Hagwhss

Atlan jomblo, Catur juga jomblo. Emm sabi gak sih?

Makasih loh buat yang udah pada setia nunggu dan anteng baca cerita ini. Sayang bgt sama kalian😭

HAPPY READING!

...

Di ruangan yang begitu luas tiga pria tengah duduk saling berdampingan dengan tangan bersidekap dada. Pandangan mata ketiganya mengarah pada sosok balita yang tengah bermain sendirian memainkan squishy di lantai beralas karpet.

"Don't touch this, little girl." Atlas menegur dengan nada rendah. Melihat adiknya menyentuh sesuatu di sana. Alinea, balita yang sudah bisa duduk itu menoleh. Lalu tertawa sendiri menampilkan gigi yang siap tumbuh di gusi atas. Dengan sengaja malah menyentuh apa yang sudah kakaknya larang. Membuat Atlas menghela napasnya melihat beberapa berkas milik ayahnya yang tersimpan di bawah meja, kini sudah dimainkan oleh adiknya.

"Put that thing back where it belongs," tegur Atlas. Alin balas tertawa lagi, seolah perkataan Atlas adalah sesuatu yang lucu. Air liur perlahan menetes mengenai berkas milik Bumi. Membuat ketiga pria yang duduk di sofa menghembuskan napas kasar.

"Alin lama-lama kayak Buna, keras kepala, jahil, ngeselin. Untung dia gemesin," gerutu Atlan pelan. Pandangannya masih setia menatap Alinea yang kini sudah melempar berkas asal dan merangkak menuju jejeren boneka yang di tata di dalam sebuah lemari kaca tiga pintu.

"What will you take, Little girl?" tanya Atlan mulai bangkit, berjalan menghampiri Alin. Pria itu berjongkok di hadapan Alin, meraih sebuah ikat rambut yang ia jadikan gelang. Sengaja agar ia bisa bersiaga untuk mengikat rambut Alin seperti sekarang yang sudah ia kuncir atas.

"Dis!" Alin yang terduduk mendongak, lalu menunjuk ke arah boneka harimau kecil yang posisinya berada tepat di atas kepala balita itu hingga ia tidak bisa menggapainya. Atlan ingat, itu milik Anta saat kecil dulu.

Sebuah tangan mungil bertepuk tangan sambil menggerakan pantatnya begitu boneka yang ia inginkan sudah di ambil. Atlan memberikan boneka tersebut pada Alin. Lalu duduk di depan adiknya, meraih wajah Alin dan memberi kecupan di pipi gembulnya.

"Cucu!!" Alin tertawa sembari menepuk-nepuk lengan Atlan.

"You're welcome, dear. All just for you." Atlan menggendong Alin dan mendudukan balita itu di karpet kembali. Ia bergabung di sana duduk tepat di depan Alin.

"Haghwss!" Alin tiba-tiba menggeram menatap Atlan dengan wajah mengerut, tangan mungilnya membentuk seperti ingin mencakar. Lalu setelahnya, kembali tertawa.

Ketiga pria tampan tersebut terkekeh. "You can't say Rawr, little girl." Atlas menyahut dan karena gemas langsung menghampiri Alin, menghujani dengan banyak kecupan.

"Cop!" Alin memukul wajah Atlas. Memintanya untuk berhenti mencium. Atlas langsung menjauh. Lalu matanya terbelalak kala melihat apa yang dilakukan Alin setelahnya. Tidak hanya Atlas, Anta dan Atlan juga ikut terkejut sampai reflek keduanya berdiri.

"Don't do that," tegur Anta. Alin menoleh, lalu tertawa. Semakin sengaja melakukannya kembali.

"Oh shit," gumam Anta sangat pelan.

"Cit?" Alin bersuara sembari mematap Atlas yang masih setia menggendongnya. Tangan mungilnya menepuk pipi Atlas. "Cit!" serunya lalu tertawa.

Atlas dan Atlan sontak menatap tajam Anta yang kini sudah menggaruk kepalanya kikuk. "Sorry," ujarnya pelan sembari mengangkat bahu.

