Collection

Collection = Rapuh

"Gue selalu mengabaikan mereka yang datang demi mempertahankan dia yang nyatanya akan pergi."
-Asean Northumbria
...

MARI SIAPKAN TISSUE😃

HAPPY READING!
...

"Kayaknya gue emang harus mundur, Tlas," bisik Asean lirih.

"Orang yang gue harapin, orang yang gue jaga dari kecil sama sekali gak bisa gue gapai." Asean tersenyum pedih, menatap nanar dua sejoli yang sedang berbincang di sana.

Ia dan Atlas baru saja berniat pergi menuju gudang. Namun Atlas terpaksa ikut berhenti saat Asean menghentikan langkahnya menyadari kehadiran dua sejoli itu. Selama Asean berbicara Atlas hanya bisa diam, ia turut merasakan sesak mendengar perkataan sahabat kecilnya.

"Terlalu sulit untuk gue gapai, terlalu sulit untuk gue dekap. Mau seberusaha apapun supaya dia balas perasaan ini rasanya mustahil. Keberadaan gue hanya sekedar selingan. Gue dihadirkan tidak untuk menjadi tetap. Melainkan menjadi penjeda sebelum yang dinantikan datang." Asean tersenyum miris. Terlebih saat melihat kedua sejoli di sana saling melempar senyum. Hatinya semakin sesak, serasa di remas kuat.

"Cinta gue mungkin selalu dia anggap bercanda, ungkapan gue selalu dia anggap angin belaka. Apakah sebercanda itu perasaan gue bagi dia?"

"Menyedihkan banget, ya? Gue yang menjaga agar dia tetap bahagia, agar dia tetap menampilkan senyum terbaik dia, gue yang selalu berharap dia bisa lihat gue sebagai laki-laki yang mencintai dia sepenuhnya. Bukan sebagai seorang pria yang menjaga sahabat kecilnya."

"Sshh, t-tapi ini?" Asean menggigit bibir bawahnya yang bergetar. Mencoba menahan sesak dan bertahan agar tidak menangis. Asean tidak boleh lemah.

"L-lihat, perjuangan gue sia-sia, Tlas. Dia udah nemu pelabuhan terakhir. D-dia ...." Asean menjeda ucapannya merasakan tenggorokannya tercekat. "D-dia udah bahagia sama yang lain."

"Gue bisa apa?" lirihnya pelan bahkan nyaris tak bersuara.

Asean sudah tidak tahan lagi. Lelehan air mata mengalir di pipinya tanpa bisa dicegah. Ia mengusapnya dengan kasar beharap Atlas tidak menyadarinya. Namun tentu sia-sia, Atlas memperhatikan gerak-gerik tersebut.

Asean sudah mulai lelah sekarang, dari dulu perjuangannya tak pernah mendapatkan hasil. Tak pernah mendapatkan respon apapun. Ia selalu bersabar, dalam dirinya selalu tertanam bahwa semua ini butuh waktu. Tapi? Sudah 18 tahun, ia tak mendapatkan hasil apapun. Apa yang harus ia tunggu? Apakah dirinya memang tidak layak untuk dicintai? Apa dirinya tidak layak untuk diperjuangkan? Begitukah? Semua yang ia lakukan belasan tahun ini apa belum cukup? Tidak berarti apapun? Begitu? Ah, sesak rasanya.

Atlas menepuk bahu Asean. Ia memejamkan matanya merasakan sesak di dada. Atlas sangat paham bagaimana perasaan sahabatnya ini. Terlebih mereka bersama sedari kecil. Atlas sangat tahu bagaimana Asean pada Althea. Atlas selalu merasa bahwa Asean pria yang benar-benar sejati dan sabar. Mencintai sendirian selama belasan tahun tanpa jeda. Cukup menyesakkan bukan?

"Menjauh pun rasanya sulit, gue terlalu takut. Takut terjadi sesuatu sama dia, takut dia tersakiti. Gue takut dia gagal mendapatkan pria yang benar-benar mencintai dia dengan tulus seperti gue."

"Sesek banget dada gue, Tlas." Asean tertawa renyah sembari memukul dadanya.

"Gue selalu mengabaikan mereka yang datang demi mempertahankan dia yang nyatanya akan pergi." Asean berdesis. Ia mengusap wajahnya kasar.

"Alay banget, ya, gue?" Asean merubah raut wajahnya. Ia lalu tertawa. Atlas hanya diam ia paham bagaimana suasana hati Asean sekarang.

"Udah ah, ayo lanjut. Nanti kena marah Om Bima lagi kita belum bawain pemanggang juga." Asean menepuk bahu Atlas dan berjalan lebih dengan kepala menunduk.

Atlas menghela napasnya. Sebelum beranjak ia kembali menatap dua sejoli di sana.

"Jujur, gue lebih percaya lo sama Asean," bisiknya. "Gue harap lo gak menyesal, Al."

...

"Jadi itu lo?"

Althea memutar bola matanya malas. Sudah ratusan kali pria di depannya melontarkan pertanyaan tersebut. Keduanya kini duduk di halaman belakang, keluarganya memberikan mereka ruang untuk berbicara berdua.

"Nanya gitu lagi gue geplak, ya, kepala lo!" tukas Althea kelewat kesal. Catur hanya mendengus. Untuk kesekian kalinya ia kembali meneliti gelang yang dipakai oleh dirinya dan juga Althea.

Memang benar, gelang itu miliknya. Catur sedikit merasa lega sekaligus senang gelang miliknya masih tersimpan dan bahkan masih dipakai dalam jangka waktu yang cukup lama ini. Walau memang rasanya sedikit sakit, gelang ini cukup terlihat mungil di tangannya. Penantian beberapa tahun lamanya telah tiba tepat hari ini.

