[12] Class Meeting
Dirinya memang pembuat onar dan bodohnya aku ikut terhanyut dalam pesonanya.
***
Sebenernya kalau ada lomba-lomba Agustusan kayak gini, jurusan kayak kimia maupun multimedia emang gak perlu berharap banyak. Ya, bukannya meragukan, tapi saingan di luar sana yang tak seimbang.
Jurusan multimedia sih masih mending, soalnya jumlah cowok sama ceweknya seimbang. Kalau kimia? Jangan ditanya lagi. X KA 1 jumlah cowoknya cuma 5, kalau X KA 2 malah lebih parah lagi cuma 3. Serius. Jadi satu angkatan jumlahnya 64 orang, dan jumlah cowoknya minim dan kalau ditotal cuma 8 orang. Miris? Gak juga.
Mayoritas cewek semua. Tau, kan, cewek suka kerja gak pakek otot tapi ngandelin cocot. Dan, lomba hari ini dominan menggunakan kekuatan mereka.
Kimia analis satu lagi rapat dadakan di kelas. Pintu kelas ditutup rapat, biar gak ada yang tahu. Padahal cuma bahas perwakilan yang ikut lomba tapi sampai segitunya.
"Belajar dari angkatan-angkatan sebelumnya, kita gak boleh berharap banyak karena kita pasti kalah," ujar sang ketua kelas, Fikri namanya. Cowok itu berbicara dengan wibanyanya di depan kelas. Tangan kirinya memegang penghapus papan tulis dan tangan kirinya memegang spidol.
Gak diwanti-wanti gitu semua orang juga pasti tahu. Kemenangan pasti di dominasi sama anak mesin. Cenayang? Bukan. Kenyataanlah yang membuat spekulasi seperti itu. Mesin menduduki peringkat pertama dalam kenakalan, kemudian ada anak listrik, baru anak elektro.
Hera duduk paling pojok. Pura-pura gak dengerin omongan si ketos. Nanti dia malah ditunjuk lagi ikut salah satu lomba yang barusan Fikri tulis di papan.
"Dari tujuh lomba kalian ikut yang mana?" Fikri mengetuk-ngetuk meja dengan menghapus. Banyak yang nggak dengerin, mereka pada asik sama ponselnya masing-masing. Fikri bisa mati muda gara-gara ngurusin betina-betina anak kimia analis satu.
Fikri frustrasi beneran, ini semua anak pada sibuk sendiri. Capek. Baiklah, dia akan menentukan sendiri siapa-siapa saja yang ikut lomba. Biarkan saja mereka protes, salah siapa sendiri gak merespon dengan baik. Cowok itu menuliskan beberapa lomba di papan tulis dan jumlah orang yang akan berpatisipasi pada lomba tersebut.
Fikri akan menentukan siapa yang ikut lomba-lomba itu dengan mengacak nomer absen teman-temannya. Cowok itu pasti bisa menebak, ia akan dapat banyak cocotan satu kelas.
BAKIAK (3) : (3, 4, 15)
BALAP KARUNG (1) : (9)
TARIK TAMBANG (10) : (5 anak cowok, 1, 2, 10, 14, 28)
VOLI (6) : (12, 17, 21, 23, 25, 29)
FUTSAL (6) : (5 anak cowok, 19)
SEPAK BOLA TERONG (1) : (22)
ESTAFET KARET (3) : (7, 26, 27)
Fikri tersenyum puas, setelah ia berhasil menentukan lomba yang akan diikuti teman-temannya. Ia mengetuk-ngetuk papan dengan penghapus meminta perhatian.
"Udah gue bagi, gak ada yang boleh protes. Ada beberapa anak yang gak kebagian ikut lomba, kalian harus jadi support system yang lain. Siapin yel-yel," ujar Fikri dengan bijaknya di depan kelas.
"Mana bisa gitu! Gue gak mau ikut lomba!"
