[25] Sebuah Bantuan

Jika kalian menganggap sepele sebuah perhatian seseorang, percayalah, di sana ada orang yang menginginkan hal itu tapi tidak pernah mendapatkannya dari seseorang yang dia mau.

***

Pagi-pagi sekali, Dega sudah keluar dari kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul lima tapi cowok itu sudah bangun dan sekarang ia menghampiri Bundanya yang sedang sibuk masak di dapur.

"Masak apa, Bun?" Dega memperhatikan Bundanya yang tengah memotong-motong sayur.

Melisa melirik ke anak sulungnya sekilas. "Tumben kamu udah bangun jam segini? Biasanya ngebo sampe jam enam, berangkat sekolah aja mepet-mepet."

"Ya, ampun, Bund, masa anaknya sendiri bangun pagi malah dinyinyirin." Bukannya menjawab pertanyaan Dega, Bundanya malah membicarakan hal yang lain.

"Kan, aneh aja, kamu abis kesambet apaan atau kepala kamu abis kebentur tembok?" Oke, Dega akui Bundanya memang receh pagi ini.

"Bunda aku tanyain serius malah bercanda mulu." Dega sebal, ia tak ingin diajak bercanda pagi ini.

Melisa menghentikan aktivitasnya memotong wortel. Menatap anak laki-lakinya yang terlihat masih mengantuk tapi menghampirinya ke sini. "Bunda mau masak capcai, ayam goreng, sama omelet. Kenapa? Mau bantuin Bunda masak juga? Ayo."

Dega mengalihkan pandangannya sekilas saat Bundanya menyodorkan pisau dan telenan kepadanya. Demi apapun Dega itu gak bisa masak dan gak mau masak. Bukan itu tujuannya menghampiri Bundanya ke dapur pagi ini.

"Dega bukan mau masak Bund, tapi mau minta menyisihkan lauk sama nasinya."

"Maksud kamu? Kamu mau bawa bekal?" Melisa sedikit memicing ke arah Dega. Wanita paruh baya itu menyentuh dahi Dega, aman, suhunya tubuhnya normal.

"Apaan sih Bunda, pegang-pegang."

"Habisnya kamu hari ini aneh banget. Tumben banget bangun pagi, terus mau bawa bekal padahal biasanya juga suka jajan di luar."

"Bukan buat Dega tapi buat teman." Dega menegaskan kata 'teman' agar Bundanya tak salah mengartikan.

"Temannya cewek apa cowok?" tanya Melisa penasaran, memangnya spesial apa temannya sampai harus dibawakan bekal?

"Cewek sih, Bun," ujar Dega rada kikuk. Bundanya berdeham lalu menunjukkan senyum geli.

"Itu demen kali bukan temen." Melisa tertawa kecil.

"Teman, Bunda, gak lebih. Ya, Dega cuma mau tanggung jawab aja. Kemarin dia sakit kayak Dhea gara-gara kue cokelat yang Dega kasih."

Masalah kue itu lagi. Sampai sini Melisa paham kenapa Dega bertindak demikian.

"Oke, Bunda paham, nanti akan Bunda siapin buat temen kamu. Siapa namanya kalau Bunda boleh tau?"

"Tahu namanya kalau nggak pernah ketemu ya buat apa, Bund." Dega berucap malas. "Namanya Hera. Adik kelas, dua tahun di bawah Dega," jelas Dega kemudian.

"Oh, jadi dia penyebab kamu ambil helm adik kamu kemarin lusa?"

"Bener."

"Nanti Bunda bakal nyiapin banyak makanan buat Hera."

"Oke, makasih, Bun." Dega langsung pergi dari hadapan Melisa.

Bunda Dega yang melihat anak sulungnya yang tidak langsung masuk ke kamar mandi itu pun langsung menegur, "Loh, kamu gak sekalian mandi?"

"Mau ngelanjutin tidur dulu, masih pagi banget ini." Dega menggosok rambutnya yang berantakan, tambah berantakan.

Melisa menggeleng melihat kelakuan Dega. Ia biarkan saja putranya itu dan melanjutkan masaknya.

***

Dega dibuat kaget oleh alarm yang ia pasang di ponselnya. Ternyata itu bukan alarm yang ia pasang, alarmnya sudah terlewat lima belas menit yang lalu. Itu adalah dering telepon dari Deva. Baru saja ia ingin mengangkat telepon tapi keburu dimatikan.

Kemudian ia mendapat pesan dari sohibnya itu.

Deva
Ye, si monyet, gak sekolah lo?
Udah jam berapa ini Nyet
Jam tujuh kurang lima menit
Bolos mulu
Kemarin udah bolos, sekarang bolos
Mau lulus bareng-bareng, kan?

