Extra part
Beberapa tahun kemudian.
"I have go tell My Mommy!"
Seorang anak kecil yang sudah bisa berjalan kini berlarian seraya berteriak. Membuat seluruh penghuni memusatkan pandangan ke arahnya. Rambut yang sudah dikepang ikut bergoyang mengikuti langkah kakinya yang berlarian.
"Jangan lari, Alin! Nanti jatuh," tegur sang kakak panik.
"Whele Mommy, Blo?!" teriaknya lagi menatap sang kakak.
"What?" Seorang perempuan menyahut.
"Oh hi Mommy!" Alin, anak kecil itu kembali berteriak girang. Berlari menghampiri ibunya dan bergerak memeluk kakinya.
"What's wrong?" Sandra, wanita itu berjongkok menyamakan tingginya dengan putrinya. Mengusap surai panjang sang anak dan menatapnya lembut.
"I hate Daddy!" Raut girang itu berganti dengan raut masam diikuti tangan yang bersidekap dada.
"Why? Kenapa kamu benci Daddy? Itu tidak boleh, sayang."
"Laki lo emang rada-rada, ye, San?" celetuk Bima menuruni tangga dengan wajah kesal. "Ini si boncel masa dia masukin ke koper? Dan lo tahu apa alasan dia saat gue tanya?"
Bima mengusap wajahnya kasar. "Gemas, San. Laki lo gemes sama anak sendiri sampe masukin nih boncel ke koper. Untung aja gue keburu dateng, kalau kagak itu boncel udah melempem di dalem koper!" ujarnya tak habis pikir.
"Yes, Mom! Daddy masukin Ayin ke kopel! Badan Ayin pegel, mau minta pijat abang!" Alin, gadis itu langsung berlari menuju ruangan game tempat di mana ketiga kakaknya berada di sana.
"Lo ngapain ke sini?" tanya Sandra kembali bangkit, menarap Bima dengan alis terangkat.
Bima terlihat menghela napas begitu mengingat tujuan ia datang ke sini untuk apa. Sandra yang mengerti akan raut seperti itu, terkekeh pelan.
"Ngidam lagi?" tebaknya dibalas anggukan Bima.
"Dia pengen dibikinin stadion sepak bola," ucap Bima dengan nada putus asa. Memijat kepalanya terasa pening.
Tepatnya ketika Dua bulan yang lalu, di mana mereka mendapat info mengejutkan bahwa Brianna tengah berbadan dua. Di waktu itu juga kesabaran Bima diuji.
Mengidamnya Brianna cukup menguras kesabaran Bima. Ah tidak hanya dia saja. Althea sang putri beserta keluarga yang lain juga ikut terkena.
Di bulan pertama Bima ingat, Brianna pernah mengidam ingin berjualan bakso. Bayangkan saja, seorang Brianna istri dari pengusaha itu tiba-tiba menginginkan hal seperti itu. Karena tak ingin terjadi sesuatu dengan kandungan istrinya Bima terpaksa membeli sebuah roda dan Brianna saat itu benar-benar berjualan tepat di depan rumah besarnya. Bisa kalian bayangkan bagaimana kalutnya Bima saat itu.
Bulan berikutnya tak kalah memusingkan. Brianna pernah mengidam ingin makan malam di Korea dan setelahnya menginap di Jepang. Bima hampir frustasi saat itu. Untung saja ia memiliki jet pribadi yang dapat memudahkan dirinya untuk pergi.
"Gue minta Bumi buat bantuin bikin rancangannya. Sekalian bahas urusan kantor juga."
Sandra terkekeh sembari menggeleng. "Lo beneran yakin mau kabulin kemauan Brianna bikin stadion?" tanyanya sedikit tak percaya.
"Ya, mau gimana lagi? Dia ngancem kalau gak dikabulin bakal bakar semua mobil punya gue. Gak paham lagi, istri gue kenapa begitu banget, sih?" Bima menggeleng pelan tak habis pikir.
"Namanya juga ibu hamil, hormonnya naik turun. Turutin aja selagi lo mampu. Kapan lagi coba momen kayak gini bisa lo dapetin." Sandra tertawa pelan.
