Coepi (II)

KENAPA KEMARIN DALAM BEBERAPA JAM UDAH 2K AJA, HEI KALIAN HEBAT BANGET😌

Tapi maaf, aku updatenya sekarang. yang penting update, iya kan ahay.

HAPPY READING!
....

    Aksara sudah dimasukkan ke dalam mobil oleh Brianna dan Audy. Sedangkan Sandra mengantar Analisa lebih dulu yang membutuhkan pertolongan pertama. Ia membawa Analisa ke ruang UGD dan dijaga ketat oleh anak buah Bima. Selanjutnya mereka langsung melanjutkan perjalanan menuju markas.

Selama diperjalanan Aksara sama sekali tidak mau diam dan terus memberontak. Althea yang sedang mengobati lengannya mendengus kesal.

"Bisa diem gak sih, Sa?" kesalnya menoleh ke belakang. Althea menyimpan kotak P3K di dashboard, lalu bersidekap dada. Matanya menatap lurus ke depan dengan pikiran menerawang.

Audy yang sedang mengemudi menoleh sekilas. Ia tersenyum tipis dan mengelus lengan Althea.

"Tante tahu perasaan kamu, tenangin dulu, ya. Atur emosi dan coba kendaliin."

Althea menoleh, lalu mengangguk singkat. Menghela napasnya sebentar. Masih sedikit tidak mengerti dengan yang terjadi sekarang. Kenapa harus Aksara? Kenapa harus sahabatnya yang melakukan itu semua? Kenapa?

"Kamu nakal banget," gerutu Brianna membuat Althea menoleh ke belakang. Aksara nampak berusaha melepaskan ikatan namun bisa dicegah Brianna.

"Sialan, lepas gak? Jauhin tangan lo!" Aksara berteriak sembari memberontak. Brianna melotot, menoyor kepala Aksara. Lakban yang tadi melekat di bibirnya sudah dibuka oleh Brianna.

"Gue udah bicara baik-baik, lo si lonte malah ngajak ribut. Gak punya sopan santun hidup lo?" balas Brianna mencengkram dagu Aksara. Ia kelewat kesal. Kembali menempelkan lakban tersebut agar Aksara diam.

"Bukan emak gue," gumam Althea menggeleng pelan.

"Alasan kamu ngelakuin hal gini itu apa Aksara?" tanya Sandra datar, tanpa menoleh ke arah gadis itu.

"Bego lo San, si Aksara mana bisa ngejawab. Orang mulut dia udah gue lakbanin lagi." Brianna berceletuk.

Sandra langsung menoleh ke samping, lalu memutar bola matanya malas. "Ya, lo buka lagi dong Brialay!"

"Sialan, panggilan itu jangan disebut lagi. Jijik gue dengernya."

"Cocok sama kepribadian Kakak tahu, Alay." Audy menyahut dan tertawa.

"Kalian semua gila," celetuk Aksara setelah lakban kembali dilepas dari bibirnya.

Tempel lepas tempel lepas aja terus.

"Lah, baru tahu lo? Kita udah gila dari lahir," balas Sandra enteng. Audy dan Brianna mengangguk sembari tertawa menggelegar, berbeda dengan Althea yang berdecih. Emak-emak jaman sekarang dasar.

Para pria masih berkumpul, mengatur strategi dan menyelidki latar belakang Aksara lebih dalam lagi.

"Dia blasteran, Indo sama Jerman. Ibunya yang orang Indo, tinggal di sini udah sekitar 3 tahunan." Badai mulai menjelaskan dan menyebutkan beberapa informasi yang ia dapat.

"Dia sama Semesta sepupuan. Aksara pernah tinggal di rumah Semesta, tapi semenjak Semesta ada masalah sama triplet dia memutuskan pindah dan tinggal sendiri di Apartemen."

"Tadi siapa nama lengkap dia?" tanya Bima.

"Aksara Sistema Suarez," balas Badai.

"Gue ngerasa gak asing sama nama marga itu."

"Andreas Suarez, detektif yang selalu memecahkan kasus-kasur besar." Elang bersuara.

"King pernah menggunakan dia saat kasus penyelundupan di Jerman," lanjut GM.

"Ah, iya gue inget sekarang." Bima mengangguk pelan. "Tapi kayaknya kita gak punya problem apapun sama dia. Kemungkinan besar bukan keluarganya yang jadi alasan."