Butuh waktu beberapa menit untuk Dega agar bisa berpikir dengan jernih, ini jam berapa?

"Bodoh," umpat Dega setelah sadar ini sudah mau pukul tujuh. Padahal niatnya tadi ingin mengantar bekal untuk Hera ke rumah cewek itu. Dega langsung bangkit dari kasurnya dan menghampiri Bundanya yang sedang cuci piring.

"Bunda kok gak bangunin?"

Melisa meletakkan piring kotornya sebentar dan berbalik menghadap anaknya. "Udah Bunda bangunin, kamu tidurnya kayak kebo, ya udah, daripada Bunda capek sendiri ya Bunda Biarin. Salah siapa coba? Tadi udah bangun pagi, bukannya langsung mandi malah tidur lagi."

Ya, empat kata pertanyaan Dega dibalas oleh celotehan Bundanya. Ini masih pagi dan Dega sudah mendapat ceramah.

Melisa membilas tangannya yang penuh dengan busa sabun, berjalan ke arah meja makan. "Ini, Bunda udah siapin bekal buat cewek kamu."

Dega mengembuskan napasnya. "Udah dibilangin bukan cewek Dega," tegas Dega dan Melisa tertawa di buatnya.

"Iya, iya.." Melisa tetap tertawa. "Kamu gak tanggung jawab banget, masa udah bikin anak orang sakit terus sekarang malah ketiduran dan gak jadi ngasih bekal."

Dega merutuki dirinya sendiri sekarang. Kenapa dia harus tidur lagi? Apa Hera udah makan? Dega jadi kepikiran tentang gadis itu lagi.

Tak menggubris ucapan sang Bunda Dega langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan dirinya setelah itu bersiap ke sekolah serta memberikan bekal yang Bundanya siapkan untuk gadis itu.

***

Sekitar pukul 08.20, Hera menyempatkan diri untuk pergi ke ruang guru menemui Bu Nani untuk mengikuti ujian susulan mata pelajaran fisika yang di adakan kemarin. Sebenarnya di jam ini dia ada jadwal olahraga, namun mengingat tubuhnya yang tidak terlalu fit sebab habis sakit, Hera memutuskan untuk tidak ikut. Ia sudah bilang kepada guru olahraga dan beliau mengizinkannya.

Beruntung, Bu Nani ada di ruang guru. Sebelum masuk ke ruang guru, Hera mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung menuju ke meja Bu Nani. Bu Nani yang sepertinya hendak keluar untuk mengajar duduk kembali setelah melihat Hera.

"Iya, Hera?" Bu Nani bertanya, beliau meletakkan tasnya di atas meja.

"Itu, Bu, saya mau ikut ujian susulan ulangan harian fisika kemarin," balas Hera sembari tersenyum kikuk.

"Oh, iya, kemarin kamu gak masuk, ya?" tanya Bu Nani dan dibalas anggukan oleh Hera.

Bu Nani mengeluarkan kertas berukuran A5 dari dalam lacinya lalu menyodorkan pada Hera. "Ini ada sepuluh sepuluh soal, nanti kamu kerjakan selama 60 menit. Gak boleh lebih dari waktu yang di tentukan, kamu harus kumpulin tepat waktu."

Hera menerima kertas soal itu. "Kumpulkannya di meja Bu Nani, ya?"

Bu Nani, guru fisika itu menggeleng. "Tidak, kalau kamu kumpulkan di meja saya, saya gak tahu kamu akan kumpulkan tepat waktu atau enggak. Nanti saya ngajar di kelas 12 TE1 1, kamu nanti ke situ saja."

12 TEI 1? Itu kelasnya Dega bukan sih? Hera bertanya dalam hati. Hera ingat dulu pernah membantu Pak Cindy untuk ikut mengoreksi ulangan harian anak elektro.

"Hera?" Bu Nani menggoyangkan lengan siswinya yang tampak melamun.

"Iya, Bu, nanti saya kumpulkan ke sana," jawab Hera. "Makasih, Bu, saya mau kembali ke kelas dulu," pamit Hera setelahnya dak lupa mencium tangan guru fisikanya yang terlihat awet muda itu.

"Oh, iya, boleh minta bantuan?"

Hera langsung berbalik mendengar suara Bu Nani. "Iya, Bu?"

"Ini, kemarin Ibu kasih tugas ke kelas kamu nah ini buku semua teman kamu, minta tolong bawa sekalian ke kelas kamu ya, Ra?" Bu Nani menyerahkan 31 buku tulis murid sepuluh kimia analis satu kepada Hera. Lumayan berat dan Hera berupaya untuk tetap terlihat kuat dan bisa. "Kamu juga, ya, kerjain tugas. Ini kemarin tugas mengerjakan soal yang ada di LKS halaman 29. Gak papa, gak hari ini di kumpulkan, batasnya lusa, ya?"