"Gue gak mau tarik tambang! Maunya narik ayang!"
"Gue gak bisa voli anying, ganti ganti."
"Sepak bola terong tuh kayak gimana woy mainnya?! Seumur-umur belum pernah main! Gak gue gak mau!"
Fikri pusing sendiri. "GUE BILANG KAN GAK BOLEH ADA YANG PROTES! KALAH GAK MASALAH, YANG PENTING KITA UDAH BERPATISIPASI!"
"Lagian ya, kalau gak ikut cuma denda 50k, duit kas kita banyak, Fik!" solot salah satu cewek namanya Anggi.
"Kita bayar kas bukan buat dikeluarin hal-hal kayak gini," tegas Fikri, "kalo masih bisa dilakuin, kenapa gak coba buat ngelakuin? Kalian seharusnya mikir, jangan nyocot terus." Fikri kalau udah marah emang serem. Berdamage gimana gitu. Sekelas langsung kicep. Kemudian ada seseorang yang ngetuk pintu kelas.
Karena pintu dikunci dari dalam, Fikri membuka pintu itu. Ternyata anak osis yang memberikan selembar kertas pada Fikri.
"Ini daftar urutan kalian ikut lomba sama daftar lawan kelas yang bakal kalian tantang," ujar anak osis itu kemudian pergi.
Fikri kembali di hadapam teman-temannya. Lalu berkata, "Kita bakalan kalah kayaknya."
***
Awal dari semua lomba adalah bakiak. Mau dibilang mudah juga nggak juga, sukit juga enggak. Intinya harus kompak dan seimbang. Pembagian lawannya lumayan adil, dari kelas sepuluh semua, kemudian kelas sebelas, lalu kelas dua belas. Jadi lawan mereka adalah angkatan mereka sendiri. Baru satu lomba, gak tau lomba yang lainnya.
Hera udah siap-siap sama dua teman sekelasnya si Afi sama Discha. Mereka mencoba latihan, hera di bagian depan, Discha di tengah, dan Afi di bagian belakang. Mereka bertiga udah lepas sepatu, terus nyoba pakai si sandal bakiak yang udah disiapin buat 3 orang. Papan kayunya lumayan panjang sih, kaki mereka juga udah masuk di karet hitam, kayak makek sandal biasa.
Dipandu oleh Hera, mereka mulai berjalan, "Kanan, kiri, kanan, kiri." Bisa sih, mereka bisa, cuman ya jalannya bisa pelan banget. Salfoknya mereka adalah anak jurusan mesin yang ada di samping mereka. Gak berlatih malah asik sendiri.
Saatnya permainan dimulai.
"Satu, dua, tiga— prittttt."
"Kanan, kiri, ka—"
"HU-HA-HU-HA." Ini berisik banget sumpah anak mesin. Jalannya cepet banget, kekompakan jangan ditanyakan lagi. Semangat mereka udah kayak mau dapet hadiah umroh gratis.
Hera dan teman-temannya lelet banget sambil berseru kanan kiri.
Gak, tau kenapa pas mereka coba jalan, tali karet bakiak sebelah kiri punya Hera lepas. Alhasil cewek itu terjungkal ke depan disusul 2 temannya yang ada di belakang.
"Shit!" umpat Hera saat melihat panitia lomba menyuruh mereka keluar barisan.
Prittttttt. Peluit dibunyikan lagi. Sudah bisa ditebak. X TPM 1 yang menang.
***
Lomba berikutnya ada estafet karet, balap karung, sama sepak bola terong. Ini dilakuin bareng, lombanya berkelanjutan. Kayak gini, yang pertama itu estafet karet, setelah nyelesaiin itu dilanjut sama balap karung, terus sepak bola terong, yang mana bisa masukin bola ke gawang pakek terong bakalan menang.