Alin bertepuk tangan. "Yiyi huh yiyi!" Atlas kembali menurunkan Alin, sehingga kini adiknya sudah duduk di karpet.

"Dis cit!" seru Alin mengangkat tangannya sembari tertawa. Ketiga pria itu kembali terkejut.

"ABAH, BUNA, ALIN NGASI JARI TENGAH! INI SIAPA YANG NGAJARIN?!" teriak Atlan syok.

Alin yang mendengar teriakan Abangnya malah tertawa. Pipi gembulnya bergetar. "Yash!" ucapnya sembari kembali menggoyangkan pantat dan bertepuk tangan.

...

Kalian tentu sudah paham dengan sikap para perempuan jika sudah dalam mode kepo. Melihat pria yang disukai berjalan dengan perempuan lain. Segala cara akan kalian lakukan, stalker akun si perempuan sampai akar, memperhatikan fisik dan latar belakangnya, tak lupa membandingkan ia dengan dirinya sendiri.

Siapakah yang lebih perfect?

Ya, intinya nyari penyakit.

Analisa, adalah salah satu dari barisan perempuan yang melakukan hal tersebut. Sore ini saat pulang dari pelatihan, Analisa melihat Atlas yang sedang berbincang dengan perempuan. Dia salah satu murid baru dipelatihan. Analisa ingat namanya Cahaya Bulan. Dan inilah ia sekarang. Menstalker habis-habisan perempuan yang di sering disapa Bulan tersebut.

Analisa terus scrol sampai akar, tepat sampai Bulan memposting sebuah foto untuk pertama kalinya di akun tersebut. Pada tahun 2015.

Wajahnya memang cantik, sangat baby face. Rambutnya pendek sebahu, berwarna coklat gelap. Berbeda dengan dirinya yang panjang dengan gaya blonde.

Dia seorang model yang entah kenapa merembet ikut pelatihan tinju seperti ini. Padahal kalau di pikirkan secara logika, ini semua tidak ada kaitannya. Model yang dikenal anggun, beribawa dan begitu menjaga image bisa mendadak ikut pelatihan tinju yang dikenal beringas.

Ah, satu lagi.

Apakah Atlas menyukai perempuan berambut pendek? Seperti Bulan?

Senyumnya sangat manis, bahkan terlihat lesung di pipinya. Oh apakah Atlas juga menyukai perempuan yang seperti itu?

Analisa mengacak rambutnya frustasi. Sial, kenapa ia menjadi cemas begini? Bagaimana jika Atlas menyukai gadis itu?!

"Sial, awas aja kalau dia suka sama si Bulan. Gue hajar pake jurus andalan gue!" cetus Analisa kesal sembari meremas boneka boba pemberian Atlas.

"Ck, kenapa juga tuh cewek harus cantik, sih?!" gerutu Analisa lagi. "Si Atlas lagi pake segala senyum sana-sini. Sok ganteng banget, tebar pesona segala!" Analisa terus merutuk.

Pintu Apartemen terbuka. Analisa semakin mengeluarkan wajah masam. Ia sudah tahu siapa yang datang tanpa melihat. Satu-satunya orang yang mengetahui password Apartemen adalah laki-laki yang sedaritadi menjadi bahan kecemasan dirinya sendiri.

"Ana, gue bawa boba, nih. Tadi pas latihan katanya lagi pengen boba." Atlas datang dengan senyum lebar, menenteng sebuah minuman dan menaruhnya  di meja. Analisa mendengus masih tak mau menatap Atlas dan fokus memainkan boneka boba.

Atlas mengernyit, ia duduk di samping gadis itu. Berbalik menghadap Analisa. Kaki kirinya ia angkat dan kini berada di punggung Analisa sedangkan kaki kanannya tetap berada di bawah. Analisa seperti terkurung sekarang.

"Kenapa, hm?" Atlas bergumam rendah, menunduk memperhatikan Analisa. Tangannya menyelipkan rambut gadis itu karena menghalangi wajah.

