[23] Pahit Tapi Bukan Obat
Kita adalah remaja yang merasakan gejolak cinta. Tenggelam dalam lautan yang bernama rasa, hingga kenyataan membawaku ke tepian dengan rasa hampa.
Ternyata yang pahit bukan cuma obat melainkan kenyataan.
***
Pukul lima pagi Hera terbangun dari tidurnya dengan rasa yang tidak enak pada perutnya dan ia merasa ingin mengeluarkan semua isi dari perutnya. Gadis itu terburu-buru menuju kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi, tubuhnya sedikit merasa lemas. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Hera cuma berharap ini bukan pertanda dia akan sakit karena pasti ini akan merepotkan dirinya. Mamanya sedang tidak ada di rumah. Sakit saat sendirian di rumah adalah hal yang menyulitkan pikir Hera.
Dengan tubuh yang masih lemas Hera mengambil air wudhu lalu menjalankan sholat sebagai kewajibannya.
Masih ada waktu untuknya beristirahat lagi. Hera membaringkan tubuhnya lagi di tempat tidurnya. Perutnya masih terasa sakit ia mengoleskan minyak kayu putih secara merata ke mulutnya. Rasanya tidak nyaman, gadis itu menahan rasa mual. Dari dulu ia tak suka mengeluarkan semua isi perutnya. Alhasil, ia hanya bisa mengoleskan minyak kayu putih secara merata ke lehernya. Dirasa lebih hangat ia memutuskan untuk tidur kembali.
"Gue gak boleh sakit, hari ini juga ada ulangan harian, semoga tidur sebentar bisa memulihkan badan gue."
Hera mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Ia jadi teringat perkataan Dega dini hari di telepon. "Ah, iya, kue cokelat! Tapi, masa iya gue gini cuman gegara kue cokelat."
Hera bangkit dari posisinya, mencari kotak kue cokelat yang ia tinggal di meja makan. Mencari tulisan kadaluarsa.
"Pantes, masa kadaluarsanya udah lewat beberapa bulan yang lalu." Hera berdecak dan mendadak kesal pada Dega yang memberinya kue itu. Ya, cowok yang lebih mentingin diskonan harga daripada kualitas kue. Waktu nyobain kue itu kemarin, Hera udah ngerasa ada yang aneh tapi tetep ia makan, soalnya kalau dibuang mubazir juga. Bodohnya ia, saat merasa aneh tidak memperhatikan tanggalnya.
"Aduh ...," rintih Hera memegangi perutnya dan lari ke kamar mandi lagi.
Badannya terasa sangat lemas. Rasa mual ingin muntah yang Hera tahan ia keluarkan juga tadi. Terasa lega meski sesaat. Setelah itu ia mandi dan bersiap berangkat sekolah.
***
"Gak berangkat sekolah lo?" Deva agak heran sama adik satu-satunya ini. Kok masih santai sambil scroll medsos. Soalnya ini hari Senin, tahu sendiri Senin pagi biasanya diadakan upacara.
"Bentar elah." Arel masih posisi rebahan di atas sofa. Gadis itu sudah memakai seragam atribut lengkap, hanya saja masih terlihat santai saat Deva mau berangkat sekolah.
Meskipun adik kakak, mereka berdua selalu membawa sepeda sendiri-sendiri. Ya, itu semua karena Arel yang mau. Alasannya, Deva selalu berangkat lebih lambat, pulangnya juga lebih lambat. Soalnya kelas dua belas biasanya ada kelas tambahan sebelum pulang dan juga cowok itu suka ngajak jalan guru fisikanya.
"Lo tumben amat sih belum berangkat? Biasanya aja duluan," gerutu Deva sudah bersiap untuk keluar rumah tapi si Arel masih belum beranjak. "Lo nungguin orang apa gimana?"
"Iya, nih, gue suruh Dega jemput, lagi mager naik motor." Arel menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan riwayat chatnya dengan Dega.
"Hadeuh tuh bocah."
"Kenapa emangnya, Bang?"
Deva menggelengkan kepalanya, seperti menyembunyikan sesuatu.
"Kenapa sih?" Arel bertanya lagi.
Emang ya rata-rata cewek itu susah peka sama cowok yang suka sama dia. Contohnya, adik perempuannya ini. Padahal sejak Dega putus dari mantannya, cowok itu udah jelas banget aura ketertarikannya sama Arel. Tapi, kayaknya Arel masa bodoh, soalnya dia lagi suka sama cowok lain.
