tak berdaya. Bumi yang seperti ini mengingatkan Sandra pada kejadian beberapa tahun silam saat pria itu masih menjadi sosok psikopat. Tatapan Elang seperti inilah yang selalu Bumi berikan kepada lawan yang akan ia bunuh.

"Oh, menghamili anak orang?"

Perkataan Bumi yang tiba-tiba membuat semuanya terlonjak. Sandra yang hendak mendekat dengan cepat Atlas tahan. Ia takut ibunya terkena amukan sang ayah jika ikut campur.

"That short message," ujar Bumi menunjuk ponsel Atlantik yang tergeletak di ranjang dan menampilkan sebuah notip pesan.

Antartika berjalan menuju ranjang dan meraih ponsel membaca pesan tersebut.

Aksara
Gue gak bohong, gue hamil anak lo, Morfo.

"Benar itu Atlan?" Bumi masih bersikap tenang, tatapannya datar namun terkesan menyelidik. Urat dilehernya mulai mengetat menandakan ia sudah mulai terbawa emosi.

"Atlan gak tahu, Atlan ngerasa Atlan-"

"Iya atau tidak?" desis Bumi bernada rendah.

"Pa," lirih Atlantik.

"Iya atau tidak sialan?!" Bumi membentak sembari mendorong kuat tubuh Atlantik hingga tersungkur.

"Gak!" balas Atlantik ikut membentak. "Atlan gak mungkin lakuin hal keji kayak gitu! Deket sama perempuan aja Atlantik gak ada waktu. Atlan sibuk belajar, sibuk latihan, sibuk les lukis. Atlan gak lakuin itu, enggak Pa! Tolong percaya-"

Plak

Sandra membungkam mulutnya menahan tangis. Atlas sudah menarik ibunya ke dalam pelukan menenangkan. Terkejut, kecewa dan sakit yang tengah Sandra rasakan sekarang.

"Lalu pesan itu? Apa sebuah lelucon?"

"Atlan gak tahu, Atlan juga bingung. Atlan-"

Plak.

Bumi kembali menampar Atlantik kuat.

"Pa, cukup." Antartika membuka suara. Namun tak dihiraukan Bumi.

"Bangun!" Bumi menendang kaki Atlantik yang berdarah karena pecahan kaca. Atlantik tak meringis, dengan cepat ia bangkit dengan kepala menunduk.

"Buktikan pada Papa kalau itu bukan kamu."

Atlan mengangguk cepat. "Atlan pasti cari bukti."

"If all of that is true, you know what will happen."

"Iya, Atlan paham."

"Bereskan ruangan ini sendiri, jangan meminta bantuan siapapun. Tidak usah seperti itu, merasa sok frustasi. Bukan waktunya untuk menyesal." Setelah mengucapkan itu Bumi melenggang pergi dengan tenang dan tak lupa membawa Sandra.

"Ingatkan Papa untuk menghukum kalian karena sudah membuat istri Papa menangis."

Ketiganya memalingkan muka. Mereka melupakan sikap possessive ayahnya.

"Bang." Atlantik menatap kedua kakaknya.

"Jangan bicara sama gue." Atlas dengan cepat berbalik dan segera pergi keluar dari kamar Atlantik.

Antartika menatap Atlantik cukup lama. Ia duduk di ranjang dan bersidekap dada.

"Gak pergi, Bang?" tanya Atlantik. Pria itu duduk di samping Antartika mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Sesekali meringis mulai merasakan sakit akibat bekas tamparan sang ayah. Ditambah lagi sebelumnya Antartika memukulnya dua kali.

"Kapan?" Antartika balik bertanya.

Atlantik menoleh. "Shh-kapan apanya?"

Antartika berdecak, menatap tajam adiknya.

"Ck, gue gak ngelakuin itu Bang, sumpah! Ke Club aja gak pernah, lo selalu larang. Ketemu sama dia juga gue selalu di sekolah, gak mungkin kalo gue ngelakuin itu di sekolah."

Antartika berdecih. "Jebakan?" tebaknya membuat Atlantik mengernyit.

"She like you, but you don't."

"Maksudnya?" tanya Atlantik lalu meringis saat kepalanya dijitak.

"Pantes, bodoh."

Setelah mengucapkan itu Antartika bangkit dan berlalu meninggalkan Atlantik yang dilanda kebingungan.

"Punggung lo terluka, Bang."

"Gak sakit."

"Iya, gak sakit. Gue tahu rasa sakit lo cuma kalo dapet nilai kecil!"

Antartika tak menghiraukan perkataan Atlantik. Ia terus melangkah hingga menghilang di balik pintu.

"Jebakan?" gumam Atlantik mencoba  mencerna.

"Arghh, sialan! Kenapa harus sakit sekarang, sih?" Atlantik berdecak mengambil air di nakas dan membersihkan darah di kakinya.

Matanya tak sengaja menatap ponsel yang masih menampilkan pesan dari Aksara.

"Shit, sial banget hidup gue." Atlantik merampas ponsel itu dan melemparnya kuat hingga pecah tak berbentuk.

Ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang, menatap langit kamar dengan pandangan menerawang.

"Ciuman aja gak pernah, masa tiba-tiba ngehamilin? Aneh," gumamnya pelan. "Apa gue mabuk? Gak mungkin. Minum cola-cola aja gue langsung tepar."

...

QnA

Q : Atlan beneran hamilin Aksara?
Atlan : Lo percaya sama gue gak kalau gue bilang gue gak ngelakuin itu?

Q : Cerita ini bakal konflik ringan atau berat?
Mumi : Ringan menurut aku, but gak tau nanti menurut kalian.

Q : Cupang apa kabar? Udah bertelor belum?"
Cupang : Pekok pekok pekok kongkorongok
Atlas : Maksud Cupang, dia itu jantan dia gak bertelur, bro.

Q : Sandra, daftar jadi calon nanti boleh?
Sandra : Boleh, IQ kamu berapa?

Q : Anta kenapa ganteng banget?
Antartika : Have you seen my face?

*Perasaan konflik cerita gue tentang hamidun mulu dah🤧 But, tenang. Nanti kalau ada konflik baru beda lagi, deh😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top