Analisa masih tetap bungkam, kini memalingkan wajah ke kiri tak mau menatap Atlas sama sekali. Bayangan jika Atlas benar-benar pergi meninggalkan dirinya karena lebih memilih Bulan mulai terngiang di kepalanya. Analisa berdesis kesal, meremas boneka dan melemparnya tepat di wajah Atlas membuat pria itu terkejut. Hal selanjutnya, gadis itu merampas kantung kresek di meja lalu mengambil minuman pemberian Atlas dan meminumnya secara terburu-buru.

Boneka yang Analisa lempar tadi Atlas simpan di meja.  Pria itu masih setia menatap Analisa. Keningnya mengerut mencoba mengingat kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Tak lama ia tersentak menyadari sesuatu. Atlas menggeleng pelan, lalu sedikit menjauh dan menyandarkan tubuhnya di sofa dengan tangan bersidekap dada. Menatap Analisa dengan datar.

"Kecemburuan adalah penghancur mood para wanita." Atlas berceletuk, matanya tak lepas dari gadis itu.

Analisa yang mendengar itu langsung menoleh, menatap Atlas sengit. "Apa?!" sewotnya.

Tangan Kanan Atlas bertumpu pada sofa. Menatap Analisa dengan datar namun tersirat raut kesal. "Cewek emang gitu, ya?" ujarnya mendecih. "Mikir kejauhan, udah ngira ini-itu, ujungnya nyari penyakit sendiri. Tiba-tiba ngambek gak jelas, bikin cowok pusing. Ujungnya yang disalahin siapa?"

"Cowok lagi," lanjutnya sembari menggeleng tak habis pikir.

Analisa berdecih, tak menghiraukan ucapan Atlas dan sibuk memalingkan wajahnya. Boba yang ia minum sudah sisa setengah. Tangan kirinya sibuk meremas bantal sofa, sedangkan bibirnya sudah menggigit sedotan dengan kesal.

"Jangan mikir aneh-aneh, gue gak bakal suka sama Bulan. Gak minat modelan begitu." Atlas menjelaskan.

"Bacot," gumam Analisa yang malah mengundang Atlas untuk tertawa.

"Serah lo dah anjir, puas-puasin aja itu kesel gak jelas. Mikirin sesuatu yang bahkan gak akan pernah terjadi." Atlas bangkit menuju dapur untuk mengambil minum.

Analisa mendengus kesal. Meletakkan minuman tadi secara kasar. Lalu bersandar pada sofa dengan wajah masam. Jika dipikir lagi perkataan Atlas memang benar. Kenapa ia harus sekesal ini perihal sesuatu yang bahkan terlalu murahan untuk ia bayangkan. Seperti kekanakan.

"Udah sadar? Apa yang lo pikirin tadi itu adalah sebuah pembodohan?" cibir Atlas.

"Namanya juga ketakutan, cemas, ya, bisa juga terjadi!" pungkas Analisa ketus. Atlas terkekeh dan menggeleng pelan. Duduk di samping Analisa, menarik bahu gadis itu untuk ia peluk dari samping. Dagunya ia tumpu di puncak kepala Analisa.

"Gak akan terjadi, yang gue mau cuma lo, Ana. Gak ada yang lain. Jangan mikir kejauhan,deh." Atlas menyentil kening Analisa, lalu mengecup puncak kepalanya.

"Tapi dia cantik banget," gumam Analisa sangat pelan nyaris tak terdengar.

Atlas menghela napasnya. Melepas pelukan, tangannya meraih pipi Analisa. Menatap gadis itu dalam penuh kelembutan.

"Gue gak peduli, mau dia cantik, mau dia seksi atau apapun itu gue gak peduli. Lo gak perlu takut, gue udah dikurung, gue udah dikunci, gak bisa keluar lagi. Gue udah terjebak di dunia yang lo punya. Cuma lo yang bisa kendaliin gue." Atlas menyatukan kening mereka. "You're the only one, Ana. Trust me." Atlan berbisik rendah. Analisa langsung memeluk leher Atlas dan menenggelamkan wajahnya di dada pria itu. Perasaannya mulai menghangat diikuti sebuah gelitikan kupu-kupu terasa menganggu di dalam perutnya. Pipi Analisa mulai memerah.