"Gue gak percaya itu lo, perempuan yang gue tunggu dari dulu ternyata tumbuh menjadi seperti ini, sama-sama menjadi ketua geng pula. Gila, sih." Catur menggelengkan kepalanya sembari menatap Althea dari atas sampai bawah. Althea yang merasa risih memukul lengan Catur.

"Gak usah natap gue kayak gitu!" sewotnya.

"Lo kenapa gitu banget, sih? Dari awal kenal keknya gak suka banget sama gue." Catur kini menatap bingung Althea.

"Gak tahu, gue bawaannya sensi mulu sama lo." Althea menjawab dengan acuh. Namun tak lama ia menatap Catur dengan serius.

"Tapi gue bener-bener gak nyangka selama ini pria yang gue cari itu lo." Kini pandangan keduanya bertemu.

"Dunia sesempit ini, ya? Kita dipertemukan dengan posisi sama-sama sebagai ketua geng." Saat Althea tertawa Catur ikut tertular.

"Gue dari dulu kukuh banget pengen nyari lo, gue bilang ke semua saudara gue kalau gue pengen nyari cowok yang tukeran gelang sama gue dulu. Dan lo tahu? Gue tuh ingetnya gelang yang gue kasih ke lo warna pink, eh taunya ternyata warna putih." Althea terkekeh pelan sembari menatap gelang yang Catur pakai.

"Agak maksa gitu, ya makenya?" sindir Althea menyadari gelang yang dipakai Catur memang sangat imut dan sangat pas di tangan pria itu. Berbeda dengan milik Althea.

"Gue pakai ini terus biar cewek yang gue cari sadar dan inget sama gelang ini kalau kita ketemu. Eh nyatanya enggak, lo pikunan ya ternyata?" Catur tertawa remeh. Saat Althea hendak membalas Catur menahannya.

"Waktu pertama kali lo datang ke markas buat ketemu gue, awalnya gue udah curiga sama gelang yang lo pakai. Itu mirip banget sama milik gue dulu. Tapi gue mikirnya gelang kayak gitu pasti gak cuma satu di dunia. Tapi nyatanya, gue benar, orang yang gue cari selama ini itu lo."

"How do you feel?"

"Tentu aja gue seneng gila, ini udah belasan tahun. Gak nyangka aja bertahan sampai sekarang." Catur tersenyum kecil menatap gelangnya.

"Kakak lo apa kabar?"

"Baik, dia udah nikah sama bule di sana. Anaknya satu, sekarang umur dua tahunan."

Althea mengangguk. Suasana kembali hening di antara keduanya.

"Happy birthday," ucap Catur memulai lebih dulu. Berbalik menghadap Althea sepenuhnya. "Gue gak bisa ngasih kata-kata yang bagus, intinya semoga apa yang lo inginkan terkabul, itu aja."

"Thank you."

"Hadiah dari gue, dinner malam minggu nanti gimana?" tawar Catur.

"Mendadak akur gini, ya?" sindir Althea. Catur hanya berdecak.

"Bosen war mulu, mau gak lo?"

Althea terdiam, ia ingat malam itu dirinya sudah berjanji akan pergi bersama Asean. Tapi di satu sisi Althea juga ingin menerima ajakan Catur. Ia ingin lebih jauh mengenal pria di depannya. Semenjak ia mengetahui bahwa Catur adalah pria yang selama ini ia cari, Althea semakin ingin masuk ke dalam kehidupan pria itu.

"Gimana?"

Lamunan Althea terhenti kala Catur menepuk bahunya. Althea mengerjapkan matanya sejanak.

"Em, gue jawab nanti, ya?"

Catur mengangguk mengerti. "Oke, gue tunggu jawaban lo."

Keduanya kembali berada dalam suasana hening. Sangat canggung rasanya. Althea sangat berharap supaya ada siapapun yang datang untuk menyeretnya pergi dari suasana seperti ini.

"ALTHEA SORRY BANGET ACARA LO JADI KACAU, AKSARA PINGSAN SEKARANG KITA HARUS KE RUMAH SAKIT!"

Teriakan Analisa mampu membuat kedua sejoli tadi tersentak. Althea segera bangkit dengan wajah panik diikuti Catur.

"Gue berangkat duluan, Al. Sorry banget!" Analisa mengusap air mata di pipinya dan segera berbalik dengan wajah cemas.

"Aksa," gumam Althea dengan cepat berlari ke depan rumah, Catur mengikutinya dari belakang.

"Al kamu di sini aja," cegah Sandra berteriak begitu menyadari Althea berlari keluar.

Althea menggeleng ia sudah terlalu khawatir dan panik. Takut terjadi sesuatu dengan Aksara.

"Biar gue yang anter," ujar Catur. Althea hendak mengangguk namun matanya menatap Asean yang tengah duduk di motor milik pria itu menatapnya dengan tatapan yang sulit Althea artikan.

"Gue mau bareng sama As-"

Brum

Althea mendesah pelan saat melihat Asean meninggalkan dirinya. Ada apa dengan pria itu?

"Yaudah ayo sama gue," ujar Catur menarik lengan Althea. Gadis itu menurut saja.

Pikirannya mulai bercabang antara memikirkan keadaan Aksara dan juga memikirkan sikap Asean yang menurutnya tiba-tiba terasa aneh.

Apa Althea telah melakukan kesalahan?

...

Asean jadi sadboy gini ku gak rela deh suer, wkwk. Tapi kita lihat nanti, alur menuju end akan lebih seru, siap-siap kalian akan dibuat kaget sama alur selanjutnya. Siapkan tissue, guys! hehe canda deh.

#hugeasean

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top