"Duh, gue harap sih ini yang terakhir. Ngidam Brialay nyiksa gue." Bima bergidik pelan. "Gue balik dulu, ini Althea udah ngirim pesan. Si Bumil nangis sampe goleran di teras." Bima mengusap wajahnya kesar terlihat lelah. Menepuk bahu Sandra dan berlalu pergi.
...
"Elsa, diem dulu dong. Gue lagi zoom nih, majikan lo lagi belajar. Jangan ganggu dong!" Atlan berusaha menjauhkan Elsa yang terus berjalan bolak-balik di depan laptopnya. Menganggu Atlan yang sedang zoom bersama Arshaka.
"Nah, Alin! Sini sayang!" Atlan berteriak memanggil adiknya yang baru saja datang.
"What?" Alin menatap tajam sang kakak.
Atlan mendengus, sudah biasa diberi tatapan seperti itu. Adiknya ini masih kecil tapi sudah pandai mengeluarkan raut sok jutek.
"Ajak Elsa main dong, Kakak Bro lagi belajar." Atlan menyerahkan Elsa pada Alin. Yang tentu tubuh si kucing terlalu besar untuk Alin gendong.
"No, Ayin gak mau. Badan Ayin pegel, Kak Blo. Ayin mau minta pijet!" Alin bersidekap dada dengan wajah cuek.
"Alah ini boncel, udah nih jagain dulu si Elsa." Atlan memaksa menyerahkan Elsa pada Alin. Membuat anak kecil itu terjatuh ke belakang karena belum siap menahan beban Elsa yang berada di tangannya.
"Ish," kesal Alin langsung menyentil telinga Elsa. "Badan kamu tuh belat, Elsa! Kucing gendut!" selorohnya mendorong Elsa untuk menjauh.
Eh buset, body shaming.
Atlan yang melihat itu mendelik. "Perasaan pas masih bayi lucu, gemesin. Kenapa beranjak gede jadi ngeselin gitu? Banyak main sama Si Althea sih, dasar boncel!" gumamnya namun Alin hanya mengernyit tidak paham.
Anak kecil itu berusaha naik untuk duduk di sofa. Pergerakannya seolah sedang memanjat pohon yang tak bisa digapai. Membuat Atlan tertawa. Ia langsung membantu adiknya.
"Tadi pas Alin main di lual lumah sama Mang Jali, ada olang jatuh di tengah jalan, Kak Blo. Telus motolnya kelempal jauh, sampai lusak. Omnya juga kepalanya beldalah, yang satu lagi malah sampai jatuh ke selokan." Alin mulai bercerita.
Atlan langsung menoleh dengan raut terkejut. Adiknya menyaksikan secara langsung sebuah kecelakaan?
Rupanya, tak hanya Atlan, Anta dan Atlas juga ikut mendengar cerita adiknya. Kedua pria itu kini mulai memfokuskan pandangan pada anak kecil yang sibuk memainkan rambutnya.
"Kamu lihat langsung Alin?" tanya Atlas dan adiknya itu mengangguk.
"Gak takut kamu? Kenapa kayak biasa aja?" heran Atlan.
Alin mendongak menatap semua kakanya dengan alis terangkat. Oh lihat, si boncel ini. Masih anak bawang saja sudah bisa membuat ekspresi seperti itu!
"Ngapain halus takut? Ayin malah ketawa pas lihat Om-nya jatuh sampe beldalah. Lucu tahu, si Om sama motolnya kelempal jauh, kelen banget. Ayin ketawa sampe sakit perut. Kapan, ya, Alin bisa lihat yang kayak gitu lagi?"
Atlan dan Atlas melongo. Berbeda dengan Anta yang sudah memijat pelipisnya.
Ternyata masih ada manusia yang ketawa di saat orang lain mengalami kecelakaan?! Hanya Alin seorang!
"Abang sini, pijitin Ayin. Pegel tadi badan Alin dimasukin Daddy ke kopel!" Alin merentangkan kedua tangannya.
"Kamu nyuruh siapa?" tanya Atlas menaikkan alisnya.
