[24] Perhatiannya
Jika tidak bisa dimiliki setidaknya jangan semenarik ini, kalau saja hatimu bukan untuknya, bukan, kah ada peluang untuk kita bisa bersama?
Kalau mustahil untuk sekarang, bisa jadi di waktu mendatang. Ya, kan?
***
“Cil, Bocil, Bocil!” Dega teriak-teriak di depan rumah Hera sambil gedor-gedor pintu yang tidak bisa dikatakan slow. Cowok itu panik sendiri soalnya yang punya rumah tak kunjung keluar.
“Masa gue dobrak nih rumah orang?”
Dega berkacak pinggang. Karena belum ada tanda-tanda Hera membuka pintu, Dega bersiap mengambil ancang-ancang.
“Satu, dua, ti—eh eh.” Tubuh Dega terhuyung ke depan untung saja ia bisa menahan diri supaya tidak benar-benar terjatuh. Pintu yang terbuka secara tiba-tiba membuatnya kaget.
“Lo ngapain sih?!” Hera senderan pada pintu, ia butuh penopang untuk tubuhnya. Jujur badannya masih terasa lemas karena baru saja mengeluarkan isi perutnya lagi. Hera juga merasa sedikit terganggu karena tiba-tiba ia mendengar suara Dega yang sangat keras dari luar.
“Kalo mau maling jangan di sini. Lo salah tempat.” Meskipun sedang sakit Hera masih bisa bicara dengan ketus.
“Sakit, kan, lo?” Dega menunjuk Hera dengan jarinya.
“Gak.”
“Terus kenapa gak masuk sekolah? Kata lo hari ini ada UH fisika.” Dega memainkan alisnya.
“Gue capek, pengen istirahat.” Hera memegangi perutnya, rasa mulesnya datang lagi. Ah, sial kenapa ini gue rasain pas lagi ada cowok rese itu, sih? rutuk Hera dalam hati.
“Oh.” Dega manggut-manggut. Nih, cewek batu juga ternyata, udah sakit gak mau ngaku.
“Lo pucet banget loh, Cil.” Dega mengamati wajah Hera, wajahnya tak seperti biasanya seperti menahan sesuatu dan tampak keluar keringat dari dahinya.
Hera tidak tahan lagi, dia langsung lari ke kamar mandi. Selain muntah dia juga diare sedari tadi.
“Cil!”
“Jangan ikutin gue! Duduk aja di situ.”
Hera menunjuk sofa depan televisi yang ada di ruang tamu. Menuruti kemauan yang punya rumah Dega duduk saja dan untuk mengusir rasa bosan ia membuka layar ponselnya. Ternyata banyak pesan masuk dari temannya yang menanyakan keberadaan dirinya. Tangannya bergerak lincah di atas layar ponsel menjawab satu per satu pesan dari temannya.
Pandangannya terhenti saat ia melihat Hera yang berjalan mendekatinya. Gadis itu terlihat lemas, ya mendadak Dega merasa bersalah lagi.
"Sorry, ya, Cil, gara-gara gue lo kayak gini." Serius Dega meminta maaf kepada Hera, kalau bukan dirinya gadis itu tak mungkin seperti ini.
"It's okey, lo balik aja, gue udah gak papa." Hera berujar begitu karena dirinya tidak mau terlihat lemah di depan orang lain, apalagi di hadapannya ini cowok yang menurutnya sangat rese.
"Serius? Lo bisa ngomong kayak gitu, tapi muka lo gak bisa bohong kalau lo sakit." Wajah pucat Hera lagi-lagi membuat Dega khawatir.
"Di mana nyokap lo?" Iseng Dega bertanya.
"Kerja di luar kota, baliknya masih beberapa hari ke depan."
Dega meneguk ludahnya, semakin merasa bersalah pada Hera, tidak mungkin cowok itu meninggalkan gadis itu sendiri di rumahnya dalam keadaan seperti ini?
"Lo balik aja ke sekolah, ngapain repot-repot ke sini?" Meskipun terlihat kurang sehat, Hera masih bisa berkata menusuk juga, pikir Dega sedikit takjub.
"Ya, lo, kan, sakit? Masa gue ninggalin cewek sakit sendiri? Apalagi penyebabnya gara-gara gue?"
Oh, hell, sejak kapan Dega seperhatian ini? Apa benar ya kata orang, orang akan berubah lebih baik kepada orang yang sakit?
"Ya, udah kalau itu mau lo, emang suka bolos, kan, lo nya?" Setelah mengucapkan hal itu, Hera berdiri kemudian berjalan menuju dapur mengambil dua gelas dan mengisinya dengan air putih. Di rumahnya tidak memiliki persediaan sirup, kopi, atau pun serbuk perisa minuman lainnya. Jadinya Hera akan menyediakan air putih biasa untuk Dega.
"Minum dulu." Hera menaruh satu gelas air putih untuk Dega di meja, satu gelasnya lagi untuk dirinya dan sekarang ia meminumnya.
"Lo udah makan?" tanya Dega tiba-tiba membuat dahi Hera berkerut.
"Ngapain nanya-nanya?"
Dega sebenarnya dari tadi ingin mengumpat dan memaki gadis di hadapannya ini, namun sebisa mungkin ia harus berusaha sabar. Menghadapi orang sakit ditambah karakter yang seperti Hera harus ekstra ekstra ekstra sabar.
"Emang perhatian gak boleh?"
"Ya, gak boleh! Kita bukan apa-apa." Hera menegaskan kalimat itu, jujur jantungnya berdebar tidak karuan saat melihat kedatangan Dega ke rumahnya. Mentang-mentang cowok itu tahu rumahnya, bukan berarti ia bisa datang sesuka hati dan membuat hati Hera berantakan.