Badai mengangguk. "Aksara anak angkat Andreas. Dia di asuh oleh Andreas sejak dia masih bayi. Latar belakang keluarga kandungnya dirahasiakan."

Perkataan tersebut cukup menarik perhatian mereka. Saling terdiam mencerna perkataan Badai. Di tengah keheningan, tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar dan sosok Aksara terjatuh setelah di dorong Brianna. Bima yang melihat itu menggelengkan kepalanya pelan, istrinya sudah kembali gila.

"Huft, capek." Brianna duduk di kursi sembari mengibaskan tangannya. Matanya menatap Bima yang juga tengah menatapnya dengan alis terangkat.

"Anak kamu tangannya berdarah, wajahnya babak belur berantem sama Aksara." Brianna melapor.

Bima tersenyum lebar. "Sekarang di mana Althea?"

"Apa? Althea di sini."

Althea datang bersama Sandra dan juga Audy. Keadaannya yang tidak baik-baik saja membuat Bima berjalan menghampiri putrinya.

"Siapa yang menang? Kamu atau Aksara?" tanya Bima.

"Tante Sandra yang menang. Tuh, dia berhasil manah kakinya." Althea menunjuk Aksara menggunakan dagunya.

"Good girl," bisik Bumi mengacak rambut Sandra. Wanita itu hanya mendengus, duduk di samping Bumi menyandarkan kepalanya di bahu suami.

"Capek tahu, dia berontak terus," adunya pada Bumi. Pria itu lantas mengelus pipi Sandra dan mengecup pelipisnya.

"Sekarang istirahat, biar aku yang tanganin." Sandra mengangguk patuh.

"Bawa ke dalam," suruh Bumi menunjuk Aksara. Elang dan GM langsung membawa Aksara ke dalam, kini para ikut pria masuk untuk mengeksekusi.

Aksara berdesis, saat ikatan pada tangannya dibuka ia langsung mengambil pisau lipat dan hendak menusukan benda tersebut pada Bumi dengan gerakan cepat. Namun Bumi lebih dulu sigap menangkap pisau tersebut dan menggenggamnya erat sehingga tangannya terluka.

"Lo pantes mati!" teriak Aksara memberontak saat Elang membawanya untuk duduk di salah satu kursi.

Bumi berdesis, melempar pisau tersebut asal dan membiarkan tangannya yang masih mengeluarkan darah sehingga menetes ke lantai.

"Siapa kamu sebenarnya? Dan apa alasan kamu melakukan semua ini?" tanya Bumi dengan tenang.

Aksara menatap Bumi dengan sorot penuh kebencian. "Lo pembunuh, lo pantas mati. Lo udah bunuh keluarga gue!"

"Siapa?" tanya bumi masih cukup tenang.

Aksara menatap Bumi tajam, napasnya memburu. Namun tak lama kemudian ia menangis.

"Om udah bunuh Ayah Aksara, Abang Aksara, bikin Bunda Aksara jadi gila. Aksara sendirian, sejak bayi Aksara ditinggal keluarga Aksara. Om emang gak punya hati, Om pembunuh!"

"Gak usah ngarang," timpal Atlantik santai.

"Gue gak ngarang!" bentak Aksara menatap Atlantik sinis. Air matanya terus meluruh. "Bokap lo bunuh Ayah gue,  Abang gue juga mati di tangan kalian. Saat itu gue masih di dalam kandungan, Bunda gue frustasi, depresi sampai jadi gila karena ulah kalian! Dia telantarin gue saat gue lahir ke dunia, gue sendirian, sampai Papa Andreas ngambil gue dan mau besarin gue."

Aksara mengusap wajahnya kasar, mengingat masa lalu kelam yang begitu menyayat hatinya.

"Seilan, dia ayah kamu?" celetuk Brianna menghampiri Aksara dengan raut terkejut.

Aksara menoleh, lalu mengangguk. "Iya, lo dan gue sepupuan."

Brianna terkejut sampai meluruh di lantai dengan wajah syok. "K-kok bisa?"

Bagaimana bisa seperti ini? Aksara, sepupunya? Benarkah?