"Gue tau kebanyakan perempuan itu sering ngalamin hal kayak gini dengan alasan paling kuat karena mereka insecure. Kalian takut doi milih yang fisiknya jauh lebih baik dari diri kalian sendiri. Itu semua jadinya bikin penyakit hati. Nyari penyakit sendiri."

Atlas menepuk pipi Analisa. "Gak usah insecure, lo cantik dengan apa yang diri lo punya. Gak harus fisik, hati dan sikap yang baik itu juga bisa bisa buat diri lo jauh lebih cantik. Jangan banding-bandingin lo sama orang lain lagi. Lo punya daya tarik sendiri, begitu juga orang lain."

Analisa melengkungkan bibirnya ke bawah. Perkataan Atlas semakin membuat perasaannya menghangat. Atlas selalu bisa membuat mood Analisa kembali baik lagi. Atlas selalu punya cara agar Analisa tidak sedih lagi. Atlas, dengan segala ucapan dan perlakuannya yang mampu membuat Analisa jatuh hati.

"Nah gitu, senyum. Jangan cemberut kayak belum di kasih jatah jajan boba."

Analisa memukul lengan Atlas. Namun tetap mempertahankan senyumnya meski malu-malu. Atlas hanya bisa menggeleng pelan. Menarik Analisa ke dalam pelukan, memeluknya begitu erat.

"Yang itu masih sakit?" tanya Atlas di tengah menikmati pelukan hangat. Dapat ia rasakan Analisa menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Atlas menghela napas lega. "Sorry, ya. Gue bakal coba berhenti ngelakuin hal itu ke lo. Sorry, Ana." Atlas menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Analisa. Ia merasa bersalah.

Analisa mengusap rambut Atlas. "Gak papa, gue juga udah terbiasa."

Atlas tetap saja merasa bersalah. Ia sangat bodoh. Tidak seharusnya ia selalu melakukan hal itu kepada Analisa. Ia harus berhenti menyakiti gadisnya.

Atlas melepas pelukan. Raut wajahnya kini terlihat kusut membuat Analisa yang melihatnya tersenyum geli. Atlas memang selalu seperti ini. Tapi keesokannya pria itu akan melakukannya lagi.

"Kenapa?" Analisa bertanya kala tangannya dituntun oleh tangan Atlas menuju pipi pria itu.

"Gue lupa, lo belum pukul gue hari ini." Atlas tersenyum kecil. "Ayo, pukul sekarang. Kebutu nanti lupa lagi."

Analisa menggeleng. "Lagi males!"

Atlas cemberut. "Ayo An, pukul gue. Masa hari ini lo gak mukul gue, sih?"

Analisa langsung mendelik. "Manusia sinting! Orang-orang pada menghindar kalau dipukul, ini malah nawar minta dipukul!"

Atlas berdecak. "Lo juga sama sintingnya! Gue sayat tubuh lo, lo-nya mau-mau aja, gak pernah marah!"

"Udah biasa!"

"Ya, gue juga sama! Udah biasa lo pukul setiap gue udah sayat tubuh lo!"

Analisa berdesis, mencubit pipi Atlas lumayan kuat sampai membuat sang empu meringis. "Udah, tuh, cubit aja!"

Atlas merenggut. "Maunya di pu-"

Bugh

"Udah, puas?!"

Atlas langsung tersenyum lebar seraya memegang pipinya yang baru saja dijotos Analisa.

"Makasih!" ujarnya mendapat delikan tajam dari Analisa.  Atlas tertawa, kembali menarik Analisa membawa gadis itu ke dalam pelukan. Memeluknya begitu erat karena gemas.

"Ck, Al?"

"Hm?"

"Lo ngerasa gak, sih, hubungan kita ini gak sehat?" celetuk Analisa setelah jeda beberapa saat.