Perkara Dega yang suka Arel, gak ada yang tahu, soalnya cowok itu bukan tipe yang bakal umbar-umbar hubungan percintaannya ketika udah resmi baru lah tuh go public. Kalau soal PDKT-an sama cewek siapa aja, Dega gak pernah bilang. Deva tahu Dega suka adiknya itu ya dari sikapnya, cara menatap Arel, dan selalu kayak willing to do anything for the girl.
Dan, lagi, perkara Arel yang suka sama cowok lain itu Deva juga udah tahu. Wajar kalau adiknya itu masa bodoh sama Dega, soalnya bukan Dega yang jadi incarannya melainkan temannya yang lain, yaitu Satya. Memang benar sih Arel gak bilang secara langsung, tapi sikapnya sama kayak Dega yang lagi suka sama adiknya.
"Manfaatin aja terus tuh anak orang," sinis Deva.
"Ih, kok lo sewot? Dega nya aja gak masalah."
Tidak mau berdebat di pagi hari, Deva memilih untuk mengalah dengan cara diam tak membalas perkataan adiknya.
"Nah, si Dega udah nyampe." Arel memperlihatkan layar ponselnya lagi. Dega is calling.
"Gue berangkat dulu, ya, Bang." Setelah pamitan Arel langsung ngicir ke depan.
***
"Rel, udah sarapan belum?" Biasa lah modus cowok pagi hari, basi-basi juga proses pendekatan dalam artian kode secara halus.
"Udah, sih," jawab Arel. "Ciee, penasaran nih, ye."
"Nnya doang dibilang penasaran. Lo, kan, adiknya temen gue." Dega ngeles. Sebut saja Dega terlalu pengecut untuk mengakui perasaannya.
"Cailah. Gitu banget. Btw, thanks ya, kemarin mau gue suruh beli minuman dapet." Arel terkekeh.
"Bener sih, yang minta tolong lo, tapi yang nemuin gue di depan abang lo."
"Ya, maaf."
"Dah, lah, lupain."
"Nah, gitu dong." Arel mendorong bahu Dega, cowok itu sedikit terguncang tapi kemudian mengulum senyum. "Jadi, cowok tuh harus pemaaf, biar banyak yang suka."
"Banyak yang suka tapi lo gak suka ya sama aja."
"Hah? Suka?" Arel ketawa meledek. "Lo berharap gue suka sama lo?" Mata gadis itu sedikit berair karena bercandanya Dega.
Padahal Dega di situ beneran mau mengungkap rasa, tapi Arel menganggap perkataan Dega sebuah lelucon.
"Bisa aja, Kak, bercandanya."
Kali ini Tuhan memang menyuruh Dega untuk sabar. Karena tidak semua apa yang dimau bakal tercapai.
"Gimana kalau gue serius?"
"Serius juga, gue udah anggep lo kayak abang gue sendiri, Ga. Kayak Bang Deva," tutur Arel yang tidak peka bahwa sekarang ada cowok yang sedang patah hati mendengar jawabannya.
Oh, gini ya? Rasanya penolakan sebelum menyatakan?
"Lagi pula gue udah ada orang lain yang gue suka dan itu bukan lo. Hehe."
Apakah ini artinya Dega harus mundur sebelum melanjutkan perjuangan?
Apakah ia harus menghentikan proses pendekatan yang sedang ia lakukan?
"Siapa?" Saat Dega bertanya, Arel menyipitkan mata.
"Lo kenapa sih hari ini? Penasaran banget sama gue. Naksir ya sama gue? Eak." Arel berbicara tentu saja dengan nada menggoda.
"Ge'er. Gue cuma pengen tahu aja, tipe cowok kayak apa sih yang lo sukai?"
"Oww gituu." Wajah Arel itu bener-bener puas banget ngegoda Dega. Ada smirk manis tipis-tipis terbingkai di wajahnya. "Kayak si itu pokoknya."
"Itu siapa?"
"Gak ah, belum waktunya. Lo biasanya ember."
"Janji deh gak bakal ember." Dega beneran kepo tapi harus tetap stay cool.
"Gak mau, soalnya kata orang kalau belum fiks itu jangan diumbar-umbar, biasanya suka gagal."
"Dih, aneh. Gue gak pernah tuh denger pepatah gitu."
"Ada ... pokoknya."
Waktu terasa cepat berlalu, perjalanan terasa lebih singkat, tentu saja dilalui dengan perbincangan random dengan topik yang bisa dibilang 'sensitif', kata yang lebih dominan ke Dega. Pagi ini cowok itu tak menenggak pil obat apapun, tapi mendadak hidupnya pahit cuma karena pernyataan Arel.
Mereka sudah sampai di parkiran SMK Berlian. Dega mematikan mesin dan melepas helmnya. Sementara Arel, jarinya lincah mengetikkan balasan untuk seseorang.
"Rel, lo gak mau turun?"