Aksara tertawa sinis. "Lo bodoh, mereka udah bunuh keluarga lo sendiri kenapa mau dan luluh gitu aja hidup sama para pembunuh? Bego lo, gak inget perjuangan Ayah Seilan ngebantu lo dulu saat-saat lo jadi psikopat?"

"Shut up, sialan!" Bima menampar pipi Aksara. Napasnya memburu dengan raut wajah yang cukup menakutkan.

"Bim, udah tenangin lo."

"Dia ngatain istri gue!" desisnya tidak terima.

Bumi menyingkirkan Bima yang sudah ditenangkan Althea, ia berjalan menghampiri Aksara.

"Jadi, kamu balas dendam, huh?" ujarnya tersenyum tipis. Aksara memutar bola Matanya malas.

"Kita apain?" tanya Raksa.

"Bunuh, bunuh aja Aksara. Balas dendam Aksara gagal, percuma Aksara hidup. Aksara ngaku kalah, kalian terlalu hehat. Sangat cocok sebagai kumpulan para pembunuh." Aksara menatap Bumi terus menerus. Ia serius dengan ucapannya kali ini. Percuma jika ia melawan, tak akan sebanding. Ia sendirian.

Balas dendam yang ingin ia berikan memang belum cukup memuaskan, tapi setelah membuat kekacauan seperti ini juga toh rasanya menyenangkan. Walau hanya sementara tapi Aksara pernah menikmatinya. Sekarang saatnya ia pergi dan bertemu keluarganya di atas sana. Rasanya cukup lelah, selama ini ia memendam. Rela datang dan tinggal di Indonesia selama 3 tahun untuk membalaskan dendamnya. Rela menjadi seorang siswa kembali dengan alasan ingin mendekatkan diri dengan keluarga Catra dan mengurek informasi dari mereka. Mencari kelemahan dan kelebihan. Padahal umur Aksara 2 tahun di atas rata-rata usia anak SMA.

Brak.

"Masuk lo cupu!"

Teriakan Amora menarik perhatian mereka. Gadis itu datang membawa Semesta yang sudah babak belur. Semesta ia dorong dan berakhir meluruh di hadapan Bumi.

"Amor," panggil mereka bersamaan.

Amora tersenyum lebar sembari meregangkan ototnya. "Tuh, laki cupu yang berniat kabur berhasil Amora tangkap."

"Kamu sendirian?" tanya Sandra terkejut.

"Nggak, Kak. Amor dibantu ketua Astercyo." Amora menepuk bahu Althea. "Dia minta ketemu kamu, nanti datengin sekalian perkenalan anggota. Dateng ke markas dan sampaikan ucapan terima kasih dari Tante."

Althea yang mendengar itu menghela napasnya dan mengangguk pasrah. Sepertinya ia akan sering bertemu dengan pria songong itu.

Garesh segera menghampiri Amora dan mengusap puncak kepala gadis itu. "Gak papa, hm?"

Amora tersenyum, memeluk pinggang Garesh dan menggeleng pelan. "Gak papa, aman kok." Garesh mengangguk dan bernapas lega. Terakhir mengecup puncak kepala Amora dan mereka melepaskan pelukan.

"Oh jadi ini, biang keroknya." Atlantik mengacak rambut Semesta yang langsung ditepis sang empu.

"Tujuan lo bantu Aksara karena dia sepupu lo atau karena lo punya masalah sama gue?" tanya Atlas bersidekap dada.

Semesta berdecih, tak menjawab dan memalingkan muka. Jika sudah tertangkap begini ia tak bisa berbuat apa-apa. Keluarga ini terlalu memiliki aura yang sangat kuat.

"Semesta biar Wx yang atur, dan Aksara, dia." Bumi menjeda ucapannya. Tak tahu harus berbuat apa-apa.

Membunuhnya? Tentu tidak akan ia lakukan. Lagipula ia sudah tahu alasan gadis itu melakukan itu semua karena apa. Dan semua kejadian yang Aksara buat tidak begitu berdampak buruk pada keluarganya sampai sekarang.

Oh, Bumi melupakan sesuatu. Sandra keguguran, apa itu karena gadis ini?

"Bunuh di-"

"Gak!" Atlantik dengan cepat memotong ucapan Bumi. "Terlalu gila kalau sampai membunuh. Kita obati dia, bawa dia ke psikolog."

