BAB I. A tristis Clamor

A tristis Clamor = Teriakan sedih•

"Hiks ... Bang Anta belum mati, kan, Opa?"

Tangis dua bocah menggema di ruang keluarga. Beberapa jam yang lalu salah satu saudaranya yang tak lain adalah Anta mengalami kecelakaan tertabrak motor. Sandra dan Bumi selaku orang tua mereka langsung melarikan Anta ke rumah sakit, sedangkan Atlas dan Atlan dititipkan kepada Lio dan Lea selaku orang tua dari Bumi.

"Kepalanya kelual banyak dalah, hiks. Abang takut Anta kenapa-kenapa. Anta langsung tidul, Abang panggil Anta gak bangun-bangun."

Atlas terus menangis sesenggukan. Tubuhnya bergetar membayangkan kejadian beberapa jam lalu. Ia melihatnya secara langsung, kejadian itu terjadi tepat di depan matanya sendiri. Anta tertabrak, terpental lumayan jauh dan terkapar tak berdaya dengan kepala bersimbah darah.

Lio yang tak kalah khawatir sibuk menenangkan Atlas juga ada Lea yang menemani Atlan yang menangis paling histeris.

"Sudah, jangan nangis. Kita berdoa semoga Anta baik-baik aja, ya?" Lea mengusap punggung Atlan.

"Apa ada kabar dari Bumi atau Sandra?" tanya Lea menatap Lio panik.

"Belum, aku udah coba telepon Bima katanya dia masih di jalan. Hazzel juga baru berangkat."

"Semoga Anta baik-baik aja."

"Hiks ... Bang Anta ...." Atlan mengambil sebuah pigura di nakas. Sebuah foto dirinya bersama kedua kakaknya yang sedang berlari. Atlan ingat dengan jelas adegan di dalam foto tersebut. Pada hari itu ia dan kedua kakaknya berlarian karena dikejar tante Ona. Penyebabnya tentu karena mereka telah mencuri buah di pohon milik tante Ona tetangga mereka.

"Bang Anta cepet pulang, Hiks ... Atlan kangen. Atlan bakal ajak Abang bicala telus. Meskipun Abang jalang jawab panjang gak papa, Atlan bakal tetep main sama Abang. Bang Anta gak boleh pelgi, Hiks. Bang Anta gak boleh pelgi sendilian ...."

Lea dan Lio memalingkan muka, tidak kuasa melihat Atlan yang begitu terpuruk. Hingga tak sadar keduanya ikut meneteskan air mata.

"Anta mangapin Abang yang gagal jagain Anta. Hiks ... Anta halus cepet pulang. Abang sama Atlan gak mau kehilangan Anta." Atlas ikut menangis, wajahnya memerah dengan air mata terus berderai.

"Anta halus cepet pulang, kita main baleng lagi. Abang janji gak bakal jailin Anta lagi. Abang gak bakal malah kalau Anta diem telus. Anta pulang dong. Hiks ... Anta halus pulang!" Atlas terus meraung memikirkan adik keduanya. Wajahnya semakin memerah dengan mata super sembab.

Beberapa jam menangis akhirnya Atlas dan Atlan tertidur. Sepertinya mereka sudah kelelahan. Lio langsung memindahkan mereka ke kamar.

Baru saja Lio duduk di sofa selesai memindahkan Atlas dan Atlan. Bima datang dengan tergesa ke dalam rumah. Ia langsung bangkit diikuti Lea.

"Gimana keadaan Anta, Bima?" tanya Lio cepat menghampiri Bima.

"Kritis, Pa. Anta belum sadar, benturannya cukup keras karena yang ngendarain motor ngebut banget. Anta lagi butuh banyak darah, dan katanya harus dirawat. Bima mau ambil segala kebutuhan buat di sana." Bima mengusap wajahnya kasar. Raut kepanikan dan cemas sangat terlihat jelas di wajah pria itu.

"Gak perlu operasi, kan?" tanya Lea cemas.

"Gak, Ma. Cuma perlu pendonoran darah aja."

"Sebelumnya Mama udah siapin barang-barang, bentar Mama ambil." Lea segera bergegas menuju kamar triplet menggunakan lift. Karena membutuhkan waktu lama jika harus menaiki tangga.

"Pelaku yang nabrak gimana?"

"Di bawa ke kantor polisi sama Raksa. Dia yang paling emosi banget karena pelaku gak mau tanggung jawab. Tapi sekarang udah diambil alih polisi. Biar mereka yang atur." Bima menyandarkan tubuhnya di sofa sembari memejamkan matanya.

"Atlas sama Atlan nangis?"

"Bukan lagi, mereka histeris. Papa sampai gak bisa tenangin mereka berjam-jam. Gak tega juga liatnya."

"Nanti biar Bima yang jaga di rumah sakit sama Raksa juga Bumi. Sandra bisa dibujuk Bumi buat pulang. Kasian, dia juga nangis terus bahkan sempet pingsan."

"Ini, Bima." Lea datang memberikan tas berukuran sedang kepada Bima.

"Bima langsung ke rumah sakit lagi, ya. Kalau ada apa-apa sama Atlas dan Atlan langsung hubungi Bima. Papa sama Mama jaga kesehatan." Bima mengecup pipi Lea dan berlalu pergi.

"Hati-hati Bima," teriak Lio sebelum Bima menghilang dibalik pintu.

"Hiks ... Anta."

Tangisan Sandra terus terdengar, matanya semakin sembab dengan wajah memerah. Meremas kuat kaos Bumi yang sedang memeluknya erat.