"Abang Atlas, Abang Anta, sama Kakak blo! Semuanya, ayo pijitin Alin, dong! Nanti Alin kasih es klim banyak punya Alin."
"Kalo kita gak mau?" tantang Atlan bersidekap dada. Senang apabila sudah mengerjai adiknya. Meskipun sudah bisa mereka tebak ancaman apa yang akan adiknya keluarkan setelah ini.
Wajah Alin cemberut. Bibir mungilnya maju diikuti pipi yang menggembung. Astaga, menggemaskan sekali!
"Kalau ndak mau, Ayin lapolin Daddy. Suluh bunuh Helo, telus jadiin Cupang Ayam geplek, sama si Elsa dijadiin sate!" seloroh bocil itu membuat ketiga pria di sana mendelik.
"Yaudah, ayo sini Abang pijitin." Atlas bangkit menghampiri adiknya.
Alin tersenyum lebar, tubuh mungilnya langsung berbaring telentang di sofa. Atlan dan Anta bangkit menghampiri Alin.
Cklek.
"Yaampun boncel sultan!"
Sandra memijat pelipisnya tak habis pikir melihat tingkah keempat anaknya. Terlebih pada si bungsu.
Lihat, dengan enaknya Alin tidur terlentang dengan Atlas yang memijat tangannya, Atlan memijat di bagian kaki, dan terakhir Anta memijat pelan di area pelipis.
Sandra mendesah pelan. Tingkah Alin memang sangat ajaib.
"Hi Mommy!" sapa Alin tersenyum kegirangan. "Mommy mau dipijat juga?! Enak loh!"
"So fucking--"
"Alin!" seru ketiga pria dengan raut terkejut hingga tak sadar mereka berteriak.
"Alinea Skalaworld Catra," panggil Sandra tegas dengan tangan bersidekap dada.
Alin terkejut. Langsung bangkit dan turun dari sofa. Berdiri tegak menatap Sandra dengan raut tegang. "Yes Mom?" balasnya kaku.
"Gak boleh nyuruh-nyuruh kayak gitu. Gak sopan. Abangnya juga lagi pada belajar, Alin gak boleh ganggu."
"And what was that? You say a bad words. is not good! Who taught you like that?" Sandra menatap tajam putri kecilnya.
"But, Mommy...." Alin menjeda ucapannya kala melihat Bumi masuk ke dalam ruangan dengan alis terangkat. Keadaan semakin tegang. Di tambah ketiga kakaknya yang sudah ikut berdiri mengelilingi dirinya. Bocah kecil itu menelan salivanya.
"Kenapa?" tanya Bumi meraih pinggang Sandra untuk mendekat dan mengecup keningnya.
"She spoke impolite language. I don't know who taught her. What's more, she told his three brothers to massage," lapor Sandra pelan dengan mata masih menatap putri kecilnya.
Alin nampak meringis, menunduk dan menyatukan kedua tangannya.
"Alinea Skalaworld Catra?" panggil Bumi.
Atlas, Atlan dan Anta menatap iba sang adik. Jika sudah Bumi yang memanggil nama lengkap itu tandanya sebuah peringatan yang berakhir mengerikan. Mereka tak bisa menolong. Alin memang salah dan harus ditegur.
"Yes, Daddy?" cicit Alin berjalan menghampiri Bumi yang sudah berjongkok.
"Who taught you to speak like that?" tanya Bumi rendah namun masih menatap putrinya dengan lembut.
"Alin heals when Uncle in black calls someone in the backyal. Alin was playing at that time." Alin mendongak menatap Sandra yang masih menatapnya datar. (Alin mendengar suara Om berbaju hitam menelpon seseorang di halaman belakang rumah. Alin sedang bermain saat itu)
"Mommy, I am so soly," ucapnya pelan. (Mommy, aku sangat menyesal.)
Sandra ikut berjongkok. "Can't do it again, okay? It's not good, it's not worth emulating. Alin can't say that again." (Tidak boleh diulangi lagi, oke? Itu tidak baik, tidak pantas untuk ditiru. Alin tidak boleh berkata seperti itu lagi).