"Dan lo terlalu baik," celetuk Asean. "Gak sadar lo sama apa yang selama ini dia perbuat? Kita lepasin gitu aja?"

"Ya terus gimana? Gue jadi bingung, di sini kita udah tahu siapa pelakunya, alasan mereka ngelakuin ini karena balas dendam. Dan mereka gagal, kita berhasil tangkap, mereka udah ada di tangan kita. Sekarang kita apakan mereka?" ucap Atlantik.

"Tahan di ruang bawah tanah, biarkan mereka berdua tinggal di sana." Bumi bersuara. Ia berbalik, sebelum keluar ia mengatakan sesuatu yang membuat mereka terkejut.

"Bawa prince ke sana untuk menemani mereka." Setelah mengatakan itu, Bumi pergi keluar dari ruangan. Pikirannya mendadak kacau sekarang.

"Apa yang harus aku lakuin?" bisik Brianna dengan bibir bergetar didekapan Bima.

Pikirannya mulai terpecah belah. Sedikit tidak percaya bahwa sebenarnya Aksara adalah sepupunya sendiri. Tentu ia tahu dulu istri Seilan tengah mengandung, tapi terakhir kali mendapat kabar saat istri Seilan meninggal karena depresi dan bunuh diri banyak yang mengatakan bahwa istrinya keguguran. Jika saja tahu kebenarannya Brianna mungkin sudah mengambil bayi tersebut untuk ia urus.

Sekarang? Brianna tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah mengetahui kebenarannya. Semuanya nampak membingungkan.

"Mau gue obatin gak?" Asean menghampiri Althea dan memperhatikan keadaan gadis itu yang cukup berantakan.

Althea menoleh, lalu menggelengkan kepalanya. "Gak usah, gue bisa sendiri."

Asean cemberut. "Lo marah sama gue?"

"Marah apaan, sih? Gak jelas banget."

Asean mendengus kesal, apalagi setelah melihat Althea meninggalkan dirinya gadis itu ditarik keluar oleh Atlas.

"Anta," rengeknya mengguncang lengan pria itu. Antartika menepis kasar dan meninggalkan Asean begitu saja tanpa rasa peduli.

Atlantik yang menyaksikan itu langsung merangkul bahu Asean. "Lo emang udah ditakdirkan jadi sadboy sama yang punya lapak ini." Asean hanya merenggut kesal. 

Semenyedihkan itukah hidupnya?

Althea terdiam saat lengannya ditarik Atlas. Ia menurut dan tak banyak bertanya. Hubungan di antara keduanya sudah berbeda, tak seperti dulu lagi. Althea jadi merasa sedikit canggung.

Ternyata Atlas membawanya ke ruang santai di markas. Tidak ada siapapun di sana. Yang lain masih berkumpul di lantai atas dan para anggota Bumi yang lain sedang pergi berlatih.

"Duduk," perintah Atlas menunjuk kursi yang ada di sana. Althea menurut tak banyak bersuara.

"Kenapa cuma tangan yang diobatin?" Atlas duduk di samping Althea setelah mengambil kotak P3K. Mengeluarkan kapas dan obat merah.

Althea masih tetap bungkam, menatap Atlas terus menerus dengan pandangan tak bisa diartikan.

Atlas tidak mempermasalahkan itu, ia fokus mengobati lebam di area wajah Althea. Dengan jarak yang cukup dekat ini mampu membuat perasaan yang sudah lama ia tahan kembali mengeruak.

Sial, padahal sedari tadi Atlas menahan untuk tidak peduli pada Althea. Ia menahan untuk tidak menatap matanya, tidak peduli dengan keberadaannya. Tapi nyatanya? Lihat, sekarang ia sudah menyeret gadis itu ke bawah dan membantu mengobati lukanya.

Gila, Atlas semakin gila karena ini semua.

"Kenapa lo jauhin gu-"

"Karena gue suka sama lo."

Althea mematung, wajahnya mendadak pucat. Syok, tentu saja. Suka? Atlas suka padanya? Ini gila!

Althea mundur menjauhi Atlas, lalu menggelengkan kepalanya. "Tlas? Lo jangan bercanda."