"Bentar masih bales chat."
Dega mengangguk mengerti. Layaknya cowok yang love languagenya act of service ke ceweknya, Dega turun dari motornya, memperhatikan Arel yang tengah sibuk, lalu perlahan tapi pasti cowok itu melepas kaitan helm dan mengangkat helm itu dari kepala Hera.
Siapa sih cewek yang gak baper digituin cowok? Ya, kecuali cewek itu emang udah berpawang atau punya tambatan hati yang lain.
Dega menunggu sampai Arel berbalas pesan entah dengan siapa.
Arel mematikan layar ponselnya, ia turun dari motor. "Thanks," katanya sambil tersenyum.
"Chat sama siapa sih? Kayaknya penting amat."
Arel menyimpan ponsel di sakunya. "Hera."
"Oh, si bocil."
Arel menyikut lengan Dega. "Gitu-gitu temen gue ya! Gak boleh ngeledek!" Arel berkacak pinggang.
"Lagian kenapa coba chat lo? Bentar lagi juga ketemu di kelas."
"Makanya jadi orang tuh gak usah sotoy, Pak." Arel membuang napas. "Dia hari ini izin gak masuk, katanya gak enak badan."
Bocil sakit? Apa gara-gara kue cokelat yang gue kasih kemarin ya? Tapi, tadi dia bilang imun tubuh dia kuat, batin Dega.
Mungkin sedikit menggali informasi tidak apa, pikir Dega. "Gak enak badan kenapa?"
Arel mengedikkan bahu. "Katanya sih masuk angin, karena mandi kemalaman mungkin?"
Dega jadi khawatir. Apa benar cuma masuk angin?
"Gue duluan ya, abis ini upacara, sekali lagi thanks tebengannya."
Dega masih terdiam di tempat. Raganya masih di situ namun pikirannya melayang jauh pada gadis itu.
"Kok gue jadi merasa bersalah gini?" Dega melangkahkan kakinya keluar dari parkiran.
Mencoba untuk menelepon Hera tapi tidak diangkat. Dega coba lagi namun masih sama. Perasaan Dega tidak enak. Ia kembali melangkah ke parkiran dan menuju motornya.
"Yang sekarang gue lakukan adalah memastikan kalau bocil gak kenapa-napa," monolog Dega.
"Lo mau ke mana, Ga?" Deva yang baru datang dan melihat sohibnya yang terlihat terburu-buru menjadi ingin tahu.
"Kucing gue mau lahiran."
"Lah, kocak nih anak."
Dega pamit dengan cara dua jari telunjuk dan jari tengah yang direkatkan lalu diletakkan di dekat pelipis kemudian dilayangkan ke udara.
Tidak semudah itu keluar dari gerbang utama, ada satpam yang berjaga. Pria paruh baya itu bersiap menutup gerbang.
"Pak, jangan ditutup, Pak!" seru Dega dan satpam itu berjingkat karena kaget.
"Mau ke mana kamu? Ini udah mau bel masuk sekolah," tegas satpam tersebut.
"Urgent, Pak! Pacar saya pingsan di jalan!"
"Halah, kamu mau bohongi saya, kan?"
"Beneran, Pak. Kalau nanti ada apa-apa sama pacar saya Bapak mau tanggung jawab?" Dega pasang wajah sedih.
"Kalau pacar saya meninggal sebelum waktunya Bapak mau tanggung jawab?"
Satpam itu sedikit terpengaruh.
"Pak, ayolah, pacar saya lagi butuh saya. Kalau Bapak punya hati nurani pasti Bapak mau nolongin sa—"
"Ya," jawab Satpam itu cepat, ia membuka gerbang dan Dega melajukan motornya.
Tak cukup sampai di situ. Saat dia sudah melewati gerbang, Dega berbalik.
"Apa lagi?" tanya satpam dengan raut lumayan iba.
"Makasih ya, Pak, mau nolongin saya. Saya doakan Bapak diberi kesehatan, kebahagiaan, dan rezeki yang melimpah. Aamiin."
"Aamiin. Makasih, Nak." Satpam ikutan menyahuti doa-doa baik Dega.
"Sama-sama, Pak, dan kalau boleh jujur sebenernya saya gak punya pacar, Pak. Hehe." Dega nyegir lebar. "Saya mau izin sebentar memastikan sesuatu."
"LOH, KAMU BOHONGIN SA—!"
"MAKASIH PAK, SEMOGA SIKAP BAIK BAPAK DI BALAS OLEH YANG KUASA!" Setelah mengatakan itu Dega melambaikan tangan dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, sebelum ia mendengar amukan yang lebih panjang lagi.
***
Bersambung .........
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top