Alin mengangguk cepat. "Yes, Ayin will not do it again! Plomise!" Meraih tangan Sandra dan saling menautkan jari kelingking.
"So, Daddy. What is the punishment fol Ayin?" tanya bocah kecil itu menatap ayahnya dengan mata berbinar.
Atlan menepuk keningnya. Alin tetaplah Alin. Adiknya memang berbeda. Di saat semua orang menghindari sebuah hukuman. Dengan senangnya Alin malah menawarkan.
Ia ingat, beberapa hari lalu adiknya senang kala Sandra menghukumnya dengan berdiri di bawah pohon selama beberapa menit karena adiknya itu sudah merusak tanaman kesayangan Sandra. Tak hanya berdiri Alin malah mengajak bodyguard yang menjaga gadis itu untuk memanjat pohon bersama.
"No punishment, just promise not to do it again, okay?" ucap Bumi mengacak rambut Alin.
Alin nampak cemberut, namun tak urung mengangguk.
"Kalau begitu, Ayin pamit mau ke bawah. Ayin mau main bola sama uncle Zedan! Goodbye Evelyone!" Alin mengecup pipi Bumi dan melambaikan tangan ke arah ketiga kakaknya lalu berlari keluar ruangan.
"UNCLE ZEDAN, LET'S PLAY FOOTBALL WITH ME!" teriakan itu menggema dengan begitu melengking.
Sandra dan keeempat pria di sana menggeleng. Seperti itulah Alin sekarang.
....
"MOMMY! DADDY! HUAAAAA!"
Teriakan itu membuat seluruh penghuni mansion berlarian ke dumber suara. Tak hanya Bumi dan Sandra yang namanya dipanggil tadi. Ketiga pria tampan juga beberapa maid dan bodyguard langsung ngacir menuju sumber suara.
"What's wrong?!" panik Sandra menuruni tangga.
"Kenapa Alin?" Atlan berlari dengan keringat di dahinya. Ia sedang bermain di halaman belakang bersama kedua saudaranya.
"Hiks ... huaaaa...." Alin menangis kejer, bahkan sudah guling-guling di lantai dengan tangan memeluk sebuah pigura.
"Alin, kenapa nangis? Ada apa? Ada yang terluka?" Atlas menghujani dengan banyak pertanyaan saking paniknya.
"MOMMY DAN DADDY JAHAT!" teriak bocah itu dengan wajah merah. Kali ini sudah terduduk matanya kembali menatap tajam kedua orang tuanya.
Atlas dan kedua saudaranya mendesah lelah. Drama apa lagi ini?
"Hiks ... Ayin kenapa gak ada di sini? Hiks ... Ayin is not hele!" tangisnya malah semakin sesenggukan.
Bumi dan Sandra berjongkok meraih sebuah pigura yang dipegang putrinya. Keduanya serempak terdiam dan saling tatap.
"Astaga Alin," desah Atlas mengusap wajahnya kasar kala menyadari alasan adiknya menangis.
"Kamu jelas ada disitu, orang Buna sama Papa belum bikin kamu!" celetuk Atlan tak habis pikir.
Ya, Alasan Alin menangis adalah karena foto pernikahan mewah Bumi dan Sandra.
"Ayin mau pakai gaun kayak Mommy ... hiks...." Tangisnya semakin pecah dengan wajah yang sudah memerah.
Bumi langsung menggendong putrinya. Berdiri dan mengusap punggung menenangkan.
Alin menjatuhkan kepalanya di dibahu Bumi sembari terus menangis.
"Ayin kenapa gak ada di sana? Ayin kenapa gak di ajak, hiks. Daddy sama Mommy udah gak sayang Ayin," isaknya semakin membuat ketiga pria di sana gemas.
"Ayin mau pakai gaun kayak Mommy," lanjut si bocah dengan isak tangis yang mengiringi.
Bumi menatap Sandra yang sudah memijat pelipisnya.
"Mau nikahnya diulang?" tawar Bumi membuat seluruh penghuni di sana melotot kaget.
...
Lanjut?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top