Multi Suspicantur

Multi Suspicantur = Banyak Tersangka
..

BACA PART INI SIAPIN MENTAL, HIHI. BISMILLAH DULU, JANGAN EMOSI. HARUS VOTE, KOMEN JUGA, RAMEIN GUYS!

HAPPY READING!
..

     Detik itu juga Aksara langsung dilarikan ke rumah sakit. Mereka menemukan banyak lebam di seluruh tubuhnya. Bumi, Bima dan Raksa sudah menuju markas untuk melakukan penyelidikan selanjutnya. Mereka sudah mendapatkan beberapa informasi dari banyak pihak.

Berbeda dengan Atlas, pria itu kini berdiri di taman rumah sakit dengan ponsel ia tempel di telinga. Beberapa kali mencoba menghubungi Antartika namun tak ada jawaban sama sekali.

Atlas berjalan mondar-mandir dengan wajah khawatir. Ia takut Antartika berbuat sesuatu yang kembali menimbulkan masalah baru.

"Ck, lo di mana sih?!" dumelnya terus mengotak-atik ponsel. "Jangan sampai Papa tahu," desisnya pelan.

"Nyari Anta?" celetuk sosok dari belakang Atlas.

Atlas berbalik mendapati Arshaka berdiri di hadapannya dengan raut tenang.

"Kok lo bisa ada di sini?" Atlas mengernyit.

"Analisa," jawabnya singkat.

Atlas mengangguk paham, maksud Arshaka pria itu datang ke rumah sakit karena Analisa yang terluka, selain Aksara gadis itu juga ikut dirawat di sini karena tubuhnya melemah.

"Jadi, di mana Anta?" tanya Atlas.

"Sama Asean."

"Di mana?" tanya Atlas cepat, pikirannya mulai bercabang begitu mendengar nama Asean disebut.

"Latihan basket di komplek," balasnya singkat lalu duduk di salah satu kursi dengan pandangan lurus ke depan.

"Serius lo?" Atlas memicing merasa tak percaya. Arshaka hanya mengangguk singkat.

Atlas langsung mengetik nama Asean di ponselnya dan menghubungi pria itu. Panggilan tersambung.

"Halo Tlas? Gue lagi di jalan ke rumah sakit. Gue udah denger beritanya dari Anta." Suara Asean langsung terdengar di indra Atlas.

"H-hah? Ah oke." Atlas mendadak kikuk, ia bingung. Pikirannya kembali bercabang.

"Jangan sampai Aksara tahu gue sama Anta ke sana, oke?"

"Lah? Kenapa?" tanya Atlas penasaran.

"Turutin aja, pokoknya jangan sampai Aksara tahu kita ke sana. Satu lagi, jangan biarin dia pergi kemanapun, perketat penjagaan ruangan dia."

"Jelasin sesuatu ke gue Asean, jangan bikin gue bingung!"

"Ck, gak ada waktu. Gue matiin dulu."

tut.

Atlas menatap layarnya dengan pandangan bingung. Melihat reaksi Asean, Atlas merasakan ada sesuatu yang aneh. Bukan seperti seorang pelaku yang berkedok menjadi baik. Melihat dari sudut pandangnya sendiri Atlas malah merasa Asean membantu menyelidiki, bukan sebagai tersangka.

Jika pelakunya bukan Asean atau Antartika, lalu siapa?

...

"Aksara di mana?"

Atlas dan Arshaka bangkit dari duduk mereka begitu Asean dan Antartika datang.

"Tadi sih masih diperiksa, mungkin sekarang udah pindah ruangan." Atlas menjawab dengan pandangan fokus menatap adiknya.

"Om Bumi ada?"

"Ke markas," balas Atlas. "Lo ke mana aja?" tanyanya beralih pada Antartika.

Antartika mendongak, menaikkan satu alisnya. "Kenapa?"

"Gue tanya lo darimana aja?" tegas Atlas menatap tajam adiknya.

"Main basket," balas Antartika cukup tenang.

"Ck, awas aja kalo lo terlibat. Jangan harap gue mau maafin lo," desis Atlas membuat Antartika mengernyit.

Atlas yang melihat itu berdesis, kemungkinan Antartika belum menyadari kalungnya yang hilang, kemungkinan lain juga Antartika berpura-pura tidak mengerti dengan kode yang Atlas berikan.

"Udah-udah, jangan berantem. Anta seharian sama gue, kita main basket. Tiba-tiba tadi Arshaka bilang kalau kalian ke rumah sakit kita langsung ke sini. Kejadiannya gimana kok bisa kayak gini?" tanya Asean mengernyit.