Yang unik dari sepak bola terong itu yang main harus pakek sarung, terus tangan kirinya diikat sama tali rafia yang udah ada terongnya. Lumayan tricky, soalnya ngayun lengannya harus bisa kontrol terongnya biar bolanya tetap stabil dan gak belok-belok.
Kalau udah kayak gini KA sama MM cuma bisa pasrah lah ya, pertandingan sesungguhnya cuma bisa dilakuin sama anak mesin, listrik, sama elektro. Udah bisa ketebak juga siapa yang menang.
Udah pasti anak mesin.
Mesin lagi, mesin lagi. Gak heran lagi.
***
"Ini seriusan voli kita bakal lawan anak 12 TEI 1?! Kelas kakak gue dong? Hahaha." Si Arel ngakak kenceng banget.
"Anak osis emang pada gak ada otak banget, ya kali anak kelas sepuluh ngelawan anak kelas dua belas." Dina ikut-ikutan protes.
"Mana lawannya anak elektro lagi cowok-cowok, njirlah. Abis dah kita-kita." Kini, giliran Mella yang tergelak setelah Arel.
Arel nih capek banget sama anak osis. Kok gak ya mikir, ini lawannya gak seimbang. Udah bisa bakal ketebak bakal kalah duluan ini mah.
"Ancem abang lo deh, Rel," ujar Hera mengejek.
"Bisa, sih, tapi ada si Dega di kelas abang gue. Udah tau kan anaknya kek gimana?"
"Kayak gimana emang?"
"Rusuh banget, pasti dia bakal komporin abang gue tuh. Anaknya juga ambis banget di voli."
"Oh, ya?" Hera mulai sedikit tertarik.
Arel mengangguk mantap. "Pernah ya dulu, kayaknya pas kita masih SMP dia sama abang gue masih kelas sebelas, mereka ikut ngewakilin lomba voli se provinsi sama jurusan lain juga. Mereka menang juara 3, emang gak juara 1, tapi menurut gue itu udah pencapaian yang besar banget. Dan, kata abang gue juga Dega yang berturut-turut nge-smash kenceng banget. Terus dia juga suka ngelakuin teknik blocking supaya bola dari lawan gak bisa masuk daerah dia." Arel bercerita panjang lebar. Dan, anehnya Hera tidak bosan. Seperti ada hal baru yang Hera tidak ketahui dari sosok Dega.
"Sori, kalo lo bosen. Tapi kayaknya kita gak bakal bisa menang," kata Arel.
"Yang penting kan bisa ikutan."
"Guys yang ikutan voli kumpul, bentar lagi tanding!" teriak Fikri yang tiba-tiba masuk kelas.
"Arel, Ikke, Dina, Mella, Cici, Fifah ayo! Semangat semangat!"
Hera cuma jadi penonton di pinggir lapangan sama temen-temennya yang lain.
"KIMIA!" Fikri menyorak begitu keras.
"HOK A HOK E JOSS JOSS!" Seruan itu berasal dari teman-temannya.
Anak elektro juga gak mau kalah. Alvaro sebagai ketua kelas memberikan instruksi pada teman-temannya juga.
"ELEKTRO!"
"LOSS GAK REWEL!"
"Wuuuuuuuuuu." Tentu saja suara itu berasal dari anak kimia yang mengejek kakak kelasnya.
Anak kelas dua belas yang mau ikut voli pada pemanasan kecil-kecilan di tempat. Dega lari-lari kecil sama meregangkan kakinya. Deva lagi meregangkan tangan terus jalan sampai deket net. Ngajak ngobrol sang adik.
"Kayaknya bakal ada perang baratayudha nih," ejek Deva pada Arel yang lagi pemanasan.
"Baratayudha pala lo! Lo kira Mahabharata apa?!" Arel mendengus.
"Sewot amat, biasanya yang suka sewot itu orang sirik."
"Sirik sirik, enak aja! Gue bakal menang ya, liat aja!" Arel dengan percaya dirinya menantang Deva.