"Kenapa? Iya gue tahu, gue gila. Makanya gue mencoba untuk hindarin lo, lupain lo walau nyatanya susah karena lo sering muncul di hadapan gue. Terserah lo mau benci sama gue, yang pasti gue bakal lupain dan hapus perasaan gila ini. Gue sadar ini salah, jangan terlalu dipikirin."

Althea menggeleng tak percaya. Melempar bantal sofa ke arah Atlas hingga mengenai wajah pria itu. "Jangan bercanda, gak lucu!"

"Iya, anggap aja gue bercanda oke?" Atlas mengusap wajahnya kasar dan memalingkan muka.

Althea melamun dan tertawa hambar. "Gila lo," desisnya lagi. Lalu bangkit dan berlalu meninggalkan Atlas.

Atlas mengerang, mengacak rambutnya frustasi.

"Atlas."

Atlas mematung, ia menoleh perlahan ke belakang. Ada Bima berdiri di sana dengan raut tak bisa diartikan.

"Kita perlu bicara," ujarnya membuat Atlas pasrah. Ia tak bisa apa-apa kali ini. Perlahan semuanya akan terbongkar juga dan sampai ke telinga ayahnya. Atlas harus siap menerima konsekuensinya.

...

Althea berjalan tak tentu arah, tatapannya kosong. Pikirannya dipenuhi dengan perkataan Atlas beberapa menit yang lalu. Bagaimana bisa pria itu menyukainya? Apa karena sedari kecil mereka paling dekat dan selalu bersama? Aish, Althea pusing memikirkan itu semua.

"Udah jadi miskin hidup lo?"

Althea tersadar saat seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh ke samping, menemukan pria songong yang menatapnya dengan remeh.

Ck, kenapa harus bertemu dia sekarang?

Althea tidak menghiraukan pria itu, lanjut berjalan.

"Ayo gue anter, kali ini gue berbaik hati sama orang yang udah lecetin motor gue."

Althea mendengus, berhenti berjalan dan berbalik menatap pria itu tidak suka.
"Gak usah banyak bacot, pergi lo."

Catur, pria itu tertawa. Kembali mendekati Althea. "Mau ke markas Aster?" tawarnya.

Althea terdiam, lalu mengangguk kecil. Ia juga sebenarnya tidak tahu kemana tujuan dirinya pergi sekarang. Daripada berjalan tidak jelas, lebih baik ia ke markas Astercyo. Sudah lama dirinya tidak datang ke sana. Terakhir kali saat Garesh masih memimpin perkumpulan tersebut.

"Cih, mau juga kan lo. Tadi aja ngusir."

Althea memutar bola matanya malas. "Gak usah-"

"Banyak bacot, gue udah tahu lo mau bilang itu." Catur mendengus, berbalik dan menaiki motornya. Althea ikut mengekor dan duduk di belakang pria itu.

"Muka lo kenapa lebam?" tanya Catur di tengah perjalanan.

"Gak usah kepo," balas Althea ketus.

"Sensi amat hidup lo," balas Catur mengejek. Althea tak menghiraukan ucapan pria itu.

Saat sampai di markas, Althea berlalu turun begitu saja tak menghiraukan panggilan Catur. Ia sudah berdiri di depan benteng markas tersebut, seperti biasa saat masuk gerbang tersebut harus melalui pengecekan wajah dan sidik jari yang sudah terdaftar di sana. Jika tidak terdaftar, maka tidak bisa masuk.

Catur bersidekap dada setelah turun dari motor. Althea tidak bisa masuk karena identitasnya belum terdaftar. Gadis itu belum pernah datang ke sini. Ia tersenyum menyeringai siap menyaksikan raut Althea yang malu karena tidak bisa masuk.

Lain dengan Althea, dengan santai ia menekan tombol dan meletakkan jarinya untuk di cek. Wajahnya juga ikut di dekatkan ke kamera agar terdeteksi. Suara tanda bahwa berhasil mendapatkan izin dan tanda bahwa ia terdaftar membuat Catur melongo. Ia merubah raut wajahnya menjadi terkejut.

Althea tersenyum lebar. Lalu berbalik menghadap Catur dengan raut sombong.

"Jangan ngira gue gak bisa masuk, lo salah cari lawan." Setelah mengatakan itu Althea masuk dengan santainya meninggalkan Catur. Seolah markas ini adalah markas dibawah naungan dirinya.

Tanpa pikir panjang Catur langsung berjalan mengekori Althea setelah ia berhasil masuk.