"Lo kayak butuh validasi banget sih, kata-kata lo barusan kayak minta diseriusin aja."
Hera kalah telak, mampus, kan, ngomongnya jadi ngelantur gini waktu sakit.
"Ya, lo sih. Ngappain coba dateng ke sini?!" Hera nyolot membuat Dega menghela napas.
"Cil, lo disabar-sabari malah kayak gini." Dega emosi, ia mencoba sabar tapi Hera selalu ingin memancing emosinya. "Meskipun bukan apa-apa emangnya gue gak boleh care sama lo? Lo kenapa sih aneh banget, gue di sini mau nemenin lo. Secara, lo kayak gini gara-gara gue, gue harus tanggung jawab."
Lo gak boleh terlalu care sama gue, Ga, gue cuma takut rasa ini malah bertambah besar.
Hera menyadari kalau dirinya mulai tertarik pada Dega, entah sejak kapan tiba-tiba saja hatinya mulai bedebar saat berada di dekat cowok itu. Apalagi kemarin saat cowok itu mengajaknya nonton, meski cuma pengganti soalnya pemeran utamanya berhalangan hadir.
Coba seandainya kemarin Arel tidak sakit saat tamu bulanannya datang, mungkin Hera tidak akan merasakan bagaimana nonton bioskop bersama cowok, Hera tidak akan mendapat kue cokelat dari Dega yang membuatnya sakit. Semisal kita reka ulang kejadian hari kemarin, mungkin Arel yang ada di posisinya sekarang. Tapi, dibalik kejadian hari ini dan kemarin, Hera percaya bahwa itu adalah takdir. Takdir Tuhan yang membuatnya bersama dengan orang seperti Dega.
Indah menurutnya, jika Tuhan mengirimkan seseorang seperti Dega di hidupnya. Meskipun cowok itu terkadang membuatnya kesal.
Tapi ... sejauh mungkin Hera berharap jika hati cowok itu bukan untuknya, buat apa? Bukan, kah, akan sia-sia? Mengharapkan seseorang yang sedang mengharapkan orang lain yaitu temannya sendiri, Arel.
Hera berniat menjauhi dan melupakan Dega, sebelum rasanya bertumbuh semakin besar, ia tidak mau terlibat dalam hubungan yang tidak pasti. Oke, ini terlalu dramatis untuknya yang baru menginjak umur enam belas tahun.
"Hei, ngelamun aja nih bocah." Dega menggoyang lengan Hera, gadis itu terlihat merenung, entah merenungi apa tapi ekspresinya terlihat serius.
"Hera," panggil Dega lembut dan Hera menoleh padanya.
"Oke, gue minta maaf kalau tadi kata gue kasar dan nyakitin hati lo, tapi gue sungguh-sungguh pengen tanggung jawab dan jagain lo di sini," ungkap Dega tulus, Hera ingin menangis saja rasanya. Perlakuan Dega yang manis membuatnya baper di kondisi yang tidak tepat.
"Lo udah makan belum? Kalau belum makan, mau makan apa? Biar gue pesan lewat gofood atau nggak gue pergi keluar cari yang anget-anget buat lo?"
Sumpah, sekeras mungkin Hera mencoba menahan agar air matanya agar tak keluar tapi tetap saja keluar. Dega, cowok itu, yang hatinya berada di tempat lain dan bukan untuknya. Ia tidak bisa diberi perhatian seperti ini, dalam kata lain Hera terharu dengan sikap hangat Dega padanya. Kenapa sih Dega harus bersikap seperti ini?
Bodoh, bodoh, bodoh, rutuk Hera dalam hati, dia bukan gadis lemah yang biasanya menangis. Dia tak pernah menangis di hadapan orang lain seperti ini. Tapi, Dega ... di hadapan cowok itu dia malah menangis. Ini bukan diri Hera, mana Hera yang kuat?
"Hei, malah nangis." Dega menyeka air mata Hera yang membasahi pipi. "Sorry gue salah, lo jangan gini, gue malah semakin merasa bersalah."
Dega bingung melihat Hera yang menangis secara tiba-tiba. Cowok itu berusaha menenangkan Hera.
Kenapa?
Kenapa sikapnya harus sehangat ini kalau memang tidak bisa dimiliki?
Dega menepis tangan Dega yang menyentuh pipinya menyeka air mata.
"Gue terharu sama sikap lo, puas lo?" Hanya kalimat itu yang bisa Hera lontarkan, tidak mungkin dia mengatakan alasan utamanya menangis karena kenyataan bahwa cowok itu memang tidak bisa dimiliki.
Dega tertawa kencang. "Oh ... gue kira apa, gini amat cewek. Suka baper gak jelas."
Hera semakin sebal melihat raut Dega sekarang. Pengen cakar-cakar wajahnya yang tampan itu.
"Ya, udah, lo tenangin diri lo dulu, puas-puasin deh lo nangis sambil baper ke gue, gue mau cari makanan dulu di luar." Dega bangkit kemudian menepuk kepala Hera tiga kali seperti pemilik hewan peliharaan yang menepuk kepala peliharaannya saat mau ditinggal.
Dalam hati Hera berteriak, "ANJAYYYYYYY! BISA GAK SIH LO GAK USAH SKINSHIP KE GUE?!"
***
TBC.
JEDAG JEDUG.
kalau kata lagu
~ingin ku mengejar seribu bayangmu
~namun apa daya tangan tak sampai
azek.
sekian dan thank you yang udah baca, love you so much😘
- Dari Hera Syazeta untuk inisial D.
Kira-kira beginilah isinya....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top