"Lihat aja nanti." Deva berbalik lalu berjalan ke arah Dega membisikkan sesuatu. Respon Dega aneh, cowok itu malah menyunggingkan senyum mengejek.
Arel merasa ada yang gak beres. Tapi ini bukan saatnya ia berpikir yang tidak-tidak.
Peluit dibunyikan. Lomba dimulai.
***
Dega ketawa banget, tatapannya Arel udah kayak mau nerkam dia abis-abisan. Skor 5-0, elektro unggul lima poin dari kimia yang belum dapat apa-apa.
Hera adem ayem ditempat kadang ikut nyorakin temannya yang lagi berusaha banget buat nyetak poin, masalahnya mau seberusaha apa pun, lawan mainnya emang bukan tandingan mereka. Anak osis ini emang bener-bener.
Hera kesel, Dega mukanya songong banget lagi, mana dia sempet-sempetnya ngelihatin Hera pas mau passing. Wajahnya sok yes gitu, terus passing atas, Hera akui Dega keren pas passing ke daerah lawan.
"Dah lah, gue pasrah aja, gak bakal kasih kendor tuh para kakel sama temen-temen kita," ujar Dita di sebelah Hera
Hera mengangguk setuju, ia mulai melihat teman-teman sekelasnya pada kewalahan ngadepin itu anak elektro. Mainnya pada ngegas semua, gak ingat yang di lawan itu cewek semua.
Pritttt. Bunyi peluit dibunyikan lagi yang menandakan permainan telah usai. Anak elektro udah seneng terus heboh banget, yang ikut main bertos ria sama temennya terus lari keliling lapangan. Alay banget, seharusnya mereka sadar diri, lawan mereka itu cewek, yang sama sekali bukan tandingan mereka.
Arel balik, mukanya kusut banget kayak baju yang gak disetrika. Dia melepas sepatunya terus ia lempar.
"Sabar, sabar." Hera mengelus pundak sahabatnya itu.
"Gak bisa! Kalo kayak gini bukan salah anak elektro lagi, tapi salahnya si osis yang gak imbang baginya!" sungut Arel menggebu-nggebu. Ia menerima sodoran minuman dan meneguknya cepat. "Thanks, Her."
"Gue kali yang kasih." Tiba-tiba sosok Dega muncul di hadapan Arel.
Dega melirik Hera terus menyugar rambutnya yang terlihat sedikit basah karena keringat. "Gimana permainan gue tadi, Cil? Keren kan gue?" Cowok itu menaik turunkan alisnya.
Mau tau nggak alis Dega kek gimana? Alisnya itu kayak gunung, menurut Hera kayak gitu waktu kesan pertama kali ketemu Dega. Padahal kalau di searching, alis kayak gitu ada namanya. Namanya alis berbentuk segitiga. Alisnya juga tebal, untuk seukuran cowok. Hera pikir Dega itu pakek pensil alis, tapi setelah diamati lebih dalam lagi, alis itu asli.
"Ya, gak gimana-gimana," jawab Hera seadanya. Mau bilang keren nanti malah gedhe kepala lagi.
"Masa sih?" Dega mancing-mancing nih. "Pasti keren, kan? Ngaku aja deh lo."
Ya, keren, sangking kerennya pengen gue masukin sumur.
"Mayan." Hera menjawab dengan malas sambil memalingkan muka.
"Mayan ganteng ya? Hahaha, tau gue--- aws," ringis Dega setelah kakinya di tendang Arel. Untung cewek itu gak pakai sepatu, soalnya nendangnya kenceng banget kayak atlet yang mau nyetak gol di kejuaraan timnas.
"Lo tuh ya! Berisik banget! Suka banget godain temen gue." Arel menarik tangan Hera, mengajak gadis itu menjauh.
Dega mengulum senyum, lantas memperhatikan dua punggung dua orang yang menjauh itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top