[13] Si Nyebelin

Jahat ya semesta, terus menerus membuatku bertemu dengannya. Semoga saja interaksi ini tak membuatku suka apalagi jatuh cinta.

***

Lomba masih terus berlanjut, yakni lomba tarik tambang dan futsal. Pertandingan final tarik tambang berjalan begitu sengit antar jurusan mesin sama elektro terlihat menarik perhatian penonton.

Lawannya bisa dibilang seimbang. Karena tarik tambang membutuhkan kekuatan yang lebih besar, siswa-siswa pun yang ikutan berpatisipasi dalam lomba ini memiliki badan yang besar-besar. 

Satya, Arsal, sama Orlan ikut dalam lomba ini. Empat teman dekatnya yang lain seperti Dega, Deva, Elios, sama Mario juga ngedukung mereka dengan cara nyorakkin dari pinggir. Gak tau lagi sama Dega, Deva, dan Elios, bukannya mendukung kelas jurusan mereka sendiri, eh malah mendukung tim lawan. Namanya juga sahabat, tapi rumor yang beredar kebanyakan begitu sih. Katanya pertemanan cowok itu lebih kuat atau apalah itu, dari pada pertemanan cewek yang didominasi dengan bermuka dua. 

Ciwi-ciwi juga pada dukung anak mesin. Gak usah ditanya lagi. Orang cogannya berasal dari sana semua. Ya, meskipun nakal, tampang mereka kayak berandal tapi sosok cakep paras mereka yang dari lahir dan mendarah daging mana bisa ditolak sama kaum hawa. 

"Tarik guys!" teriak Satya yang ada di urutan paling depan. Keringatnya udah ke mana-mana. Mana tarikannya kelihatan kek kuat banget, urat-urat tangannya sampek pada keluar semua. Sebegitu ambisnya.

"MESIN?!" Orlan bersuara.

"Gas poll rem blong!" Seruan itu membangkitkan semangat anak mesin yang lagi berjuang keras buat menang. Di antara semangat layaknya api yang sedang berkobar angin yang berembus kencang malah membuat kobaran itu semakin menyebar. Tarikan yang begitu kuat sehingga anak elektro tak mampu mengerahkan tenanganya lagi dan tertarik sehingga melewati batas garis daerah lawan.

***

Akhir dari segala lomba yang telah diadakan yaitu futsal yang berhasil dimenangkan oleh anak Multimedia kelas sepuluh. Pencapaian yang luar biasa. Entah karena keberuntungan tendangan pinalti atau lawan mereka emang udah kehabisan energi, hanya Tuhan yang tahu.

Akhirnya, dari sekian banyak lomba jurusan multimedia bisa menang, setelah anak mesin, listrik, sama elektro. Lomba bakiak, balap karung, sama tarik tambang dimenangkan anak mesin. Lomba voli dimenangkan sama anak elektro. Lomba sepak bola terong dan estafet karet dimenangkan sama anak listrik. Terus yang terakhir adalah voli yang dimenangkan oleh anak multimedia kelas sepuluh. Padahal lomba-lomba yang sebelumnya itu dimenangkan rata-rata  oleh anak kelas dua belas dan sebelas.

Anak kimia khususnya ciwi-ciwinya nih udah mencak-mencak gak karuan. Apalagi kelasnya Hera yang udah minta diadili aja.

"Wuu, makanya usaha dong, jadi cewek kok lemah banget!" Seruan itu berasal dari jurusan tetangga yang tidak lain tidak bukan adalah teknik mesin.

"Otot dong yang diandelin." Rangga menunjukkan otot bisepnya. "Nyocot terus sih lo pada!"

Ini kayaknya kalau mereka mau ajak baku hantam bisa-bisa aja. Tapi ya pasti gak akan menang. Si Fikri juga sebagai ketua kelas sepuluh kimia satu juga berusaha ngadem-ngademin temen-temennya biar gak tersulut sama anak kelas sepuluh jurusan mesin yang suka nyinyir.

Bertepatan setelah pengumuman dan pembagian hadiah selesai, semua siswa dan siswi SMK Berlian keburu-buru masuk kelas karena hujan mengguyur begitu saja. Memang, sedari tadi langit tampak mendung dan beberapa kali terdengar suara guntur. Semuanya pada ngacir ke kelas masing-masing. Ada juga yang gak sempet berlari ke kelasnya dan meneduh sementara di depan koridor atau di mana pun itu yang ada atapnya.

Hujannya nih ngeresahin satu sekolah, datangnya gak pakai permisi. Minimal gerimis dulu gitu, gak langsung deres kayak gini. Yang kasihan itu ya anak osis yang terburu-buru beresin mic sama barang-barang yang lain.