Baru Atlas akan menjelaskan tiba-tiba Bumi, Bima dan Raksa datang. Mereka dikejutkan dengan suara pukulan keras yang Bumi layangkan pada Antartika.

"Pa?" Atlas langsung berdiri di depan Antartika melindungi adiknya. "Ada apa?"

"Minggir Atlas! Papa perlu bicara sama anak gak tahu diri ini!" Bumi terus fokus menatap Antartika dengan tajam. Terpancar raut marah di wajahnya.

"Tenangin diri lo, Bum. Bukan waktunya, sekarang kita masih perlu selidikin kasus Aksara." Raksa hendak melerai namun Bumi menepisnya cukup kuat.

"Minggir Atlas!" bentak Bumi wajahnya semakin memerah. Tangannya terkepal dengan napas memburu. Siapapun tahu bahwa Bumi tengah marah sekarang, emosinya sudah meluap.

Antartika langsung mendorong Atlas untuk menyingkir. Ia menatap ayahnya datar.

Plak.

"Sejak kapan?!" teriak Bumi nyaring membuat seluruh pengunjung melirik ke arahnya. Pria dengan napas memburu itu mencengkram dagu Antartika cukup kuat membuat sang empu berdesis.

Keduanya saling melempar tatapan tajam. Bima dan yang lain hanya bisa bungkam tak bisa berbuat apa-apa. Es dengan es mau di apakan?

"BUMI!"

Sandra menutup mulutnya tidak percaya melihat kejadian tersebut. Ia berlari mendekati mereka. Berdiri di depan Bumi melindungi Antartika.

"Kenapa Anta ditampar?" Sandra mengusap pipinya kasar begitu tetesan air mata jatuh mengenai pipinya.

"Minggir," desis Bumi dengan pandangan fokus menatap Antartika. Tak peduli siapa di depannya. Ia sungguh marah sekarang.

Sandra menggeleng kuat. "Jelasin ada apa? Anta kenapa?"

Bumi tetap tak menjawab, tangannya semakin terkepal kuat. Atlantik, Brianna dan Audy yang tadi mengejar Sandra langsung menghampiri mereka dan seketika bungkam melihat pemandangan di depan mereka.

Atlas langsung menarik Sandra untuk menjauh, mengurung ibunya agar tidak mendekati Bumi yang sedang dalam emosi memuncak. Sekuat tenaga Sandra memberontak ia akhirnya pasrah dan memperhatikan dengan raut cemas.

"Atlan sudah coba Papa kendalikan, tapi kenapa sekarang kamu yang berulah?" Bumi kembali mencengkram dagu Antartika kuat dengan mata tajam menembus netra milik Antartika.

"Pembunuhan berantai, kenapa kamu melakukannya sialan?" Bumi semakin kuat mencengkram dagu Antartika. Tersirat tatapan kecewa di matanya.

Sandra dan yang lain tentu terkejut mendengar perkataan Bumi. Pembunuhan berantai tentu sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Berita itu sudah menyebar dan menjadi topik hangat.

Sandra bahkan pernah mengira bahwa itu semua ulah Bumi. Mengingat para preman yang menjadi korban sempat adu mulut dengan Sandra. Namun nyatanya?

Kemarin Atlantik yang berulah, sekarang Antartika? Tidak mungkin!

Sandra menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan mulut dibekap. Ia tidak mau kejadian Bumi terulang kembali. Ia tidak mau para putranya menurun sikap dari Bumi. Berdarah dingin, suka membunuh. Tidak, Sandra tidak mau!

"Maksud kamu apa? Antartika gak mungkin ngelakuin itu!" Sandra mencoba melepaskan kukungan Atlas namun tidak bisa. Matanya menatap Bumi dengan tajam. sembari menahan isak tangis.

Atlas mulai terdiam memikirkannya. Darimana ayahnya tahu? Bisa berbahaya jika rahasianya juga ikut terbongkar. Sandra dan Bumi akan semakin kecewa.

"Anta, kamu gak melakukan itu semua, kan? Bilang sama kita semua kamu gak ngelakuin itu, Anta." Sandra menatap Antartika sayu dipelukan Atlas.

Antartika berdesis begitu cengkaraman ayahnya di lepas. Ia mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Matanya menatap Sandra lama, sangat dalam.

"Maaf," ujarnya pelan.