Bumi terus mengusap rambut Sandra dan menciumnya beberapa kali untuk menenangkan. Ia juga sama khawatirnya dengan Sandra.

"Pendonoran darah sudah selesai," ujar Hazzel menghampiri dua sejoli. Ia duduk di samping Bumi.

"Bukannya tadi masih kurang satu kantung?" tanya Bumi mengernyit. Sebelumnya setelah ia mendonorkan darahnya untuk Anta dokter mengatakan masih kekurangan satu kantung. Saat Bumi ingin kembali mendonor katanya tidak bisa mengingat ia juga sudah mendonorkan sebanyak dua kantung.

"Ayah yang donor, golongan darah kita sama."

"Makasih, Ayah." Sandra menatap ayahnya sembari tersenyum walau air mata tak pernah berhenti untuk turun.

Hazzel langsung berpindah duduk di samping Sandra. Mengusap puncak kepala putrinya.

"Jangan nangis lagi, pikirkan kesehatan kamu juga. Belum cukup tadi kamu membuat kami khawatir karena pingsan?"

Sandra melepaskan pelukan dengan Bumi dan berpindah memeluk ayahnya erat. Kembali menangis sesenggukan.

"Sstt ...." Hazzel membalas pelukan Sandra sembari terus mengusap puncak kepala putrinya.

"Percaya sama Ayah, Anta bakal baik-baik aja. Dia sosok yang kuat, sebentar lagi dia akan segera sadar."

"Sandra takut, hiks. Sandra gak becus jadi ibu. Sandra gak bisa jagain Anak Sandra sendiri, Ayah."

"Ayah gak suka kamu berbicara seperti ini. Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri. Ini sudah takdir, dan semuanya akan baik-baik aja."

"Argh ...." Sandra meringis memegang kepalanya yang mendadak pening.

"Sayang?" Bumi segera berjongkok dihadapan Sandra. Menatap istrinya panik.

"Bawa Sandra kembali ke ruangan tadi. Sandra harus istirahat. Biar Ayah yang jaga di sini."

"Gak, Ayah. Sandra mau di sini. Sandra mau nunggu Anta sadar."

"Sayang, kamu juga harus istirahat. Anta bakal sedih kalau pas dia bangun dia lihat keadaan kamu yang kayak gini." Bumi mengusap pipi Sandra lembut. "Ikut aku, ya?"

Sandra menggelengkan kepalanya. "Gak mau, aku mau nunggu Anta. Anta di dalem sendirian. Aku mau nemenin Anta."

Bumi menghela napasnya dengan terpaksa ia harus menggendong Sandra dengan paksaan. Sandra sempat memberontak tidak mau dan kemudian diam karena mendapat tatapan tajam dari Bumi.

"Ayah, Bumi izin bawa Sandra dulu. Maaf merepotkan Ayah menjaga Anta di sini sendirian." Bumi menatap Hazzel tidak enak.

"Tidak apa-apa. Kesehatan Sandra juga penting. Jaga putri saya."

Bumi mengangguk dan langsung membawa Sandra ke ruangan yang sebelumnya mereka isi ketika Sandra pingsan. Setelah menidurkan Sandra dibrankar, Bumi mengambil air putih yang kebetulan sudah tersedia di nakas.

"Minum dulu," ujarnya namun Sandra menggeleng tanda menolak. Wanita itu meringkuk seperti bayi dalam janin sembari terisak pelan.

Bumi menghela napas. Menyimpan kembali gelas dan duduk menghadap Sandra. Ia juga sama khawatirnya dengan Sandra. Malah sepertinya di sini Bumi yang paling terlihat takut. Takut kehilangan salah satu buah hatinya. Kejadian itu semua terjadi begitu cepat hingga membuat Bumi tak bisa berbuat apa-apa.

"Anta bakalan baik-baik aja'kan? Hiks... Anta. Aku takut ... Anta gak pernah nangis kalau ngerasa sakit, dia gak pernah marah kalo dijailin adiknya. Anta pendiem, seharusnya aku lebih banyak perhatiin dia. Hiks ... maafkan Buna Anta."

"Sstt ... kamu gak boleh bicara seperti itu. Anta pria yang kuat. Anta akan segera sadar."

"Aku gak tega, liat darahnya banyak banget. Anta pasti kesakitan." Sandra terus terisak.

"Udah, ya? Kalau kamu sibuk nangis terus Gimana Anta mau bangun? Pikirin kesehatan kamu juga. Anta bakalan sedih kalau saat dia bangun dia melihat kamu yang seperti ini." Bumi mengusap Pipi Sandra yang basah.

"Percaya sama aku, Anta bakal baik-baik aja."

Sandra bangkit dan memeluk Bumi erat. Memejamkan matanya sebentar untuk sedikit memulihkan pikirannya yang kacau.

"Istirahat, setidaknya beberepa menit. Aku tunggu di sini." Bumi melepaskan pelukan dan kembali membaringkan Sandra.

"T-tapi Anta?" Sandra menatap Bumi sayu.

"Anta ada Ayah sama Bima yang jaga. Kamu tenang, ya? Berdoa, semoga nanti setelah kamu bangun kita dapat kabar Anta sudah sadar." Bumi mengecup kening Sandra menenangkan. Wanita itu mengangguk dan mulai memejamkan matanya.

...

Kasian brondong aku lagi sakit🥺

Ohiya, makasih atas 1jt pembaca Sweet but Devil. Berkat dukungan kalian semua aku bisa sampai saat ini. Love🥺💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top