"Siap, Bu. Saya ke kelas dulu ya, Bu?" pamit Hera dan di angguki oleh Bu Nani.

Dengan susah payah Hera membawa buku-buku tulis temannya ke ruang kelasnya sendiri.

Gimana tidak berat? satu buku itu berisi 100 lembar halaman, sangat tebal, dan ini ada 31 buku. Itu kemauan Bu Nani, ya, sedikit berbeda dari guru lainnya yang tidak terlalu mempermasalahkan bentuk buku mau A5 atau bigboss dan mau isi yang 38, 58, atau 78.

Bu Nani punya ketentuan sendiri. Buku murid yang ia ajar harus seragam yaitu ukuran buku A5 harus isi 100 lembar dan harus disampul warna hijau. Kenapa hijau? Karena jurusannya kimia analis. Beda jurusan beda lagi warna sampul bukunya.

Di saat susah seperti itu, seseorang mengambil bukunya hampir setengah, sehingga Hera bisa merasakan keringanan. Hera menolehkan kepalanya, ia ingin tahu siapa yang menolongnya.

"Kak Satya?" tanya Hera tidak percaya.

"Gue bantuin, berat banget, kan?" Satya tersenyum sangat manis.

Bisa dinilai Satya itu tipikal cowok yang baik, tapi maaf, hatinya bukan untuk Satya. Melainkan orang lain. Lagi pula Satya ini cowok playboy, Hera tidak suka akan hal itu, dan cowok ini suka secara terang-terangaan mendekatinya. Hera semakin tidak suka hal itu.

Memang benar kata pepatah, kodrat perempuan itu dikejar bukan mengejar, diperjuangkan bukan memperjuangkan. Tapi, jika diberi perhatian over, Hera menjadi tidak suka.

"Iya, tapi gak papa, Kak. Aku mau bawa sendiri aja." Hera merasa tidak nyaman saja di dekati oleh Satya. Cowok ini sedari tadi melihatnya terus, Hera melihat dari ekor matanya. Dan, lagi, Hera tidak mau Arel melihat hal ini, bisa sakit hati dia, cowok yang ia suka mendekati cewek lain.

"Nomor waktu itu yang gue kasih, kenapa nggak chat?"

Aduh, pakai bahas nomor waktu itu lagi. Kertasnya udah gue buang, gerutu Hera dalam hati.

"Maaf, Kak, hilang," bohong Hera sedikit terkekeh.

"Oh, gitu?" Yang tadinya Satya membawa buku dengan kedua tangannya, kini ia memindahkan semua buku ke tangan kirinya. Tangan kanannya mengambil ponsel yang ada di saku kanannya. "Berapa nomor lo? Biar gue yang save dan chat lo."

Duh, gue gak mau bagi nomor gue ke cowok ini, batin Hera.

"Wey, kalian lagi ngobrolin apa nih?" Dega tiba-tiba nongol dan entah kenapa Hera bisa bernapas lega sekarang. Hera tidak tahu alasannya apa, meskipun Dega menyebalkan tapi Hera selalu merasa aman jika ada cowok itu di dekatnya.

"Lo, kan, habis sakit, sini gue bawain." Dega meraih semua buku yang ada di tangan Hera. Cewek itu hanya melongo melihat sikap Dega. Sekarang tangan Hera hanya membawa selembar kertas A5 berisi soal ujian itu saja.

"Anjir, lo dateng-dateng selalu ngerecokin doang, Ga."

"Apaan sih? Orang gue mau bantuin si bocil," ujar Dega santai. Cowok itu baru saja datang, tas ranselnya masih ia pakai. Ia telat dan tidak dihukum, karena tidak berlaku untuknya yang masuk lewat manjat dinding belakang sekolah.

Mereka jalan beriringan menuju kelas Hera. Dengan Hera yang ada di tengah-tengah cowok jangkung ini. Sedikit awkward, Hera maju selangkah lebih depan.

Mereka bertiga melewati lapangan, Hera bisa melihat teman-temannya yang sedang melakukan pemanasan sebelum berolahraga. Manik mata Hera bertemu dengan Arel, saat Hera tersenyum dan melambai tangan ke arah Arel, cewek itu malah membuang muka.

Arel kenapa? Hera ada salah? Tidak mungkin, kan, gadis itu cemburu karena Satya menolongnya?

Ya, Arel tidak mungkin begitu.

***

Bersambung ......

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top