Satu kata yang mampu membuat Sandra meluruh dengan tubuh lemas. Yang lain juga ikut memalingkan muka tidak percaya. Rupanya darah psikopat masih terus berlanjut pada keturunan Bumi.

Bugh

"Keterlaluan kamu! Berani-beraninya melanggar peraturan keluarga!"

Bugh

"Stop Om!" Asean mencegah Bumi yang hendak memukul Antartika kembali. "Antartika melakukan itu semua karena dipancing. Dia gak sepenuhnya membunuh mereka."

Perkataan Asean membuat mereka menatap pria itu dengan pandangan tak bisa diartikan.

"Kita gak bisa percaya sepenuhnya, lo adalah satu-satunya orang yang dikatakan Aksara menjadi pelaku." Atlantik bersuara. Ia mengingat perkataan Aksara saat itu. Dengan tegasnya gadis itu mengatakan Asean sebagai pelaku.

Asean dan Antartika langsung saling tatap, lalu keduanya tersenyum sinis.

"Dan Akhtar, dia mencurigai Bang Anta karena saat di rumah sakit waktu itu. Setelah kejadian di mana Aksara histeris Akhtar nemuin bercak darah di tangan Abang." Atlantik lanjut bercerita, menatap Antartika dengan pandangan tidak bisa di artikan. Antara yakin tidak yakin.

Antartika kembali bersitatap dengan Asean. Lalu saling melempar senyum sinis yang semakin menambah kecurigaan mereka yang memperhatikan.

"Ada lagi?" tanya Asean menatap semua orang. Kini raut wajahnya berubah seperti menantang. dengan senyum yang berubah terkesan meremehkan.

"Sekarang jujur aja sama kita semua. Lo udah kita kepung." Atlas bersuara. Bima, Raksa, dan yang lain sudah benar-benar berdiri mengelilingi Asean dan Antartika.

Perkataan Atlas membuat Asean tertawa. Ia menepuk bahu Antartika dengan tawa yang cukup memuakkan. Antartika mendengus, menepis lengan Asean kasar.

"Kalian semua kena tipu," ujar Asean masih dengan sisa tawanya.

"Iya, kita semua kena tipu lo. Orang yang kita anggap baik ternyata diam-diam punya niat untuk menghancurkan." Atlan menjawab dengan sarkas. Asean malah semakin tertawa kencang.

"Bodoh, kalian semua kena tipu sama Aksara!" tuding Asean membuat mereka terdiam mencoba mencerna perkataan Asean.

"Selama ini Asean sama Antartika gak diem aja, kita bantu bergerak secara diam-diam. Kita berdua main cantik, masuk ke dalam lingkaran Aksara secara perlahan dengan cara yang berbeda." Asean mengusap wajahnya kasar. Perkataannya memang terdengar tidak akan meyakinkan mereka semua. Tapi percayalah, Asean berbicara fakta.

"Asean sama Anta bakal jelasin semuanya secara detail. Tapi untuk sekarang kita harus tahan Aksara, jangan biarkan dia sendirian. Jangan ada yang ngasih tahu Asean sama Anta ada di sini."

"Kenapa kita gak boleh ngasih tahu?" tanya Audy. "Apa karena Aksara tahu kalian pelakunya, jadi kalian sengaja menahan Aksara dan ingin mempermainkan kita semua?" lanjut Audy dengan tatapan menyelidik.

Asean menghela napasnya. Memang sulit membuat mereka percaya.

"Asean serius, Asean bukan pelakunya. Coba kalian pikir. Ngapain Asean ngehancurin keluarga Catra? Apa untungnya? Asean aja ngejar cinta Althea belum kesampaian, kalau sampai ngancurin keluarga Catra yang ada Asean gak dapet restu!" tukas Asean mulai berbicara ngaler ngidul. Ia kelewat kesal karena mereka semua tidak ada yang mempercayai dirinya.

"Arshaka yang jamin," ujar Arshaka yang sedari tadi diam. Pria itu berdiri di samping Asean dan menatap ke arah Bumi. "Bukan Asean ataupun Anta."

Bumi menghela napasnya. Mengusap wajahnya kasar.

"Aksara lagi sama Althea ada Analisa juga. Gue hubungin Althea buat pantau Aksara," celetuk Atlantik mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Analisa.

Atlantik sedikit percaya, perkataan Asean terlihat meyakinkan. Alasannya juga cukup masuk akal. Ia akan mengikuti permainan pria itu.