Sepanjang koridor markas, tatapan bingung mulai mengarah pada Althea. Mereka penasaran siapa perempuan yang datang ke markas Astercyo begitu saja. Selama ini tidak pernah perempuan yang masuk kecuali Amora pasangan senior mereka.

"Loh, kok lo bisa ada di sini?" Seorang pria menghampiri Althea dengan raut terkejut. Althea mengingat wajah itu, pria yang saat itu menuduh bahwa dirinya seorang pria.

"Ambilin minum dong." Althea malah memerintah, dengan santainya duduk di salah satu kursi di sana. Para pria mulai berkumpul dan menatap Althea penasaran. Di tambah lagi keadaan gadis itu yang berantakan, lebam ada di mana-mana.

"Cih, lo ngapain ke sini? Dan kenapa juga bisa masuk?" tanya pria tadi bersidekap dada, menatap Althea tajam.

Althea mendengus, mengibaskan rambutnya. "Gue disuruh Tante Amora ke sini, ngucapin makasih atas bantuan kalian yang udah bantu beresin kasus Tante Amora."

Untung saja, saat di markas tadi Tante Amora sempat menyuruhnya untuk datang menemui ketua Astercyo. Jadi ia tidak perlu memikirkan alasan apapun.

"Jadi lo ketua Athyros yang sekarang?"

Perkataan Catur yang baru saja datang membuat mereka terkejut dan sontak berdiri dari duduk mereka dan menjauh sedikit dari Althea.

Althea tertawa. "Iya, gue ketua Athyros. Kenapa?" Althea menatap pria yang tadi berbicara padanya.

"Nama lo siapa?" tanya Althea tenang.

Pria tersebut mendadak gugup. Bisa mati ia tadi telah mencari gara-gara pada ketua Athyros.

"B-biru, nama gue biru."

Althea mengangguk. "Gue tandain lo, songong bener gue minta minum gak diturutin."

Catur berdecih melihatnya, dasar gadis abal-abal.

"Sorry, gue gak tahu lo ketua Athyros. Aduh mampus, bentar gue ambilin minum!" Biru dengan cepat berlari menuju dapur yang tersedia di sana. Althea menahan tawanya melihat tingkah pria itu. Moodnya membaik setelah mengerjai pria bernama Biru itu.

Catur yang sedaritadi memperhatikan Althea terdiam saat matanya menangkap sebuah gelang yang dipakai gadis itu. Gelang yang ukurannya cukup kecil tapi masih pas di tangan Althea.

"Gelang darimana?" tanya Catur tiba-tiba.

Altheae menoleh, lalu ikut menunduk memperhatikan gelang miliknya. Ia tersenyum sebentar, kembali menatap Catur dengan datar.

"Gak usah kepo."

Catur mendengus. Jika saja gadis itu bukan ketua Athyros sudah ia tendang keluar detik ini juga. Sial, kenapa menyebalkan sekali?

Catur mengusap wajahnya kasar. Tenang, mungkin gelang itu sama. Di dunia ini tidak mungkin hanya satu bukan?

...

Konflik selesai? Hm sepertinya.
Aksara nyerah gitu aja? Gak ada perlawanan sama sekali? Iya, dia nyerah, beda dari yang lain bukan?
Gak seru, kok cuma di tahan? Eits, tidak semudah itu ferguso.
Mewakili aja, pasti pertanyaan ini ada dibenak kalian. Ada yang mau nanya lagi? Kali aja belum paham, nanti aku jawab dan balas dikomen.

Ohiya, kalau lupa Brianna itu ponakan Seilan. Yang otomatis sepupuan sama Aksara. Beda sama Semesta, dia saudara dari keluarga Aksara yang baru, niat ngebantuin karena dia juga punya dendam ke triplet. Perihal umur Aksara, dia aslinya seumuran Catur. Catur sekarang itu udah kuliah. Karena saat itu Aksara mau menyelidiki lebih dalam tentang keluarga Catra makanya ia menyamar jadi anak SMA lagi. Paham gak?😭

Tim Althea Atlas, Althea Asean atau Althea Catur?

Spam komen yuk, 4k tambahin. Tapi jangan cepet-cepet woi, kalian hebat banget kemarin dalam bbrapa jam udah 2k aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top