Hera kepencar sendiri dari temannya. Salahnya juga, karena tadi waktu diajak Arel ke kamar mandi dia tidak mau, dengan alasan "ingin tahu dan menyaksikan siapa aja yang menang lomba-lomba dan sesi pengambilan hadiah". Kalau Arel masa bodoh sama hal kayak gituan, soalnya kelas mereka gak memenangkan lomba apa pun.

Terjebaklah Hera sekarang. Di depan ruang ekskul jurnalis dengan siswa-siswa lain yang tidak Hera kenal. Hera posisinya agak mojok dan lumayan sepi, yang mana mereka semua pada bergerombol. Sayup-sayup Hera bisa mendengar suara seorang perempuan yang menyatakan perasaannya.

"Dega gue suka sama lo."

"Gue udah dua tahun suka sama lo, semenjak dari kelas sepuluh, tapi gue gak berani bilangnya dan ya ... waktu itu lo juga punya pacar."

"Apa yang membuat lo suka sama gue?" 

"Emangnya suka butuh alasan?"

Hera menegaskan indera pendengarannya dan mulai mencari sumber suara. Tepat saat ia berbalik ke arah jendela yang berada di belakangnya, ia menemukan sosok Dega dan seorang gadis dengan rambut kuncir kuda yang tidak ia kenal.

"Oke, gue kasih lo waktu tiga detik buat lo jawab pertanyaan gue."

Gadis itu refleks membulatkan matanya.

"Satu."

"Ga ...."

"Dua."

"Dega ...."

"Tiga." Dega menaikkan sudut bibirnya. "Waktu lo habis."

Hera bisa melihat gadis yang baru saja mengutarakan perasaannya pada Dega menangis kemudian pergi. Hera yang terbengong menyaksikan kejadian itu tak sadar jika Dega melihat ke arahnya. Spontan, Hera langsung jongkok saat sadar Dega tengah meliriknya, biar gak kelihatan.

"Semoga gak nyamperin, semoga gak nyamperin, semoga gak nyamperin, semoga gak nyamperin, semoga gak nyamperin, semoga gak nyamperin, semoga gak nyamperin," lirih Hera berulang-berulang agar Sang Pencipta mengabulkan permintaannya. 

Dega udah keluar dari ruang jurnalis. Dia niatnya mau ke kelasnya yang jaraknya gak jauh dari ruang ekskul jurnalis, hanya berjarak 3 ruangan saja. Tapi, ia melihat Hera yang sedang jongkok, sambil mengadahkan tangan seperti berdoa dan matanya juga terpejam. Mulutnya juga komat kamit, dan Dega gak tau si Hera ini lagi berdoa atau baca mantra supaya hujan reda apa gimana. Habisnya lama banget.

"Lo ngapain Cil? Qunut?"

Mata Hera terbuka, kaget tentu saja. Dega nih selalu santuy bawaannya. Hera bingung harus bersikap kayak gimana dan akhirnya dia berdiri kemudian buang muka.

"Lo kenapa sih? Kayak kecyduk gitu? Ngintipin gue lo ya? Suka gue gak sih kalau udah nguntit kayak gini?"

Ini yang membuat Hera berdoa agar Dega tidak mendatanginya. Cowok itu selalu saja over PD sama dirinya sendiri. 

Hera berbalik. "PD!"

"Terus?"

"Ya nggak tau." Hera mengedikkan bahu.

"Lo dengerin semuanya, ya?" Dega terkekeh. "Kepo banget kayaknya tadi, sampek gak sadar gue merhatiin lo." Sudut bibir Dega terangkat.

"Apa sih?! Enggak ya!" Hera udah nyolot duluan.

"Hadeh, kebiasaan deh, sensi, kek merk masker."

"Iyain biar cepet." 

"Oke, gue mau ke kelas, ikut gak lo?" tawar Dega membuat Hera menaikkan alis.

Ikut? Lebih baik gue berdiri di sini berjam-jam nungguin hujan dari pada ikut Dega.

"Gak!"

"Gak apa nih? Gak mau ikut apa gak mau nolak ikut?"

"GAK IKUT!"

"Oh, yaudin, itu anak-anak pada mulai balik tuh ke kelas mereka. Kelas lo di di seberang sana kan? Jauh, Kalo mau nunggu hujan sendirian di sini si gak apa-apa. Ati-ati sama gudang sebelah lo."

Hera sontak menoleh ke ruang kosong yang terletak pas di sebelah ruang ekskul jurnalis. 

"Biasanya sih suka ada penampakan," kata Dega yang sudah seperti bisikan di telinga Hera.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top