Seluruh orang di sana masih terdiam dengan pandangan tak bisa diartikan. Antara ingin percaya tapi masih meragukan. Semua ini terlihat sangat membingungkan. Mereka tidak tahu harus menaruh kembali rasa percaya kepada siapa.

"Gimana Bum?" tanya Raksa membuka suara. Semua ini harus di selesaikan dengan cepat. Dan keputusan ada di tangan Bumi.

Bumi memejamkan matanya sebentar. Ia menatap Asean dan Antartika bergantian dengan tatapan menilai.

"Saya kasih satu kesempatan kalian untuk mengambil alih masalah ini. Jika kepercayaan yang sudah saya berikan ternyata tidak membuahkan hasil kalian berdua tahu konsekuensinya." Bumi merapihkan jasnya sebentar dan menatap Antartika cukup lama.

"Kita ke Markas dan jelaskan semuanya di sana tanpa ada yang disembunyikan."

"Jangan mencoba bermain-main dengan seorang King."

Bima dan Raksa bergidik mendengar itu. Jika Bumi sudah mengatakan kalimat tersebut tandanya ia benar-benar sedang berada di ambang kemarahan.

Antartika dan Asean mengangguk mantap. Mereka akan menjelaskan semuanya dari awal. Tentang kecurigaan, penyelidikan, dan sebuah pengorbanan.

...

"Aksara belum sadar juga?" tanya Althea menghampiri Analisa yang duduk di samping brankar Aksara.

Analisa nampak menggeleng pelan. Terus menatap wajah tenang sahabatnya dengan sendu. Althea menepuk bahu Analisa.

"Aksara bakal baik-baik aja, percaya sama gue."

Analisa menghela napasnya, menggenggam tangan Althea erat. "Gue takut depresi Aksara makin parah. Tubuh dia udah makin rusak, Al."

Analisa menatap nanar seluruh tubuh Aksara yang terdapat banyak lebam dan sayatan. Tak hanya fisik, mentalnya ikut terguncang. Ia cukup merasa kasian dengan Aksara. Ia tidak salah, ia hanya manusia yang mencintai tanpa balas dicintai. Ia dijadikan alat, diperguna dan dimanfaatkan sesuka hati dengan tak berdaya.

"Kita bakal bantu Aksara sembuh, setelah kita tangkap pelakunya."

"Gue pengen banget bunuh itu pelaku, Al. Dia siapa sih? Sampai setega itu memperalat Aksara segininya."

Althea bungkam, sekelebat bayangan saat Atlantik mengatakan nama Asean sebagai pelakunya mulai terngiang di pikirannya.

Analisa yang menangkap raut tak biasa dari Althea mengernyit. "Jangan bilang lo tahu siapa pelakunya?" selidik Analisa.

Althea mengerjap, lalu menggeleng. "Gak kok, gue gak tahu."

Analisa menghela napas, menopang dagu dan menatap Aksara dengan pikiran menerawang. Althea ikut bernapas lega begitu Analisa percaya dengan ucapannya. Ia mengambil ponsel saat merasakan benda tersebut berdering di sakunya. Rupanya Atlantik yang mengirim pesan.

"An," panggil Althea pelan.

Analisa menoleh dengan alis tertaut.

"Atlan ngirim pesan, kita berdua jaga Aksara sampai dia bangun."

"Yang lain ke mana?"

"Markas, ada Asean sama Anta juga katanya di sana."

Analisa mengangguk dan kembali menatap Aksara. Mengusap punggung tangan sahabatnya setia menunggu sampai ia membuka mata.

"Oh, shit. Dua tikus itu kenapa ikut campur lagi?!"

Althea dan Analisa tersentak kaget saat tiba-tiba Aksara mengumpat dan membuka matanya.

"A-aksara?" Althea melotot, terkejut.

Aksara menoleh, lalu tersenyum lebar. Senyum asing yang membuat Althea dan Analisa merasa was-was.

"Hai!" Aksara menyapa Althea dan Analisa dengan senyum lebar. Setelahnya ia menyeringai, dan bangkit dari tidurnya.

"Dramanya udahan, kita mulai sekarang aja kali, ya?" ujar Aksara membuat Althea dan Analisa mengernyit.

Keduanya sontak mundur dengan raut semakin terkejut begitu melihat Aksara mengeluarkan pisau lipat.

...

Sungguh ringan sekali, bukan?

Puncak konflik di next part, tenang aja jangan emosi nanti bacanya, xixi.

Yuk, spam dan ramein.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top