Atlas yang tadinya sibuk menggoyangkan tubuhnya mendadak berhenti. Melepas pelukan dan menatap Analisa dengan alis terangkat satu.

"Maksud lo, karena gue yang selalu nyayat tubuh lo, dan lo yang selalu mukul gue setelahnya? Begitu?" tanya Atlas tepat sasaran. Analisa sedikit takjub dengan otak encer pria itu yang tidak pernah lemot dan selalu nyambung jika membahas sesuatu walau Analisa tidak langsung menjelaskan topik yang akan mereka perbincangkan.

"Iya, kayak gila aja. Kita saling nyakitin satu sama lain. Tujuannya untuk apa coba?"

Atlas menghela napasnya, lalu mengangguk paham. "Soal gue yang selalu nyakitin lo, gue minta maaf. Jujur kalau lagi kalut gue gak bisa kendaliin diri gue sendiri. Selalu kelepasan dan malah nyakitin diri lo. Sorry, Ana. Gue lagi berusaha buat hilangin itu semua, gue mencoba buat lawan dan hapus keinginan itu lagi."

Analisa mengangguk mengerti. Pasti tidak mudah untuk menghilangkan perasaan itu. Terlebih Atlas adalah seseorang yang memiliki darah keturunan psikopat. Resiko yang harus ia dapatkan adalah salah satunya ya seperti itu.

Jeda beberapa menit antara keduanya. Hening, saling bungkam. Sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing.

"Atlas, kita ini sebenarnya apa?" celetuk Analisa menatap Atlas serius. Pertanyaan yang selalu ia tahan kini dengan berani ia keluarkan.

Atlas menoleh, menaikkan satu alisnya. "Masih nanya?"

Analisa merenggut. "Lo belum pernah nembak gue."

"Harus pake begituan? Perlakuan gue selama ini gak membuktikan hubungan kita itu seperti apa?" tanya Atlas. Analisa langsung bungkam.

"Ana, kita udah dewasa. Kita gak perlu hal kayak gitu lagi. Cukup dengan lihat perlakuan gue selama ini ke lo gimana."

"Ini bukan masalah dewasa atau enggaknya, tlas. Ini tentang kejelasan sebuah hubungan. Gue gak mau nantinya gue malah berharap lebih, dan lo malah anggap gue teman biasa. Menyatakan perasaan bukan bentuk yang bisa mengukur sebuah kedewasaan. Hal kayak gitu penting, tlas." Analisa menatap Atlas serius.

"Jadi gue salah lagi, nih?" Atlas menghembuskan napas kasar. Analisa langsung tertawa. Mengacak rambut pria itu.

"Analisa, gue sayang dan cinta sama lo. Gue nyaman dan bahagia hidup sama lo. Puas, sayang?" Atlas tersenyum jengkel.

Analisa mendengus, memukul lengan Atlas pelan. "Geli banget!"

"Dih, giliran diungkapin malah gitu responnya." Atlas merenggut kesal mengundang Analisa untuk tertawa kencang.

"Sst." Jari telunjuk Atlas menyentuh bibir Analisa. Menyuruh gadis itu untuk diam. "So, lo mau jadi pacar gue, atau gue yang jadi pacar lo?" tanyanya serius mengelus pipi Analisa.

Pipi gadis itu memerah, wajahnya membatu dengan mata mengerjap. Mencoba mencerna ucapan Atlas.

"Jawab, Siti!" Atlas menyentil kening Analisa membuat gadis itu tersentak dan tersadar.

Analisa tersenyum lebar, menerjang Atlas dengan pelukan erat dan menghujani pria itu dengan banyak kecupan.

"Mau jadi pacar lo, mau juga lo jadi pacar gue!" jawabnya sembari tertawa. Atlas ikut tertular, memegang pinggang Analisa agar tidak terjatuh. Menggesekan hidungnya dengan hidung gadis itu.

Seperti inikah rasanya jatuh cinta?

...

Ayo spam komen!!! Ramein lagiiii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top